Udara dingin tiba-tiba saja terasa sangat menusuk tulang, hingga membuat Dini terbangun. Ia melirik jam yang berada di atas nakas."Lah masih tengah malam," ucapnya. Ia meraba sekitaran kasur mencoba mencari remote AC yang biasanya selalu berada di dekat bantalnya."Kok panas? Keringat juga?" komentar Dini saat tak sengaja tangannya menyentuh tangan Bagas. Ia menyibak pelan selimut yang menutupi seluruh badan Bagas dan mendapati baju yang dikenakan suaminya basah. Dini kemudian meraba kening suaminya itu dan merasakan suhu tubuhnya sangat tinggi. Reflek Bagas menarik selimut lagi."Kamu ganti baju dulu ya, basah semua kena keringat ini," ucap Dini kemudian turun dari ranjang menuju lemari baju. Ia menatap setiap baju yang tersusun rapi dan mengambil satu baju kaos dengan bahan yang tipis. Dini memanggil nama Bagas pelan, menyuruhnya untuk duduk sebentar. Dengan lesu Bagas mengikuti permintaan Dini. Pria itu pasrah kala Dini membuka bajunya. "Ini," ucap Dini memberikan baju pada suami
Alarm yang sengaja dipasang Dini pukul setengah sepuluh malam berbunyi nyaring membangunkannya. Ia menoleh ke sebelah dan tidak mendapati Bagas. Membawa bantal dalam pelukannya, ia berjalan keluar dari kamar."Kamu mau kemana?" tanya Bagas kaget saat melihat Dini mendekap bantal."Mau nonton film di tv," ucap Dini. "Kamu sudah makan kan?" tanya Dini lagi sebelum keluar kamar."Sudah. Aku mau mandi dulu langsung tidur. Kamu jangan kelamaan nonton TV di luar." Pesan Bagas."Iya," jawab Dini singkat.Ia mengambil posisi rebahan di sofa menikmati film yang memang ingin ditontonnya. Film dengan durasi hampir dua jam itu akhirnya selesai juga menikmatinya. Tangan kirinya meraih remot TV kemudian menekan beberapa tombol, mengganti siaran TV. Sampai ia berhenti pada salah satu stasiun TV yang selalu menyiarkan film horror di jam-jam tengah malam seperti ini. Spontan Dini langsung berteriak kencang, berkali-kali memanggil nama suaminya. Mendengar suara sekencang itu, Bagas yang telah terlelap
Seperti beberapa hari yang lalu, sore ini sepulang kerja Dini tak bisa langsung pulang ke rumah. Tepat jam lima sore, supir kantor Bagas menjemput dan mengantarkannya ke kantor suaminya itu. Ia disambut ramah oleh resepsionis sebelum masuk ke dalam lift. Pintu besi itu terbuka lebar di lantai delapan tempat suaminya berkantor. Sekretaris Bagas, Vina, langsung mempersilahkan Dini masuk. Berjalan pelan masuk ke ruang kerja Bagas, Dini melihat suaminya tengah serius menatap layar komputer."Eh, kamu sudah datang," ucapnya saat melihat bayangan Dini mulai mendekat."Ia. Aku ganti baju dulu ya," ujar Dini sambil meletakkan tasnya. Ia berjalan masuk ke kamar mandi dengan membawa satu tas kecil di tangannya yang berisi baju pesta yang telah disiapkan Bagas. Dress berwarna hitam dengan potongan dada sedikit rendah, sukses mengalihkan perhatian Bagas begitu Dini duduk di depannya.Helaan nafas panjang membuat Dini menatap Bagas."Kamu kalau capek kenapa mesti maksain hadir ke acara klien kamu
Pagi ini Dini bangun lebih dulu dari Bagas. Gadis itu turun dari atas tempat tidur kemudian berjalan menuju balkon menikmati cuaca pagi sabtu yang begitu cerah. Udara pagi yang masih segar seketika memenuhi paru-parunya. Memandang Jakarta dari ketinggian, membuatnya takjub dengan gedung-gedung pencakar langit yang seolah beradu tinggi satu sama lain. Bagas yang telah terbangun namun masih berada di atas ranjang, menatap Dini yang tampak asyik dengan paginya sendiri.'Andini' gumamnya dalam hati sambil menghela nafas. 'Aku tak akan membiarkan pernikahan ini hanya sebatas perjodohan saja. Aku akan membuat kita adalah jodoh satu sama lain' Bagas beranjak dari atas tempat tidur kemudian berjalan perlahan ke arah Dini. Sangat pelan sampai istrinya itu tak menyadari bahwa Bagas telah ada di belakangnya. Memeluk dan meletakkan wajahnya di ceruk leher Dini."Kamu lupa perkataan Mama waktu itu?""Apa?""Kita kan harus banyak istirahat biar bisa kasih cucu buat mereka," ucap Bagas santai sambil
Tepat tiga bulan menikah, hubungan Bagas dan Dini sudah lumayan cukup dekat dan saling terbuka. Bahkan mereka sudah tak segan untuk berganti pakaian di depan satu sama lain. Walau tak jarang Bagas harus mati-matian menahan hasratnya agar tak memaksakan diri pada Dini. Ia sama sekali tak ingin menodai pernikahannya dengan kekerasan."Nanti sore kamu dijemput sama supir ya, aku pulangnya agak telat. Jangan lupa packing buat acara besok," pesan Bagas sesaat sebelum Dini turun dari dalam mobil."Iya, Gas. Kamu hati-hati ya, aku masuk kerja dulu," sahut Dini. Beberapa teman kerjanya yang telah berdiri tepat di belakang Dini, langsung menggandeng Dini, kiri dan kanan saat mobil Bagas pergi menjauh."Makin mesra aja nih sama suami.""Gimana rasanya?""Rasa apa sih? Kalian nih pikirannya aneh-aneh aja deh," jawab Dini dengan wajah malu-malu. Ia tahu maksud dari pertanyaan temannya, namun ia malu bila harus bilang mereka belum merasakan yang namanya malam pertama.***Dini tak dapat mengikuti
Setelah susur sungai tadi, kegiatan dilanjutkan dengan arum jeram. Lumayan jauh mereka berjalan melewati kebun-kebun warga sebelum akhirnya sampai di tempat arum jeram. Beberapa peserta yang lebih dulu sampai, langsung berarum jeram saat perahu karet datang dan telah mendapat pengarahan dari pemandu. Secara bergantian mereka berenam di persilahkan naik ke atas perahu karet dengan memegang dayung di tangan masing-masing. Perahu mulai mengikuti irama sungai yang belum terlalu kencang. Namun beberapa menit kemudian, mereka semua bekerja keras mengikuti instruksi dari pemandu."Dayung kiri. Dayung kanan." Begitu instruksi dari pemandu saat mereka melewati jeram yang deras. Teriakan dari mereka menjadi tanda bahwa mereka benar-benar menikmati kegiatan arum jeram ini.Beruntung mereka mendapat giliran di awal untuk arum jeram, jadi pada saat mereka selesai hari masih terlihat terang dan mereka punya banyak waktu untuk membersihkan diri sebelum lanjut ke acara malam. Diangkut menggunakan mob
Semakin hari hubungan Bagas dan Dini semakin meningkat. Layaknya orang pacaran, mereka telah sampai di tahap serius. Percaya satu sama lain."Gas, hari ini aku pulang malam. Lembur ada yang dikerjakan," ucap Dini sambil terus menatap layar komputer."Aku tunggu kamu di cafe depan kantor kamu aja ya. Aku dari kantor sekitar jam enam.""Iya, Gas. Kamu-kamu hati ya," pesan Dini."Iya, Sayang." Sahutan Bagas membuat Dini senyum-senyum sendiri.Tiara, rekan kerja Dini yang duduk di sebelahnya, memperhatikan ekspresi Dini."Ehem, ehem. Senyum-senyum aja nih," ujar Tiara yang duduk di atas kursi mendekati Dini."Gak papa, Ra.""Pak Hasan nih, padahal kemarin sudah aku kasih laporan yang biasa. Eh, tadi bilang hilang.""Print lagi aja, Ra. Ini aku mau minta tanda tangan ke ruangan Pak Hasan, mau sekalian aku bawain laporan kamu?""Boleh." Tiara memberikan satu map coklat pada Dini.Membawa beberapa berkas di tangannya, Dini menuju ruangan Hasan yang berada di pojokan. Dari jendela, Dini dapat
"Sudah mau satu tahun lo kalian. Mana cucu Mama sama Papa?" Ucapan yang sama keluar dari mulut orang tua Dini maupun Bagas. Dini hanya tersenyum mendengarnya. Setelah dari rumah orang tua Dini, mereka berkunjung juga ke rumah orang tua Bagas."Kalian ambil cuti lah, biar bisa bulan madu. Atau kalian mau Mama antar ke dokter kandungan buat program anak?""Kita juga lagi usaha kan, Sayang?" Bagas merangkul Dini."Iya," sahut Dini dengan senyum tertahan."Pokoknya harus ada progres ya. Biar Mama ada kegiatan tambahan, jaga cucu," ucap Mira."Dengar itu, Gas," sambung Hendri, "kalian sama-sama anak tunggal, harus punya momongan, untuk meneruskan garis keturunan.""Siap, Pa. Bagas sama Dini siap laksanakan tugas negara," sahut Bagas mantap.'Tugas negara,' batin Dini."Jangan banyak pikiran. Harus rileks ya," ucap Mira mengelus lengan Dini yang membuatnya tersipu malu.Sore sekitar jam lima, mereka berdua pamit pulang setelah makan sore terlebih dahulu."Sekarang kita mau kemana?""Tersera
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs