Pak Gito tersenyum ramah pada Haris. Tentu saja sosok pebisnis besar itu tampak heran. Apakah Ara meminta Pak Gito untuk mengantarkannya? Entah, kadang Ara sama sekali tidak bisa ditebak jalan pikirannya."Iya. Pak Gito tahu di mana Ara?" tanya Haris ingin memastikan ucapan sang sopir pribadinya."Ya. Mbak Ara tadi menghubungi saya. Sekarang Mbak Ara ada di kantornya. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kemungkinan tidak akan kembali ke kantor ini." Pak Gito membuat Revan salah tingkah saat ini.Revan hanya bisa berharap jika kebohongannya tidak diketahui oleh papa mertuanya. Revan memasang wajah serius kali ini. Haris menoleh ke arah sang menantu."Syukurlah jika istri kamu ke kantor. Papa pikir dia pergi tanpa tentu arah." Haris tampak sangat lega saat ini.Revan mengembuskan napas karena lega ketika Haris sama sekali tidak mencurigainya saat ini. Setidaknya kali ini Revan aman. Entah untuk selanjutnya karena ada pepatah yang mengatakan jika sepandai-pandainya tupai melomp
Hardi hanya tersenyum saja saat ditatap oleh Ara dan Gita. Ia hanya bercanda. Bagaimana bisa memberikan tumpangan pada dua sahabat baik itu. Hardi selalu memakai motor."Oh, ya, Git, aku ga bisa antar kamu, ya. Ada sedikit urusan. Kamu bareng sama Hardi saja. Dia tadi sudah menawarkan tumpangan." Ara seolah membuka jalan keduanya agar bisa dekat. "Hardi, aku minta maaf atas insiden tadi pagi. Aku sudah jelaskan sama, Papa. Mohon maaf sekali lagi atas kejadian tak mengenakkan tadi," lanjut Ara sambil menangkupkan kedua tangan di depan dada. Hardi tampak tertegun mendengar Ara meminta maaf. Semua tahu jika sosok wanita yang kini menjadi istri Revan itu adalah seorang bos besar. Akan tetapi, adab-nya luar biasa baik. Ara sosok yang mempunyai kepribadian sangat baik."Tidak masalah, Bu Andhara," jawab Hardi dan sukses membuat Gita bingung saat ini."Ya, tapi, aku ga enak sama kamu. Papa, emang orangnya suka gitu. Main tuduh saja," kata Ara merasa tidak enak hati pada asisten sang suami.
Murni sama sekali tidak berkutik saat ini. Ia terpaksa diam dan tidak ikut mengobrol bersama dengan menantunya. Gita tak akan segan mengeluarkan kata-kata yang berpotensi membuka aibnya di masa lalu. Ara merasa suasana mendadak canggung saat ini."Kamu udah sarapan, Git? Kalo belum sarapan dulu. Aku tunggu," kata Ara sekadar mencairkan suasana pagi ini yang mendadak tegang."Udah. Kalo kamu yang masak aku mau makan. Kalo yang lain aku ga mau. Takut ada sesuatu di dalamnya," kata Gita menyindir Murni dan sang putra.Revan merasa sahabat sang istri sedang mengajak bertengkar sang bunda. Tentu saja ia tidak akan tinggal diam. Laki-laki yang saat ini melipat kemeja hingga ks siku itu tampak tidak suka pada Gita. Revan tidak terima ketika sang bunda direndahkan."Jaga bicaramu! Bukan berarti karena kau sahabat dekat Ara lantas bisa menghina Bundaku sesuka hati. Aku lihat sejak awal, kau memang suka sekali mencari masalah." Revan mengatakan dengan nada dingin dan menatap tajam ke arah Gita.
Gita masih terus membuka media sosialnya. Hardi sosok yang ada di samping Gita itu hanya diam. Matanya juga sibuk melihat kafe pada ponsel Gita. Hingga sahabat Ara itu menyadari keberadaan seseorang di sampingnya."Hai, Gita! Kamu udah lama?" tanya Hardi dengan senyum lebar menghias wajah tampannya itu."Barusan." Gita pun menutup aplikasi media sosial itu dengan cepat.Gita memasukkan ponsel dalam tas yang dibawanya. Ia lantas diam dan melihat ke arah pintu ruang rapat. Sudah ada beberapa orang yang masuk. Gita beranjak dari duduknya dan langsung menuju ke arah pintu."Maaf, tadi aku ikut lihat Instagram punyamu. Apa nama akun punyamu?" tanya Hardi sambil mengeluarkan ponsel dari dalam saku celana belakangnya."Cigita," jawab Gita singkat sambil berjalan sedikit cepat untuk mencari tempat duduk.Hardi tercenung saat mendapati sikap Gita yang sangat dingin. Sahabat dari istri Revan itu tidak biasanya bersikap seperti itu. Bahkan saat Hardi menatap wajah manis Gita, gadis itu tampak me
Tina--wanita yang telah melahirkan Gilang itu mengenal Mayang. Gadis berkulit putih bak porselen itu pernah menolongnya saat kecopetan. Saat Tina berbelanja di salah satu pasar yang ada di Kota Semarang, pernah apes kecopetan. Uang Tina didalam dompet benar-benar ludes beserta dompetnya diambil pencopet."Ibu, apa kabar?" tanya Mayang sambil tersenyum ramah pada wanita yang masih terlihat cantik di usia senja itu."Lho? Kalian kenal?"Gilang justru menyela obrolan sang ibu dan calon menantu. Ia sangat penasaran dengan karena kedua wanita berbeda generasi itu sudah saling kenal. Dunia mungkin hanya selebar daun kelor saja. Gilang kini menatap sang ibu dan bergantian dengan Mayang."Iya, Mas. Aku kenal Ibu beberapa waktu yang lalu.""Lha kalo tahu calon istri kamu Mayang, udah Ibu dan Bapak lamarkan, le."Wajah Mayang tampak merona saat ini. Ia malu ketika Tina mengatakan hal itu. Bukan tidak mau dilamar, Mayang masih menyimpan nama Revan dalam hati. Rasanya tidak adil, dilamar oleh lak
Paman Mayang--Sanusi dari sang ibu mendadak datang dari Jakarta. Ia sama sekali tidak dikabari jika ada acara seperti ini. Sanusi datang bersama dengan anak dan istri untuk tinggal di kota ini. Tampak raut wajah tidak suka dari Darsih saat melihat sang adik."Mbak, ini ada acara apa di rumahku?" tanya Sanusi tidak tahu malu sama sekali. "Acara lamaran untuk Mayang. Oh, ya, ini rumahku. Memang warisan dari Bapak dan Ibu, punyamu sudah kamu jual dulu. Jadi, tidak ada hak kamu atas rumah ini," jawab Darsih yang tidak mau diakali oleh sang adik. Mayang merasa tidak enak hati pada keluarga Gilang karena ulah sang paman. Ia takut pandangan keluarga Gilang berubah. Pengalaman masa lalu membuat Mayang mudah berkecil hati ketika menjalin hubungan dengan seseorang. Apalagi, saat ini baru saja selesai lamaran."Kamu nantangin aku? Aku akan laporkan ke polisi. Jelas-jelas ini rumah aku. Kamu sama anak kamu hanya numpang saja!" Sanusi merasa tidak terima direndahkan dan dibuka aibnya. "Sudah-su
Mayang langsung meninggalkan Darsih yang kini sudah berlinang mata. Entah siapa yang salah saat ini. Keduanya tidak bisa diajak berbicara dalam waktu dekat. Mayang butuh menenangkan hati karena ulah sang ibu."Lho? Mbak Mayang mau tinggal di rumah calonnya, ya? Belum nikah kok diizinkan Bu Darsih? Apa nanti jatuhnya nggak zina?" Salah satu tetangga Darsih justru seolah membuat masalah semakin panas.Darsih menjatuhkan air mata dengan menundukkan wajah. Ia menatap tajam ke arah wanita yang saat ini tersenyum menghina. Darsih sudah sangat muak dengan apa yang selalu diucapkan. Wanita itu gemar sekali merendahkan merendahkan setiap orang tanpa berkaca terlebih dahulu."Dengar, ya, kamu! Jangan suka membuat kesimpulan dahulu. Mayang punya harga diri. Sementara ini dia akan tinggal di rumah baru. Aku tidak sama sepertimu. Kamu dan anakmu-lah yang sangat murah. Hamil di luar nikah!" desis Darsih dan membuat perempuan itu terkejut. Selama ini Darsih hanya akan diam saja ketika dihina dan di
Revan terpaksa harus mau dekat dengan Ara. Ia tidak mau sang bunda marah besar. Murni sengaja ikut karena masih kesal sang putra. Revan memang pandai berakting di depan banyak orang."Kalian nggak pengen punya momongan cepat?" tanya Aldo,salah satu saudara Ara yang menjadi pengusaha tambang."Maunya cepat, Mas. Tapi, Allah belum memberikannya hingga saat ini pernikahan kami hampir satu tahun." Revan dengan santainya menjawan ucapan itu seolah keluarga yang bahagia. Ara hanya bisa tersenyum kecut saat ini. Menaklukan hati Revan luar biasa sulit. Perjuangannya sama sekali tidak ada hasil. Ara hampir saja putus asa.Satu hal yang ia manfaatkan, perasaan hutang budi Revan. Ada banyak rencana yang menari-nari di otaknya. Hanya saja Ara masih gengsi untuk melakukan rencana itu. Revan terlalu sulit untuk digapai."Semoga secepatnya mendapatkan momongan. Hidup kita akan berbeda jika ada anak kecil di rumah." Aldo memang tidak tahu apa pun tentang masalah rumah tangga Ara dan Revan.Menurut c
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma