***
Acara pembukaan toko kueku untuk pertama kalinya sukses diselengarakan hari ini. Aku senang sekali karena launching perdana banyak yang datang.
"Kayaknya akan laris manis toko kuemu, Ra," ucap Mas Arlan kala kami sedang beres-beres. Entahlah, dia baik sekali sampai sudi membantuku hingga selesai.
Aku tersenyum lebar setelah murung selama Dua minggu terakhir. "Aamiin. Semoga saja ya Mas. Lumayan uangnya untuk Naura besar nanti," balasku.
Mas Arlan mengangguk. Kulihat tatapan matanya agak berbeda. Membuatku melayangkan tanya. "Kenapa, Mas?" Dahiku berkerut dalam karena penasaran.
"Maaf sebelumnya Zahra, kenapa suamimu tidak ada di tempat ini sejak tadi?"
Aku tersentak. "Mas Rafa?" tanyaku.
"Dia sedang ada urusan pekerjaan, Mas. Nggak bisa datang."
Sengaja aku tak ingin memperpanjang obrolan itu.
"Urusan pekerjaan kayaknya lebih penting darimu ya, Ra. Lihat Arlan dong, dia
***"Apalagi yang mau kamu lakukan, Ndin?" tanyaku pada wanita itu.Andin semakin memperlihatkan senyum sinisnya. "Kasihan kamu Mbak Zahra. Kalau aku jadi kamu mending minta cerai saja," katanya.Mudah sekali mengucapkan hal yang paling dibenci Allah itu."Aku bukan dirimu Ndin yang dengan mudahnya meninggalkan Hendri demi Mas Rafa. Sadar kamu, Andin! Allah nggak tidur!""Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan, Mbak," ucapnya tak ingin dinasihati.Astagfirullah. Madu macam apa yang Engkau titipkan di rumah ini ya Allah. Aku tak sanggup lagi menghadapi kelicikannya. Maafkan aku jika mulut atau tangan ini sampai menyakitinya juga."Pergilah Ndin, aku sedang tak ingin berdebat denganmu.""Mbak Zahra takut? Di mana keberanian Mbak Dua minggu yang lalu? Bukankah Mbak mengancam akan memberitahu Mas Rafa tentangku?" bisik Andin. Mungkin dia taku
***Masih kutunggu jawaban Mas Rafa atas peemintaan Andin. Namun, lelaki itu belum juga mengambil keputusan.Aku tak bisa diam saja. Sudah saatnya bergerak maju. Aku yakin Andin diam-diam memiliki masalah yang pelik hingga sampai ingin mendorongku pergi seperti ini.Dua hari setelah kejadian itu Andin benar-benar uring-uringan. Dia sering muntah dan memiliki perasaan yang berantakan. Akhirnya aku menghubungi Sabrina, meminta sahabatku itu stay kalau-kalau Andin semakin bertingkah aneh."Sekarang Andin sedang hamil," ucapku pada Sabrina ketika kami sedang berada di toko kueku. "Setiap hari dia marah-marah," Aku melanjutkan."Anak Rafa?""Itu juga yang ingin aku ketahui, Sab. Apakah yang dikandungnya adalah anak Mas Rafa atau anak selingkuhannya,""Andin juga memaksa Mas Rafa untuk menceraikanku,""Apa?" Sabrina membola. Kepalaku mengangguk mengiakan itu."Waahhh ada yang men
***Satu hal yang tak bisa aku lupakan dari percakapan tadi sore adalah ucapan terima kasih Mas Rafa karena menurutnya aku telah bersikap pengertian.Sakit sekali hati ini, Tuhan. Bukan aku memberinya pengertian dan mengalah untuk Andin, tapi aku hanya ingin berhenti mempersulit hidupku sendiri dengan terus tinggal di rumah ini.Aku pun merasa khawatir akan keadaan Naura. Takut Andin melampiaskan kekesalannya pada putri semata wayangku itu."Baiklah, jadi kamu sudah siap, Ra?" tanya Sabrina.Hanya untuk informasi, setelah Mas Rafa selesai dengan apa yang ingin dia bicarakan, aku buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Sabrina.Di sini airmataku akhirnya tumpah. "Aku sudah siap, Sab. Tolong bantu aku membalas rasa sakit hatiku pada Andin dan Mas Rafa. Aku sudah cukup memberi mereka waktu untuk meminta maaf dan merenungi kesalahan mereka," ucapku.Masih dalam jaringan telepon kami bersahut kata. Dapa
***"Ibu!" ujar Naura saat aku baru saja memutuskan panggilan telepon dengan Sabrina.Untunglah tak ada lagi sisa airmata di pipi. "Kenapa, Nak?" tanyaku.Naura menghampiri. Tiba-tiba ia berbisik sesuatu. Aku terkejut. Pupil mataku melebar mendengar itu. "Maksudmu tante Andin marah pada seseorang yang ada di telepon?" tanyaku mengulang bisikannya.Sambil memeluk boneka barbie miliknya itu Naura mengangguk."Dan dia bilang Mas ini anakmu?"Sekali lagi Naura mengiakan dengan anggukan kepala. "Apa artinya itu, Bu?" tanyanya. Tentu saja dia tak akan mengerti, tapi aku sudah pasti memahami.Mampus kamu Andin! Aku hanya perlu mencari bukti, setelah itu kamu yang akan aku depak dari rumah ini."Bu, apa artinya? Naura penasaran!" desak Naura membuatku sadar dari lamunan."Bukan apa-apa. Jangan bilang ke Ayah ya!""Tapi kenapa Bu?""Pokoknya jangan bilang k
***Naura masih saja rewel meskipun aku sudah membujuknya."Ibu jahat! Nau mau pulang, Bu!" ujar putriku. Mendengar ia mengataiku jahat membuat hati ini hancur. "Nau, Ibu nggak jahat. Tapi kita belum bisa pulang sekarang. Kita harus menemukan rumah baru kita, Sayang," ucapku."Tapi Nau nggak mau pindah Bu. Nanti kalau Naura kangen Ayah bagaimana?""Apa Naura rela berpisah dari Ibu? Kalai memang Nau rela Ibu akan izinkan Naura tinggal bersama Ayah dan tante Andin," tanyaku pada Naura. Jujur saja aku tak rela dia bersama Mas Rafa dan si madu, tapi jika memang Naura keras kepala tak mau pindah, aku bisa apa selain mengizinkannya tetap tinggal di sana."Naura juga nggak mau berpisah dari Ibu," cicit anak gadisku. Sekarang aku menyadari ketakutannya. Naura bukan pembangkang, tapi ia hanay takut Ayah dan Ibunya benar-benar berpisah.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kasihan putriku jika aku dan Mas Rafa benar-benar berpi
***Sepulang dari mencari rumah, aku langsung menemui Mas Rafa. Kebetulan dia juga sudah pulang dari kantornya."Mas, aku dan Naura sudah mendapatkan rumah baru untuk kami. Secepatnya kami akan pindah dari rumah ini, sesuai dengan yang Mas inginkan." Aku berucap pada Mas Rafa sebagai pemberitahuan bahwa aku dan Naura akan segera pindah dari rumah ini. Tahu bagaimana respon Mas Rafa? Suamiku tersebut tersenyum lebar mendengar ucapanku.Aku menggeleng heran melihatnya. Tidakkah dia menyesal membuang kami seperti ini? Dia tak ingat Seperti apa perjuangan kami di masa lalu hingga rumah impian kami yang sederhana ini dapat dibangun? Astaghfirullah."Syukurlah kalau begitu, Mas senang mendengarnya. Andin juga akan sangat senang, dia tak perlu lagi merasa tak nyaman bila ada kamu di sini," ucap Mas Rafa."Sejujurnya hingga saat ini aku masih tak menyangka Mas, aku akan keluar dari rumah ini karena kamu mengusirku,""Mas tak
***Dua minggu sudah aku dan Naura pindah dari rumah yang dulunya sangat hangat kami tinggali.Pertama kali keluar dari rumah itu, mataku memanas ingin menangis. Terlebih saat aku melihat Naura enggan pergi dari sana. Gadis kecilku meraung tak ingin berpisah dari ayahnya, tapi apa daya, Mas Rafa yang memaksa kami untuk pergi dari sana.Masih jelas dalam ingatanku bagaimana lelaki itu mengabaikan tangisan Naura."Cepatlah kau urus Naura, Zahra. Jangan membuatku terlihat seperti Ayah yang jahat di matanya!" ujar lelaki itu. Ingin rasanya aku balas dengan kata-kata yang kasar yang benar-benar menggambarkan bagaimana sikapnya kepada Naura.Kau memang lelaki jahat Mas, tega membiarkan Naura menangis saat tak ingin pergi dari rumah kita. Jika kau tidak sejahat itu, Kau pasti memikirkan perasaan Naura.Namun, yang kau lakukan hanya merangkul Andin yang pura-pura sedih saat kami akan meninggalkan rumah.Pad
*** Aku mengabaikan sikap Mas Rafa yang tampak dingin terhadapku itu. “Mas, Naura ingin bertemu. Dia rindu!” ujarku.“Bukannya Mbak Zahra yang rindu suamiku?” Tiba-tiba Andin yang menyahuti. Benar-benar menguji kesabaranku perempuan ini. Padahal, aku sudah mengabaikan tatapan beserta senyum sinisnya itu.“Maksudmu apa bertanya seperti itu, Ndi? Kalau boleh memilih sebenarnya aku pun enggan menginjakan kaki ke rumah ini lagi, tapi demi Naura apapun akan aku lakukan!”Andin mendengus. “Naura hanya jadi alasan saja supaya Mbak Zahra bisa bertemu Mas Rafa. Aku sudah tahu rencanamu Mbak, kamu ingin mematai hubungan kami kan?” tuduh Andin sembarangan. Kalau mematai hubungannya dengan selingkuhannya memang iya, tapi mematai hubungannya dengan Mas Rafa sungguh tak pernah masuk dalam daftar kegiatanku.Untuk apa aku mematai mereka? Memangnya aku kurang kerjaan. Kenapa Andin setakut itu? Aku menggelengkan kepala. “Jangan sembarangan menuduh! Aku sibuk, kenapa harus mematai kalian berdua?” tan
*** Tiga tahun kemudian hidupku cukup memiliki perubahan. Dalam ruang sidang waktu itu sungguh bukan pertemuan terakhirku dengan mas Rafa. Sesuai janji, aku mengizinkannya untuk bertemu Naura sekira dia rindu. Dan, benar saja mas Rafa intens bertemu Naura dalam tahun pertama perpisahan kami. Lalu tahun-tahun berikutnya beberapa kali dia menemui Naura karena dia akhirnya memutuskan untuk bekerja di luar Kota. Sementara kepada Andin, aku benar-benar iba karena wanita itu menjadi gila. Setelah diceraikan oleh mas Rafa, Andin turut kehilangan anaknya. Bayi perempuan itu meninggal dunia karena sakit. Andin kehilangan kewarasannya hingga terpaksa dirujuk ke rumah sakit jiwa. Beberapa kali aku datang ke sana hanya sekadar untuk menjenguknya. Andin selalu meracau, meminta maaf karena gagal menjadi seorang ibu. Sesekali dia juga berkata kasar tentangku, mungkin karena dirinya masih memiliki dendam. Namun, hal itu tak membuatku membencinya. Aku justru merasa sangat iba. Oleh karena itu, setia
*** “Rafa akhirnya lepasin kamu, Ra?” tanya Sabrina saat pertama kali aku datang ke apartemennya setelah pamit menjemput koper. Aku mengembuskan napas dengan berat. Entah harus mulai dari mana aku bercerita, tetapi aku tahu Sabrina ingin mendengar semuanya. “Sab jangan terkejut,” ucapku sambil menyimpan koper secara sembarangan. Aku mengempaskan diri ke sofa ruang tamu, mengedarkan pandangan mencari keberadaan Naura. “Lagi main di kamarku. Ada apa?” Sabrina seakan paham apa yang sedang aku lakukan. Aku pun mengangguk singkat sambil mengembuskan napas lega. Mataku kini fokus pada Sabrina. “Mas Rafa menjatuhkan talak pada Andin lebih dulu,” terangkan. Pupil mata Sabrina melebar mendengar itu. “Apa?” tanyanya tidak percaya. “Mas Rafa tahu soal perselingkuhan Andin. Ditambah tadi dia bilang Andin tidur dengan banyak pria,” “Huh?” Sabrina belum juga reda dari terkejutnya. “Tapi nggak aneh sih, madumu itu kan memang suka sama banyak lelaki,” kekehnya melanjutkan. Aku hanya mengedikan
***Pertengkaran itu terjeda saat Andin datang mendekat dari arah kamarnya. Sejenak aku menoleh dan sadar tujuan Andin jelas ke arahku dan mas Rafa.Kutarik napas dalam-dalam saat dia dengan sengaja berhenti di sisi mas Rafa sambil bersedekap dada. Biar kutebak, Andin senang melihat pertengkaran kami ini. Namun, aku benar-benar tidak peduli. Kembali aku menatap Mas Rafa, tanpa ekspresi, seolah segala rasa sakit tak dapat lagi kugambarkan lewat tatapan. "Tukang selingkuh seperti Mas tidak berhak bertanya seperti itu kepadaku," balasku tegas. Mas Rafa terlihat terkejut. Ia menatapku dengan pupil mata yang melebar, lalu menoleh pada Andin yang tersenyum sinis sembari menundukan pandangannya. "Kamu masih membahas soal itu?" tanyanya seakan perselingkuhannya bukan dalang terbesar hingga membuatku ingin berpisah seperti ini. Kalau saja boleh aku meludah di depannya, maka mungkin sekarang aku akan meludah. Namun, aku masih memiliki etika dan sopan santun. "Tidak usah bertanya seperti itu
***Aku tak main-main soal ucapanku yang ingin mengadukan perbuatan mas Rafa. Sehari setelah perdebatan kecil kami, aku tak segan memberinya peringatan sekali lagi. Hanya saja dia tetap tidak peduli. Dirinya masih keras kepala ingin mempertahankanku dan pernikahan kami.Lalu hari ini rencanaku sudah benar-benar bulat ingin pergi.“Bu, kita mau ke mana?” tanya Naura. Iya, kini aku tengah sibuk memasukan semua pakaian ke dalam koper.“Pergi Nak, sudah saatnya kita tinggalkan rumah ini,” jawabku tegas. Naura terdiam. Dia menunduk dalam saat aku menoleh padanya. Mungkinkah hatinya sedih karena pada akhirnya aku dan ayahnya akan berpisah? Mendadak rasa bersalah menyelimuti hati kecilku. Namun, aku tak bisa mengalah kali ini.“Maafkan Ibu ya Nau,” ucapku sembari memeluknya. Naura lagi-lagi diam. Aku menarik napas dalam-dalam. “Ibu antar ke rumah tante Sabrina ya Nau.” Aku raih tangannya sambil tersenyum, berharap senyum ini dapat menenangkan hatinya yang gelisah.Naura akhirnya mengangguk p
***“Aku tetap tidak mengizinkan, Zahra!” ujar mas Rafa keras kepala. “Sebaiknya kamu masuk ke kamarmu sekarang.” Dia memalingkan wajahnya setelah mengatakan itu. Aku menggeleng tak percaya, dirinya masih saja tak ingin melepaskanku setelah apa yang dia lakukan. “Mas!” Rasanya aku sudah tak tahan lagi.Namun, terpaksa aku menghentikan perdebatan ini saat Naura terdengar memaksa Rani untuk keluar dari kamar kami. Kutarik napas dalam, lalu aku embuskan secara perlahan. Kubawa langkahku pergi dari ruang tamu, akan tetapi bukan berarti aku setuju untuk tetap mempertahankan rumah tangga kami.“Ibu!” panggil Naura saat aku membuka pintu. Mata gadis kecilku itu terlihat memerah, menahan tangis. Kupeluk dia dengan erat. “Ibu baik-baik saja?” tanyanya. Terpaksa kepala ini mengangguk agar dia tak khawatir.Aku alihkan pandanganku kepada Rani. Kulihat gadis itu menggigit bibirnya. “Aku nggak apa-apa, Ran. Terima kasih ya sudah menjaga Naura untukku,” ucapku tulus. Rani mengangguk singkat.“Sekar
***Sesuai yang ibunya mas Rafa katakan, beliau membawaku ke rumah sakit setelah itu. Tak lupa aku menelpon Sabrina agar dia datang menemani. Namun, ternyata dia tak datang sendirian. Ada Arlan dan Ari bersamanya.“Ini udah keterlaluan banget sih, Ra! Beraninya Rafa mukulian kamu sampai berdarah-darah!” ujar Sabrina marah. Dia tampak tak peduli meskipun ibu mertuaku juga ada di ruangan yang sama dengan kami.“Sab,” tegurku merasa tak tega melihat ekspresi bersalah di wajah Ibu. Mungkin dia sekarang sadar anak yang dia bela sanggup memukuli seorang wanita.Sabrina melirik malas ke arah ibu. “Maaf Bu, tapi sebagai satu-satunya sahabat Zahra dan satu-satunya keluarga baginya, aku nggak akan tinggal diam. Aku akan laporin masalah ini ke pihak berwajib!” tegasnya.Aku meringis. “Sudah Sabrina, cukup. Masalah ini kita bicarakan nanti saja,” pintaku memohon pengertiannya.Namun, aku lihat Ibu menggelengkan kepalanya. “Zahra benar kamu mau pisah dari Rafa?” tanyanya dengan mata yang berkaca-k
***Bukti perselingkuhan mas Rafa dengan Alin membuat Mbak Diah tersenyum lebar. Pengacaraku itu yakin tak akan ada halangan untukku berpisah dari mas Rafa.“Untung aku ngadu ke Arlan,” kekeh Sabrina membanggakan dirinya.Aku mengangguk singkat. “Terima kasih,” ucapku.“Makasih ke Arlan udah, Ra?” tanya Sabrina.Sekali lagi aku menganggukkan kepala.“Terus sekarang gimana, Mbak?” Aku mengalihkan tatapan pada mbak Diah. Tahu betul Sabrina ingin menggodaku lagi soal mas Arlan, makanya segera kualihkan saja pandangan ini pada mbak Diah.Wanita berkaca mata itu menjelaskan langkah kami selanjutnya. Cukup lama kudengarkan penjabarannya hingga hasil akhirnya adalah aku hanya perlu menunggu beberapa waktu lagi untuk benar-benar berpisah dari mas Rafa.Jujur, kesedihan terasa di hati ini sebab masih tak kusangka rumah tangga yang dulu harmonis kini hancur tak bersisa. Namun, bertahan dengan lelaki itu bukan jalan yang aku mau. Luka yang dia beri terlalu dalam kurasa.“Sekarang kamu hanya haru
Usai menemui Sabrina dan pengacara yang di rekomendasikannya Dua hari yang lalu, aku terus menerus termenung sendirian di teras belakang toko kueku. Dokumen yang diminta oleh pengacaraku cukup rumit. Terlebih bukti perselingkuhan mas Rafa sebelum dia menikahi Andin. Namun, fakta bahwa dia sudah cukup lama tak menafkahiku secara bathin maupun materi membuat pengacaraku berkata kami memiliki jalan untuk mengajukan perceraian ke pengadilan.Akan tetapi, aku tak puas bila masih ada celah untuknya mempertahankan pernikahan ini. Sebab, aku benar-benar ingin kami berpisah. Aku sudah tidak mencintainya lagi. Luka yang pernah dia torehkan dihatikan sudah cukup dalam dan pedih. Tak mampu diriku menyembuhkannya meskipun mas Rafa telah berubah.Makanya kini aku sedang berpikir keras, apa sekiranya yang dapat kujadikan bukti agar tuntutanku di pengadilan semakin sempurna.Aku mendesah berat. Tiba-tiba suara Sinta mengintrupsi diriku.“Ada apa Sin?”“Ada tamu,” jawab Sinta ketika aku bertanya.Dahi
***“Siapa sebenarnya yang bicara dengan lelaki itu?” bisik Sabrina. Sejak tadi dia terlihat sangat penasaran dan tidak sabaran. Sama halnya denganku sebenarnya, tapi aku berusaha untuk tak terlalu mencolok. Kami bisa saja ketahuan oleh selingkuhan Andin.“Apa mungkin itu madumu, Ra?” Sabrina kembali berbisik. Aku menggeleng, tak ingin menduga-duga.“Rama. Nama lelaki itu Rama, Sab. Dia juga sudah dipecat dari kantorku,” Mas Arlan tiba-tiba menyebutkan nama lelaki itu.Aku dan Sabrina tidak tahu siapa namanya. Bahkan Sabrina yang pernah menguntitnya saja tidak tahu namanya.“Ohh, jadi namanya Rama?” Sabrina membeo. Mas Arlan mengangguk singkat sebagai jawaban.“Jangan-jangan dia sedang bicara dengan Andin? Terus anak yang Andin lahirkan ternyata benar anaknya!”“Tapi Andin bilang itu anak mas Rafa, Sab,” sahutku tak kalah pelan.Sabrina berdecak sebal. “Andin kan tukang bohong, Ra! Bisa saja kan dia bicara seperti itu agar dia merasa benar,” ucapnya.Entahlah, aku tak tahu. Tak pentin