Sore itu, aku kembali ke rumah. Dengan langkah pelan, menyusuri paving, belum pernah bunyi daun kering yang berasal dari pohon mangga di samping garasi berbunyi semenggema ini. Keadaaan hening memgggetarkan hati.Perlahan kubuka pintu yang terbuat dari jati dan kaca itu, kubuka lebar membiarkan angin berebut, menghembuskan hawa dingin dari ruang belakang, ujung jilbabku melayang, hawa itu menusuk hati dan membawa suasana sendu tersendiri.Kududukkan badan di sofa besar ruang tamu, lalu memindai sekitar rumah dengan tatapan kosong netraku. Di dinding sebelah kanan foto keluarga kami masih terpampang indah, dengan baju seragam dan senyum bahagia, kami terlihat harmonis layaknya keluarga utuh yang tidak akan terpisahkan."Mas Hamdan ... aku tak menyangka bahwa kau yang merusak keluarga kita," bisikku dengan suara yang tercekat di tenggorokan.Air mataku kembali meleleh, meresapi keheningan dan status baru sebagai janda Hamdan. Ya, aku sangat benci dengan sebutan itu, tapi kenyataannya
Malam harinya sekitar pukul setengah sepuluh, setelah kupastikan anak-anak makan dengan baik lalu mengantar mereka ke kamar tidur. Aku kemudian beralih ke pintu depan untuk menguncinya.Namun, baru saja aku anak mengunci pintu juga tubuh seseorang itu lalu mendorongnya dengan keras, sesosok tubuh mencekal tanganku dengan keras, rambutku yang panjang sepunggung terurai menutupi wajah karena tertiup angin kencang oleh sebab sebentar lagi akan hujan.Kebetulan karena aku tidak menyalakan lampu utama, hanya lampu remang-remang di pinggir dinding dinding, membuatku sulit memindai siapa yang datang."Lepaskan aku!" Aku mengenali aroma parfum yang akulah sendiri memilihkan yang untuknya."Kenapa lepaskan, kau masih istriku!""Putusan pengadilan sudah usai," ucapku. Tiba-tiba dia mengunci tangan ini ke bagian belakang punggung, lalu memutar tubuhku hingga posisinya, aku terkunci di dalam pelukan Hamdan."Lepaskan ... aku tidak mau ada keributan karena anak-anak baru saja kutenangkan perasa
Aku terkesiap, tanganku refleks menutup mulut dengan terkejut, tubuhku gemetar dan tungkaiku seakan kehilangan tulangnya. Aku gemetar, tubuhku bergetar hebat, menyaksikan ayah anakkku terkapar begitu saja di ubin ruang tamu."Raihan ....""Aku tidak bisa membiarkan Ayah memperlakukan Ibu seperti itu," jauhkan aku dengan nada yang tidak kalah bergetar pula sepertinya ini adalah pertama kalinya dia melakukan kekerasan dalam hidupnya."Pergilah ke kamar dan bersikaplah seolah tidak tahu apa-apa," ucapku merampas piala dari tangannya."Apa yang ibu lakukan dengan itu.""Aku akan membersihkannya lalu mengaku kepada semua orang bahwa akulah yang memukul Mas Hamdan," jawabku parau."Tapi ibu tidak bersalah," balas Raihan dengan gelengan kepala."Tahukah kamu apa yang akan terjadi jika semua orang tahu kamu yang sudah memukul ayahmu? bukan hanya masuk penjara, tapi reputasimu akan hancur, sekolah akan mengeluarkanmu dan semua orang akan mencibir bahwa kau adalah anak yang durhaka.""Aku tida
Kutepikan mobil tempat di depan ruko usaha Mas Hamdan, waktu telah menunjukkan pukul 12:15 malam sementara suasana sudah sangat sepi sekali, hanya sesekali lolongan anjing dan juga suara kendaraan dari kejauhan.Ting ....Kupencet bel, berharap wanita itu akan segera bangun dan menyadari bahwa ada orang yang sedang menunggunya di bawah."Maura ... assalamualaikum ...," panggilku."Maura ...." Berkali-kali kuulang panggilan namun itu tidak kunjung memberikan jawaban."Ya Allah wanita ini benar-benar manja, malas dan menyusahkan," gumamku sambil menggedor roliing door dan pintu terali samping."Iya, iya ... siapa sih," jawab suara dari atas sana, kedengarannya wanita itu menggerutu, lalu tak lama kemudian terdengar langkah kakinya menuruni tangga."Ini aku," jawabku mendecak kecil."Oh, kamu Mbak?"Perlahan suara kunci diputar dan tak lama kemudian pintu pun terbuka, tapi sayang, tidak dibuka dengan sempurna, rupanya wanita itu nampak sangat berhati-hati dengan kehadiranku di tempatny
"Sungguhkah?" Nampaknya wanita itu sangat syok, saking syoknya, dia bahkan tak menemukan kata kata, nada bicaranya nyaris tidak terdengar, mungkin tertahan di tenggorokan."Tanyakan padanya, bukankah dia ada di sampingmu?""Benar Mas! Benarkah itu Mas!" Wanita itu mengguncang bahu Mas Hamdan."Ayo katakan yang sebenarnya Mas Hamdan, bukankah itulah kenyataannya, bahwa kau dengan segala kebengisanmu ingin memperkosaku?""Ayo katakan Mas, katakan ....!" Mas Hamdan dengan airmata berderai, rasa-rasanya wanita itu tidak terima jika suaminya meniduri wanita lain."Tidak Maura, itu hanya ....""Jangan bohong Mas, jangan berdusta, katanya kamu tidak akan menyentuh Mbak Aisyah atau membagi perasaanmu dengan wanita itu lagi. Apa kabar dengan semua sumpah dan janji itu? apa itu hanya cara untuk merayuku?!""Apakah kau merasa tersakiti ketika perhatian dan cinta Mas Hamdan terbagi, apa kau sekarang merasakan apa yang dulu kurasakan, hmm?"Wanita itu tertegun, sontak terdiam, tidak berani menja
"Ibu, Maura tidak bermaksud begitu, Maura hanya ....""Kau suka sekali menciptakan jarak dan membuat perselisihan, apa maksud dan tujuanmu? Kupikir kau akan jadi menantu yang menyenangkan kami semua, ternyata kau sangat berbeda dari dugaan," ucap Ibu mertua sambil menggeleng pada menantunya."Tapi Mas Hamdan juga salah, kabarnya Mbak Aisyah sudah gugat cerai kenapa Mas Hamdan masih saja mendekati Mbak Aisyah dan ingin menidurinya?"Nampaknya ibu mertua sontak terkejut mendengar ungkapan Maura, mungkin dari sekian jumlah orang yang tahu tentang perceraianku, hanya dia yang tidak diberi kabar demi menjaga kesehatan jantung dan hipertensinya."Apa katamu, Aisyah cerai?!""Benar, bahkan sudah sudah kali sidang, terbukti, saya melihat surat panggilan sidang pertama Minggu kemarin," balasnya dengan sengit."Sungguhkah Aisyah?" Ibu mertua terbelalak tidak percaya.Hah, dasar wanita sialan, dia kembali menambah kerepotan dan kegeraman dalam hidupku. Sudah masalah dengan Hamdan belum terse
Setelah usai percakapan yang membuat Maura hampir kelojotan, kuputuskan untuk mohon diri dan meninggalkan rumah sakit."Kalau begitu saya pulang ya, Bu, tolong maafkan saya," ucapku berpamitan."Iya, hati hati, biar Hamid mengantarmu jika kau tak yakin bisa berkendara dengan aman," ucap Ibu mertua menerima uluran tanganku."Tidak usah Bu, aku akan baik baik saja," jawabku tersenyum tipis lalu mengalihkan diriku kepada ayah mertua untuk menyalaminya."Lho, ayah, apa Mbak Aisyah tidak akan dihukum atas perbuatannya?" Maura mengalihkan perhatian kami semua, entah kenapa dia masih saja bersikap menyebalkan."Ckck, tidak usah, ini masalah rumah tangga ... masalah pribadi mereka, apa kamu mau Hamdan dipermalukan di kantor polisi karena ingin meniduri wanita yang masih jadi istrinya?" tanya Ayah mertua pada menantu mudanya."Tapi mereka sudah ....""Keputusan pengadilan hanya formalitas. Jika hubungan bisa diperbaiki mengapa tidak?"Jawaban telak ayah mertua membuat raut wajah Maura makin
"Siapa Aisy?" tanya Irsyad sambil mengernyit heran melihatku melongok ke bawah."Itu lihat sendiri, mantan suami yang gemar menguntit diri ini," ucapku sambil menunjukkan padanya, di bawah sana Mas Hamdan masih terlihat murka."Hahahah, lucu ya, dia yang menduakanmu, malah kini dia yang kebakaran jenggot dan mengikutimu, jenis pria seperti itu adalah pria serakah yang egois," ucap Irsyad sambil menggeleng prihatin."Ah, iya, aku juga merasa demikian, kupikir setelah perceraian aku akan baik baik saja, ternyata hidupku malah makin rumit saja," jawabku mengeluh."Jadi, apa yang akan kau lakukan, turun marah atau mengabaikannya?""Daripada marah, lebih baik kunikmati suasana cafe ini sambil makan steak yang katanya harus kuberikan ulasan," jawabku tertawa."Oh iya juga ya, aku akan siapkan," ucap Pria itu sambil beralih ke belakang untuk memesankan sepiring sapi panggang.Selagi Irsyad memesankan makanan, urai ponsel dari dalam tas selalu menghubungi orang yang terlihat kepanasan emosi
Mungkinkah sikap arogan Mas Irsyad ditengarai oleh kecemburuannya yang begitu besar kepada Hamdan atau mungkinkah karena dendamnya padaku karena sudah menyakiti Elsa, entahlah, aku tak tahu, yang jelas aku merasa sangat sakit dan tersinggung. Air mataku berurai pedih dan menyesal. "Andai aku tidak termakan kata kata manis dan bujukan sejak awal, mungkin aku tidak akan pernah menikahi pria busuk seperti Irsyad. Dia hanya baik di awal dan kejam di akhir, dia benar benar membalikkan persepsiku tentang perilaku dan sifatnya."Pagi menjelang, matahari menyapa, tapi aku enggan menatapnya. Diri ini masih terbaring di ranjang meski waktu sudah menunjukkan pukul tujuh."Kamu tidak bangun untuk menyiapkan sarapanku dan anak-anak?""Aku sedang tidak enak badan dan kalian bisa beli makanan di drive thru, anak anak akan senang," jawabku dari balik selimut."Aneh sekali sikapmu hari ini Aisyah," gumamnya."Memangnya aku tidak boleh sakit memangnya sesekali aku tidak boleh libur dari rutinitas rum
"Berani sekali istrimu memukulku, aku kesakitan Mas, aku kesakitan ...." Wanita itu meraung dan menjerit kesakitan sambil berusaha melindungi dirinya di belakang Mas Irsyad.Saat itu yang aku rasakan tidak ada lagi kewarasan, hanya sakit, panas hati dan amarah yang menggelegak. Saking tak tahannya aku dengan kekesalan, rasa-rasanya ubun-ubun ini ingin meleleh."Beraninya kau mengusik suamiku, menghapus ketentraman rumah tangga dan membuat hidupku tidak nyaman!" Aku melesat ke belakang Mas Irsyad, tanpa bisa dicegah aku langsung mencekik leher wanita itu sampai dia terdorong dan terdesak tepat di depan tangga rumah."To-tolong... Akh ... akkk ...." Wanita itu meronta "Aisyah, stop, ya Allah, Aish, please, lepasin Elsa." Mas Irsyad berusaha menengani tapi sia sia saja.Nafas wanita itu mulai sesak dan megap-megap, dia ingin mengatakan sesuatu tapi tidak bisa. Aku yang seakan dirasuki sebuah kekuatan besar terus menekan lehernya hingga nyaris saja wanita itu meregang nyawa dengan bola
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Seminggu kami jalani hidup tanpa tegur sapa dan saling menjauhi. Lebih tepatnya aku yang menjaga jarak dan menjauhi Mas irsyad. Begitu dia mendekati, terlebih ketika di kamar, anak aku langsung bangun dan memasang jarak. Bukannya dia tak mencoba membujuk hanya saja aku yang menolak bujukannya.Seperti ketika suatu malam dia mendekat, mencoba memeluk dan menciumku dengan paksa seperti yang selama ini dia lakukan kala aku merajuk kecil. Sontak, aku berontak dan mendorongnya. Aku menghardik dengan kesal agar dia jangan memaksakan dirinya padaku."Aku bukan pelacur atau wanita yang bisa kau perkosa kapan pun. Enyahlah dari hadapanku.""Mengapa kau marah sekali, aish. Ini sudah hampir seminggu, gak takutkah kamu akan dosa menolak hasrat suami.""Kenapa tidak kau bagi saja hasrat itu kepada wanita yang masih kau cintai!" Tentu saja Mas Irsyad terkejut dan wajahnya langsung pucat. Pria itu mengigit bibir lalu bersurut mundur."Apa? Kenapa diam, Kenapa tidak kau temui mantan istrimu lalu ung
Tak mau terus menyiksa batinku sendiri dengan terus menguping pembicaraan Mas Irsyad dan mantan istrinya akhirnya kuputuskan untuk turun saja mengambil air minum dan kembali ke kamar.Namun sebelum aku melanjutkan langkah, kembali perasaan marahku meronta-ronta. Haruskah aku melabrak dan meneriakinya, lalu mencecarnya dengan banyak pertanyaan mengapa dia berani sekali menelepon wanita lain di tengah malam dan memberinya kata-kata yang indah. Oh Tuhan, hatiku dilema.Ingin kutahan diri tapi rasa haus seakan menusuk tenggorokan sehingga aku tidak punya pilihan.Dengan gaun tidur yang masih menjuntai ke lantai, aku berjalan ke dapur. Melihatku tiba-tiba datang pria itu terkesiap dan kaget. Dengan salah tingkah dia segera mematikan ponsel dan menyembunyikan benda itu di bawah dudukannya. Tapi sayang, aku melihatnya.Aku yang pura-pura tidak tahu apa-apa hanya berjalan dengan cuek lalu mengambil gelas dan memencet dispenser lantas kuteguk air sambil berusaha menahan diriku."Kok belum tid
Hal yang baru saja dia katakan memantik sebuah keheranan di hatiku. Di satu sisi dia ingin aku membiarkannya untuk berhubungan baik dengan Elsa namun sebaliknya ketika aku dan Mas Hamdan berkomunikasi dan hendak menjalin hubungan baik lagi, dia seakan sangat keberatan dan benci."Mungkinkah suamiku adalah penganut pernikahan terbuka di mana dia bebas melakukan apa saja dengan dunia dan teman wanita, sementara aku akan terjerat dan harus mematuhi semua aturan yang dibuat. Bukankah itu tidak adil?!"Alangkah arogan dirinya ketika mengatakan bahwa aku tidak boleh turut serta dalam acara aqiqah yang diselenggarakan Mas Hamdan sementara dia terus malah padaku agar bisa menemui mantan istrinya dengan berbagai alasan kurasa jika aku sudah jengah sendiri dan bosan, dia akan kutinggalkan.Kadang timbul kesesakan tersendiri di dalam hatiku, keheranan entah mengapa aku selalu gagal menjalin tali pernikahan. Apakah aku memang harus ditakdirkan punya suami ajaib yang tidak pernah sesuai dengan
Mungkin aktivitas romantis yang kami lakukan semalam yang membuat moodku membaik di pagi hari. Aku bangun, menyibak tirai jendela membiarkan matahari menghangatkan setiap sisi ruangan rumah. Aku beranjak ke dapur untuk menjerang air dan membuat sarapan keluarga. Selagi menunggu air mendidih luperiksa ponsel yang Alhamdulillah tidak ada notifikasi apa apa. Ya, bagiku kehadiran notifikasi selalu membuat diri ini berdebar dan cemas. Selalu, setiap kali ada yang menghubungi pasti ada masalah atau apa saja yang berkemungkinan merepotkan diri ini."Ah, andai setiap hari hidup kita seperti ini, pasti akan menyenangkan sekali," gumamku sambil menakar bubuk kopi dan gula ke dalam cangkir suami."Bunda ...." Anak anak turun lebih pagi, mereka terlihat sudah rapi degan seragam dan sunggingan senyum yang ceria. "Bagaimana malam tadi, apa kalian tidur dengan nyenyak?""Tentu, kami tidur dengan nyaman dan pulas sekali, Icha tidur bersamaku dan kami sempat membaca buku cerita dan dongeng. Oh ya
"Tidak perlu harus sedramatis itu, Aish, wanita itu sudah demikian tersakiti," ujar Mas Irsyad sambil menutup pintu mobilnya."Jadi kau membelanya?""Bukan begitu?""Mas ... Kalau kamu memang merasa kasihan dan sayang pada wanita itu maka tinggalkan aku dan pilihlah dia, aku tidak akan keberatan sama sekali.""Aisyah, kamu hanya salah paham.""Cukup, jangan mengulur pembicaraan dan mengulang situasi yang sama. Situasi yang pernah aku rasakan bersama Mas Hamdan, aku sudah bosan, demi tuhan, aku ingin menghindarinya," jawabku sambil beranjak masuk ke dalam rumah."Bisa kita pura pura baik baik saja setidaknya di depan Icha, kasihan anakku, dia pasti bingung ....""Aku juga tidak mau membuat anakmu bingung tapi dia pun harus diberi pengertian dan harus tahu seperti ini kondisi orang tuanya sekarang, anak itu harus menyadarinya, Mas.""Jangan terkesan memaksa " Mas Irsyad memburuku di tangga."Lebih cepat tahu lebih baik. Anak anak harus diajari dari sekarang contoh bahwa kita tidak boleh
Akhirnya aku dan anak tiriku berkendara satu mobil menuju rumah ibunya. Aku sebenarnya punya rencana sendiri untuk membongkar apa yang sebenarnya terjadi. Besar keyakinanku bahwa wanita itu hanya pura pura amnesia untuk meraih perhatian semua orang.Sepuluh menit kemudian kami sampai di rumah bercat cream dengan taman kecil dan pohon palem di depannya. Elsa terlihat menunggu di depan teras, senyumannya terkembang saat melihat Fortuner milik Mas Irsyad. Meski tertatih namun semangat dan visual ceria terlihat sekali di wajahnya. Melihat ibunya mendekat, Aisyah membuka pintu dan menyambut, mereka berpelukan dan hendak masuk. Alangkah terkejut Elsa saat mendapati diri ini duduk di kursi depan di dekat mantan suaminya. Raut wajahnya berubah syok dan tidak nyaman."Hai, Elsa," sapaku sambil melambai kecil, bahagia sekali melihat wanita kesal."Siapa dia Mas?"Mas Irsyad nampak ragu, tapi aku yang tidak suka mengulur waktu segera memberi tahu bahwa aku istrinya. Biasanya reaksi orang yang