Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta.
“Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi.
“Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama.
“Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?”
“Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.”
“Whatever,-“
“Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan minta tolong dari abangnya.
“ Rasain lu, makan tu cewek-cewek centil itu.” Tiba-tiba sebuah tangan merangkul leher Friska. Bau khas dari parfum dari pemilik tangan melegakan hatinya. Entah mengapa, perutnya terasa hangat seolah di aliri perasaan yang nyaman. Ia mendongak mendapati senyum indah dari malaikat Elangnya.
“Pagi nyonya besar. Kenapa? Belum juga Matahari terbit semuanya, lo udah manyun-manyun gitu. Ntar Mataharinya enggan memberikan sinar cerahnya lagi.” Bukannya menjawab, Friska malah menghadiahkan senyum termanis yang dia punya kepada malaikatnya. Bahkan seingatnya, belum pernah dia tersenyum semanis itu kecuali dulu pada Kak Ditya.
“ Nah, gitu donk. Kalo kayak ginikan pipi lo tambah tembem.” Rafka malah usil menjewer pipi Friska yang membuat gadis itu kembali cemberut.
“Lo mah, keranjingan banget sama pipi gue. Lo kira bakpau apa?” Rafka tertawa renyah menanggapi Friska.
“ Eh, lo udah bikin tugas Kimia belom? Pinjemin gue. Semalam gue ketiduran.” Rafka mengalihkan topik pembicaraan mereka pagi itu.
“Dasar lo. Pantesan aja lo baik sama gue pagi ini, ternyata ada motiv terselubung.” Sekali lagi pemuda itu hanya tertawa, menerima buku tugas yang di sodorkan Friska. Padahal dia sendiri sudah mengerjakan tugas itu jauh-jauh hari. Hanya sebagai alasan agar bisa lebih dekat dengan gadisnya.
Rafka melamun seraya memandangi wajah cantik Friska. Ah, andai kamu tau Fris. Aku ini Ditya. Kenapa kamu bisa gak ngenalin aku Fris? Padahal kamu sendiri yang janji sama aku, agar aku nungguin kamu. Aku masih di sini. Berharap kamu ngenalin aku saat kamu kembali. Tapi nyatanya, kamu sama sekali gak inget sama aku. Tapi sudahlah Fris, bisa dekat sama kamu saja sudah membuatku senang. Walaupun kamu nganggab aku sebagai orang lain. Rafka menghela nafas panjang.
Keasyikan melamun, ia tidak sadar kalo pak Joko sudah berada di puncak hidungnya dari tadi. Padahal Friska sudah berkali-kali mengisyaratkan kehadiran guru pelajaran Kimianya yang terkenal killer itu.
“ RAFKA... kamu dengar saya tidak?” Suara berat pak Joko memecah keheningan pagi itu. Semua siswanya tak ada yang berani bergerak. Bahkan Gatot yang duduk di paling pojok yang biasanya tidur, langsung terbangun dalam posisi siap. Sementara si empu biang kerusuhan di pagi itu, langsung gelagapan menghadapi kemarahan si Singa padang pasir .
“Oh..eh..anu pak..saya,-“
“Ah ..eh, ah..eh. Cepat kamu berdiri, lari 20 kali putaran di lapangan. Tidak boleh berhenti sma sekali, kalo sampai saya liat kamu berhenti sekali aja. Kamu harus mengulang hitungan dari awal.”
“Siap pak.” Tanpa ba..bi.bu, Rafka langsung meluncur ke lapangan.
“ Dasar, mau jadi apa bangsa, kalo pemudanya sendiri pagi-pagi udah melamun. Kayak kematian ayam tetangga aja.” Beberapa murid tersenyum-senyum menanggapi ucapan pak Joko, berusaha menahan tawa. Kalo saja, guru yang satu ini tidak terkenal sebagai orang yang kiler, dengan perkataannya tadi, tentu saja dapat membuat seisi kelas tertawa terbahak-bahak.
Friska memandang keluar jendela, ke arah lapangan. Tampak Rafka, benar-benar kehabisan nafas. Padahal baru tiga kali putaran. Tiba-tiba ingatannya melayang kepada 12 tahun lalu.
Ia merasa seolah melihat kak Aditya di dalam diri Raditya atau yang lebih familiar dengan panggilan Rafka. Ia ingat saat bocah itu pingsan dalam lomba lari di sekolah Adytia. Adytia memang terlahir dengan kondisi jantung yang lemah. Dokter sangat mewanti-wanti agar dia tidak melakukan pekerjaan yang berat, walaupun hanya berlari.
Tapi, pada hari itu ia melanggar pantangan hanya karena Friska menginginkan sepeda yang jadi hadiah dari perlombaan lari. Akibatnya, kak Ditya di larikan ke rumah sakit dan koma selama satu bulan. Keluarganya sangat syok, karena sepanjang umurnya belum pernah Adytia berada dalam kondisi seburuk itu. Mereka agak menyalahkan kejadian itu pada Friska.
Akirnya orang tua Friska memutuskan untuk memboyong Friska ke Singapura. Walaupun pada akirnya keluarga Aditya meminta maaf kerena telah bersikap tidak dewasa. Semenjak itulah, Friska benar-benar kehilangan komunikasi denganAditya. Bahkan walaupun ia telah kembali ke Indonesia. Ia enggan menanyakan kabar laki-laki itu kepada abangnya.
Lamunan Friska terpotong begitu mendengar kegaduhan di kelasnya. Semua murid telah berdiri di depan jendela. Tak peduli dengan teguran pak Joko yang berusaha menyuruh mereka diam. Friska penasaran dan ikut melongok. Betapa kagetnya ia, begitu mengetahui Rafka pingsan. Tanpa pikir panjang, gadis itu langsung menerobos keramaian di jendela, berlari ke luar kelas meuju lapangan.
Ω
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan