***
Aku pikir aku akan menang dari Andin. Namun, ternyata akal liciknya masih jauh untuk aku lampaui.
"Mas, Andin berbohong! Aku tidak pernah selingkuh dengan Mas Arlan!"
"Mas Arlan? Hebat kamu sekarang, Zahra! Sudah berani bertutur manis dengan lelaki itu. Jangan mentang-mentang aku menikahi Andin terus kamu bisa kembali pada mantan!" bentak Mas Rafa sambil menunjuk wajahku. Kasar sekali. Demi apapun, dituduh oleh Andin saja hatiku sangat sakit, ditambah sekarang Mas Rafa tak mempercayai ucapanku.
"Aku nggak mungkin kembali pada Mas Arlan. Kami saja baru bertemu lagi, Mas. Tolong percaya aku! Di sini Andin yang berselingkuh. Dia ingin mengadu domba kita berdua!"
"Masih menyangkal kamu Mbak Zahra? Buktinya ada di ponselku ini," sahut Andin. "Dan, kalau memang aku yang selingkuh mana buktinya? Tunjukan pada Mas Rafa," tantangnya.
"Aku memang tak memiliki bukti perselingkuhanmu, Andin, tapi beberapa kali aku melihatmu j
***Perhatian Andin beralih pada Naura. Begitu juga denganku dan Mas Rafa."Naura, jawab tante Andin dengan jujur!" ujar wanita itu. "Apakah ibumu sering bertemu dengan Om Arlan akhir-akhir ini?" tanyanya.Jantungku berdegup kencang mendengar itu. Pupil mataku pun melebar.Benar saja! Naura mengangguk, mengiakan pertanyaan Andin."Apa?" teriak Mas Rafa. " Ibumu pernah bertemu dengan Arlan sebelum ini, Naura?" tanyanya dengan suara yang kencang. Membuat tubuh kecil Naura menciut ketakutan. Naura mengangguk. "I-iya Ayah," cicitnya. Lalu ia berlari kembali ke kamar kami.Api amarah berkubang di wajah Mas Rafa setelah itu."Mas aku bisa jelaskan. Mas salah paham,""Apalagi yang mau kamu jelaskan Mbak? Tadi Mbak sendiri yang bilang Naura akan berkata jujur. Jawabannya tentu mewakili perbuatan Mbak selama ini di belakang Mas Rafa," ucap Andin sambil tersenyum sinis."Sudah Mas, ceraika
***Acara pembukaan toko kueku untuk pertama kalinya sukses diselengarakan hari ini. Aku senang sekali karena launching perdana banyak yang datang."Kayaknya akan laris manis toko kuemu, Ra," ucap Mas Arlan kala kami sedang beres-beres. Entahlah, dia baik sekali sampai sudi membantuku hingga selesai.Aku tersenyum lebar setelah murung selama Dua minggu terakhir. "Aamiin. Semoga saja ya Mas. Lumayan uangnya untuk Naura besar nanti," balasku.Mas Arlan mengangguk. Kulihat tatapan matanya agak berbeda. Membuatku melayangkan tanya. "Kenapa, Mas?" Dahiku berkerut dalam karena penasaran."Maaf sebelumnya Zahra, kenapa suamimu tidak ada di tempat ini sejak tadi?"Aku tersentak. "Mas Rafa?" tanyaku."Dia sedang ada urusan pekerjaan, Mas. Nggak bisa datang."Sengaja aku tak ingin memperpanjang obrolan itu."Urusan pekerjaan kayaknya lebih penting darimu ya, Ra. Lihat Arlan dong, dia
***"Apalagi yang mau kamu lakukan, Ndin?" tanyaku pada wanita itu.Andin semakin memperlihatkan senyum sinisnya. "Kasihan kamu Mbak Zahra. Kalau aku jadi kamu mending minta cerai saja," katanya.Mudah sekali mengucapkan hal yang paling dibenci Allah itu."Aku bukan dirimu Ndin yang dengan mudahnya meninggalkan Hendri demi Mas Rafa. Sadar kamu, Andin! Allah nggak tidur!""Nggak usah bawa-bawa nama Tuhan, Mbak," ucapnya tak ingin dinasihati.Astagfirullah. Madu macam apa yang Engkau titipkan di rumah ini ya Allah. Aku tak sanggup lagi menghadapi kelicikannya. Maafkan aku jika mulut atau tangan ini sampai menyakitinya juga."Pergilah Ndin, aku sedang tak ingin berdebat denganmu.""Mbak Zahra takut? Di mana keberanian Mbak Dua minggu yang lalu? Bukankah Mbak mengancam akan memberitahu Mas Rafa tentangku?" bisik Andin. Mungkin dia taku
***Masih kutunggu jawaban Mas Rafa atas peemintaan Andin. Namun, lelaki itu belum juga mengambil keputusan.Aku tak bisa diam saja. Sudah saatnya bergerak maju. Aku yakin Andin diam-diam memiliki masalah yang pelik hingga sampai ingin mendorongku pergi seperti ini.Dua hari setelah kejadian itu Andin benar-benar uring-uringan. Dia sering muntah dan memiliki perasaan yang berantakan. Akhirnya aku menghubungi Sabrina, meminta sahabatku itu stay kalau-kalau Andin semakin bertingkah aneh."Sekarang Andin sedang hamil," ucapku pada Sabrina ketika kami sedang berada di toko kueku. "Setiap hari dia marah-marah," Aku melanjutkan."Anak Rafa?""Itu juga yang ingin aku ketahui, Sab. Apakah yang dikandungnya adalah anak Mas Rafa atau anak selingkuhannya,""Andin juga memaksa Mas Rafa untuk menceraikanku,""Apa?" Sabrina membola. Kepalaku mengangguk mengiakan itu."Waahhh ada yang men
***Satu hal yang tak bisa aku lupakan dari percakapan tadi sore adalah ucapan terima kasih Mas Rafa karena menurutnya aku telah bersikap pengertian.Sakit sekali hati ini, Tuhan. Bukan aku memberinya pengertian dan mengalah untuk Andin, tapi aku hanya ingin berhenti mempersulit hidupku sendiri dengan terus tinggal di rumah ini.Aku pun merasa khawatir akan keadaan Naura. Takut Andin melampiaskan kekesalannya pada putri semata wayangku itu."Baiklah, jadi kamu sudah siap, Ra?" tanya Sabrina.Hanya untuk informasi, setelah Mas Rafa selesai dengan apa yang ingin dia bicarakan, aku buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Sabrina.Di sini airmataku akhirnya tumpah. "Aku sudah siap, Sab. Tolong bantu aku membalas rasa sakit hatiku pada Andin dan Mas Rafa. Aku sudah cukup memberi mereka waktu untuk meminta maaf dan merenungi kesalahan mereka," ucapku.Masih dalam jaringan telepon kami bersahut kata. Dapa
***"Ibu!" ujar Naura saat aku baru saja memutuskan panggilan telepon dengan Sabrina.Untunglah tak ada lagi sisa airmata di pipi. "Kenapa, Nak?" tanyaku.Naura menghampiri. Tiba-tiba ia berbisik sesuatu. Aku terkejut. Pupil mataku melebar mendengar itu. "Maksudmu tante Andin marah pada seseorang yang ada di telepon?" tanyaku mengulang bisikannya.Sambil memeluk boneka barbie miliknya itu Naura mengangguk."Dan dia bilang Mas ini anakmu?"Sekali lagi Naura mengiakan dengan anggukan kepala. "Apa artinya itu, Bu?" tanyanya. Tentu saja dia tak akan mengerti, tapi aku sudah pasti memahami.Mampus kamu Andin! Aku hanya perlu mencari bukti, setelah itu kamu yang akan aku depak dari rumah ini."Bu, apa artinya? Naura penasaran!" desak Naura membuatku sadar dari lamunan."Bukan apa-apa. Jangan bilang ke Ayah ya!""Tapi kenapa Bu?""Pokoknya jangan bilang k
***Naura masih saja rewel meskipun aku sudah membujuknya."Ibu jahat! Nau mau pulang, Bu!" ujar putriku. Mendengar ia mengataiku jahat membuat hati ini hancur. "Nau, Ibu nggak jahat. Tapi kita belum bisa pulang sekarang. Kita harus menemukan rumah baru kita, Sayang," ucapku."Tapi Nau nggak mau pindah Bu. Nanti kalau Naura kangen Ayah bagaimana?""Apa Naura rela berpisah dari Ibu? Kalai memang Nau rela Ibu akan izinkan Naura tinggal bersama Ayah dan tante Andin," tanyaku pada Naura. Jujur saja aku tak rela dia bersama Mas Rafa dan si madu, tapi jika memang Naura keras kepala tak mau pindah, aku bisa apa selain mengizinkannya tetap tinggal di sana."Naura juga nggak mau berpisah dari Ibu," cicit anak gadisku. Sekarang aku menyadari ketakutannya. Naura bukan pembangkang, tapi ia hanay takut Ayah dan Ibunya benar-benar berpisah.Ya Allah apa yang harus aku lakukan? Kasihan putriku jika aku dan Mas Rafa benar-benar berpi
***Sepulang dari mencari rumah, aku langsung menemui Mas Rafa. Kebetulan dia juga sudah pulang dari kantornya."Mas, aku dan Naura sudah mendapatkan rumah baru untuk kami. Secepatnya kami akan pindah dari rumah ini, sesuai dengan yang Mas inginkan." Aku berucap pada Mas Rafa sebagai pemberitahuan bahwa aku dan Naura akan segera pindah dari rumah ini. Tahu bagaimana respon Mas Rafa? Suamiku tersebut tersenyum lebar mendengar ucapanku.Aku menggeleng heran melihatnya. Tidakkah dia menyesal membuang kami seperti ini? Dia tak ingat Seperti apa perjuangan kami di masa lalu hingga rumah impian kami yang sederhana ini dapat dibangun? Astaghfirullah."Syukurlah kalau begitu, Mas senang mendengarnya. Andin juga akan sangat senang, dia tak perlu lagi merasa tak nyaman bila ada kamu di sini," ucap Mas Rafa."Sejujurnya hingga saat ini aku masih tak menyangka Mas, aku akan keluar dari rumah ini karena kamu mengusirku,""Mas tak