Mayang langsung meninggalkan Darsih yang kini sudah berlinang mata. Entah siapa yang salah saat ini. Keduanya tidak bisa diajak berbicara dalam waktu dekat. Mayang butuh menenangkan hati karena ulah sang ibu."Lho? Mbak Mayang mau tinggal di rumah calonnya, ya? Belum nikah kok diizinkan Bu Darsih? Apa nanti jatuhnya nggak zina?" Salah satu tetangga Darsih justru seolah membuat masalah semakin panas.Darsih menjatuhkan air mata dengan menundukkan wajah. Ia menatap tajam ke arah wanita yang saat ini tersenyum menghina. Darsih sudah sangat muak dengan apa yang selalu diucapkan. Wanita itu gemar sekali merendahkan merendahkan setiap orang tanpa berkaca terlebih dahulu."Dengar, ya, kamu! Jangan suka membuat kesimpulan dahulu. Mayang punya harga diri. Sementara ini dia akan tinggal di rumah baru. Aku tidak sama sepertimu. Kamu dan anakmu-lah yang sangat murah. Hamil di luar nikah!" desis Darsih dan membuat perempuan itu terkejut. Selama ini Darsih hanya akan diam saja ketika dihina dan di
Revan terpaksa harus mau dekat dengan Ara. Ia tidak mau sang bunda marah besar. Murni sengaja ikut karena masih kesal sang putra. Revan memang pandai berakting di depan banyak orang."Kalian nggak pengen punya momongan cepat?" tanya Aldo,salah satu saudara Ara yang menjadi pengusaha tambang."Maunya cepat, Mas. Tapi, Allah belum memberikannya hingga saat ini pernikahan kami hampir satu tahun." Revan dengan santainya menjawan ucapan itu seolah keluarga yang bahagia. Ara hanya bisa tersenyum kecut saat ini. Menaklukan hati Revan luar biasa sulit. Perjuangannya sama sekali tidak ada hasil. Ara hampir saja putus asa.Satu hal yang ia manfaatkan, perasaan hutang budi Revan. Ada banyak rencana yang menari-nari di otaknya. Hanya saja Ara masih gengsi untuk melakukan rencana itu. Revan terlalu sulit untuk digapai."Semoga secepatnya mendapatkan momongan. Hidup kita akan berbeda jika ada anak kecil di rumah." Aldo memang tidak tahu apa pun tentang masalah rumah tangga Ara dan Revan.Menurut c
Inama tampak tersenyum lembut pada kedua wanita muda di depannya itu. Ara pun langsung memeluk sang mama. Mereka hampir tidak pernah bertemu. Jadwal kunjungan kedua orang tua Ara ke rumah baru sang putri dan suaminya juga sering gagal.Haris Manggala lebih memilih untuk mendahulukan bisnis. Sebab, masih bisa menemui sang putri di kantor. Pun dengan Inama yang aktif dalam kegiatan sosial akhir-akhir ini. Mereka sangat sulit untuk bertemu.Dering ponsel Gita membuat Ara melepaskan pelukannya. Gita langsung meninggalkan Ara dan Inama. Ia tidak mau kedua anak dan ibu itu tahu rencananya. Semua bisa gagal saat ini. "Halo.""Kamu pantau terus Revan. Jangan sampai lepas. Hancurnya keluarga kamu karena keluarga dia. Bahkan sampai sekarang ibumu masih di berada di rumah sakit jiwa.""Jangan ragukan kemampuanku. Aku tidak akan berbuat sejauh ini jika tidak ada hasil. Aku yakin akan berhasil membuatnya hancur juga keluarganya."Gita langsung mematikan sambungan telepon itu sepihak. Ara datang m
Sarti--tetangga Mayang sengaja datang ke kafe. Darsih terjatuh dan harus dilarikan ke rumah sakit karena pingsan. Semua tetangga heboh karena panik. Darsih seperti orang yang sedang banyak pikiran saat ini."Eh, mari masuk, Mbak Sarti." Mayang bersiap membuka kembali pintu kafe-nya."Nggak usah, Mbak. Saya di sini saja. Memang sengaja menunggu kafe ini tutup. Mbak Mayang, Bu Darsih masuk ke rumah sakit. Tadi sore jatuh di depan kamar mandi. Keadaannya belum sadar hingga saat ini." Sarti sangat sedih saat ini."A-apa yang terjadi sama Ibu, Mbak?" tanya Mayang yang saat ini panik dan gugup.Sarti menggeleng pelan karena sejujurnya tidak tahu penyebab Bu Darsih jatuh. Warga lantas heboh dan segera memanggil ambulans. Hanya dua tetangga saja yang menemani Bu Darsih saat ini. Kabar terakhir, sosok wanita yang melahirkan Mayang itu belum siuman. "Rumah sakit mana, Mbak?" tanya Mayang segera merogoh ponselnya."Rumah Sakit Mitra Sehat," jawab Sarti yang saat ini takut pada Mayang.Mayang l
Banyak orang yang meremehkan Revan saat ini. Wajar? Tentu saja, selama ini sosok suami Ara itu tidak punya prestasi apa pun. Prestasi Revan tertutup dengan masalah kebangkrutan yang menimpa Adhyatsa Grup. Ia dianggap tidak becus dalam mengelola perusahaan. Andai saat ini Adhyatsa Grup bisa kembali bangkit, itu karena bantuan dari Haris Manggala. Rahasia umum yang pada akhirnya diketahui banyak orang. Menyakitkan? Tentu, Revan sangat tidak suka jika diremehkan oleh siapa pun. Suami Ara itu lantas menatap tajam pada pegawai yang tadi menggunjingnya."Selamat siang, mohon maaf atas keterlambatan saya. Saya akan bekerja keras. Untuk itu saya mohon kerja samanya," kata Revan sengaja menahan amarahnya."Selamat datang, Pak Revan. Perkenalkan, saya Robi, ini teman saya, Reno, dan ada lagi namanya Pak Gito. Beliau sedang keluar untuk makan siang," kata Robi sambil mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Revan.Robi seolah tidak punya dosa sama sekali. Ia tadi menggunjing Revan. Jelas
Yani, teman lama Mayang kini berada di sini. Entah apa yang dilakukan salah satu teman indekos Mayang saat kuliah itu di kota ini. Mereka berdua sudah tidak pernah berkomunikasi lagi sejak Yani diam-diam menyebarkan berita buruk tentang Mayang. Lebih tepatnya mantan kekasih Revan itu tidak mau lagi kenal dengan Yani."Kamu nggak suka ketemu aku?" tebak Yani saat melihat ekspresi datar dari teman satu indekos-nya dulu itu. "Ya, begitulah. Maaf, ojek online yang aku pesan sepertinya sudah datang. Lagi pula, kita tidak ada keperluan untuk bertemu," kata Mayang dengan ketus.Yani tentu saja terkejut mendengar ucapan Mayang. Gadis yang dulu sangat ramah kini sangat berbeda. Lebih tepatnya, Mayang sombong. Setidaknya itu penilaian Yani saat ini."Wow! Kamu sombong sekarang. Nggak ingat dulu saat kuliah sangat susah. Sekarang aja baru punya kafe udah selangit gaya kamu." Yani membuat langkah Mayang terhenti seketika."Bukan sombong, hanya saja, aku tidak mau dekat dan mengenal orang yang su
Inama memang sengaja memberikan kejutan pada putri dan menantunya. Ia dan sang suami sama sekali tidak memberitahu jika hendak datang. Sontak Ara berusaha menetralkan wajahnya saat itu. Tidak dipungkiri, istri Revan itu sangat terkejut."Mama, kok datang nggak ngavari dulu?" Ara bersikap seolah tidak ada yang terjadi sama sekali. "Tau gitu tadi Ara persiapkan semuanya," kata Ara sengaja agar Murni dan Revan tidak curiga."Sengaja, Mama dan Papa mau kasih surprise. Kamu ngapain berdiri di depan pintu?" tanya Inama sambil merentangkan tangan hendak memeluk sang putri."Aku mau ke bawah, Ma. Tadi ponsel aku bergetar makanya aku berhenti di sini," dusta Ara yang sangat meyakinkan agar kedua orang tuanya tidak curiga. Haris memeluk Ara bergantian dengan sang istri. Revan dan Murni pun segera keluar dari kamar. Mereka berdua tentu sangat terkejut. Revan tampak sangat canggung ketika kedua mertuanya datang saat hari sudah gelap."Revan, gimana betah tinggal di Semarang?" tanya Haris sambil
Gilang memang selalu menghindari pertengkaran dengan Mayang. Lebih baik mengalah pada calon istrinya itu daripada mereka bertengkar. Pertengkaran tidak hanya menguras emosi juga akan melibatkan banyak hal. Jika Darsih tahu mereka bertengkar, pasti akan membela Gilang. "May, aku pamit pulang, ya. Kayaknya udah sore," kata Gilang yang saat ini berusaha meredam amarahnya."Oke." Mayang bahkan tidak mengantar Gilang hingga depan pintu.Jangankan mengantar, menatap Gilang pun tidak. Mayang tidak suka jika Gilang banyak bertanya ini dan itu. Sejujurnya, pertanyaan itu adalah pertanyaan sangat sederhana. Akan tetapi, Mayang sangat sensitif dengan pertanyaan itu.Sejak kejadian itu, Gilang jarang berkunjung ke kedai Mayang yang ada di Jakarta; sibuk persiapan tes dan tugas di kampus. Pun dengan Mayang yang seolah seperti tidak ada kabar. Sesekali mereka memang berkabar dengan berkirim pesan. Mereka hanya bertanya kabar saja tidak lebih.Hari ini, Mayang sengaja pulang dulu ke Semarang. Kafe