“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.
“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.
“ Nanti beliin aku ice cream ya?”
Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.
Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan luka di kakinya. “ Ini sudah jatuh yang ke delapan kalinya dalam mingu ini Fris?”
“ Salah. Ini udah yang ke sepeluh kalinya.” Friska memamerkan sebuah plester baru di sikunya.
“ Kamu jatuh dimana lagi? Kok aku gak tau?”
“ Tentu saja Adit gak tau. Aku jatuh saat mengambil buku di kamarnya bang Tama. Ini juga bang Tama yang masangin. Plesternya bagus, bang Tama memang keren. Aku suka.”
Aditya tercenung melihat ekspresi Friska. Ia tampak bersemangat dengan matanya yang berbinar-binar. Sudah jadi rahasia umum kalau gadis kecil didepannya ini sangat menyukai kak Tama yang merupakan abang dari Ferdi, sahabat karibnya. Dia akan berubah menjadi anak penurut jika berada di dekat Tama.
“Saat aku dewasa nanti, aku akan menikah dengan bang Tama.” Mominya yang mendengar penuturan gadis kecilnya siang itu hanya tertawa terkekeh-kekeh. Ferdi malah tertawa mengejek.
“ Mana mau kak Tama menikah dengan gadis berandalan seperti kamu.”
Friska yang kesal menimpuk Ferdi dengan bantal yang tengah dipangkunya.
“Sudah-sudah, gak usah bertengkar.”ujar om Pram melerai anak dan keponakannya. “Mending kamu tanya sama Tama, apa dia mau menikah dengan kamu?”
“Sudalah mas, jangan menyulut api seperti itu.” Ujar tante Yana.
“Aku mau kok nikah sama Friska.” Perkataan Tama sukses membuat semua keluarga tercenung. Aditya memandang Tama dengan jengkel. Laki-laki ini bakalan merebut gadisku. “Loh, kenapa semuanya memandangiku dengan wajah seperti itu? Gak ada yang salahkan jika aku menikah dengan Friska?”
“Tentu saja salah sayang, kamukan sepupunya Friska.” Ibunya Aditya ikut bersuara.
“Besok, kalau aku sudah dewasa. Aku akan membatalkan diri menjadi sepupunya Friska, supaya aku bisa menikah dengannya,” ujar Tama.
Tak mengindahkan ocehan Tama, pertemuan siang itu membuat yang hadir tak hentinya memegang perut karena tertawa. Mereka hanya menganggab itu sebagai ucapan main-main dari seorang bocah laki-laki yang masih berumur sepuluh tahun. Sementara usia Friska belum genap berumur lima tahun.
“Aditya, ayo cepatan. Kamu bisa telat.” Friska mengejutkan Aditya yang sedari tadi melamun, mengenang kejadian beberapa bulan lalu.
Ω
Aku mencoba membuka mataku yang terasa sangat berat, samar-samar aku mendengar suara Ferdi yang tengah mengobrol dengan seseorang yang suaranya tidak asing lagi bagiku, pemilik mata Elang.
“Lo udah bangun? Lo napa sih, baru juga hari pertama udah pingsan gimana mau sekolah di sini?. Untung saja tadi,-”
“Diam lo cerewet! bentakku kesal. “Bukannya kawatir malah di omelin lagi, udah kayak mak gua aja lo.”
Ferdi terbahak-bahak mendengar ucapan gadis kecilnya, ya baginya Friska tetaplah seorang gadis kecil. Gadis yang dulu setiap harinya merengek-rengek minta ini dan itu kepadanya dan juga pada sahabat karibnya. Gadis nakal yang selalu terjatuh setiap saat. Sampai-sampai tubuhnya penuh dengan plaster. Dan Adytia akan denga senang hati menyediakan sekotak penuh plaster didalam tasnya atau sakunya.
Tapi, gadis ini akan sangat berbeda begitu berada di hadapan kakaknya, Tama. Ia akan berubah menjadi gadis penurut dan manis. Apapun yang dikatakan Tama pasti akan segera dikerjakannya. Dan Tama tidak akan membutuhkan waktu lama untuk menaklukkan keberingasan gadis nakal ini.
“Memangnya ada yang lucu? Ujar Friska cemberut.
“Ya deh adik manis, sori-sori. Gua bakalan serius. Gua ngak habis pikir aja, kenapa lo bisa pingsan? belom juga 30 menit semenjak bel berbunyi. Hahahaha…katanya lo jagoan. Belum juga sehari udah keder aja,” ujarnya lagi.
Friska yang kesal karena diledeki terus langsung bangun, gadis itu mengambil bantal yang tadi digunakannya untuk tidur dan langsung melempari abangnya.
“Ops….ada yang marah ni”
Friska acuh tak acuh. Tanpa meladeni lagi ejekan abangnya, gadis manis itu langsung beranjak meninggalkan ruangan UKS melewati malaikat bermata Elang. Ferdi langsung menyusul.
Ω
Bego amat sih gua, umpat Friska pada dirinya sendiri sepanjang perjalanan pulang. Ia memilih untuk berjalan kaki ke rumahnya menghindari abangnya yang sepanjang siang tak berhenti meledeknya gara-gara kejadian pagi ini. Friska masih jengkel sama abang sepupunya. Kok bisa-bisanya gua pingsan hanya karena sebangku dengan malaikat Elang? di hari pertama sekolah lagi. Oh God, I think I am mad.
“Ti….t. Ti….t” suara klakson mobil mengejutkan Friska, spontan saja gadis tomboy itu terlompat ke pinggir dan “Byu…r”. Friska mendarat dengan indah di dalam selokan. “MOMI…, teriaknya histeris. Mobil segera berhenti dan pemiliknya langsung bergegas keluar, berlari ke selokan tempat Friska nangkring.
“Sori Fris, gua ngak sengaja”. Suara ini sepertinya gue kenal deh, Friska menengadah. Tuh kan benar, siapa lagi kalau bukan malaikat Elangnya. Mau apa sih nih orang? Tanpa mengindahkan uluran tangannya Friska berdiri dan berjalan meninggalkannya.
“Fris, gue benar-benar minta maaf. Gua bakalan tanggungjawab,-“
Friska menatap geram kearah pemuda itu. “ Lo maunya apa sih? Perasaan gue, setiap lo ada didekat gue ada aja yang menimpa gue. Gue selalu aja sial. Gue jadi parno lihat lu tau ngak?.”
“Ya gue tau , gue minta maaf soal itu. Gue juga ngak sengaja, lu nya aja kali yang jalan sambil bengong tadi, perasaan gue biasa aja bunyiin klaksonnya.”
“Jadi lo mau nyalahin gue soal kejadian gue masuk got gara-gara klakson mobil lo itu?” Friska tak mau mengalah, meskipun ia juga yakin kalau cowok bermata Elangnya gak salah.
“Lah, trus siapa lagi yang mau disalahin? Kan gue udah minta maaf tadi. Lagian itu juga bukan kesalahan gue sepenuhnya kayaknya deh. Kalau aja lo tu jalan ngak sambil bengong gitu, lu juga gak bakalan nyemplung ke got.”
“Bodoh amat, pokoknya lo yang salah, bukan gue”. Friska meninggalkan Rafka yang hanya bisa geleng-geleng kepala melihat tingkahnya yang seratus persen kekanak-kanakan.
“Benar-benar gadis keras kepala.”
Friska bahkan tidak peduli dengan pandangan orang-orang yang di lewatinya yang heran melihat seluruh pakaiannya bergelimang lumpur dan mengeluarkan bau busuk. Ia sendiri bahkan tidak menyadari bau busuk yang bersumber dari tubuhnya sendiri. Keasikan mengomel membuatnya lupa.
“FRISKA…” teriak Ferdi dari ambang pintu rumah. “Lo kok ngilang aja sih dari sekolah? Ngak bilang-bilang gue lagi. Lu masih marah ya sama gue? Lo kayak anak kecil aja deh. Lo-”. Ferdi tercenung sejenak melihat Friska. “Buset dah lo, kenapa nih pakaian lo, abis bajak sawah neng? Bau lagi, mandi sana gih.” Tanpa menjawab satu pun pertanyaan Ferdi, Friska meninggalkan abangnya yang cerewet itu
Ω
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan