Share

Di Cafe

Setelah menyelesaikan laporan pengeluaran pengiriman barang dan mengirimkannya via email pada atasannya, Dini merapikan meja kerjanya dan bersiap pulang. Hari ini ia mengendarai motor, karena mobil yang biasa dipakainya tengah masuk bengkel. Baru saja keluar dari gerbang kantor, Dini melihat ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada kendaraan lewat. Saat telah menyatu dengan keramaian jalanan, sebuah mobil dengan kaca jendela terbuka berhenti tepat di dekatnya.

"Kamu ngapain?" tanya Dini sambil membuka kaca helmnya.

"Kamu ikut sama aku aja," ucap Bagas dari dalam mobilnya.

"Motor aku diapain? Kita ke cafe depan sana aja," usul Dini yang langsung diiyakan oleh Bagas.

Dengan mengendarai motornya, sudah pasti Dini lebih dulu sampai dibandingkan Bagas. Lima menit kemudian Bagas tiba juga di cafe. Mereka berdua masuk dan mengambil posisi duduk di tengah ruangan cafe yang kebetulan keadaannya sedang tidak terlalu ramai.

"Mendadak kok kamu bisa ada di depan kantor aku?" tanya Dini seraya mengembalikan buku menu pada pelayan cafe.

"Sebenarnya bukan mendadak sih, aku memang sudah berencana mau ketemu kamu, tapi kan kita belum tukar nomor ponsel. Jadi aku gak tahu harus ngubungin kamu kemana," kata Bagas seraya menyodorkan minuman berwarna hijau yang dipesan Dini.

"Oh iya, kemarin kita ngobrol cuma sebentar aja dan belum sempat tukaran nomor. Memang ada apa kamu mau ketemu sama aku?" Dini menyeruput minumannya.

"Kamu simpan dulu nomor ponsel aku," ucap Bagas seraya menyodorkan selembar kartu namanya. Kening Dini berkerut saat membaca isi kartu nama yang disodorkan Bagas.

"Ckckckck." Dini berdecak seraya menggelengkan kepalanya. "Ternyata kamu pemilik ini?" Dini menunjuk nama perusahaan yang ada di kertas itu.

"Iya. Kenapa memangnya?" Bagas tak kalah bingung.

"Tahun kemarin aku pernah mengirim lamaran kerja di perusahaan kamu."

"Masa? Kok aku gak ingat ya? Biasanya semua pelamar pasti ketemu sama aku."

"Gimana kamu mau ingat, ngeliat muka aku aja kamu enggak. Aku masih ingat, kamu bilang kalau kamu gak terima orang yang gak ada pengalaman. Setelah itu kamu langsung nyuruh aku pergi," cerita Dini sedikit dongkol.

"Ya ampun, aku minta maaf soal itu." Bagas merasa tak enak.

"Udah lewat. Lagian sekarang aku juga sudah kerja." Sahut Dini.

Sambil menikmati makanan dan minuman yang mereka pesan, Bagas dan Dini menceritakan diri mereka secara bergantian. Dini membagikan cerita hidupnya, hingga ia bisa ada seperti sekarang ini. Tak ada yang ditutup-tutupinya mengenai kenyataan bahwa ia adalah anak angkat dari orang tuanya sekarang. Bagaimanapun juga Bagas harus tahu kebenaran itu dari mulut Dini sendiri. Walaupun ia yakin pasti orang tua Bagas telah lebih dulu menceritakan asal usul Dini. Sementara Bagas, ia hanya menceritakan sedikit tentang dirinya. Dari sekolah hingga tamat kuliah, dan berlanjut bekerja di perusahaan orang tuanya. Ia sama sekali tak berniat untuk menceritakan kisah asmaranya. Ya, Bagas merasa itu tak penting untuk diketahui Dini. Karena dengan menceritakan hal itu, artinya ia harus membuka memori lama yang telah ditutupnya.

Obrolan mereka yang mulai nyambung, membuat waktu tak terasa telah berlalu. Dua jam mereka berada di cafe itu, tak terasa langit di luar mulai berubah warna. Senja mulai menyapa.

"Iya sebentar lagi Dini pulang, Ma," jawab Dini pada sambungan telepon Mama.

"Kamu dicariin orang rumah?"

"Iya. Lupa ngasih tahu Mama kalau aku pulang telat. Kalau gitu, aku duluan ya."

"Iya. Hati-hati ya. Kamu sudah simpan nomor ponsel aku kan?" tanya Bagas memastikan.

"Sudah. Sudah aku chat juga kok. Cek aja ponsel kamu."

"Sudah, biar aku aja yang bayar," ucap Bagas saat melihat Dini tampak mengeluarkan dompetnya.

Dini tersenyum, kemudian pamit dan berlalu dari hadapan Bagas. Ia masih berada di sana sekitar sepuluh menit setelah Dini pulang. Mengecek ponselnya dan menyimpan nomor ponsel Dini.

'Lumayan. Manis, enak dipandang. Orangnya juga asyik diajak ngobrol. Sudah saatnya aku membuka hati' batin Bagas seraya beranjak dari kursi dan berjalan menuju meja kasir.

***

Sesampainya di rumah, Dini disambut oleh Mama dan juga Mira yang tengah berbincang serius di ruang tamu.

"Tumben pulangnya lama, Din?" tanya Mama.

"Tadi baru ketemu sama Bagas, Ma," ucap Dini yang kemudian menyapa Mira seraya duduk tak jauh dari Mama.

"Kalian ketemu?"

"Iya, Tante. Tadi ketemu di cafe seberang kantor," kata Dini. Dini melihat beberapa kertas yang dipegang Mira. Kertas yang berisikan beberapa contoh kain. Sepertinya Mama dan Mira sedang berdiskusi dalam memilih kain untuk baju mereka.

"Tante sama Mama lagi milih warna dan kain yang cocok untuk acara kalian nanti," terang Mira ramah.

"Semua kelihatannya bagus, Tante," jawab Dini.

"Iya, Din. Mama sampai bingung mau yang mana."

"Iya. Tante juga bingung mau yang mana. Kalau menurut Dini, yang mana kira-kira cocok buat Tante sama Mama? Yang bisa bikin kita berdua terlihat awet muda," ucap Mira yang diikuti gelak tawa Mama. Dini berdiri dan berpindah duduk lebih dekat dengan Mira agar bisa melihat jelas beberapa contoh kain yang ada di tangannya. Sejenak ia terdiam, sementara bola matanya sibuk menatap contoh-contoh kain yang ada pada kertas di depannya.

"Kalau Dini, kayaknya warna gold ini cocok deh. Lagi ngetren kan sekarang. Tapi terserah Tante sama Mama juga sih," usul Dini.

"Ide yang bagus. Nanti kita tinggal cari model kebayanya kan, Bu," ucap Mira, menatap Mama penuh semangat.

"Iya, Bu Mira. Nanti sambil cari model kebaya di internet," timpal Mama.

"Di media sosial banyak model kebaya yang bagus-bagus. Betul kan, Din?"

"Iya, Tante. Nanti sambil Dini coba bantu cari model kebaya yang cocok ya," ucap Dini. Setelah saling menyimpan nomor ponsel, Mira pamit pulang.

Di kamarnya, Dini yang baru saja ingin melepas penat, harus kembali terjaga dan membuka laptopnya. Menatap layar laptop dengan mata setengah mengantuk dan mengecek email masuk dari atasannya. Selesai mendownload lampiran yang dikirim atasannya itu, Dini membuka dan membaca isinya. Sebuah tagihan yang harus dibayarkan kepada salah satu rekanan notaris kantornya.

"Ya ampun. Tagihan sebanyak ini kenapa harus dikirim malam-malam begini sih? Gak tahu orang ngantuk apa!" Serunya kesal. Dengan kedua mata yang hanya memiliki daya lima watt, Dini harus super teliti melihat angka-angka yang tersaji di layar laptopnya itu. Pekerjaan yang biasanya tak memerlukan waktu lama bila dikerjakan dengan keadaan sadar, kini harus memakan waktu dua kali lipat karena kesadaran Dini yang mulai menurun akibat menahan kantuk.

"Malam, Pak. Tagihannya sudah saya email balik ke Bapak ya," ujar Dini dengan nada suara tak bersemangat di ujung telepon. Sementara orang di seberang sana yang menerima telepon Dini bingung.

"Tagihan apa? Kamu salah sambung ya?" tanya orang itu bingung. Dini mengucek-ngucek matanya sambil menatap layar telepon. Kantuknya tiba-tiba hilang saat melihat nama yang tertera di layar ponselnya. Yang seharusnya ia menghubungi atasannya yang bernama Hasan, ia malah menghubungi Bagas. Dini salah menekan tombol telepon karena nama Bagas berada di atas nama atasannya itu.

"Maaf ya, aku salah telepon."

"Kamu lembur? Jam segini masih ngerjain tagihan kantor?" tanya Bagas.

"Nggak lembur juga sih. Cuma mendadak harus ngecek tagihan yang mau dibayar ke notaris."

"Oh. Kalau kerjaan kamu sudah selesai, langsung tidur ya, sudah malam gini."

"Iya. Makasih ya." Dini memutus sambungan teleponnya. Ia tertegun sejenak menatap ponselnya. Merdu suara Bagas di telepon terngiang di telinganya. Ucapan ringan penuh perhatian tadi langsung merasuk ke jaringan otaknya, menciptakan suasana bahagia.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status