Pagi ini Dini bangun lebih dulu dari Bagas. Gadis itu turun dari atas tempat tidur kemudian berjalan menuju balkon menikmati cuaca pagi sabtu yang begitu cerah. Udara pagi yang masih segar seketika memenuhi paru-parunya. Memandang Jakarta dari ketinggian, membuatnya takjub dengan gedung-gedung pencakar langit yang seolah beradu tinggi satu sama lain. Bagas yang telah terbangun namun masih berada di atas ranjang, menatap Dini yang tampak asyik dengan paginya sendiri.'Andini' gumamnya dalam hati sambil menghela nafas. 'Aku tak akan membiarkan pernikahan ini hanya sebatas perjodohan saja. Aku akan membuat kita adalah jodoh satu sama lain' Bagas beranjak dari atas tempat tidur kemudian berjalan perlahan ke arah Dini. Sangat pelan sampai istrinya itu tak menyadari bahwa Bagas telah ada di belakangnya. Memeluk dan meletakkan wajahnya di ceruk leher Dini."Kamu lupa perkataan Mama waktu itu?""Apa?""Kita kan harus banyak istirahat biar bisa kasih cucu buat mereka," ucap Bagas santai sambil
Tepat tiga bulan menikah, hubungan Bagas dan Dini sudah lumayan cukup dekat dan saling terbuka. Bahkan mereka sudah tak segan untuk berganti pakaian di depan satu sama lain. Walau tak jarang Bagas harus mati-matian menahan hasratnya agar tak memaksakan diri pada Dini. Ia sama sekali tak ingin menodai pernikahannya dengan kekerasan."Nanti sore kamu dijemput sama supir ya, aku pulangnya agak telat. Jangan lupa packing buat acara besok," pesan Bagas sesaat sebelum Dini turun dari dalam mobil."Iya, Gas. Kamu hati-hati ya, aku masuk kerja dulu," sahut Dini. Beberapa teman kerjanya yang telah berdiri tepat di belakang Dini, langsung menggandeng Dini, kiri dan kanan saat mobil Bagas pergi menjauh."Makin mesra aja nih sama suami.""Gimana rasanya?""Rasa apa sih? Kalian nih pikirannya aneh-aneh aja deh," jawab Dini dengan wajah malu-malu. Ia tahu maksud dari pertanyaan temannya, namun ia malu bila harus bilang mereka belum merasakan yang namanya malam pertama.***Dini tak dapat mengikuti
Setelah susur sungai tadi, kegiatan dilanjutkan dengan arum jeram. Lumayan jauh mereka berjalan melewati kebun-kebun warga sebelum akhirnya sampai di tempat arum jeram. Beberapa peserta yang lebih dulu sampai, langsung berarum jeram saat perahu karet datang dan telah mendapat pengarahan dari pemandu. Secara bergantian mereka berenam di persilahkan naik ke atas perahu karet dengan memegang dayung di tangan masing-masing. Perahu mulai mengikuti irama sungai yang belum terlalu kencang. Namun beberapa menit kemudian, mereka semua bekerja keras mengikuti instruksi dari pemandu."Dayung kiri. Dayung kanan." Begitu instruksi dari pemandu saat mereka melewati jeram yang deras. Teriakan dari mereka menjadi tanda bahwa mereka benar-benar menikmati kegiatan arum jeram ini.Beruntung mereka mendapat giliran di awal untuk arum jeram, jadi pada saat mereka selesai hari masih terlihat terang dan mereka punya banyak waktu untuk membersihkan diri sebelum lanjut ke acara malam. Diangkut menggunakan mob
Semakin hari hubungan Bagas dan Dini semakin meningkat. Layaknya orang pacaran, mereka telah sampai di tahap serius. Percaya satu sama lain."Gas, hari ini aku pulang malam. Lembur ada yang dikerjakan," ucap Dini sambil terus menatap layar komputer."Aku tunggu kamu di cafe depan kantor kamu aja ya. Aku dari kantor sekitar jam enam.""Iya, Gas. Kamu-kamu hati ya," pesan Dini."Iya, Sayang." Sahutan Bagas membuat Dini senyum-senyum sendiri.Tiara, rekan kerja Dini yang duduk di sebelahnya, memperhatikan ekspresi Dini."Ehem, ehem. Senyum-senyum aja nih," ujar Tiara yang duduk di atas kursi mendekati Dini."Gak papa, Ra.""Pak Hasan nih, padahal kemarin sudah aku kasih laporan yang biasa. Eh, tadi bilang hilang.""Print lagi aja, Ra. Ini aku mau minta tanda tangan ke ruangan Pak Hasan, mau sekalian aku bawain laporan kamu?""Boleh." Tiara memberikan satu map coklat pada Dini.Membawa beberapa berkas di tangannya, Dini menuju ruangan Hasan yang berada di pojokan. Dari jendela, Dini dapat
"Sudah mau satu tahun lo kalian. Mana cucu Mama sama Papa?" Ucapan yang sama keluar dari mulut orang tua Dini maupun Bagas. Dini hanya tersenyum mendengarnya. Setelah dari rumah orang tua Dini, mereka berkunjung juga ke rumah orang tua Bagas."Kalian ambil cuti lah, biar bisa bulan madu. Atau kalian mau Mama antar ke dokter kandungan buat program anak?""Kita juga lagi usaha kan, Sayang?" Bagas merangkul Dini."Iya," sahut Dini dengan senyum tertahan."Pokoknya harus ada progres ya. Biar Mama ada kegiatan tambahan, jaga cucu," ucap Mira."Dengar itu, Gas," sambung Hendri, "kalian sama-sama anak tunggal, harus punya momongan, untuk meneruskan garis keturunan.""Siap, Pa. Bagas sama Dini siap laksanakan tugas negara," sahut Bagas mantap.'Tugas negara,' batin Dini."Jangan banyak pikiran. Harus rileks ya," ucap Mira mengelus lengan Dini yang membuatnya tersipu malu.Sore sekitar jam lima, mereka berdua pamit pulang setelah makan sore terlebih dahulu."Sekarang kita mau kemana?""Tersera
Siang ini Bagas yang kebetulan baru saja selesai bertemu dengan klien di salah satu hotel dekat kantor Dini. Ia berniat mengajak istrinya itu untuk makan siang bersama. Setelah menunggu lima menit di parkiran, Dini dengan membawa ponsel di tangannya masuk ke dalam mobil."Kita mau makan apa?""Nasi padang aja deh," usul Dini yang disetujui oleh Bagas.Sesuai rekomendasi Dini, Bagas menghentikan mobilnya di restoran padang yang terlihat cukup ramai dari kendaraan bermotor yang parkir. Begitu selesai memilih lauk, mereka lantas menuju tempat duduk lesehan."Lancar urusan kamu tadi sama klien?""Lancar," sahut Bagas tersenyum."Tadi Mama telepon," ucap Bagas. Mendengar perkataan Bagas itu sudah macam-macam pikirannya."Apa kata Mama?" Dini mencoba bersikap biasa."Malam ini mau ngajak makan malam diluar.""Kirain," ucapnya dengan nada yang sangat kecil namun sayang Bagas tetap bisa mendengarnya."Kirain apa?" tanya Bagas dengan mata yang sengaja dibesarkannya saat memandang Dini."Gak pa
Akhir pekan ini, Dini kembali ikut dengan Bagas ke kantor. Sedang banyak proyek kerjasama hingga mengakibatkan Bagas harus masuk kantor meski ia seharusnya libur."Kamu gak bosan kan?""Daripada di apartemen sendiri, lebih baik ikut kamu," sahut Dini seraya menikmati snack yang diambilnya dari kulkas yang berada di dekat Bagas duduk.Dini duduk di sofa tamu, membaca majalah. Sesekali pandangan teralih saat beberapa karyawan masuk untuk meminta tanda tangan Bagas."Kita makan siang yuk," ajak Bagas menghampiri Dini."Kerjaan kamu sudah selesai?" tanya Dini bertepatan dengan masuknya Vina ke ruangan."Masih ada yang harus saya kerjakan, Vin?" tanya Bagas pada Vina."Ini yang terakhir, Pak." Vina menunjukkan dimana Bagas harus tanda tangan.Dini lantas bergegas membuang bungkus snack yang telah dimakannya.Meninggalkan kantor dengan mengendarai mobil, Bagas mengajak Dini untuk makan di rumah makan milik teman kuliahnya yang berada di dekat kampusnya dulu. Memilih menu lalapan dengan lauk
"Kamu lagi banyak pikiran, Din?" tanya Tiara mendekat."Nggak. Cuma lagi pusing aja," sahut Dini memijat keningnya."Sama aja kali, pusing itu ya karena lagi banyak pikiran," lanjut Tiara lagi."Gimana kalau sore habis pulang kerja, kita jalan. Ke mall atau santai di cafe? Tenang aja, pulangnya aku yang anterin," usul Tiara."Iya deh," jawab Dini setelah berpikir beberapa detik. Ia memang perlu menyegarkan pikirannya, tapi Dini masih belum yakin untuk membagi kisah dengan orang lain.Sepulang kerja dengan mengendarai mobil Tiara, mereka berdua pergi menyusuri jalan Jakarta. Tentunya Dini telah meminta izin Bagas terlebih dahulu. Setelah banyak pertimbangan, mereka akhirnya memutuskan untuk bersantai salah satu kedai es krim. Dini yang tak terlalu memperhatikan saat perjalanan tadi, sedikit terkejut saat sadar bahwa tempat yang mereka kunjungi bersebelahan dengan toko kue yang namanya sangat Dini ingat di telinga.'Hah! Sugar Pastry,' batin Dini. Benar-benar terkejut saat matanya memba
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs