Share

Di Cafe

Author: Lystania
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Setelah menyelesaikan laporan pengeluaran pengiriman barang dan mengirimkannya via email pada atasannya, Dini merapikan meja kerjanya dan bersiap pulang. Hari ini ia mengendarai motor, karena mobil yang biasa dipakainya tengah masuk bengkel. Baru saja keluar dari gerbang kantor, Dini melihat ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada kendaraan lewat. Saat telah menyatu dengan keramaian jalanan, sebuah mobil dengan kaca jendela terbuka berhenti tepat di dekatnya.

"Kamu ngapain?" tanya Dini sambil membuka kaca helmnya.

"Kamu ikut sama aku aja," ucap Bagas dari dalam mobilnya.

"Motor aku diapain? Kita ke cafe depan sana aja," usul Dini yang langsung diiyakan oleh Bagas.

Dengan mengendarai motornya, sudah pasti Dini lebih dulu sampai dibandingkan Bagas. Lima menit kemudian Bagas tiba juga di cafe. Mereka berdua masuk dan mengambil posisi duduk di tengah ruangan cafe yang kebetulan keadaannya sedang tidak terlalu ramai.

"Mendadak kok kamu bisa ada di depan kantor aku?" tanya Dini seraya mengembalikan buku menu pada pelayan cafe.

"Sebenarnya bukan mendadak sih, aku memang sudah berencana mau ketemu kamu, tapi kan kita belum tukar nomor ponsel. Jadi aku gak tahu harus ngubungin kamu kemana," kata Bagas seraya menyodorkan minuman berwarna hijau yang dipesan Dini.

"Oh iya, kemarin kita ngobrol cuma sebentar aja dan belum sempat tukaran nomor. Memang ada apa kamu mau ketemu sama aku?" Dini menyeruput minumannya.

"Kamu simpan dulu nomor ponsel aku," ucap Bagas seraya menyodorkan selembar kartu namanya. Kening Dini berkerut saat membaca isi kartu nama yang disodorkan Bagas.

"Ckckckck." Dini berdecak seraya menggelengkan kepalanya. "Ternyata kamu pemilik ini?" Dini menunjuk nama perusahaan yang ada di kertas itu.

"Iya. Kenapa memangnya?" Bagas tak kalah bingung.

"Tahun kemarin aku pernah mengirim lamaran kerja di perusahaan kamu."

"Masa? Kok aku gak ingat ya? Biasanya semua pelamar pasti ketemu sama aku."

"Gimana kamu mau ingat, ngeliat muka aku aja kamu enggak. Aku masih ingat, kamu bilang kalau kamu gak terima orang yang gak ada pengalaman. Setelah itu kamu langsung nyuruh aku pergi," cerita Dini sedikit dongkol.

"Ya ampun, aku minta maaf soal itu." Bagas merasa tak enak.

"Udah lewat. Lagian sekarang aku juga sudah kerja." Sahut Dini.

Sambil menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan, Bagas dan Dini menceritakan diri mereka secara bergantian. Dini membagikan cerita hidupnya, hingga ia bisa ada seperti sekarang ini. Tak ada yang ditutup-tutupinya mengenai kenyataan bahwa ia adalah anak angkat dari orang tuanya sekarang. Bagaimanapun juga Bagas harus tahu kebenaran itu dari mulut Dini sendiri. Walaupun ia yakin pasti orang tua Bagas telah lebih dulu menceritakan asal usul Dini. Sementara Bagas, ia hanya menceritakan sedikit tentang dirinya. Dari sekolah hingga tamat kuliah, dan berlanjut bekerja di perusahaan orang tuanya. Ia sama sekali tak berniat untuk menceritakan kisah asmaranya. Ya, Bagas merasa itu tak penting untuk diketahui Dini. Karena dengan menceritakan hal itu, artinya ia harus membuka memori lama yang telah ditutupnya.

Obrolan mereka yang mulai nyambung, membuat waktu tak terasa telah berlalu. Dua jam mereka berada di cafe itu, tak terasa langit di luar mulai berubah warna. Senja mulai menyapa.

"Iya sebentar lagi Dini pulang, Ma," jawab Dini pada sambungan telepon Mama.

"Kamu dicariin orang rumah?"

"Iya. Lupa ngasih tahu Mama kalau aku pulang telat. Kalau gitu, aku duluan ya."

"Iya. Hati-hati ya. Kamu sudah simpan nomor ponsel aku kan?" tanya Bagas memastikan.

"Sudah. Sudah aku chat juga kok. Cek aja ponsel kamu."

"Sudah, biar aku aja yang bayar," ucap Bagas saat melihat Dini tampak mengeluarkan dompetnya.

Dini tersenyum, kemudian pamit dan berlalu dari hadapan Bagas. Ia masih berada di sana sekitar sepuluh menit setelah Dini pulang. Mengecek ponselnya dan menyimpan nomor ponsel Dini.

'Lumayan. Manis, enak dipandang. Orangnya juga asyik diajak ngobrol. Sudah saatnya aku membuka hati' batin Bagas seraya beranjak dari kursi dan berjalan menuju meja kasir.

***

Sesampainya di rumah, Dini disambut oleh Mama dan juga Mira yang tengah berbincang serius di ruang tamu.

"Tumben pulangnya lama, Din?" tanya Mama.

"Tadi baru ketemu sama Bagas, Ma," ucap Dini yang kemudian menyapa Mira seraya duduk tak jauh dari Mama.

"Kalian ketemu?"

"Iya, Tante. Tadi ketemu di cafe seberang kantor," kata Dini. Dini melihat beberapa kertas yang dipegang Mira. Kertas yang berisikan beberapa contoh kain. Sepertinya Mama dan Mira sedang berdiskusi dalam memilih kain untuk baju mereka.

"Tante sama Mama lagi milih warna dan kain yang cocok untuk acara kalian nanti," terang Mira ramah.

"Semua kelihatannya bagus, Tante," jawab Dini.

"Iya, Din. Mama sampai bingung mau yang mana."

"Iya. Tante juga bingung mau yang mana. Kalau menurut Dini, yang mana kira-kira cocok buat Tante sama Mama? Yang bisa bikin kita berdua terlihat awet muda," ucap Mira yang diikuti gelak tawa Mama. Dini berdiri dan berpindah duduk lebih dekat dengan Mira agar bisa melihat jelas beberapa contoh kain yang ada di tangannya. Sejenak ia terdiam, sementara bola matanya sibuk menatap contoh-contoh kain yang ada pada kertas di depannya.

"Kalau Dini, kayaknya warna gold ini cocok deh. Lagi ngetren kan sekarang. Tapi terserah Tante sama Mama juga sih," usul Dini.

"Ide yang bagus. Nanti kita tinggal cari model kebayanya kan, Bu," ucap Mira, menatap Mama penuh semangat.

"Iya, Bu Mira. Nanti sambil cari model kebaya di internet," timpal Mama.

"Di media sosial banyak model kebaya yang bagus-bagus. Betul kan, Din?"

"Iya, Tante. Nanti sambil Dini coba bantu cari model kebaya yang cocok ya," ucap Dini. Setelah saling menyimpan nomor ponsel, Mira pamit pulang.

Di kamarnya, Dini yang baru saja ingin melepas penat, harus kembali terjaga dan membuka laptopnya. Menatap layar laptop dengan mata setengah mengantuk dan mengecek email masuk dari atasannya. Selesai mendownload lampiran yang dikirim atasannya itu, Dini membuka dan membaca isinya. Sebuah tagihan yang harus dibayarkan kepada salah satu rekanan notaris kantornya.

"Ya ampun. Tagihan sebanyak ini kenapa harus dikirim malam-malam begini sih? Gak tahu orang ngantuk apa!" Serunya kesal. Dengan kedua mata yang hanya memiliki daya lima watt, Dini harus super teliti melihat angka-angka yang tersaji di layar laptopnya itu. Pekerjaan yang biasanya tak memerlukan waktu lama bila dikerjakan dengan keadaan sadar, kini harus memakan waktu dua kali lipat karena kesadaran Dini yang mulai menurun akibat menahan kantuk.

"Malam, Pak. Tagihannya sudah saya email balik ke Bapak ya," ujar Dini dengan nada suara tak bersemangat di ujung telepon. Sementara orang di seberang sana yang menerima telepon Dini bingung.

"Tagihan apa? Kamu salah sambung ya?" tanya orang itu bingung. Dini mengucek-ngucek matanya sambil menatap layar telepon. Kantuknya tiba-tiba hilang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Yang seharusnya ia menghubungi atasannya yang bernama Hasan, ia malah menghubungi Bagas. Dini salah menekan tombol telepon karena nama Bagas berada di atas nama atasannya itu.

"Maaf ya, aku salah telepon."

"Kamu lembur? Jam segini masih ngerjain tagihan kantor?" tanya Bagas.

"Nggak lembur juga sih. Cuma mendadak harus ngecek tagihan yang mau dibayar ke notaris."

"Oh. Kalau kerjaan kamu sudah selesai, langsung tidur ya, sudah malam gini."

"Iya. Makasih ya." Dini memutus sambungan teleponnya. Ia tertegun sejenak menatap ponselnya. Merdu suara Bagas di telepon terngiang di telinganya. Ucapan ringan penuh perhatian tadi langsung merasuk ke jaringan otaknya, menciptakan suasana bahagia.

Related chapters

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Omongan Serius

    Malam minggu ini, Bagas meminta izin pada orang tua Dini untuk mengajak calon istrinya itu keluar. Datang di pukul lima sore, setelah berbincang sebentar dengan orang tua Dini di ruang tamu, mereka lantas pergi meninggalkan rumah saat jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna maroon, dipadukan dengan sepatu teplek berwarna coklat, membuat tampilan Dini sangat manis malam ini. Mereka menuju salah satu tempat hangout yang selalu ramai di setiap malamnya. Meski merasa sedikit terganggu dengan bisingnya suara musik yang memenuhi ruangan, Dini berusaha tetap menikmati acara makan malam itu."Kamu masih mau di sini?" tanya Bagas saat melihat Dini menutup sendok dan garpunya di atas piring yang telah kosong. Dini menggeleng pelan."Oke. Kita keluar dari sini." Bagas bangkit berdiri diikuti Dini setelah selesai membayar tagihan makan mereka."Aku baru kali ini datang ke tempat itu dan ternyata tempat itu biasanya, beda sama yang orang bilang," ucap Dini s

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Wangi Yang Menggoda

    Di sabtu pagi yang cerah ini, setelah Dini selesai sarapan pagi bersama kedua orang tua, Bagas yang berjanji akan menjemputnya di pukul setengah sembilan pagi, baru datang sejam kemudian. Dari pesan yang dikirimnya, Bagas harus mengantar orang tuanya ke bandara pagi-pagi karena ada acara keluarga di kota Balikpapan."Maaf ya telat," ucap Bagas saat sampai di rumah orang tua Dini."Gak apa-apa," sahut Dini. Mama dan Papa yang baru datang dari ruang makan, ikut bergabung di ruang tamu. Basa basi Mama menawarkan sarapan pagi pada Bagas yang ternyata disambut senang oleh Bagas, karena memang ia belum makan dan sedang lapar saat ini."Dini, ayo temenin Bagas makan." Perintah Mama."Ayo, Gas, anggap rumah sendiri aja," sambung Papa."Iya, Om." Bagas mengikuti Dini berjalan menuju ruang makan. Ia mengambilkan piring dan melayani Bagas. Menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piring makan Bagas."Udah, udah. Entar aku kekenyangan terus jadi ngantuk," ucap Bagas sebelum Dini lebih ba

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Tanggal Pernikahan

    Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat."Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti."Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi."Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan m

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Wedding Ring

    Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah."Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman."Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan."Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras."Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara.""Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Dengan Aditya

    "Din, kamu ikut masuk ke ruang rapat ya," pinta Pak Hasan, atasannya. Siang ini di ruang rapat kantor, ada pertemuan dengan beberapa pengurus perusahaan dan notaris. Menurut informasi dari Pak Hasan akan ada perubahan pengurus perusahaan yang menyebabkan perubahan di akta perusahaan. Dini dan Pak Hasan telah stand by di ruang rapat saat beberapa orang pengurus perusahaan datang. Dini yang berdiri tak jauh dari pintu masuk, merasakan tangannya dicolek oleh seseorang."Hai," sapa Dini pada pria yang mencolek tangannya. Pria dengan tinggi seratus tujuh puluh lima centi berkulit sawo matang itu berdiri di depannya, tersenyum dengan lesung pipi yang menambah manis wajahnya. Pria itu bernama Aditya."Kamu apa kabar? Hampir dua bulan aku gak main kesini, jadi kangen sama kamu."Dini tertawa terbahak-bahak. "Bercanda aja kamu, Dit. Kangen kan tinggal nyamperin.""Nanti kalau disamperin ada yang marah," ucap Aditya mengedipkan sebelah mata kemudian berjalan masuk dan duduk di salah satu kursi

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Cincin dan Gaun Pengantin

    Mereka kembali bertemu dengan Thomas sesuai janji beberapa waktu yang lalu. Untuk kali ini, sepulang kerja Dini dijemput oleh Bagas. Gadis itu langsung masuk ke dalam mobil hitam Bagas, setelah lima menit menunggu di pos satpam. Tak ada percakapan sepanjang perjalanan menuju tempat Thomas. Sekilas Dini melihat wajah Bagas sewaktu masuk ke dalam mobil, tampak sangat lelah."Tunggu, biar aku ambil payung sebentar," ucap Bagas. Ia turun lebih dulu dari mobil dan membuka pintu belakang mengambil payung. Ia berjalan dan membukakan pintu lantas merangkul pundak Dini lebih dekat dengannya, agar tetap berada di bawah payung yang sama dengannya.Tanpa basa basi, Bagas langsung meminta Thomas menjelaskan apa hasil negosiasinya dengan beberapa vendor yang telah mereka pilih, mulai dari vendor souvenir, undangan, dan gedung resepsi. Bagas terlihat sangat serius mendengar penjelasan Thomas, sementara Dini asyik membolak balik beberapa majalah yang ada di meja."Jadi semuanya deal ya, Mas?" Bagas m

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Sebelum Hari Bahagia

    Setelah meeting bersama vendor dan keluarga kedua belah pihak, semua persiapan sudah dipastikan telah siap sembilan puluh sembilan persen. Tinggal menunggu hari H nya saja. Undangan juga telah disebar ke semua keluarga dan teman. Teman-teman kantor Dini dibuat cukup terkejut, saat gadis itu membagikan undangan pernikahannya."Kamu ih, gak ada angin gak ada hujan, tiba-tiba udah mau merid aja.""Sama siapa sih, Din? Bagas Wiratmaja," ucap salah satu temannya sambil membaca isi undangan."Yaitu, Bagas Wiratmaja. Anak temen Papa aku.""Dijodohin?"Dini tersenyum. "Iya gitu deh.""Semoga langgeng ya. Pokoknya yang terbaik deh buat kamu.""Makasih ya," jawab Dini.***"Yang mau nikah." Suara yang sangat familiar terdengar di telinganya saat Dini tengah menunggu antrian di mesin ATM. Ia berbalik dan mendapati Aditya berdiri di belakangnya."Eh, Dit." Dini merogoh isi tasnya dan mengeluarkan undangan.Pria yang mengenakan kemeja berwarna biru muda itu menerima undangan yang diberikan Dini, m

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Hari Bahagia

    Riuh gemuruh suara tepuk tangan memenuhi ruangan yang luasnya kira-kira sepuluh kali luas rumah Dini. Semua orang yang berada di ruangan itu saling tersenyum dan mengucap syukur saat Bagas dan Dini dengan tegas dan mantap mengucap janji pernikahan. Disaksikan kedua belah pihak keluarga dan tamu yang datang, Bagas mengecup kening Dini dengan lembut, setelah mereka berdua saling bertukar cincin. Tampak beberapa teman dari Bagas dan juga Dini yang datang tak menyiakan kesempatan untuk mengambil foto selfie dengan pengantin, sebelum mereka menaiki panggung dan siap menerima setiap tamu yang datang.Tak dapat mengelak, Bagas begitu terpesona dengan penampilan Dini saat ini. Riasan wajahnya yang natural dan kebaya putih yang membalut tubuhnya, membuat Dini sangat cantik. Begitu pun sebaliknya. Di dalam hatinya, Dini berdecak kagum memuji ketampanan Bagas yang hakiki, mengenakan jas berwarna biru malam lengkap dengan dasi kupu-kupunya. Senyum mengambang di bibir keduanya saat menerima tamu y

Latest chapter

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Awal Yang Baru

    Menuruti keinginan Dini yang meminta untuk lebih lama menginap di rumah Mama, Bagas harus rela bolak balik apartemen untuk mengambilkan keperluan istrinya itu. Kalau dihitung, ini sudah hampir dua minggu mereka menginap di rumah Mama. Dan selama itu juga Bagas harus terima kalau tempat tidurnya masih di lantai.“Hati-hati di jalan ya,” pesan Papa dan Mama mengantarkan mereka pergi bekerja.Mengemudikan mobil merah milik Dini, Bagas mengantarkan istrinya ke kantor terlebih dulu.“Mobil kamu mana?”“Masih di bengkel,” sahut Bagas.“Bengkel?”“Iya. Penyok gara-gara ditabrak truk dari belakang,” sahut Bagas.Dini syok mendengar ucapan Bagas namun berusaha untuk menutupinya. “Terus?”“Ya masih di perbaiki. Kalau sudah kembali seperti semula, mobil itu mau aku jual.”“Kenapa kamu jual?” tanya Dini dengan senyum sinis.“Kamu kan gak mau lagi pakai mobil itu. Jadi buat apa? Tunggu mobil itu laku baru aku beli mobil baru lagi. Sementara kita pakai mobi

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Foto Di Koran

    Papa dan Mama sedikit menaruh curiga pada Dini, pasalnya saat Mama masuk ke dalam kamar Dini, Mama melihat sobekan bungkus obat tergeletak di atas meja.“Din,” panggil Mama.“Eh, Mama ngapain di kamar?” tanya Dini sedikit gelagapan. Ia tak mengira Mama akan masuk ke dalam kamarnya.“Kamu sakit? Ini bungkus obat apa?” tanya Mama sambil menunjukkan bungkus obat yang ia pegang.“Oh itu obat sakit perut, Ma. Dini kebanyakan makan sambel,” jawab Dini asal dengan wajah meyakinkan sambil mengambil bungkusan obat itu dan membuangnya ke tempat sampah.“Yang bener? Jadi kamu ini kamu gak masuk kerja?” tanya Mama lagi.“Iya, Ma. Dini izin sakit beberapa hari,” sahut Dini kemudian mengajak Mama keluar dari kamarnya.“Ya sudah kalau gitu. Mama mau mandi dulu.”“Mau makan malam apa, Ma? Biar Dini masak,” ucap Dini sebelum Mama masuk ke dalam kamar.“Gak usah. Nanti Bagas yang bawain makanan,” sahut Mama.“Bagas?” ulang Dini bingung.“Iya. Bagas sua

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Berdebat Dengan Bagas

    Terbangunkan karena merasakan keram di kakinya, Bagas mendengar suara agak berisik dari arah dapur. Meregangkan otot-ototnya, Bagas perlahan berjalan menuju sumber suara. Tampak Dini tengah mempersiapkan sarapan pagi.“Selamat pagi, Sayang,” sapa Bagas memeluk Dini dari belakang.“Jangan dekat-dekat, Gas. Hubungan kita sedang tidak baik-baik saja,” kata Dini mengacungkan sebilah pisau dapur yang sedang ia pegang.“Kalau itu yang kamu mau, aku pasrah,” kata Bagas tak melepaskan pelukannya.“Aku gak main-main, Gas,” ucap Dini masih mengacungkan pisau ke hadapan Bagas.“Aku juga gak main-main, Din. kalau hal itu bisa menebus semua kesalahan aku, aku rela,” kata Bagas.Tak main-main, Dini benar menusukkan ujung pisau itu ke tangan Bagas hingga menyebabkan luka kecil dan berdarah.“Lepas atau ini akan tambah dalam,” kata Dini dalam hati sudah mulai khawatir dengan Bagas.Perlahan Bagas mengurai pelukannya dan Dini melepaskan pisau itu dan melemparkannya ke

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Di Rumah Mertua

    Mengemasi barang-barangnya, Dini sudah diperbolehkan pulang sore ini. Ia menghubungi Mira hendak memberitahu kalau ia akan pulang ke rumah orang tuanya."Kamu sudah benar-benar sehat kan, Sayang? Mama gak bisa kesana sekarang, Papa kamu tiba-tiba aja gak enak badan," kata Mira asal. Ia sebenarnya bisa ke rumah sakit dari tadi, tapi Hendri melarang dengan alasan agar Bagas dan Dini bisa menyelesaikan masalahnya sendiri."Sudah enakan kok, Ma. Gapapa, Mama temenin Papa aja. Cepat sembuh ya buat Papa, Ma," kata Dini masih memberi perhatian padahal ia sendiri juga sedang tidak enak badan.“Iya, Sayang. Nanti Mama juga datang jengukin kamu,” kata Mira.“Iya, Ma. Dini tutup dulu ya,” ucap Dini mengakhiri panggilannya.“Kita pulang sekarang?” tanya Bagas yang juga sudah siap meninggalkan kamar rumah sakit.“Aku bisa pulang sendiri.”“Aku yang antar kamu, Din. Apa kata Mama nanti kalau kamu datang sendirian. Bawa barang banyak kayak gini lagi,” ucap Bagas.“Y

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Rumah Sakit

    Sepanjang malam Bagas menunggu di luar kamar karena Mira tak memperbolehkan ia masuk. Begitu melihat dokter dan beberapa perawat hendak masuk ke dalam, Bagas langsung beranjak dan mengikuti mereka masuk. Melihat itu, Mira tak mungkin langsung mengusir Bagas di depan dokter dan perawat.“Saya periksa dulu ya,” kata dokter itu ramah meminta izin untuk mengecek perut Dini.Meski sedikit tak enak, Dini tetap pasrah.“Masih ada keluhan?” tanya dokter itu lagi.“Gak ada sih, Dok,” sahut Dini dengan senyum tipis di bibirnya. Wajahnya sudah mulai cerah tidak pucat seperti kemarin.“Kalau gitu, nanti sore sudah bisa pulang ya,” ucap dokter itu sambil berjalan meninggalkan kamar Dini bersama satu perawat, sementara perawat yang lain memberikan obat untuk Dini.Begitu dokter dan perawat tadi telah keluar, Mira langsung berkacak pinggang menatap Bagas. Siap untuk menerkam anaknya itu.“Keluar,” kata Mira dengan jari telunjuk menunjuk ke arah pintu.“Ma,” lirih B

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Kehilangan Calon Buah Hati 2

    Seorang dokter lain yang melihat dokter yang menangani Dini tadi, menghampiri."Dok, pasien tadi siapa?""Dokter Wina," ucap dokter Ningsih, dokter yang menangani Dini tadi. "Pasien, ibu muda. Baru selesai kuret dan pengangkatan kista. Kenapa? Dokter Wina kenal?""Mirip sama menantu temen saya, Dok. Namanya siapa?""Andini Wijaya kalau gak salah. Dia kesini gak sama suaminya, diantar sama teman kerjanya. Saya duluan ya, Dok," ucap dokter Ningsih."Ia, Dok." Dokter Wina kemudian menghubungi Mira. Ia yakin benar kalau pasien yang dilihatnya sekilas tadi, adalah menantu dari Mira, teman arisannya.Alunan lagu legend yang dibawakan oleh penyanyi internasional kelas atas terdengar memenuhi setiap sudut ruangan kamar."Ma, ada telepon." Teriakan kecil Hendri yang tengah serius menatap layar ponselnya membuat Mira yang sedang berada di depan meja rias, sedikit terkejut."Angkat dong, Pa. Mama lagi tanggung nih," kata Mira dengan jari yang masih memoles cream malam ke wajahnya."Gak bisa, Ma.

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Kehilangan Calon Buah Hati

    Hari ini, Dini terpaksa lembur karena harus menyelesaikan laporan keuangan. Laporan yang akan disampaikan di rapat awal bulan yang jatuh di hari esok. Setelah menyimpan file dalam bentuk pdf dan mengirimkannya ke email atasannya, Dini bersiap pulang. Setelah hampir seminggu suasana di antara Bagas dan Dini tidak kondusif, kemarin mereka mulai kembali berbaikan. Dini merasa Bagas yang ia kenal dulu sudah kembali.Dini tetap memberi kabar pada suaminya akan pulang terlambat, seperti permintaan Bagas tadi pagi, meski tak ada balasan dari Bagas. Karena posisi akhir bulan, mungkin ia juga tengah lembur di kantor, pikirnya. Tak jauh dari kantornya, Dini menepikan mobil, dan berniat hendak membeli martabak kesukaan Bagas. Baru beberapa langkah meninggalkan mobilnya, Dini melihat mobil Bagas menepi.'Ih, sehati gitu' ucapnya dalam hati senang. Ia melangkah kaki lebih cepat agar bisa mengejutkan Bagas. Tangannya meraih pundak Bagas dan tersenyum. Namun senyum di bibir merahnya tak bertahan lam

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Pesan Sampah Dari Prita

    Bagas begitu terkejut saat terbangun dan tak melihat Dini di sampingnya. Mengenakan pakaiannya, ia segera keluar kamar dan mengecek keberadaan Dini."Kenapa dia malah tidur di sini?" tanya Bagas bingung melihat istrinya tidur di sofa. Ia berjongkok dan menatap wajah Dini dari dekat. Wajahnya terlihat sembab dengan mata yang sedikit bengkak."Din… Dini, kamu sakit, Sayang?" tanya Bagas memegang kening istrinya itu.'Gak demam kok' ucap Bagas dalam hati. "Din," kata Bagas membangun Dini. Ia menggoyang-goyangkan bahu Dini pelan.Membuka mata perlahan, Dini merasakan pedas pada matanya karena terlalu lama menangis semalam."Kamu kenapa tidur di sini?""Gapapa, Gas. Aku nonton film kemarin. Aku mandi dulu ya, Gas," ucap Dini tak semangat. Ia benar-benar tak tahu harus bersikap apa setelah tahu Bagas dulu melakukan hal itu dengan mantan pacarnya. Yang sekarang kembali lagi dan Bagas masih menemuinya. Mungkin saja hal itu akan Bagas ulangi lagi.Bagas

  • Malaikat Juga Tahu (Cinta Andini)    Kenyataan Pahit

    Setelah menunggu beberapa hari, akhirnya mobil yang Bagas belikan untuk Dini datang juga. Bagas sengaja meminta pada pihak showroom untuk mengantarkan mobil itu di hari sabtu, saat mereka sama-sama sedang libur. “Cantik banget,” goda Bagas saat melihat Dini telah siap dengan pakaian casual nya.“Ya udah ayo, nanti supermarketnya penuh. Ini kan akhir pekan,” kata Dini.Bagas sengaja mengajak Dini untuk keluar dengan alasan membeli beberapa bahan makanan, padahal ia ingin memberikan kejutan pada Dini. Mobil miliknya yang sudah terparkir di basement.“Buka mobilnya, Gas,” kata Dini siap untuk masuk ke dalam mobil Bagas.“Buka sendiri. Ini kuncinya,” ucap Bagas sambil menekan tombol yang ada pada kunci itu.Terdengar bunyi yang bukan berasal dari mobil Bagas.“Mobil punya kamu, Sayang,” kata Bagas memeluk Dini.“Yang bener” Dini bertanya balik tak percaya. Mata berkaca-kaca saking senangnya.Bagas mengangguk.Begitu semangatnya, Dini langs

DMCA.com Protection Status