Mayang menoleh ke arah sang ibu. Ia segera mengusap air matanya. Dadanya mendadak sakit saat ini. Entahlah, ia sendiri tidak paham dengan apa yang sedang dirasakannya."Ikhlaskan Den Revan, Nak. Kita hanya manusia biasa yang berencana. Tapi, Allah tetap yang menentukan jodoh kalian. Kalian tidak berjodoh." Darsih seolah tahu apa yang dirasakan oleh Mayang saat ini. "Den Revan mungkin bukan laki-laki terbaik buat kamu," lanjut Darsih sambil mengelus puncak kepala sang putri semata wayangnya itu.Mayang benar-benar hancur saat diputuskan satu pihak oleh Revan. Alasan perjodohan dan restu orang tua membuatnya sangat berat. Tuan Adhyatsa adalah salah satu orang yang menentang hubungan keduanya. Perbedaan status sosial yang membuat keduanya harus berpisah. Setelah tangisnya reda, Mayang memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Wulan memang memutuskan untuk pulang ke kampung halaman sang ibu di Semarang setelah lulus kuliah. Tidak ada niat bekerja di Kota Bandung. Kenangan bersama Revan bena
"Pikirkan lagi tentang perusahaan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh mendiang ayahmu. Aku hanya tidak ingin perusahaan itu bangkrut. Pastikan jika Haris Manggala benar-benar mau membantu." Adhyatsa tampak tersenyum miring setelah mengatakannya.Revan sudah paham kemana arah pembicaraan itu. Secara tidak langsung sang kakek meminta jatah. Enak saja! Revan tidak akan membagi apa pun lagi pada kakek tua tidak tahu diri."Tuan Haris pasti membantu perusahaan Adhyatsa Grup. Hanya saja aku tidak akan membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Cukup kemarin ada pencurian uang perusahaan tanpa sepengetahuanku," kata Revan dan membuat Adhyatsa menelan makanannya dengan susah payah. "Aku akan menemui Tuan Haris dan mempercepat pernikahan itu," lanjut Revan lantas berdiri dan meninggalkan meja makan.Murni hanya bisa menghela napas panjang saat mendengar setiap kali cucu dan kakek itu berdebat. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Revan sangat kaku dalam segala hal dan tidak punya hati s
Ara mendekati sahabat sekaligus sang papa. Ada Murni yang saat ini menjadi ibu mertua Ara. Murni tampak sangat canggung. Ia merasa kecil dekat dengan mereka bertiga."Enggak naksir, cuma tanya aja, Ra," kata Gita sambil tersenyum penuh kepuasan.Gita merasa salah tingkah dengan Ara yang kini sedang mengulum senyum. Murni mendadak pergi meninggalkan mereka semua. Tanpa sepatah kata pun dan membuat ayah dan anak itu terkejut. Haris dan Ara saling pandang dan membuat mereka berdua heran."Bunda kenapa, Pa?" tanya Ara yang tidak mengerti dengan sikap bunda mertuanya itu. Haris menggedikkan bahu karena tidak paham dengan sikap istri mendiang sahabatnya. Rupanya Revan memperhatikan kejadian itu. Ia menyangka jika Ara dan sahabatnya juga Haris membuat sang bunda bersedih. Revan mengepalkan tangannya karena kesal saat ini.'Rupanya kalian sengaja membuat masalah sejak awal,' kata Revan dalam hati dengan kesal.Suasana rumah Haris kini sudah sepi. Semua tamu undangan sudah pulang. Hanya tingg
Sudah hampir pukul sebelas malam, tetapi Revan belum juga sampai di rumah. Ara cemas bukan kepalang hingga melewatkan makan malamnya. Ia tidak berani menghubungi sang suami sama sekali. Sejak pukul delapan malam, Ara sibuk berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan pintu teras rumah barunya itu."Nak Ara, sebaiknya tidur dulu. Nanti kalo Revan pulang, biar Bunda bangunkan," kata Murni yang menyadari jika Ara sama sekali tidak tidur kali ini. "Eh? Enggak Bunda. Bunda istirahat saja. Biar aku yang menunggu Mas Revan," jawab Ara dengan ramah pada Murni.Murni merasa tidak enak hati pada sang menantu karena kejadian tadi pagi. Revan tampak sangat kasar padahal ini adalah hari pertama mereka berumah tangga. Rasanya memang sangat berbeda dari biasanya, Revan seperti membuat dinding tak kasat mata. Dinding itu begitu kokoh dan sangat tinggi.Deru mesin mobil milik Revan akhirnya masuk ke halaman rumah. Ara sangat senang melihat kedatangan sang suami. Ia tidak tahu jika Revan meninggalkan k
Hari ini ada rapat dengan Adhyatsa Grup. Hardi yang datang mewakili karena Revan harus mengurus pekerjaan lain yang tak kalah penting. Dewan direksi Adhyatsa Grup ada rapat tertutup dan satu alasan untuk suami Ara agar tidak bertemu dengan sang istri. Menyakitkan, tetapi Ara berusaha paham dengan apa yang dilakukan sang suami saat ini."Kamu?" Ara langsung berdiri dan menyambut kedatangan sekretaris sang suami. "Mana Mas Revan? Apa dia ikut datang saat ini?" tanya Ara sambil menatap ke arah pintu.Pertanyaan itu otomatis membuat Hardi terkejut. Banyak praduga dalam benak Hardi, tetapi langsung ditepisnya. Mereka pasangan pengantin baru, mungkin saja tidak sempat berkomunikasi banyak. Mereka tidak saling kenal sebelumnya."Ya, ini saya. Saya mewakili Pak Revan untuk rapat siang ini. Beliau ada r7tgfauw,apat intern dengan dewan direksi kantor," kata Hardi dan membuat wajah Ara langsung kecewa.Ara berusaha menetralkan wajahnya saat ini. Ia tidak mau Gita curiga dan bertanya tentang bany
Beberapa hari setelah obrolan tentang keinginan Mayang untuk menyewa sebuah tempat untuk kafe, nyatanya benar-benar diwujudkan oleh gadis berkulit putih itu. Harga sewa tempat itu memang mahal karena lokasi strategis dan dekat dengan kampus. Sebuah kesempatan emas bagi Mayang untuk mencoba peluang bisnis satu ini. Uang kiriman nyasar itu akan ia manfaatkan saat ini.Selama beberapa waktu ini tidak ada orang yang menanyakan dan pihak bank juga tidak bertanya lebih lanjut lagi. Mayang sudah menyimpan nomor rekening pemilik uang itu. Akan tetapi, ia seolah enggan mengembalikan uang itu. Perasaannya mengatakan jika itu sebuah kebetuntungannya."Kamu sewa seratus juta itu uang dari mana? Apa, ya, bisa nutup selama setahun nantinya? Mending kamu kerja dan dapat gaji setiap bulannya," kata Bu Darsih yang sangat terkejut dengan harga sewa tempat itu."Sama saja, Bu. Justru kalo membuka usaha itu peluangnya lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja kantoran. Aku akan cepat bosan ketika setiap p
"Hanya obrolan biasa saja. Seputar pekerjaan." Hardi berusaha tenang saat ini. Ia memang tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Hardi tidak mau gegabah ketika menjawab pertanyaan dari bos-nya itu. Pasti ada alasan dibalik pertanyaan Revan saat ini."Oke. Aku tidak ingin kamu terlalu dekat dengan sahabat Ara.""Baik, Pak Revan."Revan langsung memutuskan sepihak panggilan itu. Revan mengusap wajahnya dengan kasar. Ia merasa bodoh dengan apa yang baru saja dilakukannya itu. Revan melihat jika Hardi berbicara dan akrab dengan Gita.Bagi Revan itu adalah hal yang berbahaya. Ia tidak mau ada orang lain yang tahu jika dirinya bermasalah dalam rumah tangganya. Revan menduga jika Ara bercerita semua pada Gita yang notabene adalah sahabat baiknya itu. Tuduhan-tuduhan sepihak itu menari-nari begitu saja dalam benak Revan saat ini. Sementara itu, berita jika Mayang menyewa tempat di dekat kampus membuat kehebohan di kampung tempat tinggalnya. Banyak orang yang berspekulasi jika Mayang diam-di
Haris Manggala sengaja berhenti saat melihat sang putri kesayangan berada di tempat ini bersama dengan laki-laki lain. Tentu bukan hal baik bagi Ara. Ia tidak tahu lagi harus mengatakan apa pada sang papa."Tuan Manggala, maaf, jangan salah paham. Saya tidak sengaja melihat Bu Andhara berada di tempat ini. Kami tidak sengaja bertemu." Hardi tampak sangat gugup saat berada di depan sosok pengusaha kelas kakap itu.Ara tampak salah tingkah saat ini. Tatapan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya itu sangat tajam. Ara mendadak gelisah. Ia takut sang papa melihatnya saat Revan berbuat kasar."Apa yang dikatakan oleh Hardi benar adanya. Aku hanya ingin minum kopi saja. Sangat jarang bisa seperti ini." Ara kali ini berusaha tenang saat mengatakan kepada sang papa."Apa di rumah tidak bisa membuat kopi? Dan apakah pantas kamu seorang diri berada di sini. Kamu itu sudah menikah! Apa kata orang saat ada yang melihat kamu berdua dengan laki-laki lain?" Pertanyaan itu menunjukkan jika Haris san
Tidak butuh waktu lama, Angga segera menemui kedua orang tua Ara. Angga sama sekali tidak mau membuang waktu percuma. Ia benar-benar mencintai sosok Anggara Manggala. Angga tidak peduli dengan status janda yang melekat pada Ara.Keluarga besar Angga juga menerima siapa pun calon menantu mereka. Hal terpenting adalah, mereka bisa saling mencintai dan kelak hidup dengan bahagia. Calon mertua Angga adalah orang biasa. Mereka pernah dibantu oleh Haris Manggala secara finansial."Terima kasih Pak Haris menerima lamaran dari putra kami," kata Suminto yang merasa sangat bersyukur setelah lamaran mereka diterima baik oleh keluarga besar Haris Manggala. "Sama-sama. Saya tidak mungkin menolak lamaran Angga. Saya tahu bagaimana karakter Angga. Angga sosok pekerja keras dan satu, dia setia." Haris memuji sosok calon menantunya. "Ara pernah gagal dalam rumah tangga. Semoga Angga adalah jodoh terbaik untuk anak saya," kata Haris penuh harapan."Saya juga berharap seperti itu. Nak Ara orang yang ba
Revan menatap tajam Mayang. Ia menduga jika ibunya Kala mengatakan hal buruk pada Ara. Mayang tidak bisa ditebak isi pikiran dan hatinya. Revan merasa telah menikahi orang yang berbeda."Aku permisi," kata Ara tidak mau ikut campur masalah rumah tangga mereka.Ara melirik sekilas ke arah anak laki-laki kecil itu. Hatinya sangat sedih karena anak Revan berkebutuhan khusus. Anak itu tidak terawat dengan baik karena faktor ekonomi. Akan tetapi, Ara tidak bisa berbuat banyak untuk mereka."Ra, maukah kamu menikah kembali dengan Mas Revan?" Pertanyaan Mayang sukses membuat langkah Ara terhenti seketika. "Aku akan mundur dan tidak lagi mengganggu kalian nantinya. Aku sadar, aku banyak salah dan sudah sangat jahat padamu," lanjut Mayang yang saat ini meneteskan air mata.Tubuh Ara mendadak kaku dan tidak mau menoleh lagi. Ia merasa sakit ketika mendengar permintaan Mayang. Rasa cinta yang dipendam untuk Revan mendadak hilang begitu saja. Entahlah, hanya Ara dan Tuhan saja yang tahu."Ra, aku
Penundaan jadwal reuni kampus Ara membuat Revan frustasi. Ia harus semakin lama menunggu bertemu dengan mantan istri pertamanya itu. Padahal, Revan sudah mempersiapkan semua hal dengan baik. Kini terpaksa harus menyimpan semua itu.Sementara itu, Ara memutuskan untuk membuka hati untuk Angga. Ia menyadari satu hal, tidak semua laki-laki sama di dunia ini. Angga tampak sangat baik dan sopan. Sosok Dokter itu juga sangat menghormati wanita."Sudah lama di sini?" tanya Ara saat baru saja keluar dari dapur dan melihat Angga duduk seorang diri di ruang tamu.Angga terjengit kaget karena sedang sibuk melamun saat ini. Ia pun segera beranjak dari duduknya. Ara tersenyum melihat tingkah Angga. Ia menatap ke arah Dokter muda itu."Maaf, aku nggak bermaksud mengejutkan," kata Ara dengan tulus."Oh, tidak. Aku hanya ...." Angga tidak melanjutkan ucapannya."Ada apa? Ada yang ingin dibicarakan dengan Bu Salamah?" tanya Ara sambil menatap Angga yang tampak cemas.Biasanya Angga akan berbicara deng
Sejak kejadian itu, Angga dan Ara dekat. Hanya saja, Ara membatasi kedekatan itu dan hanya sebagai teman. Angga hingga saat ini tidak tahu siapa Ara. Andai ia tahu, maka akan sangat terkejut. Angga mengenal siapa sosok Haris Manggala.Ara sama sekali tidak pernah menyebutkan siapa kedua orang tuanya. Hanya sesekali saja ia menemui kedua orang tuanya. Padahal, sudah hampir tiga tahun bercerai dengan Revan. Ara masih ingin mengobati hatinya."Aku boleh datang ke rumah orang tua kamu?" tanya Angga saat berada di panti asuhan ini."Untuk apa?" tanya Ara sambil tersenyum ramah seperti biasa.Bukan tidak paham arah pembicaraan Angga, hanya saja, Ara tidak mau gegabah dalam banyak hal. Ia masih menutup hati untuk banyak orang. Entah akan sampai kapan, tidak ada yang tahu. Ara juga menolak mentah-mentah cinta Angga dan hanya ingin menjalin hubungan pertemanan saja."Aku ingin melamar kamu pada kedua orang tuamu. Kamu tidak mau pacaran bukan?" tanya Angga sambil menatap intens ke arah mata Ara
Revan akhirnya menjelaskan pada Mayang jika mengalami kelumpuhan akibat terjatuh tadi pagi. Tentu saja, Mayang sangat syok. Ia tidak bisa menerima keadaan dirinya saat ini. Menyakitkan karma yang harus diterimanya. Revan terpaksa membawa Mayang pulang karena biaya rumah sakit pasti akan membengkak jika Mayang lama dirawat."May, rumah itu mending dijual aja. Toh, itu semua aku yang beli." Revan memaksa Mayang untuk menjual rumah yang telah diubah menjadi kafe."Mas, itu satu-satunya aset kita, kalo kita jual, kita nggak akan punya apa-apa lagi," kata Mayang menolak menjual rumah pemberian Revan."Ck! Kamu tahu nggak? Kebutuhan semakin banyak dan aku banyak nganggur! Jual aja," kata Revan yang tidak sabar dengan sang istri.Mayang mengembuskan napas kasar saat ini. Ia hanya bisa duduk di kursi roda saja sekarang. Darsih tidak pernah datang lagi sejak kejadian beberapa waktu yang lalu. Mayang kali ini merasa sangat membutuhkan sosok sang ibu."Mas, kalo dijual dan kita nggak punya usaha
Masa lalu menyakitkan tidak akan membuat seseorang dengan mudahnya memaafkan. Rahman--saksi kunci yang dulu hampir dibunuh oleh Murni ternyata berhasil selamat. Kedatangan sosok laki-laki yang usianya hampir sama dengan Murni itu sontak mengejutkan banyak orang, terutama Murni dan Adhyatsa. Revan jelas tidak mengenal sosok yang kini berdiri dengan angkuh di depan mereka semua."Ka-kamu masih hidup?" tanya Murni yang saat ini wajahnya tampak sangat pias."Ya! Setelah kamu berusaha meleyapkan nyawaku, kini aku masih berada di sini. Tuhan masih berbaik hati denganku. Murni, bersiaplah menerima hukuman." Rahman mengatakan dengan nada dingin saat ini.Semua terdiam, suasana pun mendadak hening. Rahman dengan amarah dan dendamnya pada Murni. Akan tetapi, tak lama polisi datang untuk menangkap Murni. Revan tidak bisa berbuat banyak saat ini.Semua sudah jelas, Revan bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Ia merasa sangat sakit saat ini. Revan salah satu korban dari keserakahan Murni. Tidak ada
Ara mengembuskan napas perlahan. Wajah Revan kali ini penuh permohonan agar Ara mau berbicara. Haris yang menatap tajam tidak membuat Revan takut. Ada hal yang harus mereka bicarakan."Pa, Ma, aku akan bicara sebentar pada Mas Revan. Papa dan Mama bisa tinggalkan kami berdua?" tanya Ara kepada kedua orang tuanya.Inama mengangguk sebagai jawaban dan segera mengamit lengan sang suami. Ia memberikan waktu kepada sang putri untuk berbicara pada mantan menantu mereka. Anak muda itu, mereka membuat rumah tangga yang awalnya adem ayem sekarang justru sangat rumit. Haris kadang tidak habis pikir dengan cara sang putri."Kita bicara di sana saja," kata Ara sambil menunjuk satu pohon besar dengan kursi taman di bawahnya.Revan mengikuti Ara dari belakang. Ia masih beruntung karena mantan istrinya masih memberikan kesempatan untuk berbicara. Meski Revan sadar, Ara tidak akan mau kembali rujuk. Setidaknya itu yang tampak pada wajah Ara saat ini."Mas, apa yang mau kamu bicarakan sekarang?" tanya
Gita berdiri tepat di depan Revan dan Murni. Ia tampak membenci kedua orang itu. Murni hanya bisa menunduk saat ini. Gita bukan gadis sembarangan.Gita adalah adik kandung Naga Cakra Wibowo, pemilik perusahaan Cakra Buana. Gita tidak akan membuang kesempatan emas untuk membalas Murni saat ini. Beberapa waktu yang lalu, ia menemui Adhyatsa di rumah sakit dan berbicara tentang masa lalu. Tentu hal ini akan sangat mengejutkan untuk semua orang."Aku akan katakan satu hal padamu, Revan Adhyatsa. Kamu tidak pantas menyandang nama belakang Adhyatsa karena kamu bukan anak kandung Panji Adhyatsa. Wanita ini menjebak ayahku, Panji Adhyatsa agar bisa menikahi dengan dalih hamil. Bukankah itu luar biasa?" Gita tersenyum miring setelah mengatakan hal itu. "Mamaku, ada di rumah sakit jiwa juga karena ulahnya," lanjut Gita dengan wajah mengerikan.Revan mundur beberapa langkah karena terkejut mendengar ucapan Gita. Ada apa dengan hidupnya saat ini? Revan seperti orang linglung. Berbeda dengan Murni
Wajah Mayang saat ini langsung seputih kapas. Ia takut karena Revan mempunyai bukti tentang kejahatannya. Mayang yang meletakkan obat itu di laci meja rias Ara. Pantas saja, mereka semua langsung menemukan obat itu tanpa mengobrak-abrik kamar Ara."Bagaimana?" tanya Revan dengan nada dingin dan syarat amarah yang luar biasa."A-aku bisa jelaskan, Mas. Semua ini karena ...." Mayang tidak bisa melanjutkan ucapannya.Revan langsung beranjak dari duduknya dengan kasar. Ia meletakkan laptop di atas meja. Masih dengan tatapan penuh kebencian, ia kembali mendekati Mayang. Revan tidak habis pikir dengan cara kotor istri keduanya. Entah apa yang direncanakan oleh wanita yang baru saja melahirkan itu."Kenapa? Kamu harus ingat, kita bisa menikah karena kebesaran hati Ara. Jika bukan karena dia, kita tidak bisa menikah!" Suara Revan menggelegar memenuhi kamar mereka berdua. "Apa isi otak kamu itu? Tega-teganya kamu berbuat seperti ini?!" bentak Revan sambil melempar gelas bekas minum Mayang."Ma