"Bun, semua itu pernah dibahas 'kan? Aku melepaskan Mayang, artinya sudah siap dengan konsekuensi. Bagi aku, pernikahan hanya sekali seumur hidup. Jadi Bunda tenang saja," kata Revan yang tidak sepenuhnya berdusta.Ucapan Revan hanya untuk menenangkan hati wanita yang telah melahirkannya saja. Tidak mungkin pewaris Adhyatsa grup itu akan berterus terang jika harinya menjadi suram tanpa Mayang. Ya, setelah berpisah dengan Mayang, semua menjadi hari duka cita mendalam untuk Revan. Dadanya selalu saja sesak ketika mengingat nama gadis dengan kulit putih itu. Murni menelisik wajah Revan, tidak ada kebohongan di mata sang putra. Revan mungkin saat ini belum bisa menerima kehadiran Ara. Akan tetapi, ia juga tidak pernah berusaha mencari tahu tentang Mayang. Hanya beberapa waktu yang lalu saja. Setelah tahu jika mantan kekasihnya sudah tidak aktif pada sosial media, Revan tidak mencarinya lebih lanjut. Bukan karena tidak cinta pada Mayang. Ia hanya ingin memberikan jeda pada hatinya agar t
Adhyatsa bersama dua anak perempuan dan dua menantunya telah sampai terlebih dahulu di rumah kediaman Haris Manggala. Mereka menyambut kedatangan calon besan mereka dengan ramah. Tidak menunjukkan jika mereka adalah keluarga konglomerat. Haris selalu bersikap sederhana dan menghormati siapa saja tanpa kecuali."Selamat datang Tuan Adhyatsa, kami menunggu Anda sejak tadi," kata Haris Manggala sambil menyalami kakek Revan itu."Maafkan keterlambatan kami semua. Revan sebentar lagi sampai," kata Adhyatsa yang saat ini cemas menunggu cucu pembangkang itu."Oh, tak, masalah. Yang penting selamat sampai tujuan. Tidak perlu kebut-kebutan juga di jalan." Haris menanggapi santai permintaan maaf dari ayah sahabat baiknya itu.Tak lama mobil Revan memasuki halaman rumah milik Haris Manggala. Ia segera memarkirkan mobilnya sedikit lebih jauh dari mobil sang kakek. Malas terlalu dekat dengan laki-laki tua tidak tahu diri itu. Revan segera membukakan pintu untuk sang bunda tercinta."Bunda ... ayo,
Mayang menoleh ke arah sang ibu. Ia segera mengusap air matanya. Dadanya mendadak sakit saat ini. Entahlah, ia sendiri tidak paham dengan apa yang sedang dirasakannya."Ikhlaskan Den Revan, Nak. Kita hanya manusia biasa yang berencana. Tapi, Allah tetap yang menentukan jodoh kalian. Kalian tidak berjodoh." Darsih seolah tahu apa yang dirasakan oleh Mayang saat ini. "Den Revan mungkin bukan laki-laki terbaik buat kamu," lanjut Darsih sambil mengelus puncak kepala sang putri semata wayangnya itu.Mayang benar-benar hancur saat diputuskan satu pihak oleh Revan. Alasan perjodohan dan restu orang tua membuatnya sangat berat. Tuan Adhyatsa adalah salah satu orang yang menentang hubungan keduanya. Perbedaan status sosial yang membuat keduanya harus berpisah. Setelah tangisnya reda, Mayang memutuskan untuk masuk ke dalam kamar. Wulan memang memutuskan untuk pulang ke kampung halaman sang ibu di Semarang setelah lulus kuliah. Tidak ada niat bekerja di Kota Bandung. Kenangan bersama Revan bena
"Pikirkan lagi tentang perusahaan yang sudah dibangun dengan susah payah oleh mendiang ayahmu. Aku hanya tidak ingin perusahaan itu bangkrut. Pastikan jika Haris Manggala benar-benar mau membantu." Adhyatsa tampak tersenyum miring setelah mengatakannya.Revan sudah paham kemana arah pembicaraan itu. Secara tidak langsung sang kakek meminta jatah. Enak saja! Revan tidak akan membagi apa pun lagi pada kakek tua tidak tahu diri."Tuan Haris pasti membantu perusahaan Adhyatsa Grup. Hanya saja aku tidak akan membiarkan orang lain ikut menikmatinya. Cukup kemarin ada pencurian uang perusahaan tanpa sepengetahuanku," kata Revan dan membuat Adhyatsa menelan makanannya dengan susah payah. "Aku akan menemui Tuan Haris dan mempercepat pernikahan itu," lanjut Revan lantas berdiri dan meninggalkan meja makan.Murni hanya bisa menghela napas panjang saat mendengar setiap kali cucu dan kakek itu berdebat. Keduanya tidak ada yang mau mengalah. Revan sangat kaku dalam segala hal dan tidak punya hati s
Ara mendekati sahabat sekaligus sang papa. Ada Murni yang saat ini menjadi ibu mertua Ara. Murni tampak sangat canggung. Ia merasa kecil dekat dengan mereka bertiga."Enggak naksir, cuma tanya aja, Ra," kata Gita sambil tersenyum penuh kepuasan.Gita merasa salah tingkah dengan Ara yang kini sedang mengulum senyum. Murni mendadak pergi meninggalkan mereka semua. Tanpa sepatah kata pun dan membuat ayah dan anak itu terkejut. Haris dan Ara saling pandang dan membuat mereka berdua heran."Bunda kenapa, Pa?" tanya Ara yang tidak mengerti dengan sikap bunda mertuanya itu. Haris menggedikkan bahu karena tidak paham dengan sikap istri mendiang sahabatnya. Rupanya Revan memperhatikan kejadian itu. Ia menyangka jika Ara dan sahabatnya juga Haris membuat sang bunda bersedih. Revan mengepalkan tangannya karena kesal saat ini.'Rupanya kalian sengaja membuat masalah sejak awal,' kata Revan dalam hati dengan kesal.Suasana rumah Haris kini sudah sepi. Semua tamu undangan sudah pulang. Hanya tingg
Sudah hampir pukul sebelas malam, tetapi Revan belum juga sampai di rumah. Ara cemas bukan kepalang hingga melewatkan makan malamnya. Ia tidak berani menghubungi sang suami sama sekali. Sejak pukul delapan malam, Ara sibuk berdiri dan berjalan mondar-mandir di depan pintu teras rumah barunya itu."Nak Ara, sebaiknya tidur dulu. Nanti kalo Revan pulang, biar Bunda bangunkan," kata Murni yang menyadari jika Ara sama sekali tidak tidur kali ini. "Eh? Enggak Bunda. Bunda istirahat saja. Biar aku yang menunggu Mas Revan," jawab Ara dengan ramah pada Murni.Murni merasa tidak enak hati pada sang menantu karena kejadian tadi pagi. Revan tampak sangat kasar padahal ini adalah hari pertama mereka berumah tangga. Rasanya memang sangat berbeda dari biasanya, Revan seperti membuat dinding tak kasat mata. Dinding itu begitu kokoh dan sangat tinggi.Deru mesin mobil milik Revan akhirnya masuk ke halaman rumah. Ara sangat senang melihat kedatangan sang suami. Ia tidak tahu jika Revan meninggalkan k
Hari ini ada rapat dengan Adhyatsa Grup. Hardi yang datang mewakili karena Revan harus mengurus pekerjaan lain yang tak kalah penting. Dewan direksi Adhyatsa Grup ada rapat tertutup dan satu alasan untuk suami Ara agar tidak bertemu dengan sang istri. Menyakitkan, tetapi Ara berusaha paham dengan apa yang dilakukan sang suami saat ini."Kamu?" Ara langsung berdiri dan menyambut kedatangan sekretaris sang suami. "Mana Mas Revan? Apa dia ikut datang saat ini?" tanya Ara sambil menatap ke arah pintu.Pertanyaan itu otomatis membuat Hardi terkejut. Banyak praduga dalam benak Hardi, tetapi langsung ditepisnya. Mereka pasangan pengantin baru, mungkin saja tidak sempat berkomunikasi banyak. Mereka tidak saling kenal sebelumnya."Ya, ini saya. Saya mewakili Pak Revan untuk rapat siang ini. Beliau ada r7tgfauw,apat intern dengan dewan direksi kantor," kata Hardi dan membuat wajah Ara langsung kecewa.Ara berusaha menetralkan wajahnya saat ini. Ia tidak mau Gita curiga dan bertanya tentang bany
Beberapa hari setelah obrolan tentang keinginan Mayang untuk menyewa sebuah tempat untuk kafe, nyatanya benar-benar diwujudkan oleh gadis berkulit putih itu. Harga sewa tempat itu memang mahal karena lokasi strategis dan dekat dengan kampus. Sebuah kesempatan emas bagi Mayang untuk mencoba peluang bisnis satu ini. Uang kiriman nyasar itu akan ia manfaatkan saat ini.Selama beberapa waktu ini tidak ada orang yang menanyakan dan pihak bank juga tidak bertanya lebih lanjut lagi. Mayang sudah menyimpan nomor rekening pemilik uang itu. Akan tetapi, ia seolah enggan mengembalikan uang itu. Perasaannya mengatakan jika itu sebuah kebetuntungannya."Kamu sewa seratus juta itu uang dari mana? Apa, ya, bisa nutup selama setahun nantinya? Mending kamu kerja dan dapat gaji setiap bulannya," kata Bu Darsih yang sangat terkejut dengan harga sewa tempat itu."Sama saja, Bu. Justru kalo membuka usaha itu peluangnya lebih tinggi dibandingkan dengan bekerja kantoran. Aku akan cepat bosan ketika setiap p