Keesokan hari, sekitar pukul tujuh malam, usai suamiku kembali dari pekerjaannya di kota. Kami salat magrib berjamaah dan menikmati makan malam."Mari kita ke rumah Hamdan," ucapnya ketika aku membereskan piring ke wastafel. Dia pun ikut membantu ku mengangkut piring-piring itu ke tempat cuci piring dan membersihkan meja."Ngapain?""Membicarakan harta harta yang dia inginkan," balas suamiku pelan, tapi nadanya tegas."Lagi dia tidak membahasnya kurasa aku pun tidak perlu ikut membahasnya.""Tapi pria itu bisa mengungkit kapanpun dan membuat ketenangan kita terusikkan. Lebih baik kita selesaikan dari awal sehingga tidak ada lagi peluang untuk menuntut, sehingga aku dan kamu pun bahagia dengan cita-cita dan program hidup kita.""Mas Hamdan tentu akan merasa bahwa kamu yang menghasut diri ini untuk berbagi atau menuntut harta gono gini.""Terserah apa penilaiannya, aku tak peduli, yang penting kita bisa menyelesaikan semua itu dengan cepat.""Baiklah Mas jika itu maumu," balasku.Usai
"Jangan datang kemari hanya untuk memamerkan kekayaanmu, aku tahu aku bukanlah laki-laki yang suksestapi aku masih punya harga diri!" Mas Hamdan menghentak suamiku sembari menggebrak meja dengan kepalan tangannya."Mohon maaf sebelumnya, aku tidak pamer, jangan pasang mindset bahwa aku datang ke sini ingin menunjukkan kehebatan. Aku sedang mengembalikan kata kata yang kau ucapkan, jika kau ingin usir anak istrimu, maka aku siap menampung mereka beserta kebutuhannya.""Halah, gayamu! Kau pasti punya modus tersembunyi pada mantan istriku, bukankah dulunya dia adalah investormu?""Betul, tapi sudah kukembalikan apa yang kupinjam.""Kami punya rumah megah dengan dekorasi mewah, kami punya lahan dan sawah luas yang aliran airnya selalu ada dan menguntungkan," kau pasti inginkan itu, Irsyad. Ternyata kau pandai sekali mencuri hati Aisyah! Katakan padaku, bagaimana caranya," kata Mas Hamdan dengan sinis."Hanya kuberikan ketulusan dan rasa hormat, aku tidak pernah merayu Aisyah dengan barang
"mengapa dia marah, Mas?""Seperti yang kamu dengar," jawab suamiku menghela napasnya."Aku tidak mendengar dengan jelas," balasku bersandiwara."Dia minta uang jajan untuk Icha, aku pun lupa mengirimnya kemarin," jawab Mas Irsyad sembari merebahkan badan."Kemarin bukannya dia datang, kenapa tidak langsung mengingatkan? apakah dia marah karena sikap kita waktu itu?""Tidak tahu, tapi aku akan segera mengirimkan uangnya," jawab Mas Irsyad."Berapa buang jajan Icha.""Sejuta seminggu."Ah, lumayan besar juga rupanya, tapi insya Allah kami masih bisa menanganinya. Mas Irsyad juga punya lestoran dan akupun juga punya tabungan jadi kita bisa saling meringankan tentang uang belanja anak-anak."Aku akan dengan senang hati membantumu jika kau kesulitan Mas," ujarku dengan tulus."Tidak, aku masih bisa menanganinya, Aish.""Jangan sungkan padaku, jika kamu merasa kesulitan, tolong ungkapkan saja.""Insya Allah, sekarang mari beristirahat," balas suamiku sambil mengecup kening ini.Tak terasa
Hari itu aku ke kota menyusul suami yang sibuk mengurusi beberapa cabang restorannya. Sebagai pengusaha, dia merasa berkewajiban melihat perkembangan dan memeriksa kinerja karyawannya sehingga jadwal kepulangannya menjadi tertunda.Setelah menunggu anak anak kembali dari sekolahnya, kami bertiga segera meluncur ke kota yang berjarak dua jam dari tempat tinggal kami. Sudah kusiapkan makanan kesukaan Mas Irsyad, rencananya sampai di sana kami akan langsung membongkar rantang dan menikmati sate lilit serta sup kikil buatanku.Kutelpon Mas Irsyad, tak lama dia menjawab dan menyapa "Assalamualaikum, Mas.""Walaikum salam, Bund.""Mas ada di mana, kita lagi on the way ke sana," ucapku senang."Wah, sungguhkah, aku senang sekali, Bund. Segeralah datang, aku ada di cabang Sudirman," balasnya. Itu adalah cabang utama restoran Mas Irsyad yang cukup ramai pembeli dan langganan."Baik, Mas, sekitar sepuluh menit lagi sampai," ujarku ketika baru saja sampai di gerbang timur kota. Setelah mampir
Sepulang suamiku dari restorannya, kami semua segera bersiap siap untuk pergi menghabiskan waktu dan bergembira ke taman hiburan. Anak anak antusias dan senang sekali karena untuk pertama kalinya kami akan pergi ke wahana permainan terbesar di kota ini."Aku hanya dengar kabar dan lihat gambarnya di hp, jadi aku ingin main ke sana sesekali Om," ujar Raihan."Zahra pun ingin memainkan banyak permainan dan beli pernak pernik," balas Zahra."Tapi, kurang lengkap kalau tidak ajak Icha," ujar Raihan."Bagaimana kalau dijemput saja Mas," usulku."Uhm, aku akan bicara pada ibunya agar dia menyiapkan Icha," jawab Mas Irsyad dengan senyum lebarnya."Kira kira diizinkan gak?""Ya pasti dong, selama ini juga begitu," jawab suamiku sambil menekan ponselnya.Ketika benda itu dijawab dari seberang sana, Mas Irsyad agak menjauhi kami untuk bicara."Assalamualaikum Elsa," sapanya."Walaikum salam, ada apa?""Aku ingin mengajak Icha ke taman hiburan, tolong siapkan dia," suruh suamiku dengan lembut
"Aku hanya terkenang, kok, Mbak,. Bukan maksudku untuk menggoda." Wanita itu membela diri dengan wajah sedikit kesal dan memberengut."Dan aku juga memberi tahu, tidak bermaksud menyindir," jawabku santai sambil melipat tangan di dada, "... jadi, perginya Mas?" tanyaku sambil melirik Mas Irsyad."Gimana dong, ini Elsa sakit .....""Kita hubungin aja orang tua atau keluarganya agar bisa menjaga Elsa sementara,," usulku."Masalahnya ... keluargaku sangat jauh dan orang tuaku juga sudah tua dan lemah, menjaga diri ini akan menyusahkan mereka. Lagipula ini malam, Papa dan Mamaku gak mungkin datang," jawabnya parau."Jadi, kau ingin kami semua tetap tinggal di sini dan menemanimu?""Bukan begitu, kalau kalian tetap bersikeras ingin pergi ke taman hiburan maka berangkat saja. tapi tolong, izinkan Mas Irsyad tetap di sini siapa tahu aku butuh ke rumah sakit," jawabnya tanpa mempedulikan perasaanku.Enak saja!"Maaf ya aku tidak bisa meninggalkan suamiku berduaan dengan wanita yang bukan
Berkat perdebatan yang terjadi di mobil, kini kami sekeluarga berada dalam situasi canggung. Bahkan setelah sampai di rumah pun, kami tetap saling mendiamkan satu sama lain.Aku bisa merasakan anak-anak merasa kali kepada ayah tirinya, terbukti mereka tidak berani bertanya di mana harus tidur dan apa yang mereka lakukan. Kedua putra dan putriku hanya duduk di ruang tamu sambil melipat tangan mereka dengan ekspresi kecewa yang tidak bisa disembunyikan."Ada 2 kamar kosong di lantai 2 kau bisa menyuruh anak-anak untuk tidur di sana," bisik suamiku dengan lembut."Baik, terima kasih, Mas."Kuhampiri anak-anak di ruang tamu dan dengan senyum hangat kusapa mereka, lalu menyuruhnya untuk segera pergi tidur karena Mereka terlihat lelah sekali."Ada kamar untuk harian di lantai 2, kalian bisa tidur dan beristirahat dengan nyaman.""Maaf Bund, Kami ingin pulang ke rumah saja.""Tapi ini sudah malam nak terlalu jauh dan Bunda tidak berani menyetir kemalaman," balasku."Kami tidak nyaman ber
"Siapa yang membuatmu kesal sampai ekspresi wajahmu sekesal itu?" tanya Mas Irsyad yang tanpa sengaja melihat ekspresiku menekan keyboard."Hamdan.""Boleh tidak, jika aku memintamu untuk memblokir nomornya agar kau dan dia tidak lagi saling berhubungan?""Kalau untuk perhubungan khusus antara laki-laki dan perempuan itu tidak lagi, Mas. paling-paling yang aku bicarakan hanya tentang anak-anak dan keadaan mereka.""Kalau Hamdan ingin menemui anak-anakmu dia bisa langsung mendatangi rumah," balas Mas Irsyad."Dia harus datang dengan cara mengabariku terlebih dahulu agar situasi nyaman untuk semua orang, aku juga tidak mau dikunjungi di saat waktu yang tidak tepat." Aku tersenyum sambil menghampiri suami dan menepuk pelan pundaknya."Aku hanya risih, Bund.""Serisih diriku pada Mantan istrimu, dia cukup agresif," balasku tertawa kecil."Seagresif apapun, selagi aku tak menanggapinya, kau tak perlu khawatir. Andai aku masih mencintainya maka tak akan kunikahi kau Bunda," balas suamiku de