Suara teriakan Devan ternyata membangunkan sang mertua yang sudah terlelap sedari awal.
"Ada apa lagi,Devan? Apa perempuan mandul itu membuat ulah lagi?" Teriak sang mertua dari dalam kamarnya. "Tidak apa-apa,bu! aku cuma bilang Mirna untuk tidak pulang larut malam setiap harinya tapi dia malah membangkang!" ujar Devan pada ibu nya.Akibat kepolosan Mirna dalam hal percintaan yang membuat Mirna mau menikah dengan laki-laki seperti Devan yang suka mengadu kepada ibunya entah itu masalah besar ataupun kecil sehingga sang ibu selalu saja ikut campur dalam permasalahan rumah tangga mereka.Padahal dengan postur wajah yang dimiliki Mirna dia seharusnya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Devan."Biarkan saja,Devan! Mau ngapain kamu perduli dia mau pulang jam berapa? perempuan seperti dia pasti sudah biasa pulang larut malam, lagi pula perempuan mandul seperti dia mau pulang sampai jam berapa juga tidak akan menghasilkan masalah buat nya," ketus sang mertua. "Tolong berhentilah menghina aku dengan kata wanita mandul,bu!" Pinta Mirna pada sang mertua. "Kenapa memangnya? Memang benar kamu itu wanita cacat yang tidak berguna, wanita tidak jelas asal usulnya dan pembawa sial!" Maki sang mertua"Aku memang tidak sempurna aku juga tidak bisa memberikan keturunan untuk Devan tapi itu bukan berarti ibu bisa menghina aku terus menerus!" Ujar Mirna tidak terima dengan ucapan mertuanya " Kalau kamu tidak terima apa yang ibu katakan maka dengarkan apa yang suami kamu bilang, jangan membuat malu ataupun masalah untuk anakku, jadilah isteri yang baik" Ketus ibu mertua. " Ibu seharusnya mengerti bagaimana perasaan aku, tapi ibu selalu saja membela mas Devan tanpa melihat yang dia perbuat, entah benar atau salah ibu selalu saja membelanya,padahal seharusnya ibu menasehati anak ibu itu untuk menjadi laki-laki yang sebenarnya! Bukan justru menghina aku isterinya." ucap Mirna "Kamu gak usah sok pintar,Mirna! sok ngajarin ibu padahal kamu sendiri saja belum pernah jadi ibu, mana paham kamu!" Ketus ibu mertua"Terserah ibu mau anggap ucapan aku apa, aku mau istirahat, aku capek!" Ujar Mirna meninggalkan mereka begitu saja. Dengan mata yang berkaca-kaca dirinya masuk kedalam kamar miliknya, dia melemparkan tas miliknya kesembarang arah, tubuhnya merosot kelantai kamar begitu saja dengan sorot mata yang hampa dirinya membawa pikirannya larut dalam kesedihan yang mendalam melayang jauh mencari jawaban akan nasib dirinya kedepan.Hari tetap terus berjalan Mirna masih berusaha untuk tetap tinggal satu atap dengan mereka semua, hingga tidak terasa kehamilan Yuli sudah mendekati hari persalinannya, Devan bertindak sebagai suami yang siaga demikian dengan mertua yang sudah tidak sabar menunggu kelahiran cucu yang sudah dia nantikan. Tapi siapa sangka hari persalinan yang semakin dekat tidak di ikuti dengan persiapan yang baik, apalagi persiapan keuangan yang cukup saat persalinan nanti.Mirna yang baru saja selesai memasak tiba-tiba saja dimintai sejumlah uang untuk biaya persalinan." Mirna, pinjamkan aku uang," ujar Devan dengan wajah memelasnya"Aku sudah tidak punya uang,mas!" Ketus Mirna begitu saja"Kamu pasti bohong!" Ketus Devan " Untuk apa aku bohong! Memangnya uang itu mau buat apa? Kamukan masih bekerja masa iya kamu bekerja tapi tidak menghasilkan uang? Pakai saja uang kamu sendiri!" sengit Mirna tak mau kalah. "Aku harus segera membawa Yuli ke rumah sakit sekarang juga,Mirna! jawab Devan " Tapi itu urusan kamu,mas! kamu sudah tahu Yuli akan melahirkan seharusnya kamu mempersiapkan hal itu jauh hari," Jawab Mirna dengan sinis. Tanpa mereka sadari perdebatan mereka kembali terdengar oleh ibu mertuanya. "Ada apa lagi ini? Makin hari rumah ini makin tidak ada tenang nya tiap hari selalu saja ada keributan." Mertuaku tiba-tiba keluar dari kamarnya menatap tajam kearah Mirna seolah perkataannya ditujukan untuk Mirna seorang. " Ya mau bagaimana lagi rumah yang dibagun hasil dari sabotase mana mungkin bisa berkah!" Batin Mirna bicara."Aku harus membawa Yuli ke rumah sakit bu, dia sudah mau melahirkan," Devan menjelaskan. "Kalau begitu cepat bawa Yuli ke dokter,kenapa malah kalian berduaan?" Ketus sang mertua"Kami bukan berduaan! Ini anak ibu sudah mau jadi bapak bukannya mempersiapkan biayanya ini malah sibuk minta-minta ke saya," Geram Mirna "Siapa yang minta-minta? Aku bilang pinjam Mirna, nanti begitu ada uang akan aku kembalikan" Sengit Devan. "Hei Mirna, apa kamu benar tidak mau membantu Devan? Sengit mertua yang mulai membela anaknya. Tentu saja Mirna menolak permintaan mertuanya bagaimana bisa dia masih memberikan uang yang susah payah dia dapatkan untuk mereka yang sudah jelas mengkhianati dirinya." Maaf bu, tapi aku sendiri juga sudah tidak punya uang lagi bagaimana mau membantu mereka?" ujar Mirna dengan sopan.Tiba-tiba saja suara teriakan minta tolong terdengar dari kamar utama. " Mas,,," Teriak Yuli"Tolong,,," Suara teriakan Yuli kembali terdengar. Mendengar suara kesakitan Yuli, Devan dengan sigap menghampiri isteri keduanya itu diikuti mertua juga Mirna. "Mas, ayo kita ke rumah sakit sekarang!" Pinta Yuli sembari menahan rasa sakit yang kian menjadi.Devan mengumpat kesal, seharusnya dia mempersiapkan segala hal yang di perlukan saat menyambut kelahiran sang anak tapi dia lebih memilih menghabiskan uang yang ada untuk memenuhi keinginan Yuli saja.Sementara itu Yuli merasa perutnya semakin kesakitan dan tanpa yang lain sadari cairan bening membasahi pangkal paha Yuli."D-Devan, cepat bawa Yuli ke klinik terdekat saja kita sudah tidak ada waktu, ketuban Yuli sudah pecah" ujar sang mertua. Devan bersama dengan sang ibu memutuskan membawa Yuli ke klinik persalinan yang terdekat karena jika mereka tetap bersikeras ke rumah sakit itu akan memakan waktu yang lebih lama sementara kondisi ketuban Yuli sudah pecah yang artinya proses persalinan akan segera terjadi. Sebelum pergi Devan tetap memaksa Mirna untuk memberikannya uang yang dia miliki berapa pun itu. "Aku tidak punya banyak waktu Mirna, kamu sudah lihat bagaimana keadaan Yuli apa kamu tega membiarkannya kesakitan lebih lama? Cepat berikan aku uang! Ujar Devan " Sudah aku katakan aku tidak punya uang lagi kenapa kamu tidak percaya?" Ujar Mirna " Jangan keras kepala Mirna atau kamu juga akan merasakaan sakit!" Ucap Devan Keadaan yang mendesak membuat Devan menjadi gelap mata, tanpa aba-aba Devan menjambak dan memukul Mirna secara bertubi-tubi, Mirna berteriak histeris meminta tolong namun t
"Kamu jangan sombong Mirna, walaupun rumah ini dibangun menggunakan uang kamu tapi rumah ini berada diatas tanah milik ibu, kalau saja tidak ada tanah milik ibu belum tentu dengan uang kamu yang pas-pas an itu bisa membangun rumah dengan luas seperti ini!" Sengit Devan. "Karena aku menggerti rumah ini berada diatas tanah milik ibu kamu makanya aku minta kamu menjualnya dan hasil penjualan kamu bagi jadi dua, aku rasa ini solusi yang terbaik! Aku juga perlu uang untuk melanjutkan hidup aku." ujar Mirna "Ada apa ini? Kamu mau minta ibu untuk menjual rumah ini dan memberikan kamu uang hasil penjualan rumah ini? Iya begitu?" Tanya sang mertua yang tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka bersama dengan Yuli. Mirna memutar bola matanya dengan malas saat tahu ibu mertuanya mulai ikut campur. "Bukan memberikan hasil penjualan rumah keseluruhan untuk aku, tapi di bagi dua sesuai dengan harga tanah dan bangunan tersebut," ucap Mirna menjelaskan. "Memangnya kenapa harus dijual dan dibagi
Mirna tersenyum miring setelah selesai merapikan barang-barang miliknya yang akan dia bawa bersama dengannya, Hari ini dirinya memutuskan akan pergi meninggalkan rumah tersebut dia juga akan segera mengurus proses perceraiannya dengan Devan. Cukup sudah dia bersabar menghadapi kelakuan suami dan juga ibu mertuanya tersebut. Dengan langkah pasti dirinya keluar dari kamar sembari mendorong koper miliknya, entah mengapa rumah yang tiap paginya selalu ramai oleh suara tangisan bayi dan ocehan sang mertua kali ini sangat sunyi dan tenang. Suasana yang tenang seperti itu dimanfaatkan Mirna untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat menemani sarapan Mirna yang terakhir di rumah tersebut. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara mesin mobil yang berhenti tepat didepan pagar rumahnya, Mirna sudah dapat menebak jika mobil tersebut adalah taksi online yang belum lama dia pesan melalui ponsel miliknya. Untuk memastikan dugaannya tidak
Suara tangisan bu Lastri masih saja terus terdengar, dia meraung-raung sembari memukul tanah beraspal. "Rumahkuu... rumahkuu...kembalikan rumahhkuu... huhuhu." Sementara itu Devan terlihat sibuk menghubungi Mirna, istri pertamanya namun panggilan tak kunjung tersambung, masih belum menyerah Devan mengirimkan banyak pesan kepada Mirna dan berharap istri pertamanya itu membalas pesan yang dia kirim. Api baru dapat dipadamkan setelah satu jam lamanya para petugas berusaha keras memadamkan api. Rumah yang dibangun diatas tanah miliknya kini menyisakan puing-puing yang hangus terbakar, untung saja rumah tersebut tidak berada dikawasan padat penduduk sehingga api tidak menyambar ke rumah lain dan memakan korban. Sementara itu di lain tempat, Mirna baru saja tiba dirumah mewah dengan halaman yang cukup luas, rumah mewah itu memang cukup mewah untuk dilihat dari luar tapi sebenarnya rumah itu dimanfaatkan sebagai kost an yang disewakan perkamarnya. Mirna masih belum tahu harus bagai
Devan tidak dapat membantah ucapan dari istri kedua nya itu, dengan gusar dia mengusap wajahnya."Lalu harus bagaimana kita sekarang Yuli? jika uang untuk menyewa rumah saja kita tidak punya kita harus kemana?" Tanya lelaki yang tidak siap berpoligami itu."Ya mana aku tahu, Mas! kamu yang harusnya berpikir bukan aku," Jawab Yuli tak acuh.Tanpa mereka sadari seorang di belakang mereka mendengar percakapan mereka, orang itu tak lain adalah ibu dari Devan sendiri, dia sudah dapat mengendalikan emosinya didepan umum namun hatinya masih saja mencurigai MIrna dan ingin membuat perhitungan dengan menantu pertamanya tersebut."Apa kamu sudah tahu dimana keberadaan MIrna sekarang, Devan?" tanya wanita tua itu pada anaknya."Aku belum tahu,bu! Mirna tidak memberitahu keberadaan dia yang sekarang," jawab singkat Devan"Bu, Sebaiknya yang kita pikirkan saat ini, akan tinggal dimana kita sekarang? Urusan dengan mbak Mirna bisa kita tunda nanti." Yuli lelah menghadapi putrinya yang terus menangis
Kedua sahabat itu nampak masih menikmati kebersamaan mereka sampai tidak menyadari hari telah menjelang siang. Keduanya menceritakan bagaimana perjalanan hidup mereka setelah lulus dari SMA, dimana Mirna yang tidak melanjutkan pendidikannya ke universitas karena faktor biaya, pernikahan dirinya dengan Devan sampai pengalamannya bekerja sebagai seorang tkw di negara yang sangat berbeda budaya dan bahasanya. Berbeda dengan Mirna, Tiara yang datang dari keluarga yang cukup berada tetap melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi dikota lain."Dasar laki-laki bodoh! bisa-bisanya dia meninggalkan kamu hanya demi wanita jalang itu!" Geram Tiara pada suami sahabatnya itu."Sebenarnya aku tidak akan menyalahkan dia secara keseluruhan, aku memang wanita cacat yang tidak bisa memberikan dia kerurunan. Tapi yang aku sesalkan, kenapa dia tidak jujur saja jika dia ingin menikah lagi? dia justru menikah diam-diam tanpa bicara pada aku, sementara aku tetap terus bekerja banting tulang untu
"Untuk apa aku melakukan hal itu? memang apa lagi yang bisa dimanfaatkan dari wanita itu? dia sudah tidak bekerja dan tidak memiliki uang!" ucap devan dengan mudahnya. "Setidaknya kamu harus meminta pertanggung jawaban atas semua yang terjadi sama kita sekarang, jika dia tidak mau mengakui perbuatannya maka laporkan saja dia ke polisi." ucap Yuli. "Kamu tidak perlu mengajari aku! Wanita itu sudah membuat masalah besar untuk kita, aku pasti akan meminta nya bertanggung jawab dan membuat perhitungan dengannya tanpa harus berpura-pura baik dengannya."ujar devan "Kalau begitu cepat dikerjakan, jangan membuang-buang waktu, aku sudah tidak sabar melihat wanita itu menderita." ucapn Yuli***** Sementara itu seorang wanita terlihat sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk pembukaan toko roti, mulai dari bahan yang digunakan untuk pembuatan roti, sampai pembuatan roti itu sendiri, dia harus memberikan yang terbaik untuk awal pembukaan toko tersebut. Wanita itu adalah Mirna yang dua bula
"Dia ini kakak sepupu kamu?" Mirna bertanya untuk menyakinkan bahwa pendengarannya itu tidak salah, dirinya terlanjur malu karena telah salah paham terhadap kakak sepupu dari sahabat baiknya. "Benar dia ini Kak Reza, kakak sepupu aku dan kak Reza ini seorang pengacara yang handal dan memenangkan banyak kasus. Aku yang mengundangnya datang saat ini untuk mengenalkannya sama kamu." Tiara menjelaskan. "Hallo, kenalkan nama saya Reza. Saya kakak sepupunya Tiara, maaf jika keberadaan saya membuat kamu tidak nyaman, sebenarnya Tiara sendirii yang meminta saya untuk menunggunya disini." Pria yang bernama Reza mengulurkan tangan memperkenalkan dirinya "Mirna, senang berkenalan dengan anda. Maaf atas kesalahpahaman yang terjadi." Mirna berjabat tangan dan memperkenalkan dirinya sekaligus meminta maaf atas kecurigaannya. "Memangnya ada apa kesalahpahaman apa?" celetuk Tiara ingin tahu. "Tidak perlu dibahas lagi itu hanya kesalahpahaman biasa." Jawab Reza penuh pengertian. Meskipun dir
Setelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang
Waktu berlalu begitu cepat, sidang perceraian mereka akan di adakan siang ini. Mirna di dampingi Reza selaku pengacaranya tiba disana lebih awal, sementara Devan tiba beberapa saat setelahnya, dirinya juga di temani sang ibu yang angkuh. Suasana persidangan tampak begitu tegang, disebelah kanan Mirna duduk dengan tenang tapi tetap terlihat kecemasannya, sementara disebelahnya Reza selaku pengacara sudah siap menghadapi persidangan. Disisi lain Devan duduk bersama sang ibu dengan tatapan dingin. Sidang akhirnya dimulai, dan semua perhatian tertuju pada hakim yang membuka persidangan tersebut. Hakim kemudian meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan argumen mereka mengenai perceraian tersebut. Reza berdiri mewakili Mirna, berbicara dengan tenang dan penuh kejelasan. “Yang Mulia, klien saya sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan pernikahan yang penuh ketidakcocokan, tanpa penghargaan yang layak. Mirna telah mencoba, berulang kali, namun kini merasa bahwa perceraian adalah pil
Meskipun Devan dan Mirna sepakat untuk berpisah, namun pertemuan keduanya berakhir dengan ketegangan. Mirna melangkah keluar dari ruang mediasi dengan pandangan kosong. Dadanya terasa sesak jika teringat dengan ucapan Devan, seolah seluruh perjuangannya selama ini tak ada artinya. Suara pintu yang berderit menyadarkannya, dirinya melihat Reza yang berdiri di ujung lorong. Reza menghampirinya dan tanpa banyak kata, ia hanya mengulurkan sebotol air mineral. "Minum dulu," ucapnya Reza singkat. Mirna sedikit tersentak dari lamunannya, kemudian mengambil dan meneguk air yang berada didalam botol. "Terima kasih,kak." Mereka terdiam beberapa saat. Reza menatapnya sesaat sebelum berkata, “Semua ini pasti berat untuk kamu, tapi kamu pasti bisa melewatinya.” Mirna hanya mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kata-kata Reza yang singkat. Reza memandang ke arah taman kecil di luar gedung, lalu berkata, “Ayo, kita duduk di sana sebentar. Udara segar bisa bantu kamu untuk lebih tenang." Me
Devan menatap Yuli dalam-dalam, mencoba menemukan alasan di balik kata-katanya. Bagaimanapun juga, ada logika yang sulit dia bantah. Mirna telah mengganggu kedamaian keluarganya, dan mungkin ini adalah cara untuk membuatnya membayar atas perbuatannya. Tapi dirinya merasa ragu untuk membawa masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi. "Ide itu hanya akan membuat situasi semakin rumit saja, aku rasa lebih baik kita tidak perlu melakukan hal tersebut." Ucap DevanYuli mendengus pelan, lalu menatap Devan dengan ekspresi kecewa. "Mas, kenapa kamu selalu lemah?Mirna yang memulai semuanya dengan menggugat cerai, dia ingin menyeret kita ke pengadilan. Kalau kita tidak mengambil tindakan balasan, dia akan merasa menang.""Tapi, yul...kita tidak punya bukti yang cukup, bahkan menurut penyelidikan kebakaran terjadi karena kebocoran tabung gas. Bagaimana kita akan menggugatnya?" Devan merasakan ada dorongan untuk tetap berada di jalur yang lebih aman, meski sebagian hatinya juga tergoda untuk mengi