Bangun lebih pagi dari Bagas, Dini langsung menyibukkan diri di dapur. Pagi ini ia ingin membuat sarapan yang manis-manis."Kayaknya sudah pas nih," ucap Dini mengecek kekentalan adonan untuk membuat pancake. Ia kemudian menyiapkan teflon di atas kompor dan mengoleskan mentega. Dengan cekatan ia menuang adonan ke atas teflon, memperhatikan adonan pancake di atas teflon agar tidak gosong. Aroma harum pancake sampai tercium ke dalam kamar yang memang pintunya tak tertutup rapat."Cepat banget dia bangun." Bagas melirik jam di atas nakas yang masih menunjukkan pukul enam kurang sepuluh. Bagas turun dari ranjang dan berjalan menuju asal aroma yang begitu menggugah selera."Sepagi ini kamu sudah menciptakan aroma yang sangat menggoda," ucap Bagas berdiri di samping Dini."Aroma menggoda dari mana? Ini aroma makanan bukan aroma tubuh orang," sahut Dini seraya memindahkan pancake ke dalam piring. Ia mematikan kompor dan menyimpan sisa adonan ke dalam kulkas."Kamu mau pake topping rasa apa?"
Terbangun tengah malam karena mimpi yang dapat dikatakan buruk, Dini tak dapat terpejam dengan cepat. Ia meminum segelas air yang berada di atas nakas. Mimpi yang Dini takutkan.'Gak mungkin lah. Aku percaya dia,' gumam Dini menatap Bagas yang terlelap tidur di sampingnya. Ia mengambil ponsel dan membuka media sosialnya. Mengusap layar ponselnya membaca berita-berita yang seperti itu saja. Dini kembali membuka aplikasi pencarian informasi. Artikel mengenai tips dan trik menjalin hubungan harmonis dengan pasangan.'Enter,' gumamnya. Layar ponsel langsung dipenuhi dengan artikel-artikel yang ingin dibacanya. Tak jauh beda isi artikel saat ini, dengan artikel yang lebih dulu dibacanya sewaktu di kantor. Sesekali ia memandang Bagas kemudian melanjutkan membaca artikelnya.'Jauhkan dari hal yang tidak-tidak Ya Tuhan,' doanya dalam hati.Begitu asyik membaca artikel demi artikel, ia sampai tak menyadari bahwa Bagas telah bangun. Dengan mata yang masih berat untuk dibuka, Bagas melihat Dini
Sesuai dengan ucapan Bagas kemarin, Dini telah selesai menyiapkan sarapan untuk Bagas."Kamu masak apa sih?" Bagas menghampirinya di dapur lengkap dengan setelan jasnya."Nasi goreng aja, Gas. Mau makan sekarang? Biar aku siapin," ucap Dini yang diangguki oleh Bagas."Ternyata ucapan aku yang dulu salah ya?""Ucapan yang mana? tanya Dini. Ia ikut menemani Bagas sarapan."Aku bilang dulu, aku mungkin gak bisa menyediakan waktu sebagai seorang suami. Tapi nyatanya, malah terbalik. Aku malah menyediakan waktu untuk melakukan tugas seorang suami. Salah satunya makan masakan istri." Tak tau ini pujian atau apa, tapi Dini begini bahagia mendengarnya.Bagas yang siap untuk pergi, pamit pada istrinya."Kamu mau kemana?" tanya Bagas saat Dini masih mengekor hingga melewati pintu apartemen."Mau antar kamu sampai ke mobil," ucap Dini."Pintunya ditutup dulu dong," ucap Bagas seraya menutup pintu apartemen.Berjalan masuk ke dalam lift yang akan mengantarkan mereka ke parkiran bawah."Hati-hati
Kembali dengan rutinitas di kantor, saat Bagas tengah asyik mengetik di laptop, jemari tangannya berhenti dengan sendiri. Bagas memutar kursinya dan menatap ke arah luar melalui jendela."Bahagia? Apa yang Dini pikirkan hingga di alam bawah sadar ia sampai mempertanyakan kebahagiaannya?" Bagas bertanya-tanya. Sejenak pikirannya melayang ke pesta pernikahan mereka yang terjadi hampir satu tahun lalu. Dan sampai hari ini ia belum menyentuh Dini, walau di beberapa kesempatan hal itu hampir saja terjadi tapi selalu gagal. Bagas menghela nafas panjang. Kadang pertanyaan dari orang tuanya juga sedikit mengganggu. Ia lalu berputar dan menarik kalender yang ada di mejanya. Memandangi deretan angka yang tertera di sana."Mungkin aku bisa mengajaknya liburan," gumam Bagas seraya menekan tombol untuk memanggil sekretarisnya masuk ke ruangan.Tak berapa lama, pintu ruangan Bagas diketuk."Permisi, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" Vina masuk dan berjalan mendekat."Apa jadwal saya untuk tanggal ini
Bangun sangat pagi Dini bergegas untuk pergi lari pagi di sekitaran apartemen. Udara pagi yang masih segar membuat pikirannya sedikit lebih tenang. Setelah selesai lari pagi sebanyak tiga putaran, gadis itu kembali ke apartemen."Kamu gak ada di kamar. Aku kira kamu pergi, taunya kamu olahraga pagi," ucap Bagas cemas saat melihat Dini keluar dari dalam lift. Bagas baru saja akan mencari Dini keluar."Udara pagi ini lumayan membuat pikiran ku tenang," kata Dini berjalan masuk meninggalkan Bagas.Menatap Dini bingung, Bagas menyusul masuk ke dalam unit apartemen."Ada apa sih, Din?" Bagas meraih tangan Dini sebelum masuk ke dalam kamar."Aku tahu aku bukan siapa-siapa kamu. Jadi aku tahu diri," kata Dini datar menatap Bagas."Kamu ngomong apa sih, Din? Aku gak ngerti," ucap Bagas masih menahan tangan Dini."Aku tahu hal yang gak kamu bilang sama aku. Oke, itu memang hak kamu tapi itu sangat mengganggu aku," ucap Dini."Kamu bisa bilang langsung, Din. Jangan kayak gini."Dini terdiam."Y
Bagas duduk sambil menikmati udara pagi dari balkon. Dini yang baru saja selesai mandi mengurungkan niatnya untuk mendekati Bagas kala mendengar Bagas menghela nafas. Begitu nelangsa. Dini memilih untuk berpakaian terlebih dulu."Mau kemana pagi-pagi gini, Din? Kamu gak kerja kan?" tanya Bagas berpaling saat mendengar suara pengering rambut yang Dini gunakan."Nggak. Aku mau ke rumah Mama," sahut Dini singkat.Bagas menatap Dini yang masih mengeringkan rambutnya."Kamu gak usah liatin aku kayak gitu, aku bisa berangkat sendiri," sambung Dini sambil meletakkan pengering rambutnya."Tunggu aku siap-siap sebentar," kata Bagas beranjak dari kursinya lalu berjalan masuk ke dalam kamar mandi.Tidak terlalu menghiraukan ucapan Bagas, Dini memilih pakaian lalu mengenakannya. Tak sampai tiga menit berada di kamar mandi, Bagas sudah keluar lagi dari kamar mandi. Masih dengan badan yang basah dan handuk yang melilit bagian bawah tubuhnya, ia mematung sejenak saat melihat pakaian yang istrinya ke
"Nanti sore aku jemput," ucap Bagas membukakan pintu mobil untuk Dini."Iya, Gas." Dini keluar dari mobil. Menoleh sebentar menatap Bagas yang masih berdiri di samping mobilnya, lalu kembali melangkah masuk ke dalam gedung kantornya. Meninggalkan kantornya Dini, Bagas memacu lajunya mobilnya. Menurut informasi dari Vina, hari ini ia harus bertemu dengan beberapa klien di tempat yang berbeda. Setibanya di kantor, Bagas langsung meminta Vina untuk mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan untuk meeting hari ini."Hari ini kamu ikut saya meeting ya," kata Bagas sambil mengecek beberapa dokumen yang telah Vina berikan."Baik, Pak.""Nanti kamu sama Pak Toni ya. Saya bawa mobil sendiri aja. Selesai semua meeting, saya ada urusan," lanjut Bagas."Baik, Pak." Vina lanjut memberikan dokumen yang harus Bagas cek ulang.***Di ruangan kantornya, Dini menatap layar komputer dengan jemari tangan yang lincah menari di atas keyboard. Ia sedang mengerjakan laporan yang diminta Pak Hasan harus se
"Din, kamu gak mau ambil cuti?" tanya Tiara di sela-sela kesibukan mereka."Cuti?" ulang Dini mengalihkan pandangan. Yang tadinya ia menatap layar komputer kini beralih menjadi menatap kalender meja. Ia menghela nafas.'Terakhir kali aku cuti kayaknya udah lama deh' gumam Dini dalam hati."Iya. Kamu itu harusnya sering liburan sama suami, Din. Sering menghabiskan waktu bersama," kata Tiara."Iya sih. Coba deh nanti aku tanya Bagas dulu. Akhir-akhir ini dia sibuk banget di kantornya," ucap Dini."Nanti kalau udah ketemu tanggal kamu mau cutinya kapan, kasih tau aku ya," kata Tiara. "Buat apa?""Biar aku bisa cuti juga setelah kamu," jawab Tiara sambil tertawa."Ternyata ada maksud terselubung," cetus Dini."Kan gantian. Pak Hasan kan gak bolehin kita cuti bareng," tukas Tiara lagi."Iyalah. Siapa yang backup kerjaan nanti kalau kita berdua sama-sama cuti," kata Dini.Kembali sibuk lagi dengan kerjaan masing-masing, Dini mulai memikirkan tempat yang akan mereka kunjungi nanti bila cuti
Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi
Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua
Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke
Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y
Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B
Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.
Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam
Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas
Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs