"Pikirkan lagi tentang perusahaan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh mendiang ayahmu. Aku hanya tidak ingin perusahaan itu bangkrut. Pastikan jika Haris Manggala benar-benar mau membantu." Adhyatsa tampak tersenyum miring setelah mengatakannya.Revan sudah paham kemana arah pembicaraan itu. Secara tidak langsung sang kakek meminta jatah. Enak saja! Revan tidak akan membagi apa pun lagi pada kakek tua tidak tahu diri."Tuan Haris pasti membantu perusahaan Adhyatsa Grup. Hanya saja aku tidak akan membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Cukup kemarin ada pencurian uang perusahaan tanpa sepengetahuanku," kata Revan dan membuat Adhyatsa menelan makanannya dengan susah payah. "Aku akan menemui Tuan Haris dan mempercepat pernikahan itu," lanjut Revan lantas berdiri dan meninggalkan meja makan.Murni hanya bisa menghela napas panjang saat mendengar setiap kali cucu dan kakek itu berdebat. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Revan sangat kaku dalam segala hal dan tidak punya hati s
Ara mendekati sahabat sekaligus sang papa. Ada Murni yang saat ini menjadi ibu mertua Ara. Murni tampak sangat canggung. Ia merasa kecil dekat dengan mereka bertiga."Enggak naksir, cuma tanya aja, Ra," kata Gita sambil tersenyum penuh kepuasan.Gita merasa salah tingkah dengan Ara yang kini sedang mengulum senyum. Murni mendadak pergi meninggalkan mereka semua. Tanpa sepatah kata pun dan membuat ayah dan anak itu terkejut. Haris dan Ara saling pandang dan membuat mereka berdua heran."Bunda kenapa, Pa?" tanya Ara yang tidak mengerti dengan sikap bunda mertuanya itu. Haris menggedikkan bahu karena tidak paham dengan sikap istri mendiang sahabatnya. Rupanya Revan memperhatikan kejadian itu. Ia menyangka jika Ara dan sahabatnya juga Haris membuat sang bunda bersedih. Revan mengepalkan tangannya karena kesal saat ini.'Rupanya kalian sengaja membuat masalah sejak awal,' kata Revan dalam hati dengan kesal.Suasana rumah Haris kini sudah sepi. Semua tamu undangan sudah pulang. Hanya tingg
Sudah hampir pukul sebelas malam, tetapi Revan belum juga sampai di rumah. Ara cemas bukan kepalang hingga melewatkan makan malamnya. Ia tidak berani menghubungi sang suami sama sekali. Sejak pukul delapan malam, Ara sibuk berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan pintu teras rumah barunya itu."Nak Ara, sebaiknya tidur dulu. Nanti kalo Revan pulang, biar Bunda bangunkan," kata Murni yang menyadari jika Ara sama sekali tidak tidur kali ini. "Eh? Enggak Bunda. Bunda istirahat saja. Biar aku yang menunggu Mas Revan," jawab Ara dengan ramah pada Murni.Murni merasa tidak enak hati pada sang menantu karena kejadian tadi pagi. Revan tampak sangat kasar padahal ini adalah hari pertama mereka berumah tangga. Rasanya memang sangat berbeda dari biasanya, Revan seperti membuat dinding tak kasat mata. Dinding itu begitu kokoh dan sangat tinggi.Deru mesin mobil milik Revan akhirnya masuk ke halaman rumah. Ara sangat senang melihat kedatangan sang suami. Ia tidak tahu jika Revan meninggalkan k
Hari ini ada rapat dengan Adhyatsa Grup. Hardi yang datang mewakili karena Revan harus mengurus pekerjaan lain yang tak kalah penting. Dewan direksi Adhyatsa Grup ada rapat tertutup dan satu alasan untuk suami Ara agar tidak bertemu dengan sang istri. Menyakitkan, tetapi Ara berusaha paham dengan apa yang dilakukan sang suami saat ini."Kamu?" Ara langsung berdiri dan menyambut kedatangan sekretaris sang suami. "Mana Mas Revan? Apa dia ikut datang saat ini?" tanya Ara sambil menatap ke arah pintu.Pertanyaan itu otomatis membuat Hardi terkejut. Banyak praduga dalam benak Hardi, tetapi langsung ditepisnya. Mereka pasangan pengantin baru, mungkin saja tidak sempat berkomunikasi banyak. Mereka tidak saling kenal sebelumnya."Ya, ini saya. Saya mewakili Pak Revan untuk rapat siang ini. Beliau ada r7tgfauw,apat intern dengan dewan direksi kantor," kata Hardi dan membuat wajah Ara langsung kecewa.Ara berusaha menetralkan wajahnya saat ini. Ia tidak mau Gita curiga dan bertanya tentang bany
Beberapa hari setelah obrolan tentang keinginan Mayang untuk menyewa sebuah tempat untuk kafe, nyatanya benar-benar diwujudkan oleh gadis berkulit putih itu. Harga sewa tempat itu memang mahal karena lokasi strategis dan dekat dengan kampus. Sebuah kesempatan emas bagi Mayang untuk mencoba peluang bisnis satu ini. Uang kiriman nyasar itu akan ia manfaatkan saat ini.Selama beberapa waktu ini tidak ada orang yang menanyakan dan pihak bank juga tidak bertanya lebih lanjut lagi. Mayang sudah menyimpan nomor rekening pemilik uang itu. Akan tetapi, ia seolah enggan mengembalikan uang itu. Perasaannya mengatakan jika itu sebuah kebetuntungannya."Kamu sewa seratus juta itu uang dari mana? Apa, ya, bisa nutup selama setahun nantinya? Mending kamu kerja dan dapat gaji setiap bulannya," kata Bu Darsih yang sangat terkejut dengan harga sewa tempat itu."Sama saja, Bu. Justru kalo membuka usaha itu peluangnya lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja kantoran. Aku akan cepat bosan ketika setiap p
"Hanya obrolan biasa saja. Seputar pekerjaan." Hardi berusaha tenang saat ini. Ia memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hardi tidak mau gegabah ketika menjawab pertanyaan dari bos-nya itu. Pasti ada alasan dibalik pertanyaan Revan saat ini."Oke. Aku tidak ingin kamu terlalu dekat dengan sahabat Ara.""Baik, Pak Revan."Revan langsung memutuskan sepihak panggilan itu. Revan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa bodoh dengan apa yang baru saja dilakukannya itu. Revan melihat jika Hardi berbicara dan akrab dengan Gita.Bagi Revan itu adalah hal yang berbahaya. Ia tidak mau ada orang lain yang tahu jika dirinya bermasalah dalam rumah tangganya. Revan menduga jika Ara bercerita semua pada Gita yang notabene adalah sahabat baiknya itu. Tuduhan-tuduhan sepihak itu menari-nari begitu saja dalam benak Revan saat ini. Sementara itu, berita jika Mayang menyewa tempat di dekat kampus membuat kehebohan di kampung tempat tinggalnya. Banyak orang yang berspekulasi jika Mayang diam-di
Haris Manggala sengaja berhenti saat melihat sang putri kesayangan berada di tempat ini bersama dengan laki-laki lain. Tentu bukan hal baik bagi Ara. Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada sang papa."Tuan Manggala, maaf, jangan salah paham. Saya tidak sengaja melihat Bu Andhara berada di tempat ini. Kami tidak sengaja bertemu." Hardi tampak sangat gugup saat berada di depan sosok pengusaha kelas kakap itu.Ara tampak salah tingkah saat ini. Tatapan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu sangat tajam. Ara mendadak gelisah. Ia takut sang papa melihatnya saat Revan berbuat kasar."Apa yang dikatakan oleh Hardi benar adanya. Aku hanya ingin minum kopi saja. Sangat jarang bisa seperti ini." Ara kali ini berusaha tenang saat mengatakan kepada sang papa."Apa di rumah tidak bisa membuat kopi? Dan apakah pantas kamu seorang diri berada di sini. Kamu itu sudah menikah! Apa kata orang saat ada yang melihat kamu berdua dengan laki-laki lain?" Pertanyaan itu menunjukkan jika Haris san
Pak Gito tersenyum ramah pada Haris. Tentu saja sosok pebisnis besar itu tampak heran. Apakah Ara meminta Pak Gito untuk mengantarkannya? Entah, kadang Ara sama sekali tidak bisa ditebak jalan pikirannya."Iya. Pak Gito tahu di mana Ara?" tanya Haris ingin memastikan ucapan sang sopir pribadinya."Ya. Mbak Ara tadi menghubungi saya. Sekarang Mbak Ara ada di kantornya. Ada banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Kemungkinan tidak akan kembali ke kantor ini." Pak Gito membuat Revan salah tingkah saat ini.Revan hanya bisa berharap jika kebohongannya tidak diketahui oleh papa mertuanya. Revan memasang wajah serius kali ini. Haris menoleh ke arah sang menantu."Syukurlah jika istri kamu ke kantor. Papa pikir dia pergi tanpa tentu arah." Haris tampak sangat lega saat ini.Revan mengembuskan napas karena lega ketika Haris sama sekali tidak mencurigainya saat ini. Setidaknya kali ini Revan aman. Entah untuk selanjutnya karena ada pepatah yang mengatakan jika sepandai-pandainya tupai melomp