Hardi hanya tersenyum saja saat ditatap oleh Ara dan Gita. Ia hanya bercanda. Bagaimana bisa memberikan tumpangan pada dua sahabat baik itu. Hardi selalu memakai motor."Oh, ya, Git, aku ga bisa antar kamu, ya. Ada sedikit urusan. Kamu bareng sama Hardi saja. Dia tadi sudah menawarkan tumpangan." Ara seolah membuka jalan keduanya agar bisa dekat. "Hardi, aku minta maaf atas insiden tadi pagi. Aku sudah jelaskan sama, Papa. Mohon maaf sekali lagi atas kejadian tak mengenakkan tadi," lanjut Ara sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Hardi tampak tertegun mendengar Ara meminta maaf. Semua tahu jika sosok wanita yang kini menjadi istri Revan itu adalah seorang bos besar. Akan tetapi, adab-nya luar biasa baik. Ara sosok yang mempunyai kepribadian sangat baik."Tidak masalah, Bu Andhara," jawab Hardi dan sukses membuat Gita bingung saat ini."Ya, tapi, aku ga enak sama kamu. Papa, emang orangnya suka gitu. Main tuduh saja," kata Ara merasa tidak enak hati pada asisten sang suami.
Murni sama sekali tidak berkutik saat ini. Ia terpaksa diam dan tidak ikut mengobrol bersama dengan menantunya. Gita tak akan segan mengeluarkan kata-kata yang berpotensi membuka aibnya di masa lalu. Ara merasa suasana mendadak canggung saat ini."Kamu udah sarapan, Git? Kalo belum sarapan dulu. Aku tunggu," kata Ara sekadar mencairkan suasana pagi ini yang mendadak tegang."Udah. Kalo kamu yang masak aku mau makan. Kalo yang lain aku ga mau. Takut ada sesuatu di dalamnya," kata Gita menyindir Murni dan sang putra.Revan merasa sahabat sang istri sedang mengajak bertengkar sang bunda. Tentu saja ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki yang saat ini melipat kemeja hingga ks siku itu tampak tidak suka pada Gita. Revan tidak terima ketika sang bunda direndahkan."Jaga bicaramu! Bukan berarti karena kau sahabat dekat Ara lantas bisa menghina Bundaku sesuka hati. Aku lihat sejak awal, kau memang suka sekali mencari masalah." Revan mengatakan dengan nada dingin dan menatap tajam ke arah Gita.
Gita masih terus membuka media sosialnya. Hardi sosok yang ada di samping Gita itu hanya diam. Matanya juga sibuk melihat kafe pada ponsel Gita. Hingga sahabat Ara itu menyadari keberadaan seseorang di sampingnya."Hai, Gita! Kamu udah lama?" tanya Hardi dengan senyum lebar menghias wajah tampannya itu."Barusan." Gita pun menutup aplikasi media sosial itu dengan cepat.Gita memasukkan ponsel dalam tas yang dibawanya. Ia lantas diam dan melihat ke arah pintu ruang rapat. Sudah ada beberapa orang yang masuk. Gita beranjak dari duduknya dan langsung menuju ke arah pintu."Maaf, tadi aku ikut lihat Instagram punyamu. Apa nama akun punyamu?" tanya Hardi sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana belakangnya."Cigita," jawab Gita singkat sambil berjalan sedikit cepat untuk mencari tempat duduk.Hardi tercenung saat mendapati sikap Gita yang sangat dingin. Sahabat dari istri Revan itu tidak biasanya bersikap seperti itu. Bahkan saat Hardi menatap wajah manis Gita, gadis itu tampak me
Tina--wanita yang telah melahirkan Gilang itu mengenal Mayang. Gadis berkulit putih bak porselen itu pernah menolongnya saat kecopetan. Saat Tina berbelanja di salah satu pasar yang ada di Kota Semarang, pernah apes kecopetan. Uang Tina didalam dompet benar-benar ludes beserta dompetnya diambil pencopet."Ibu, apa kabar?" tanya Mayang sambil tersenyum ramah pada wanita yang masih terlihat cantik di usia senja itu."Lho? Kalian kenal?"Gilang justru menyela obrolan sang ibu dan calon menantu. Ia sangat penasaran dengan karena kedua wanita berbeda generasi itu sudah saling kenal. Dunia mungkin hanya selebar daun kelor saja. Gilang kini menatap sang ibu dan bergantian dengan Mayang."Iya, Mas. Aku kenal Ibu beberapa waktu yang lalu.""Lha kalo tahu calon istri kamu Mayang, udah Ibu dan Bapak lamarkan, le."Wajah Mayang tampak merona saat ini. Ia malu ketika Tina mengatakan hal itu. Bukan tidak mau dilamar, Mayang masih menyimpan nama Revan dalam hati. Rasanya tidak adil, dilamar oleh lak
Paman Mayang--Sanusi dari sang ibu mendadak datang dari Jakarta. Ia sama sekali tidak dikabari jika ada acara seperti ini. Sanusi datang bersama dengan anak dan istri untuk tinggal di kota ini. Tampak raut wajah tidak suka dari Darsih saat melihat sang adik."Mbak, ini ada acara apa di rumahku?" tanya Sanusi tidak tahu malu sama sekali. "Acara lamaran untuk Mayang. Oh, ya, ini rumahku. Memang warisan dari Bapak dan Ibu, punyamu sudah kamu jual dulu. Jadi, tidak ada hak kamu atas rumah ini," jawab Darsih yang tidak mau diakali oleh sang adik. Mayang merasa tidak enak hati pada keluarga Gilang karena ulah sang paman. Ia takut pandangan keluarga Gilang berubah. Pengalaman masa lalu membuat Mayang mudah berkecil hati ketika menjalin hubungan dengan seseorang. Apalagi, saat ini baru saja selesai lamaran."Kamu nantangin aku? Aku akan laporkan ke polisi. Jelas-jelas ini rumah aku. Kamu sama anak kamu hanya numpang saja!" Sanusi merasa tidak terima direndahkan dan dibuka aibnya. "Sudah-su
Mayang langsung meninggalkan Darsih yang kini sudah berlinang mata. Entah siapa yang salah saat ini. Keduanya tidak bisa diajak berbicara dalam waktu dekat. Mayang butuh menenangkan hati karena ulah sang ibu."Lho? Mbak Mayang mau tinggal di rumah calonnya, ya? Belum nikah kok diizinkan Bu Darsih? Apa nanti jatuhnya nggak zina?" Salah satu tetangga Darsih justru seolah membuat masalah semakin panas.Darsih menjatuhkan air mata dengan menundukkan wajah. Ia menatap tajam ke arah wanita yang saat ini tersenyum menghina. Darsih sudah sangat muak dengan apa yang selalu diucapkan. Wanita itu gemar sekali merendahkan merendahkan setiap orang tanpa berkaca terlebih dahulu."Dengar, ya, kamu! Jangan suka membuat kesimpulan dahulu. Mayang punya harga diri. Sementara ini dia akan tinggal di rumah baru. Aku tidak sama sepertimu. Kamu dan anakmu-lah yang sangat murah. Hamil di luar nikah!" desis Darsih dan membuat perempuan itu terkejut. Selama ini Darsih hanya akan diam saja ketika dihina dan di
Revan terpaksa harus mau dekat dengan Ara. Ia tidak mau sang bunda marah besar. Murni sengaja ikut karena masih kesal sang putra. Revan memang pandai berakting di depan banyak orang."Kalian nggak pengen punya momongan cepat?" tanya Aldo,salah satu saudara Ara yang menjadi pengusaha tambang."Maunya cepat, Mas. Tapi, Allah belum memberikannya hingga saat ini pernikahan kami hampir satu tahun." Revan dengan santainya menjawan ucapan itu seolah keluarga yang bahagia. Ara hanya bisa tersenyum kecut saat ini. Menaklukan hati Revan luar biasa sulit. Perjuangannya sama sekali tidak ada hasil. Ara hampir saja putus asa.Satu hal yang ia manfaatkan, perasaan hutang budi Revan. Ada banyak rencana yang menari-nari di otaknya. Hanya saja Ara masih gengsi untuk melakukan rencana itu. Revan terlalu sulit untuk digapai."Semoga secepatnya mendapatkan momongan. Hidup kita akan berbeda jika ada anak kecil di rumah." Aldo memang tidak tahu apa pun tentang masalah rumah tangga Ara dan Revan.Menurut c
Inama tampak tersenyum lembut pada kedua wanita muda di depannya itu. Ara pun langsung memeluk sang mama. Mereka hampir tidak pernah bertemu. Jadwal kunjungan kedua orang tua Ara ke rumah baru sang putri dan suaminya juga sering gagal.Haris Manggala lebih memilih untuk mendahulukan bisnis. Sebab, masih bisa menemui sang putri di kantor. Pun dengan Inama yang aktif dalam kegiatan sosial akhir-akhir ini. Mereka sangat sulit untuk bertemu.Dering ponsel Gita membuat Ara melepaskan pelukannya. Gita langsung meninggalkan Ara dan Inama. Ia tidak mau kedua anak dan ibu itu tahu rencananya. Semua bisa gagal saat ini. "Halo.""Kamu pantau terus Revan. Jangan sampai lepas. Hancurnya keluarga kamu karena keluarga dia. Bahkan sampai sekarang ibumu masih di berada di rumah sakit jiwa.""Jangan ragukan kemampuanku. Aku tidak akan berbuat sejauh ini jika tidak ada hasil. Aku yakin akan berhasil membuatnya hancur juga keluarganya."Gita langsung mematikan sambungan telepon itu sepihak. Ara datang m