"Jangan datang lagi cinta
Bagaimana aku bisa lupaPadahal kau tahu keadaannyaKau bukanlah untukkuJangan lagi rindu cinta
Ku tak mau ada yang terlukaBahagiakan dia aku tak apaBiar aku yang pura pura lupa"ーPetrus Mahen.
.
..Hutan ini masih sama segarnya. Masih sama rimbun dan hijaunya. Aroma kayu tua dengan tanah basah yang merengsek masuk memaksa memenuhi rongga dada. Bukan tidak suka, ini menenangkan, aku begitu menyukainya.
Setelah tiga tahun akhirnya aku memberanikan diri kembali ke tempat ini. Tempat rahasia ini hanya aku yang tau, juga dia. Mengingatnya rongga dadaku seketika terhimpit. Menyempit dan udara di dalamnya teramat mencekik. Seingatku aroma hutan dan danau indah ini menenangkan, kenapa kini menyakitkan?
Aku mendudukkan tubuh kecilku diujung dermaga ini. Seakan dihantam sesuatu kepalaku tiba-tiba ngilu, pun dengan hatiku. Air danau yang tenang ini punya banyak cerita, banyak kisah, dan kenangan indah lainnya.
Aku berdiri, hendak melompat ke dalam air sebelum suara parau itu memanggil namaku. Apa ini? Halusinasi lagi? Kata Seokjin Hyung aku sudah sembuh, tapi apa ini?
"Jimin-ah?"
Aku tertawa sinting, gila. Aku total gila. Aku harus kembali ke kliniknya lalu meninju Seokjin Hyung. Dia bilang aku sembuh. Dia pembohong besar, penipu.
"Park Jimin?"
Damn, sudah cukup. Aku menyerah dengan halusinasiku dan memutuskan membalik badan. Sialan, harusnya aku ingat jika aku buruk dalam mengambil keputusan.
Seharusnya aku abaikan saja halusinasiku dan melompat ke dalam air. Berendam seperti biasa, atau mungkin kali ini harus tenggelam.
"Siapa kau?"
Ujarku sedingin dan bicara sedatar mungkin padanya. Aku berani jamin jika Hoseok Hyung melihat wajahku kini dia pasti tertawa.
"Aku- kau tidak benar-benar lupa aku kan Jim?"
Sebelah alisku terangkat naik. Bicara apa orang ini? Aku bahkan tak pernah mengenalnya. Niatku menangkan diri pupus seketika. Pilihan paling buruk yang aku ambil selama tiga tahun ini adalah kembali ke tempat ini. Bedebah, harusnya aku tetap di Jepang dan tidak lagi berani pulang.
"Tidak. Aku tidak-"
"Sayang?"
Keningku reflek berkerut melihat sosok wanita setengah cantik mendekati pria di hadapanku. Aku mendecih lalu tertawa miris. Bisa-bisanya ada orang lain lagi yang kini mengetahui tempat ini. Sial, aku tidak akan datang ke gereja minggu ini. Tuhan, Park Jimin marah besar.
"Ayo kita pulang, aku tidak betah disini. Kita meninggalkan Yoonji terlalu lama"
Aku diam melihat interaksi dua makhluk kasat mata ini. Kepalaku tertunduk melihat kerikil kecil di atas dermaga kayu. Aku menendangnya pelan sesekali sembari terus mendengarkan obrolan keduanya.
"Pergilah ke mobil lebih dulu Jennie. Aku harus bicara dengan temanku. Sebentar lagi aku menyusul"
Helaan nafas terdengar dari bilah bibir wanita itu. Aku mendongak untuk sekedar melihatnya pergi. Selepas kepergiannya aku sedikit memiringkan kepalaku dan tertawa sinis.
"Sejak kapan aku menjadi temanmu?"
"Jimin, aku tau kau tidak benar-benar melupakan aku. Aku tau jika kau kemari. Aku menghubungi Jungkook tadi. Kau tinggal dengan dia dan Taehyung kan? Aku senang jika kau hidup dengan baik Jimin-ah"
"Apa? Hidup dengan baik?"
Aku tertawa keras mendengar ucapannya. Tau apa keparat ini tentang hidupku? Melelahkan dan membuang-buang waktu. Harusnya aku pergi sejak melihatnya disini. Lagi-lagi Park Jimin, kau buruk dalam memilih.
"Kau bertanya pada siapa tentang hidup baikku hah? Ck- aku kasihan padamu. Mereka selalu saja berbohong padamu saat kau bertanya tentangku kau tau. Tapi ya, aku memang baik, sebelum bertemu dan melihatmu"
"Jimin aku minta maaf, aku- aku tidak bermaksud meninggalkanmu dulu. Itu kecelakaan Jimin-ah, aku- aku merindukanmu. Sangat merindukanmu. Tolong kembali padaku Jimin"
Aku mengeluarkan tanganku dari saku jaket jeans yang ku kenakan. Tanpa sadar tanganku mengepal kuat. Menahan sakit dan gejolak aneh dalam diriku, dalam dadaku, tepat dihatiku. Aku menunduk membiarkannya terus bicara omong kosong. Mendengar ucapan terakhirnya aku mendongak dengan lelehan air mata di pipiku. Persetan dengan harga diri, aku kembali merasakan sakit hati.
"Kembali padamu? Lalu apa Hyung? Kau akan kembali meninggalkanku setelah berhubungan badan dengan wanita lain saat aku pergi? Gila, aku bahkan tidak percaya saat itu aku benar-benar melihatmu bercinta dengan orang lain. Kau harusnya bersyukur tidak menemukan mayatku di dalam lemari."
Sudah cukup. Aku yakin aku memang butuh bicara pada orang ini. Keparat satu ini memang perlu diajak bicara. Langkahku gemetar, aku tau kakiku lemas di saat yang tidak tepat.
Aku mendekat padanya dengan wajah basah dipenuhi air mata. Aku bisa melihat air matanya. Dia tulus memintaku kembali, tapi tidak lagi. Sudah cukup aku mengalah, sekarang aku ingin menang. Menang atas hatiku, harga diriku, dan diriku sendiri.
"Harusnya kita masih bahagia Hyung. Harusnya hari itu kita merayakan ulang tahunmu bersama-sama. Ah- hadiahku tidak seberapa. Tuhan memberikan hadiah wanita seksi untukmu malam itu kan? Harusnya Tuhan juga memberikan hadiah berupa kematianku padamu, tapi ternyata dia tidak memberikannya. Apa kau tau bagaimana hidup baikku setelahnya Hyung? Apa kau sempat mengingatku saat melakukan hal itu? Kau menghancurkanku Hyung, hancur sampai rasanya aku tetap mati meskipun hidup"
"Maafkan aku Jimin- "
"Biarkan aku jahat kali ini Hyung. Tidak cukupkah selama ini aku baik padamu? Maaf dari mulut busukmu tidak berarti apa-apa bagiku Hyung. Aku yang sudah hancur tidak akan kembali utuh karena maafmu, tidak akan pernah. Aku pernah memaafkanmu satu kali Hyung, aku menunggumu saat kau memintaku menunggu karena aku percaya padamu. Kau bilang akan menyelesaikannya? Aku tidak tau cara menyelesaikan itu dengan menikahi. Penantianku sia-sia. Aku pikir aku akan hidup lagi, tapi ternyata kau kembali membunuhku yang sudah mati Hyung"
"Lalu aku harus apa Park Jimin?! Kau ingin aku menikahimu kan? Kalau begitu ayo kita menikah! Aku akan menikahimu hari ini juga! Jennie tidak salah! Aku yang salah! Apa kau pernah memikirkannya hah?! Apa pernah kau memikirkan aku?! Kau egois Jimin!"
Aku tertawa. Lagi, untuk ketiga kalinya aku dibunuh oleh orang yang sama. Air mata sialan ini benar-benar tidak bisa diajak berkompromi. Apa-apaan ini. Aku mempunya firasat jika aku memang harus kembali ke klinik Seokjin Hyung besok, atau nanti?
"Yoongi Hyung-"
Mata kecilku menangkap guratan penyelasan di wajahnya. Sepertinya kakinya juga lemas hingga dia berlutut di hadapanku seperti ini. Dunia banyak berubah begitupun manusia. Aku bisa apa selain tersenyum manis menatapnya?
Hatiku tidak pernah mau ikut berbohong bersama egoku. Aku mencintainya dan sangat merindukannya. Namun sekali lagi, aku bisa apa?
"Kau tau aku begitu mecintaimu Hyung. Aku memberikan hidupku, nyawaku padamu. Aku egois memang. Harusnya aku tidak pernah melakukan itu. Kau menyakitiku sebegini parah, aku tidak pernah membayangkannya Hyung, tidak bahkan dalam mimpi. Apa yang aku dapat setelah memberikan seluruh hidupku padamu Hyung? Kau membunuhku berkali-kali. Jika kau mengatakan aku egois sekarang maka kau harus melihat dan mengingat kembali bagaimana sikapmu padaku Hyung. Seperti apa dirimu padaku. Aku berkali-kali mengabaikan nasihat Taehyung untuk menyerah padamu, mengabaikan perintah Namjoon Hyung untuk melepaskanmu, mengabaikan sakit hatiku saat bersamamu. Aku egois memang Hyung. Sangat, sangat egois. Kau tidak pernah tau bagaimana perasaan dan hidupku setelah kau menghancurkanku Hyung. Andaikan kau tau betapa inginnya aku membencimu, tapi aku tak mampu. Kau tau kenapa? Karena aku mencintaimu Hyung."
Aku tau, aku mendengarnya. Dia menangis keras. Sangat jelas isakannya di telingaku. Aku merogoh saku jaketku. Mengeluarkan sebuah recorder kecil dan botol kecil berisi obat-obatan.
Aku turut berlutut di hadapannya. Aku hancur melihat semestaku hancur. Namun aku bisa apa? Dia bukan milikku. Tidak ditakdirkan untukku. Tuhan, Park Jimin benar-benar marah.
"Yoongi Hyung, tolong. Aku mohon jangan lagi merindukanku. Jangan pernah lagi Hyung. Jangan mengatakannya, jangan juga merasakannya. Aku sudah hancur Hyung. Aku sudah pernah jatuh hati dan tidak ingin lagi. Jadi aku mohon, jangan pernah lagi merindukanku. Jangan pernah lagi datang ke tempat ini. Pergi Hyung, menjauhlah dariku. Kau tidak perlu mengawasiku entah dari dekat ataupun jauh. Jangan pernah lagi menemuiku. Aku sudah hancur Hyung. Tidak bersisa barang sekeping saja. Park Jimin sudah mati. Park Jimin sudah tiada. Aku bukan Jimin. Aku adalah orang lain. Aku sakit baik fisik maupun mental. Aku mohon kau bahagiakan saja Jennie dan putri kecilmu. Dia sangat cantik dan manis. Dia harus bahagia. Kau bahagiakan saja mereka dan jangan pernah lagi memikirkanku, aku tidak apa-apa Hyung. Kau sendiri yang bilang jika hidupku baik bukan? Jadi jangan pernah merusak hidup baikku dengan eksistensimu Hyung. Aku tidak akan pernah kembali padamu. Tidak akan pernah lagi meskipun hanya satu detik. Aku bukan teman, sahabat, atau adikmu. Kita hanya dua orang asing yang tidak pernah bertemu dan mengenal satu sama lain."
Aku memberikan recorder kecil milikku padanya. Memastikan dia menggenggam recorder kesayanganku dengan erat. Aku mengarahkan dagunya untuk mendongak dan menatap tepat di mataku. Aku bisa apa selain tersenyum manis pada cintaku.
Aku menyerah. Aku kalah. Aku tidak kuasa melihat semestaku berduka berderai air mata. Dengan gerakan lambat aku mengecup bibirnya. Keningnya menjadi sasaran kedua ciumanku. Tuhan, Park Jimin mencintainya.
"Kau bisa mendengarkan hidup baikku dari recorder itu Hyung. Kau juga mendapat bonus, aku merekam lagu-lagu yang ku tulis dan lagu orang lain dengan itu. Kau akan tau bagaimana baiknya hidupku. Setelah ini jangan pernah datang lagi Hyung. Jangan pernah sampai kapanpun. Bahkan jika esok lusa atau nanti aku mati, jangan berani datang ke pusaraku dan ikut berduka. Aku tidak mau egois lagi. Kau terluka karena keegoisanku bukan Hyung? Jadi kau harus selalu bahagia. Teruslah bahagia meskipun suatu saat nanti para Hyung akan datang dan memberimu kabar mengenai kematianku."
Aku membiarkannya memelukku. Untuk terakhir kalinya, aku berjanji ini yang terakhir. Aku menepuk punggungnya dengan lembut. Tangisannya memilukan, dia menangis begitu keras. Apa kata istrinya nanti jika melihatnya kacau begini?
Aku melepaskan pelukannya setelah beberapa saat. Tangisnya belum juga mereda. Aku berdiri lalu berjalan ke tepi dermaga. Aku buka tutup botol obatku dan menjatuhkan obatku ke dalam danau perlahan-lahan.
"Jangan lagi rindu aku. Jangan lagi datangi aku. Aku mencintaimu hingga kini dan aku yakin kau tau itu. Tapi aku tidak ingin lagi ada yang terluka. Cukup aku saja. Cukup aku yang hancur dan berkali-kali mati. Jangan kau, Jennie atau siapapun lagi. Jangan Hyung. Kita memang tidak ditakdirkan bersama. Kau bukan untukku tapi aku malah sempat memaksakan itu. Konyol sekali haha."
Aku membuang botol obatku ke dalam danau setelahnya. Aku yakin dengan sangat dia melihatku membuang semua obatku. Membuang saksi hidup baikku selama ini. Aku kembali memasukkan tangan ke dalam saku jaketku dan berjalan mendekatinya. Dia ingin mengatakan sesuatu setelah melihatku membuang obat tadi. Aku tau itu. Aku mengenalnya dengan baik.
"Jimin-ah ... "
"Ya. Aku membuang salah satu hidup baikku di depan matamu. Kau benar Min Yoongi. Min Yoongi yang tidak pernah salah. Aku tidak benar-benar melupakanmu. Sesakit-sakitnya aku, aku tidak pikun. Lagipula aku depresi, bukan amnesia. Tapi biarlah, biar aku yang pura-pura lupa. Tugasmu sekarang hanya berbahagia. Aku memaafkanmu. Aku bahkan lupa apa yang telah kau lakukan padaku. Hiduplah dalam penyesalanmu jika kau ingin. Aku tidak peduli karena aku tidak mengenalmu. Tidak pernah"
Aku berjalan pergi mengabaikan raungannya. Dia menangis lebih keras sembari memukul dermaga kayu itu dan menyebut namaku. Suaranya masih cukup jelas ditelingaku.
Aku ikuti kemana kakiku ingin melangkah. Tersasar di tengah hutan pun aku tidak peduli lagi. Aku hanya terus melangkah bersama air mata yang tak kunjung lelah. Aku mengingat satu hal. Aku harus menghubungi Seokjin Hyung.
"Ya Jimin-ie? Ada apa hm? Jalan-jalanmu menyenangkan?"
"Iya Hyung sangat menyenangkan bisa melihatnya lagi. Apalagi dia tidak sendiri, istri yang cantik dan sempurna itu ikut bersamanya. "
"A-apa? Jimin-ah kau-?"
"Haha ada apa ini Hyung? Aku baik-baik saja kau tau. Hanya, yeah kau tau. Sepertinya aku akan datang ke klinikmu besok."
"Hei! Tidak tidak! Datanglah sekarang aku akan menunggumu. Minum obatmu dulu ya? Kepala dan dadamu nanti-"
"Aku membuangnya. Sudah jangan berlebihan Hyung. Lagipula aku tak apa. Seperti katanya, aku hidup baik selama ini."
"Jimin-ah ... "
"Hahh- baik baik aku menyerah. Jangan bicara memelas begitu padaku. Aku mana tega."
"Jadi?"
"Jadi apa? Min Yoongi kembali. Aku mati lagi."
[ F I N ]
" My heart is running on the time- alone on the Snowpiercer. Wanna get to the other side of the earth holding your hand. Wanna put an end to this winter "ー BTS ( Spring Day )...+;' 29 Desember 2016Hembusin angin dingin disertai buliran salju mengudara di langit kelabu hari itu. Kim Taehyung berdiri disana. Di samping lintasan kereta dengan baju rajut biru dari neneknya. Ia melangkah hati-hati menuju rel berselimut putih menanti ketibaan kereta dari Seoul menuju kota kelahirannya.Dari binaran matanya ia melihat kereta itu tiba. Suara khas yang memekakkan telinga disertai goncangan kecil yang turut ia rasakan ketika ia tempelkan sebelah telinganya pada besi dingin tempat kereta itu akan berlalu.Dengan terburu-buru Taehyung bangkit, kembali pada posisi awalnya. Ia melihat gerbong kereta yang melesat cepat dengan seksama. Pada gerbong terakhir Taehyung melihatnya. Beanie Hat dengan pom-pom hijau diujungnya, Si rambut merah jambu yang tertidur sembari menekuk kaki, bagaimana lelaki
" Now it's hard to even see each other's faces. It's only winter here. Even in August, winter is here "ー BTS ( Spring Day )...+;' 19 Desember 2016Mata indah dengan senyum secerah sinar surya terpejam menikmati senja. Ia duduk di atas gerbong kereta tempat pamannya bekerja. Sedikit bebal memang. Namun hal ini dapat mengobati luka hatinya. Hoseok membuka mata perlahan-lahan. Menerima semburat jingga angkasa memenuhi netranya.Mengabaikan angin kencang yang menggoyangkan helaian rambutnya. Ia memeluk kedua lututnya sembari menatap langit sore di atasnya. Butuh perjuangan untuk bisa sampai di atas sini. Melompati pagar pembatas, lalu menyelinap dan menghindari pengawasan pamannya. Berbahaya, sangat berbahaya. Namun ia rela melakukannya.Hoseok mengeluarkan kertas lusuh dan sebuah pena merah muda dari sakunya. Ia mendapatkan itu dari Seokjin Hyung-nya. Hoseok geli melihat pena dengan tinta tersendat-sendat itu. Namun kini ia tau. Benda itu amat sangat berarti. Hoseok duduk bersila di
" Pass your dreams. Camber through the bush and go to the place that becomes clearer. Take my hands now. You are the cause of my euphoria "ー Jungkook ( BTS )...Mata kecilku dengan semangat mematai setiap pergerakannya. Mulutku tak hentinya tersenyum melihat bagaimana dengan lincah ia berlari sembari membawa bola. Kakiku pun tak bisa berhenti bergerak sejak tadi. Ingin rasanya aku melompat turun dan berlari ke tengah lapangan untuk mendukung dan menyeka peluh di kening serta lehernya.Hari ini dia bertanding basket bersama tim kebanggaan. Basket adalah favoritnya. Salah satu hal yang paling ia suka selain tidur, musik, dan aku. Bukan bermaksud sombong atau terlalu percaya diri. Tapi, begitulah adanya.Aku berdiri dan dengan lantang meneriakkan namanya. Lihat keringat itu, nafas yang tersengal, dan lutut yang berkali-kali dipijat pelan. Sejenak aku tenggelam dalam pikiran penuh kekhawatiran. Apa dia baik saja disana?“ Hyung!! Semangaaaat!! “Aku memasang senyum lebar terbaik yang k
" What if we rewrite the stars?Say you were made to be mineNothing could keep us apartYou'd be the one I was meant to find "ー Zendaya ft. Zac Efron...Ketukan sepatu dengan lantai keramik memenuhi seisi koridor kampus yang lengang itu. Kaki kecil seorang pria mungil terus dipaksa untuk melangkah. Berjalan mengikuti pria pucat berkacamata yang berjalan tepat di hadapannya. Min Yoongi bukan tidak mengerti jika Park Jimin sejak tadi membuntuti tapi dia tidak memiliki keinginan untuk berhenti.Jimin berdecak keras, ia pantang menyerah dan terus melangkah. Sesekali tangan kanannya berusaha meraih bagian belakang kemeja Yoongi meski pada akhirnya gagal juga. Manusia pucat itu berjalan begitu cepat."Hyung, sebentar Hyung- tunggu-"Dengusan malas dikeluarkan Yoongi. Mau apalagi bocah ini. Apa dia tidak lelah terus mengejarnya? Yoongi berusaha menutup telinga. Biarlah ia berpura-pura tuli untuk sementara. JIka dengan itu ia bisa bebas dari si mungil kenapa tidak?"Yoongi Hyung tunggu-"
" Melarat melekat luka duka.Pilu ini ku telan sendiri.Merengsek merengek lubangi hati.Merasuk menyatu melebur dalam diri "ー Optimusrain...Bunga hydrangea biru masih segar dalam genggaman. Bahagiaku membuncah tanpa perintah. Tungkaiku terus melangkah melewati setapak di antara rumput hijau segar ini. Cinta, aku kembali.Begitu senang aku melihatnya. Bersiap begitu banyak dan lama di rumah, menuliskan rincian hal yang akan aku curahkan. Namun saat sampai aku hanya diam. Bisu karena rindu. Hal pertama yang aku lakukan tentu saja memindahkan bunga cantik ini ke pangkuannya. Senyumnya indah dalam pikirku. Jiminku selalu tersenyum manis dengan mata segaris saat aku beri bunga ini dengan pelukan. Satu paket lengkap kebahagiaan, kata Jimin diringi tawa."Ume, aku rindu padamu. Bagaimana kabarmu? Apa kau baik? Ada banyak yang ingin aku ceritakan. Aku berhasil masuk kampus impianku. Coba tebak jurusan apa yang aku pilih? Tentu saja seni. Kau bilang ingin aku terus bermusik dan membuat la
" Bernapaslah Hirup udara sesaki rongga dada Telan jerit hati Anda Sesap lagi kopi kedua Ranum rona surai jelanga Selang seling suara renjana Menutup harsa senja Dengan satu lagi cerita "ーOptimusrain....' Senyuman itu hanyalah menunda luka yang tak pernah kuduga 'Kepulan asap Macchiato dalam genggaman nampak begitu menenangkan. Sehangat peluknya dan senyaman dekapannya. Pemuda itu hanya menunduk memandangi kopi hangatnya. Bingung hendak merespon apa atas senyuman yang lebih tua di hadapannya."Jimin-ah?"Mendengar namanya disebut setelah beberapa saat saling tutup mulut ia lantas mendongak. Mematri senyuman kecil di bibir tebalnya. Hanya gumaman pelan terdengar sebagai balasan. Yoongi menyeruput sedikit Americano dalam paper cup-nya sebelum kembali berbicara."Aku yakin kau sudah mendengarnya dari Namjoon. Jadi aku rasa kita harus berhenti disini"Kelu. Lidahnya sedang kehilangan fungsi. Begitu juga dengan suara indahnya. Ia hanya membuka mulut tanpa