“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.
“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.
Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?
“ Lo mau pesan apa Adit?” perkataan Friska sukses membawa Rafka kembali dari kenangan masa lalunya. Dia memandang takjub pada gadis di depannya. Tanpa sadar gadis itu telah memanggil namanya. Ia merasa senang, walaupun hal itu diluar kesengajaan.
“Terserah nyonya, kali ini gue ngikut sama lo.”
“Hahaha, nyonya? Baiklah, kita pesan ice cream strawberry moca dan topingnya halzenut. Makanannya, aku mau bakmi. Setuju Tuan?”
“Apapun untuk nyonya besar.” Friska tertawa menanggapi ocehan Rafka, sementara pelayan yang mencatat pesanan mereka pergi menyampaikan pesanannya pada sang juru masak.
“Oh ya, gimana kabar bokap lo? Apa masih jualan buah?”
“Hmm,-“ Rafka kelabakan. Pasalnya Adytia yang asli pindah rumah lima tahun yang lalu selepas dia lulus di bangku sekolah dasar. Ia sama sekali kehilangan kontak dengan bocah itu. Apalagi mereka juga bukan teman dekat.
“Ah, lupakan pertanyaan gue. Lo gak usah bingung gitu.” Hidangan yang mereka pesan telah datang. Rafka selamat dari kemungkinan-kemungkinan pertanyaan lain yang akan diajukan oleh Friska. Gadis itu begitu sumringah melihat makanan kesukaannya datang. Dengan segera, tanpa ba.. bi..bu.. ia langsung melahap hidangan di depannya.
“Pelan-pelan Fris, lo makan kayak gak ada hari lain aja.”
“He..he. hari ini spesial, karena gue makannya sama lo. Udah lama gue gak kesini. Bang Ferdi gak pernah ngomong kalo tempat ini masih buka. Dia gak pernah ngajakin gue makan. Dia lebih suka masak di rumah. Udah kayak ibu-ibu aja. Bujangan gitu malah masak sendiri. Mentang-mentang om dan tante di luar negeri.”
“Lo kan tau, kalo Ferdi itu udah hobi masak dari dulu. Ya, dia lebih senang masak sendirilah, dibanding di masakin sama si mbok.”
“ Tapi kan si mboknya jadi galau, gara-gara kekurangan pekerjaan di rumah. Dia lebih sering ngelamun atau nonton TV. Kesepian dan bosan.”
“Ya, lo ajakin kek si mboknya main gitu. Kan kasiahan, anak-anaknya juga di kampung sama suaminya. Gua punya ide. Gimana kalo lo ngomong sama Ferdi buat ngasih si mbok cuti, biar dia bisa pulang kampung. Kan kasihan si mboknya, kalo harus nungguin lebaran dulu baru pulang. Kan masih lama.
“Lah, terus kalo si mboknya pulang, yang beresin rumah siapa?”
“Ya lo lah. Siapa lagi. Masak gue yang harus beresin rumah lo”.
“ Ya, kali aja lo mau ngelamar jadi pembantu gue.” Friska terbahak-bahak dengan leluconnya sendiri.
“Sama sekali gak lucu.” Ujar Rafka ketus. Friska sama sekali tidak peduli dan terus tertawa.
“Tapi bagus lo kalau lu mau ngelamar jadi asisten rumah tangga gua. Gua bisa kemana-mana bareng sama lu. Ferdi mah susah diajakin. Dia sibuk baca komik atau ikut kegiatan klub. Kalau di sekolah mending gue gak usah deketan sama dia. Bisa-bisa gua dibunuh sama pengawal-pengawalnya.”
Rafka memandang wajah Friska, memperhatikan gerak-geriknya tak melewatkan sedikitpun ucapannya. Tak menyadari hal itu, Friska terus-terusan bercerita tanpa menghentikan makannya.
“Ah, gue kenyang banget. Kapan-kapan kita makan disini lagi ya?” Friska memandangi Rafka seraya tersenyum.
Melihat senyuman Friska, hati Rafka langsung panas. Ada kerinduan didalam pandangannya ketika melihat senyum polos gadisnya. Friska tak menyadari bahwa ia tengah dipandangi. Ia malah asik memberi makan ikan dikolam.
Ω
“ Kalian tega ya sama gue, kencan gak ngajak-ngajak.” Sembur Ferdi sesaat setelah Friska dan Rafka memasuki pekarangan rumah.
“Sejak kapan ada orang yang pergi kencan ngajak-ngajak?” Balas Friska.
“Hahaha, iya juga ya. Tapi emangnya kalian pergi kencan?” Dengan polosnya Ferdi menjawab pertanyaan Friska, sementara yang empunya tertawa melihat Ferdi yang mulai termakan umpannya sendiri.
“Hahaha.. sudahlah bang, siapa juga yang pergi kencan. Salah sendiri. Akir pekan seperti ini malah tidur. Gue sama si mbok udah bangunin lo dari tadi, e..lo nya malah molor.” Friska merangkul Ferdi dan menariknya ke dalam rumah, sementara Rafka mengikuti dari belakang.
“Lo masak apa bang?” Friska membuka tudung saji. Ada udang kesukaannya dan juga tempe dan kacang. Lauk kesukaannya selain sayur. Perutnya tanpa kompromi langsung minta di isi lagi, walaupun ia baru saja makan. Ia langsung ke lemari dapur, mengambil piring.
“Lo mau makan lagi? Tanya Ferdi dengan heran, karena adiknya dan Rafka baru saja kembali dari restoran yang biasa mereka sambangi dulu.
“Laper.”
“Buset dah, tu perut apa gentongan?” Ferdi terbahak-bahak mengejek Friska. Sementara Rafka hanya menggeleng-geleng heran. Gadis ini masih belum berubah.
“Ngak ada yang mau makan sama gue?” Tak menunggu jawaban, Friska langsung melahap hidangan di hadapannya. Melihat Friska makan dengan lahapnya. Ferdi ikutan lapar, karena dia sendiri juga belum makan. Menyusul Friska makan, sementara Rafka lebih memilih memakan buah apel yang berada di meja makan.
“Hua.... Alhamdulillah. Gue kenyang banget.” Friska menepuk-nepuk perutnya.
“Ni anak gak sopan banget. Lo cewek apa cowok sih. Pusing gue” Ferdi menggeleng-geleng mendapati kelakuan adiknya yang masih saja berandalan.
“Biarin aja, toh gua gak lagi berada ditengah situasi harus bermanis-manis karena ada cowok yang gua sukai. Apa juga yang harus gue sembunyiin? Kalau cowok itu beneran suka sama gua, ya otomatis dia harus erima gue apa adanya dong.Termasuk kelakuan gua. Kalau gak mau terima ya pergi aja sono kelaut.”
“Yakin lu? Bagaimana kalau cowok itu kak Tama?” Pertanyaan mendadak Ferdi sukses menghentikan suapan Friska.
“Kak Tama? Siapa itu kak Tama?” Friska memandang penuh rasa ingin tahu.
“Ah lu, jangan pura-pura lupa gitu. Tama kan calon suami lu? Yang dari kecil udah lu kasih stempel biar gak direbut atau dilirik sama orang lain.”
“Calon suami? Semenjak kecil? Tama? Emang ada ya? Kok gue gak ingat ya? Ferdi dan Rafka saling bertukar pandangan. Apakah ada sesuatu yang sudah mereka lewatkan? Melihat ekspresi Friska, rasa-rasanya gak munkin ia bakalan berbohong.
Ω
“Fris, lo ada acara gak hari Minggu ini?” ujar Zaki, ketua kelasnya.
“Rencananya gue mau pergi ke toko buku sama Aditya dan bang Ferdi. Emangnya kenapa?”
“Oh, gak. Gue kirain lo gak ada acara. Gue mau ngajakin nonton. Gue dapat tiket kemaren. Filmnya bagus, tapi kalo lo punya acara gak apa-apa. Gue ajak si Bayu aja.”
“Maaf banget ya Zak, gue udah ada janji duluan.”
“Gak apa-apa kok, santai aja lagi.” Pemuda tampan di hadapannya berusaha tersenyum meskipun Friska tau kalo ia sangat kecewa.
Ia tahu, kalau Zaky menaruh rasa padanya. Tapi pemuda itu berusaha menutup-nutupinya. Munkin takut cintanya di tolak dan menyebabkan ketidaknyamanan pada pertemanan mereka. Friska tau kalau Zaki seorang pemuda yang baik. Dia juga selalu sopan kepada siapapun dan murah senyum.
“ Gimana kalau sebagai gantinnya lo traktir gue makan aja, lo ulang tahun kan di hari Minggu? Makanya lo ngajakin gue nonton? Ya, walaupun agak cepetan sih traktirannya. Hahaha”
Senyuman di wajah Zaky kembali, munkin karena Friska tahu kapan hari ulang tahunnya. “Lo mau?”ujarnya bersemangat.
“Tentu saja, gue gak pernah nolak niat baik orang. Apa lagi buat makan.” Friska memberikan senyuman tulusnya pada Zaky yang membuat pemuda itu lega dan sedikit menaruh kembali harapan yang baru saja pupus. “Kalau gitu ntar pulang sekolah gua tunggu di gerbang ya?”
“Siap boss!”
Ω
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
Lo udah sadar?” Friska mengagetkanku. Tak menjawab, aku hanya melempar senyuman padanya. “Lo baik-baik saja? Mana yang sakit? Mau gue panggilin dokter?” Ah, dia masih cerewet seperti biasanya. Gadisku. Aku tidak sakit apa-apa. Tak butuh dokter. Hanya butuh dirimu. Hanya butuh pengakuanmu. Kapan kau akan mengingatku? Kau meletakkan punggung tanganmu di keningku. Munkin mencoba merasa-rasai apakah aku baik-baik saja. “ Kenapa lo gak ngomong sih?” “ Gue baik-baik saja.” Akirnya kata-kata itu meluncur juga dari tenggorokanku. Aku baru sadar betapa keringnya kerongkonganku. Kau mengerti dan mengambil gelas berisi air putih yang entah sejak kapan telah berada di atas sebuah meja kecil sebelah tempat tidurku. Kau membantuku bangun dan memperbaiki bantal agar aku lebih nyaman dan dengan sabar membantuku minum. “ Lo sakit apa?”kau kembali bertanya. “ Gue cuma kecapekan.”jawabku sekenanya. “Bohong lo, buktinya Ferdi cemas banget sa
Aku merasa benar-benar gak sanggub lagi. Padahal ini baru putaran ke lima, tapi dunia di sekelilingku terasa berputar dan mendadak semuanya menjadi gelap. Samar-samar aku masih bisa mendengar suara –suara ribut dan suara gadisku memanggil-manggil dengan kekawatiran yang sangat. Aku baik-baik saja, kamu gak usah kawatir seperti itu Fris. Dengan susah payah, aku mencoba membuka mata. Dimana ini? Ini bukan UKS sekolah. Samar-samar aku bisa melihat selang infus. Setelah terbiasa dengan cahaya yang cukup menyilaukan penglihatanku, aku mengedarkan padangan ke sekeliling, mendapati gadisku tengah tertidur di kursi disamping tempat tidurku. Ia masih menggunakan seragam sekolah. Rambut hitamnya menjuntai mengenai tanganku. Gadis tomboy dengan rambut panjang sepinggang. Aku melirik jam dinding dan terkejut, hari telah begitu larut. Jarum jam menunjukkan angka 11. Mendengar suara jangkrik di luar aku yakin hari telah malam, karena tidak
Fris, lo tungguin gue napa?” teriakan Ferdi cukup membuat perhatian satu koridor pada Friska. Hanya segelintir orang yang tahu hubungan apa yang mereka miliki. Bahkan para fans berat Ferdi tidak tahu kalau Friska adik sepupunya Ferdi. Menyebabkan, acapkali Friska di kerjai dan di bully karena cemburu buta. “Apaan sih lo, pagi-pagi udah teriak gak jelas.” Friska bersungut-sungut kepada Ferdi. “Aish, adik manis jangan gitu donk.” Ferdi merangkul bahu Friska dan menariknya agar bisa berjalan bersama. “Manis-manis. Lo pikir gue gula apa?” “Kali aja lo habis mandi gula tadi pagi, makanya lo keliatan manis banget hari ini.” “Whatever,-“ “Yayang Ferdi, kok kamu selingkuh sih.” Suara cempreng Tania, salah satu fans berat Ferdi merusak pagi nan indah. Dengan santainya, ia menggelayut manja di pundak Ferdi dan Sonya, temannya Tania langsung menyingkirkan Friska. Gadis tomboy itu bersungut-sungut dan pergi meninggalkan Ferdi, tak peduli teriakan
“Wah.. tempat ini masih bertahan ya. Udah lama banget rasanya semenjak terakir kali ke sini. He...tentu saja. Sudah 12 tahun semenjak gue meninggalkan kota ini. Gue gak nyangka kalo tempat ini masih bertahan. Lo tau!” Ujar Friska seraya memandang Rafka.“Dulu gue gak pernah absen ke tempat ini. Gue selalu pergi sama bang Ferdi dan kak Ditya. Ah, masa lalu yang begitu indah, entah mengapa waktu begitu kejam merenggut keberasaan kami.” Friska terdiam menatap ikan-ikan yang berenang di kolam.Tentu saja aku tahu, aku tak akan pernah lupa. Setiap hari kita memang selalu ke sini. Walaupun terkadang hanya untuk memesan semangkok kecil ice cream dan kita bertiga saling berebutan. Bagaimana aku akan melupakannya. Tapi, mengapa kamu tidak mengingatku sama sekali? Apa segitu bencinya kau kepadaku? Kenapa kau malah menganggab aku orang lain? Apa karena kebetulan nama kami sama? Lupakah kau dengan nama lengkapku?“ Lo mau pesan apa Adit?&
"FRIS…. Cepetan turun, ayo makan”. Teriakan Ferdi memenuhi rumah. Emang pantas jika Friska menyandangkan gelar emak-emak pada abangnya. Cerewetnya emang udah kayak emak-emak.Friska yang tengah tidur-tiduran dikamarnya bangun dengan enggan dan berjalan dengan gontai menuruni tangga menuju meja makan. Langkahnya terhenti begitu mendapati pemadangan yang menyambutnya di meja makan.Malaikat Elang lagi? Kenapa dia bisa di sini sih?. Dengan enggan dia duduk di depan malaikat Elang yang tengah duduk di sebelah abangnya. Mereka tengah asik mengobrol, tak mengindahkan Friska. Merasa dicuekin, Friska menendang kaki abangnya.“Aww..”“Rasain lu”, cibir Friska seraya berlalu meneteng piringnya yang hanya berisi sayuran menuju ke kamarnya.“Kenapa sih lu? Makan di sini aja kenapa?” Friska hanya berlalu. “Aneh banget sih tu anak.”“Lu sih, nyuekin dia.” Ferdi hanya meng
“Aditya, tungguin aku”. Seorang gadis kecil, dengan banyak plester menutupi tubuhnya tampak mengejar seorang bocah laki-laki yang masih mengenakan seragam sekolahnya. Bocah yang di panggil Aditya berhenti merespon gadis yang tengah mengejarnya.“Cepetam Friska, kakak bisa telat berangkat les.” Segera ia menggandeng tangan gadis bernama Friska agar berjalan menyamai langkahnya. Friska hanya cengir-cengir, agak sedikit meringis manakala Aditya mempercepat langkahnya.“ Nanti beliin aku ice cream ya?”Aditya tiba-tiba menghentikan langjkahnya dan berjongkokdi hadapan Friska. “ Sudahku duga. Kamu benar-benar ceroboh Fris.” Ia mengambil plester disakunya, lalu memasangkannya ke lutut Friska yang lecet bekas terjatuh.Darahnya masih agak basah, itu artinya ia jatuh belum terlalu lama. Aditya mendongak menatap Friska, agak sedikit jengkel melihat gadis itu masih cengar-cengir tak mempedulikan lu
Suasana kelas XI- IPA 1 tampak kacau, meski bel sekolah telah berbunyi beberapa menit yang lalu , hal itu tidak mempengaruhi penghuninya untuk menghentikan keributan yang tengah dilakukan. Beberapa orang siswa tampak duduk di atas meja, usil melempari beberapa orang siswi perempuan yang tengah asik bergosip di pojokan.Bahkan ada beberapa murid lain yang saling berkejaran di sepanjang ruang kelas , benar-benar tak menggambarkan ruangan yang di huni oleh anak SMA, apalagi anak IPA. Anak IPA yang identik dengan anak cupu, manut aturan, pintar-pintar sama sekali tak akan di temukan dikelas ini. Pengecualian untuk kepintaran mereka yang tak perlu diragukan lagi.“Pagi anak-anak!” sapa seorang guru muda cantik yang baru saja memasuki kelas diikuti oleh seorang gadis dibelakangnya. Kedatangan sang guru cukup sukses untuk menghentikan keributan yang tercipta di pagi yang cerah ini. Semua siswa segera kembali ke tempat duduknya masing-masing bersi
Friska...cepatan! Teriakan seorang laki-laki menggema memenuhi rumah. "Gua bisa telat nih," teriaknya lagi.Seruan abang sepupuku, Ferdi sangat mengganggu suasana pagi dihari Senin ini. Aku sama sekali tak mengindahkannya. Aku mematut diri di depan cermin, merapikan pakaianku. Setelah merasa srek, aku segera berjalan menuju tangga yang menjadi penghubung lantai dua dan lantai satu rumah mewah milik keluarga Ferdi.Di ruang tamu rumah mewah milik saudara ibuku tersebut, tampak seorang pemuda jangkung berwajah tampan yang mengenakan pakaian yang sama denganku, tengah berkacak pinggang menungguku dengan tidak sabar. Sebentar-sebentar terlihat dia tengah mencek jarum jam di tangannya, memastikan jarumnya tidak berputar dengan cepatSikapnya menggambarkan kegelisahan yang menurutku terlalu berlebihan, seolah-olah guru piket tengah berdiri di gerbang sekolah seraya membawa sebilah rotan. Mengancam siapa saja yang terlambat pagi ini, yang dengan