"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.
Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.
Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.
“Aww..”
“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.
“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”
“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya mengangkat bahu. “Dia masih makan sayur aja?”
“Ya, masih tetap setia sama sayurnya. Apalagi semenjak kejadian itu, dia gak pernah makan nasi sedikitpun. Om dan tante jadi galau mengetahui kebiasaan barunya. Lebih pusing dibanding melihat kenakalannya atau ketomboiannya.” Adytia hanya mengangguk ragu.
Dia ingat betul, Friska gak bakalan mau makan nasi kalau gak sepiring sama dia. Pernah Adytia mengerjai Friska. Makan terlebih dahulu tak menunggu gadis itu. Friska mogok makan dan tak menegur Adytia selama seminggu.
Kalau mengingat masa kecilnya dengan Friska, ia akan tertawa sendiri. Betapa manjanya gadis itu kepadanya. Manja dan juga nakal, tak pernah mau nurut. Apapun keinginannya harus dipenuhi oleh Adytia. Kmana Adytia pergi, ia juga harus pergi. Bahkan kesekolah atau ketempat les. Jarak umur mereka yang hanya tiga tahun membuat mereka dekat.
Ω
“ Kenapa sih tu orang bisa berada di rumah gue?” Ia berkata seolah-olah rumah itu miliknya, mengabaikan Ferdi sebagai tuan rumah. “Kenapa juga abangnya bisa berteman dengan malaikat Elangnya?” Tanpa sadar Friska telah memakai “nya” untuk Rafka, seakan pemuda itu telah menjadi miliknya.
“Hoi, lo makan apa bengong?” Tiba-tiba saja suara abangnya memenuhi kamarnya. Spontan saja Friska kaget. Dia memandang abangnya dengan wajah ngeri seakan melihat hantu. Tentu saja, karena saking asik dengan pikirannya sendiri. Sehingga ia tidak menyadari kehadiran abangnya dan Rafka.” Lo kenapa sih suka kagetan gitu? Emangnya gue setan? Hati-hati ntar jantungan loh.”
Bukannya menjawab pertanyaan Ferdi, Friska malah asik memandangi Rafka yang tengah berdiri di depan dinding tempat foto-fotonya berada. Malaikat Elangnya tampak tersenyum. Kenapa dia tersenyum begitu liatin foto gue?. Merasa dicuekin. Ferdi menjitak kepala Friska, menyebabkan ia terpekik kaget untuk yang kesekian kalinya. Rafka mengalihkan pandangannya pada Friska dan Ferdi.
“LO...”teriaknya seraya melempar bantal kepada Ferdi. Kesal melihat abangnya, ia memilih melanjutkan makan yang tertunda akibat lamunan konyolnya. Benar-benar hari yang gila. Ferdi terbahak-bahak melihat tingkah Friska.
“Lo liat sendiri Dit, dia gak berubah sama sekali. Masih sama kayak dulu.” Sama kayak dulu? Dit? Siapa sih yang di panggil Dit?. Seakan menjawab rasa penasaran yang bertumpuk-tumpuk di benaknya. Rafka ikut duduk di ranjang Friska.
“Ya benar, dia masih sama kayak dulu. Hanya saja sekarang dia jadi parno liat gue.” He, apaan sih maksudnya? Emangnya gue pernah ketemu ya sama si malaikat Elang? Ia asik bertanya kepada dirinya sendiri, mencoba menerka-nerka jawabannya.
“Lo masih gak ingat siapa dia?” Ujar abangnya seraya merangkul Rafka. “Perasaan lo lengket banget sama ni anak waktu kecil dulu.”
“Waktu kecil dulu? Jangan-jangan,- Jangan-jangan lo anak tukang buah yang sering nimpukin gue waktu gue lewat di rumah lo ya?”tanya Friska.
Wajah Ferdi langsung berubah, dari awalnya sumringah menjadi jengkel. Dia kembali menjitak kepala Friska. Gadis itu kembali meringis. Dengan jengkel, dia membalas jitakan abangnya dan terjadilah perang jitak antara dua saudara sepupu itu tanpa mengindahkan Rafka yang juga terkena dampratan dari perang kecil mereka.
“ Sudah- sudah” Rafka melerai peperangan mereka. “ Iya, gue anak tukang buah yang sering nimpukin lu dulu.” Ujarnya pada Frsiska yang langsung tertawa terbahak-bahak. Ferdi heran melihat adiknya tertawa.
“ kok lo malah ketawa sih?”
“Hahahaha... gua gak nyangka aja, kok lo bisa sekeren ini ya? Perasaan gue dulu lo kucel banget.” Ferdi sudah akan menjitak kepala Friska lagi, tapi gadis itu berhasil mengelak. Ia malah mencubiti pipi Rafka dan tertawa-tawa. Seingat gue pipi lo tembem banget padahal badan lo kecil banget dan kucel. Rafka membiarkan saja. Ia tak menolak dengan sikap dan ucapan Friska. Gadis ini benar-benar melupakan aku.
“Sudah-sudah. Lo gak kasian apa liat ni anak di cubitin terus?” Ferdi langsung menarik tangan Friska. Gadis itu tak berhenti tertawa sampai sakit perut.
“Sori-sori, gue kaget aja bercampur geli. Gue gak nyangka aja bisa ketemu lo lagi dengan kondisi lo yang berubah total kayak gini. Lo gak operasi plastikkan?”
“Lo pikir gue seganteng itu ya sekarang? Tembakan pernyataan Rafka sukses membuat Friska merah padam dan langsung terdiam dan salah tingkah. Kali ini gantian Rafka dan Ferdi yang tertawa melihat Friska yang termakan umpannya sendiri.
Gadis itu hanya memberangut. Apanya yang lucu sih?
Ω
“ Lo ingat gak saat lo nimpukin gue waktu acara tujuh belasan?”
Rafka memandangi Friska, mencoba mengais-ngais diantara tumpukan kenangan masa kecilnya. Kali aja gadis ini pernah bercerita padanya dulu. Ingatannya melayang ke masa 12 tahun lalu saat Friska mendatanginya dengan wajah belepotan lumpur dan kepala bengkak. Gadis kecil dihadapannya itu tertawa terkekeh-kekeh, memperlihatkan barisan giginya yang tidak rata.
“Kamu habis ngerjain Radit lagi?”. Friska mengangguk-angguk dengan wajah polos. Rafka hanya menggeleng melihat kelakuan bocah tomboy ini. Ia menarik tangan Friska, memaksanya duduk di pinggir lapangan tempat acara tujuh belasan diadakan dan memasang plester ke beberapa bagian tubuhnya yang terluka. Bahkan gadis kecil itu sama sekali tak menangis setelah mendapat beberapa luka yang cukup parah dan sebuah benjolan yang mencuat manis di keningnya.
“Kamu seharusnya melihat ekspresinya waktu aku nimpukin balik. Buah jeruk yang aku pegang tepat mengenai matanya. Ia langsung berlari pulang meraung-raung. Hahaha.”
“Kamu gak boleh tertawa seperti itu Fris. Jangan jadi gadis nakal, kamu itu perempuan. Jangan bertingkah seperti laki-laki terus. Kalo dia mengadu bagaimana?”
“Biarin aja. Toh ibunya juga gak bakalan mengubris. Anak tukang buah,-“
“Jangan sekali-kali memanggil dia dengan sebutan seperti itu. Tidak baik mencela pekerjaan orang tuanya.”
“Aku sama sekali tidak mencela pekerjaan orang tuanya. Aku Cuma memanggilnya dengan sebutan seperti itu. Toh dia juga sering meledekku dengan sebutan anak profesor angkuh.”
“Nah, dari itu seharusnya kamu tau. Kanapa dia sampai memenggilmu dengan sebutan seperti itu. Dia tidak akan mengatakan kalau bukan karena kamu yang memulai. Kamu arus ingat-ingat kapan kamu membuatnya tersinggung, sehingga dia sering nimpukin kamu dan memanggil kamu seperti itu.”
“Iya ustad dokter. Sudah selesai ceramah dan ngobatinnya?” Bocah tomboy itu berdiri dan mencibir kearahnya.
“ Hei. Lo dengerin gue gak?” Friska menjawil lengan bajunya. Membawanya kembali kemasa sakarang.
“oh, gue denger kok.”
“Trus kenapa gak jawab. Gue tadi minta maaf sama lo atas kelakuan kasar gue dulu. Ya, lo harus maklumlah sama anak-anak.”
“oh..eh.. ya, gue maafin. Asal,-“
“Asal apa?”
“Traktir gue makan dulu.”
“Dasar! Lo gak berubah ya. Masih sama kayak dulu, tukang makan.” Rafka hanya tersenyum. Tentu saja, gue masih gue yang dulu. Tak akan pernah berbah sama lo. Walaupun lo gak ngenalin gue.
“Eh, masih aja bengong. Lo gak dengerin gue lagi ya.”Friska merajuk, merasa tak di acuhkan oleh Radit.
“He.. gue minta maaf. Lo ngomong apa tadi?”
“ Gue bilang lo mau makan apa dan kita mau makan dimana?”
“Terserah lo aja.”
“Ye...mana gue tau. Gue udah lama gak di sini. Segala tentang kota ini telah berubah.”
“Kalo gitu ntar lo ikut gue. Gue tau tempat yang enak dan tempat itu sama sekalingak berubah. ” Friska memandang dengan pandangan bertanya-tanya. Dimanakah tempat itu gerangan berada? Sementara yang dipandang hanya diam dan malah memandang balik pada Ferdi.
Ω
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan