Pagi ini Dini baru saja selesai merapikan ruang tamu, sementara Mama sedang menyiapkan masakan untuk menyambut keluarga calon suaminya. Ya, calon suami yang ia sendiri pun belum pernah bertemu. Jangankan bertemu, namanya saja wanita berambut sebahu dengan kacamata berbingkai coklat itu tak tahu. Melangkahkan kaki, Dini menghampiri wanita paruh baya yang tengah memasak di dapur.
"Sudah selesai beres-beresnya, Din?" tanya Mama saat menyadari kehadiran Dini. "Sudah, Ma." Senyum manis mengambang dari bibir Dini seraya duduk di kursi. Dipandangnya Mama dengan tatapan sayang. Gadis itu baru setahun ini tahu bahwa ia bukanlah anak kandung dari Tria Wijaya dan Yan Wijaya, orang tua yang selama ini membesarkannya. Meski bukan anak kandung, tapi kasih sayang kedua orang tua angkatnya itu begitu besar padanya. Apalagi Yan Wijaya yang tak pernah sekalipun menolak setiap permintaan Dini. Namun, karena hal itu juga membuat Dini tak bisa menolak permintaan Papa yang ingin melihat Dini menikah dengan pria yang telah dipilihnya sendiri. "Andini Wijaya, ayo cepat kamu siap-siap. Pakai baju yang sudah Papa belikan kemarin ya," ucap Papa membuyarkan lamunan Dini. "Astaga, Din. Mama kirain kamu sudah mandi. Ayo cepet, kamu kan mandinya lama." Timpal Mama. "Iya, iya," sahut Dini beranjak dari kursi lantas meninggalkan Papa dan Mama di dapur. Mama kemudian memindahkan masakan yang baru saja selesai dimasak ke dalam wadah kaca yang telah tersusun rapi di meja makan. "Papa yakin sama calon suami Dini?" tanyanya untuk kesekian kali. Pasalnya Mama baru beberapa kali bertemu dengan bakal calon menantunya itu di kantor suaminya. Tampak luar memang oke tapi dalamnya siapa yang tahu. "Yakin lah, Ma. Kalau gak yakin ngapain Papa mau jodohin dia sama anak kita? Orang tua dan keluarganya juga jelas, Mama kan sudah kenal? Bibit bebet bobotnya gak perlu diragukan lagi. Ayo siap-siap." Papa mengajak Mama masuk ke kamar untuk bersiap-siap. *** Melihatnya untuk pertama kali, pria yang lebih tinggi lima belas senti darinya, mengenakan batik lengan panjang berwarna cokla. Sorot mata yang tajam, rahang tegas yang ditumbuhi jambang, serta hidung yang lumayan mancung, membuat Dini berdecak kagum sekaligus bingung dalam hatinya. Pria yang sangat menarik ini, bagaimana mungkin mau dengan perjodohan. Lantas, bagaimana dengan kesan pria itu untuk Dini? Sama saja, saat melihat wanita yang akan dijodohkan dengannya berjalan, mengenakan baju berwarna biru awan dengan rambut pendek yang di curly bagian bawahnya. Senyum yang membingkai wajahnya sukses membuat lesung pipi Dini terlihat sangat manis. Pria itu memperhatikannya dari atas sampai bawah secara diam-diam. “Tak buruk,” batin pria itu. Kedua orang tua masing-masing kemudian saling memperkenalkan anak-anak mereka. "Sekarang Dini kerja di mana?" tanya wanita paruh baya di depannya yang telah memperkenalkan diri sebagai ibunya Bagas, Mira Wiratmaja. "Di perusahaan ekspor impor, Tante," sahut Dini singkat. "Gas, kamu ajak Dini duduk di teras depan gih," suruh ayahnya Bagas, Hendri Wiratmaja. Dengan lirikan kecil, Bagas mengikuti perintah Hendri. Sementara para orang tua berbicara serius, Dini mengekor Bagas yang berjalan lebih dulu menuju teras depan. Agak kikuk. Bukan kikuk lagi ini sih, ini namanya canggung. Mereka berdua sama-sama baru pertama kali bertemu dan bingung memulai percakapan dari mana. "Jadi kenapa kamu mau dijodohkan?" Pertanyaan pertama yang memecah keheningan pagi menjelang siang itu. "Gak ada alasan buat aku untuk menolak permintaan orang tua, yang sudah memberi kehidupan yang lebih baik untukku. Menyenangkan hati dan berbakti sama mereka, cuma itu yang bisa aku lakukan." "Sampai harus merelakan sebagian hidup kamu untuk menjalani pernikahan perjodohan ini?" Dini menaikkan kedua pundaknya. "Pilihan orang tua pasti yang terbaik. Tapi kalau memang pada akhirnya ternyata salah, itu artinya memang jalan hidup yang harus aku jalani." Jawab Dini. "Lantas kamu sendiri kenapa menerima perjodohan ini?" Gantian kini Dini yang menanyakan alasan Bagas. "Aku terlalu sibuk bekerja, sampai gak terlintas dalam pikiran untuk mencari pasangan. Makanya aku ikut aja dengan apa maunya orang tua." "Tapi kamu tertarik dengan lawan jenis kan?" tanya Dini yang membuat mata Bagas melotot. "Kamu pikir aku apa? Gak normal?" "Kan yang punya diri, kamu," ucap Dini. Sayang keseruan perbincangan yang baru saja terbangun, harus terhenti akibat panggilan dari dalam untuk bergabung makan siang di ruang makan. Tepat pukul empat sore, Bagas dan keluarganya pamit pulang. Begitu mobil hitam yang dikendarai oleh Bagas dan keluarganya pergi, Dini langsung dicecar pertanyaan oleh Mama dan Papa. "Dini sih gimana baiknya Papa sama Mama aja," sahut Dini. "Tapi kalau kamu gak yakin sama dia, kamu masih bisa mundur kok." "Dini yakin pilihan Mama sama Papa yang terbaik." Dini tersenyum simpul. Jujur saja, pertama kali melihat Bagas ia sudah suka. Suka tapi belum ada perasaan apa-apa. Hanya sebatas suka saja. "Ya sudah, kalau kamu memang gak menolak perjodohan ini, Papa sama Mama sangat senang. Jadi kami tidak khawatir lagi kamu akan salah pilih pasangan hidup," ucap Yan sambil memeluk putrinya itu. Sementara itu, Bagas juga dicecar pertanyaan yang sama oleh kedua orang tuanya. "Dia masih masuk selera kamu kan, Gas?" tanya Mira pada Bagas yang fokus menatap jalan di depannya. "Mama, apaan sih? Emang Mama tahu selera Bagas kayak apa?" "Tahu lah, makanya sampai sekarang kamu belum move on." "Gak usah bahas masa lalu deh, Ma," ucap Bagas yang diiringi gelak tawa Hendri. "Gas, kamu gak usah ragu sama Dini. Mama sama Papa pasti memilihkan jodoh yang terbaik buat kamu. Satu hal yang kamu harus ingat ya, kalau kamu benar menerima perjodohan ini, Papa harap kamu tidak menyakiti istri kamu itu nantinya." Hendri menatap Bagas. "Kamu satu-satunya anak Papa sama Mama, semua yang kamu inginkan pasti kamu dapatkan. Papa juga gak pernah melarang kamu melakukan hal yang kamu sukai. Tapi untuk kali ini-" Bagas langsung memotong omongan Hendri. "Papa sama Mama tenang aja. Bagas bakal ikuti keinginan Papa sama Mama." "Janji ya?" Mira mencoba memastikan lagi ucapan anaknya itu. "Iya, Ma. Bagas gak bakal hidup di masa lalu." Mira tersenyum seraya menarik nafas lega mendengar ucapan Bagas. Bagaimanapun juga, Mira tak ingin Bagas masih mengingat cerita lamanya. Ya, cerita lama yang membuat hancur hidup anak semata wayangnya itu. Bersama menjalin kasih sepanjang kuliah dan berjanji menikah, merintis bahtera rumah tangga dengan wanita yang dicintai, ternyata hanya khayalan saja. Wanita yang dicintai Bagas itu memilih untuk meninggalkan Bagas dan pergi dengan lelaki yang lebih ber-uang. Mira menyaksikan sendiri bagaimana terpuruknya Bagas hingga melakukan hal-hal nekat di luar kendali. Sepanjang waktu dihabiskannya untuk terus berada di sisi Bagas, sementara Hendri, suaminya tengah sibuk dengan usaha yang mulai berkembang pesat saat itu. Hingga akhirnya Bagas bisa melewati masa tersulit di hidupnya dan fokus dengan usaha keluarga yang sekarang telah dipegangnya. Saking fokusnya, sampai-sampai ia tak berpikir untuk memiliki pasangan sendiri.Setelah menyelesaikan laporan pengeluaran pengiriman barang dan mengirimkannya via email pada atasannya, Dini merapikan meja kerjanya dan bersiap pulang. Hari ini ia mengendarai motor, karena mobil yang biasa dipakainya tengah masuk bengkel. Baru saja keluar dari gerbang kantor, Dini melihat ke kiri dan ke kanan memastikan tak ada kendaraan lewat. Saat telah menyatu dengan keramaian jalanan, sebuah mobil dengan kaca jendela terbuka berhenti tepat di dekatnya."Kamu ngapain?" tanya Dini sambil membuka kaca helmnya."Kamu ikut sama aku aja," ucap Bagas dari dalam mobilnya."Motor aku diapain? Kita ke cafe depan sana aja," usul Dini yang langsung diiyakan oleh Bagas.Dengan mengendarai motornya, sudah pasti Dini lebih dulu sampai dibandingkan Bagas. Lima menit kemudian Bagas tiba juga di cafe. Mereka berdua masuk dan mengambil posisi duduk di tengah ruangan cafe yang kebetulan keadaannya sedang tidak terlalu ramai."Mendadak kok kamu bisa ada di depan kantor aku?" tanya Dini seraya menge
Malam minggu ini, Bagas meminta izin pada orang tua Dini untuk mengajak calon istrinya itu keluar. Datang di pukul lima sore, setelah berbincang sebentar dengan orang tua Dini di ruang tamu, mereka lantas pergi meninggalkan rumah saat jarum jam menunjuk ke angka sembilan. Mengenakan terusan di atas lutut berwarna maroon, dipadukan dengan sepatu teplek berwarna coklat, membuat tampilan Dini sangat manis malam ini. Mereka menuju salah satu tempat hangout yang selalu ramai di setiap malamnya. Meski merasa sedikit terganggu dengan bisingnya suara musik yang memenuhi ruangan, Dini berusaha tetap menikmati acara makan malam itu."Kamu masih mau di sini?" tanya Bagas saat melihat Dini menutup sendok dan garpunya di atas piring yang telah kosong. Dini menggeleng pelan."Oke. Kita keluar dari sini." Bagas bangkit berdiri diikuti Dini setelah selesai membayar tagihan makan mereka."Aku baru kali ini datang ke tempat itu dan ternyata tempat itu biasanya, beda sama yang orang bilang," ucap Dini s
Di sabtu pagi yang cerah ini, setelah Dini selesai sarapan pagi bersama kedua orang tua, Bagas yang berjanji akan menjemputnya di pukul setengah sembilan pagi, baru datang sejam kemudian. Dari pesan yang dikirimnya, Bagas harus mengantar orang tuanya ke bandara pagi-pagi karena ada acara keluarga di kota Balikpapan."Maaf ya telat," ucap Bagas saat sampai di rumah orang tua Dini."Gak apa-apa," sahut Dini. Mama dan Papa yang baru datang dari ruang makan, ikut bergabung di ruang tamu. Basa basi Mama menawarkan sarapan pagi pada Bagas yang ternyata disambut senang oleh Bagas, karena memang ia belum makan dan sedang lapar saat ini."Dini, ayo temenin Bagas makan." Perintah Mama."Ayo, Gas, anggap rumah sendiri aja," sambung Papa."Iya, Om." Bagas mengikuti Dini berjalan menuju ruang makan. Ia mengambilkan piring dan melayani Bagas. Menyendokkan nasi dan meletakkan beberapa lauk di piring makan Bagas."Udah, udah. Entar aku kekenyangan terus jadi ngantuk," ucap Bagas sebelum Dini lebih ba
Bagas baru saja sampai di rumah setelah seharian bekerja, Bagas berniat untuk langsung masuk ke kamar. Namun, saat Mira melihat anak semata wayangnya itu, ia yang tengah memegang kalender segera beranjak dari kursinya dan menghampiri Bagas dengan langkah cepat."Gas, ayo duduk sama Mama dulu," ajak Mira. Menggandeng tangan Bagas dan menariknya duduk di ruang tengah. Jari tangan Mira menunjuk beberapa angka di kalender meja yang di pegangnya dan meminta pendapat untuk tanggal bersejarah anaknya nanti."Kalau Mama sudah jahit baju dan pilih-pilih tanggal kayak gini, artinya kamu harus cepat nentuin kapan kamu menghalalkan Dini." Hendri datang dengan wajah segar dan rambut sedikit basah, baru selesai mandi."Iya Pa, Ma. Bagas yang terbaik aja. Mama mau tanggal berapa? Biar nanti Bagas sama Dini atur sama wedding organizer nya," kata Bagas. Mira kemudian menunjuk satu tanggal di dua bulan ke depan. Tak ada sanggahan, Bagas mengiyakan ucapan Mira. Ia kemudian beranjak dari ruang tamu dan m
Entah apa yang di membuat Dini begitu bersemangat hari ini. Akhir pekan yang sangat dinantikannya, sejak mentari belum bersinar. Setelah mencuci wajah dan merapikan rambutnya, gadis itu keluar rumah kala langit masih gelap. Dini jogging berkeliling komplek rumah sekitar setengah jam, membuat tubuhnya dibanjiri keringat. Dengan nafas yang masih sedikit ngos-ngosan, ia beristirahat sambil meluruskan kakinya di teras rumah."Tumben kamu jogging, Din?" tanya Papa yang sedari tadi sudah asyik menyiram tanaman."Biar fresh, Pa. Udah lama juga gak olahraga," sahut Dini menyapu peluh yang mengalir di keningnya dengan tangan."Jadi hari ini jalan sama Bagas?" Mama datang dari dalam sambil membawakan segelas teh untuk Papa yang diletakkannya di meja kecil teras."Iya, Ma. Mau ketemu Thomas, staff wedding organizer. Dia nanti yang bantuin ngurus ini itu waktu acara.""Mama perhatiin, dari kemarin kamu bawaannya bahagia banget. Sebelum tidur Mama lihat kamu maskeran, hari ini jogging. Mau ketemu