Dua hari berlalu tidak ada peningkatan selain Sandi yang selalu menyuruh Vidia melakukan semua pekerjaan rumah. Shella yang sudah tahu keberadaan Vidia karena tidak sengaja melihatnya selalu mengintai rumah itu.
Naren pun tahu kalau misinya sedang dalam bahaya. Dia diberitahu oleh bawahannya yang mengikuti mobil Shella dan Falen. Akhirnya tadi malam tepat pukul satu dini hari Vidia dikembalikan ke gudang karena Ardina merasa Sandi tidak becus bekerja.
Rabu pagi ini Ardina yang masih sedikit lemah sudah berdiri di hadapan Vidia yang kakinya dirantai pun tangan diikat ke belakang. Mata Ardina memancarkan luka mengingat kedua sahabat yang harus meregang nyawa.
"Apa maumu, Ardina?" tanya Vidia dengan suara lirih.
"Tidak ada."
"Lalu kenapa menyandraku di sini?" teriak Vidia mulai emosi. Wajahnya merah.
"Aku tidak pernah menyandramu, Vidia. Lagi pula jika keadaannya seperti ini, maka Yuni juga Genta akan merasa bahagia." Ardina menarik napas panja
"Jangan bertanya apa pun dulu, kepalaku nyut-nyut," sahut Ardina sambil menutup mata perlahan.Mobil melaju dengan kecepatan sedang dikemudi oleh Naren. Tidak ada percakapan dalam mobil itu karena Ardina benar-benar tidak ingin diusik dulu.Mereka bukannya melaju tanpa tujuan karena sejatinya Naren tahu harus ke mana. Mereka ke cafe yang jauh dari kantor Ferdila berada khawatir ketemu dan langsung ketahuan saat itu juga.Sebenarnya Ardina menutup mata karena rasa dilema. Dia memikirkan Vidia yang pasti merasa tersiksa. Jauh di lubuk hatinya ada rasa ingin memeluk sekalipun perempuan itu yang menjadi perusak rumah tangganya.Ardina menarik napas panjang karena betul-betul dilema. Baru kali ini dia merasa frustrasi sampai makan pun sebenarnya sulit. "Ah, pusing!""Jangan kasihan sama mereka bertiga, Din. Kamu tahu jika kita lepas atau biarkan mereka begitu saja? Resikonya kamu yang disiksa atau mungkin dibunuhlah seperti Yuni dan Genta," tegur
"Kamu memang pantas untuk dihukum karena mulutmu sangat kotor. Bebas sekali mengumpat pada Ardina tanpa harus meminta maaf. Jika aku menginjak-injak harga dirimu, maka pasti kamu ingin membunuhku," ucap Arnila."Iya, aku sangat ingin membunuhmu.""Lalu, kalau adikku kau injak-injak harga dirinya, kira-kira aku akan melakukan apa?""Tentu saja membunuhnya," sela Ardina.Vidia hanya diam, air matanya berlinang. Dia masih terkejut melihat ada dua perempuan dengan wajah yang sama, tetapi sikap sedikit berbeda."Tidak usah memasang tampang seperti itu di hadapanku atau akan tamat riwayatmu!" tegas Arnila kemudian menarik lengan adiknya.Dia tidak ingin berlama-lama menatap Vidia yang hanya cantik rupa saja. Tanpa Arnila sadari kalau adiknya sudah menitikkan air mata hingga sesegukan. Perempuan itu lantas menoleh. "Kenapa menangis?""Aku gak nyangka bakal mengalami takdir yang seperti ini. Bahkan juga tidak pernah bermimpi kamu akan m
POV ARDINAFerdila baru pulang kerja setelah jam menunjuk angka sembilan, katanya harus lembut bersama dua teman lainnya. Wajahnya sudah segar karena langsung mandi saat baru tiba tadi."Seharian ini ngapain aja, Yang?" tanya Ferdila sembari menyandarkan bekang di headboard."Anu, gak ngapa-ngapain.""Kalau bosan, gak apa keluar rumah asal tidak melirik yang lain."Aku tersenyum tipis menanggapi kalimat suami barusan. Dia mengatakan itu bukan karena serius, aku telah berhasil mengembalikan sifat lamanya. Dulu memang selalu bercanda dan saling cemberut ketika cemburu.Akan tetapi, untuk sesaat aku merenung tentang kehidupan esok harinya. Arnila berencana mengembalikan Vidia untuk melanjutkan misi. Jika hilang begitu lama khawatir keluarganya akan mencari dan melibatkan pihak berwajib."Kenapa merenung?" tegur Ferdila."Gak apa-apa." Aku yang memang sedang menyisir rambut wajar mendapat teguran karena menatap kosong ke arah
Belum lagi aku membanca pesan itu, Ferdila sudah memanggil dari dalam kamar. Aku harus melangkah masuk daripada harus dicurigai. Lelaki itu duduk di tepi ranjang sambil menatap serius.Saat kami saling berhadapan, dia berucap pelan, "Aku tidak ingin tahu banyak tentang Vidia Maida. Besok dia harus kucerai apa pun kondisinya. Jika menolak, terserah.""Sabar, Fer. Bisa jadi Vidia sedang sakit. Lihat saja pandangannya, begitu kosong dan hampa. Dia bahkan tidak pernah berucap sepatah kata pun." Aku tulus menenangkannya."Aku tidak ingin dia melukaimu lagi, Din. Sikap seperti itu bisa jadi hanya akal-akalan semata." Ferdila berdiri. "Aku ke rumah bos dulu, ada urusan penting," lanjutnya sambil memutar rekaman suara saat menelepon tadi. Aku mengangguk.Sepuluh menit kemudian, suamiku sudah benar-benar tidak ada di rumah. Aku kembali membuka ponsel untuk tahu jawaban Arnila. Jantung kembali berdegup begitu cepat.Arnila : Sebenarnya ada sesuatu yang membu
POV AUTHOR"Itu kenapa, ya, Jeng?" tanya Bu Nafis dengan penampilan sosialita."Pasti azab jadi pelakor. Makanya, Jeng Vidia kalau gak laku jangan ngerebut suami orang," timpal Bu Nur."Ngeri juga kalau harus gila karena ngerebut, tapi syukurlah karena Jeng Ardina jadi gak harus sakit hati," sela Bu Nafis. Lagi.Ardina mendekati Vidia yang sedang duduk memeluk lutut. Air mata perempuan itu luruh tanpa permisi. Dia sedih karena tidak bisa menolong madunya. Sejahat apa pun Vidia, Ardina tidak akan pernah tega jika melihat keanehan itu.Dipeluknya tubuh Vidia yang mulai lemas. Beberapa tetangga terus menggunjing si pelakor. Ardina tidak bisa mencegah terlalu tegas karena memang di lingkungan mereka bahkan mungkin di semua daerah kalau ada perebut suami orang, pasti kena batunya baik berupa cacian atau sumpah serapah dari tetangga."Jeng, jangan dikasihani perempuan model gitu!" geram Bu Nafis."Maaf, Bu. Vidia juga manusia dan aku punya
Ardina melangkah mundur melihat tatapan tajam perempuan di depannya. Naren ingin membantu, tetapi diberi kode untuk diam di tempat."Ada apa, Vid?"Perempuan berambut pirang itu menampar wajahnya sendiri. "Sakit sekali jika terkena tamparan, 'kan?""Maksud kamu apa?""Sudah, jangan diladeni!" tegas Naren. Bukannya marah, Vidia malah tertawa keras.Mereka berdua semakin bingung dengan sikap Vidia. Ada seribu tanya dalam hati yang enggan menepi."Jangan pernah mencoba untuk menghabisi Falen atau nyawamu akan melayang. Memang lelaki itu jelas memanfaatkanku, tetapi hati tidak bisa berbohong dia milik siapa!" tegas Vidia. Aku hanya bisa mengangguk sambil menyaksikan perempuan itu melangkah masuk."Naren, ikuti dia jangan sampai masuk kamarku!" titahku dengan suara tertahan karena shock melihat pemandangan seperti ini.Rasa nyeri bekas tamparan Vidia masih sangat terasa. Pipi berdenyut seakan meminta waktu berhenti sejenak saj
"Aku tidak peduli Vidia itu kekasih atau siapa pun karena yang pasti dia sudah jahat. Kalian juga harusnya sadar diri!" tegas Arnila mulai melangkah ke arah Shella. Tangan kanannya memegang dagu perempuan itu dengan kasar. "Dan kamu Shella, ini baru awal dari segalanya!""Terserah!" teriak Shella, kemudian membatin, Saat aku lepas dari sini pasti akan ada pembalasan. Lihat saja, aku akan merobek bibir sombong itu!Arnila hanya mengukir senyum, sementara keadaan di rumah adiknya semakin kacau. Naren masih terus berdiri memikirkan cara agar Vidia bisa diam. Detik itu pula sang pemilik rumah datang."Ada apa, Ren?""Anu, Pak. Vidia kayaknya lagi stres banget jadi teriak-teriak gitu. Malu kalau didengar tetangga, apa baiknya dilakban mulutnya?""Iya, Fer. Sekalian diikat daripada kita jadi cibiran tetangga," tambah Ardina yang langsung disetujui suaminya.Naren bergegas membuka pintu kamar dan sedikit terkejut karena Vidia sudah baring di tempat
88. Teror"Ferdila tidak suka perempuan kasar apalagi yang mudah mengeluarkan kata-kata kotor. Jadi, jangan semakin menampakkan keburukanmu. Di sini sama sekali tidak ada yang takut," sindir Ardina.Vidia hendak membalas dengan makian, tetapi dihentikan oleh ketukan di pintu. Naren yang sejak tadi diam melangkah cepat ke pintu. Akan tetapi, ternyata tidak ada orang melainkan sebuah surat tepat di bawah pot bunga."Siapa, Ren?" Ferdila menghampiri. Dia meraih surat itu tanpa mendapat jawaban. Dibukanya perlahan, ternyata ada pesan tertulis."Jangan ceraikan Vidia Maida atau nyawa istrimu akan terancam!" ucap Ferdila membaca surat itu. Dadanya serasa sesak, dia yakin ini baru permulaan dan akan ada lebih banyak kejutan lagi.Naren segera menutup pintu utama. Baru saja ingin melangkah masuk, ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras. Namun, saat melihat ke luar tetap tidak ada orang.Lagi, ada sebuah amplop yang tertinggal. Ferdila