Sungguh berat bagi Mirna untuk bisa bertahan di biduk rumah tangga seperti saat ini, dirinya harus menjadi yang kedua meskipun statusnya adalah isteri pertama, sudah bulan kedua dirinya tinggal bersama dengan suami,mertua dan juga Yuli.
Rasanya tidak sudi jika mereka semua yang menguasai rumah yang aku bangun dengan susah payah, namun untuk bertahan lebih lama juga rasanya sakit sekali apalagi perlakuan ibu mertua yang tiap hari selalu menghina dirinya yang tidak bisa memberikan keturunan untuk sang suami. Padahal wanita mana yang tidak ingin memberikan keturunan untuk keluarganya namun jika yang diatas memiliki kehendak yang lain kita sebagai hambanya hanya bisa menerimanya, lagipula jika bukan karena kecelakaan itu tentu aku dan suami sudah memiliki seorang putra. Diam-diam Mirna mengumpulkan informasi mengenai legalitas rumah yang dibangun diatas tanah mertua melalui media sosial dan ternyata keputusannya membangun rumah ditanah mertua merupakan kebodohan yang sangat fatal.Sebagai isteri yang dimadu Mirna untuk sekarang lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah, seperti saat ini dirinya baru saja kembali ke rumah setelah hari menjelang malam. "Darimana saja kamu,Mirna?" Suara laki-laki yang tak asing menyapa Mirna sekaligus mengejutkan dirinya. Mirna hanya diam menatap dingin sang suami dirinya enggan sekali menjawab pertanyaan yang diajukan sang suami. " Aku dari mana itu bukan urusan kamu lagi,mas," Jawab Mirna dengan dingin. "Kamu itu masih istri aku jadi aku berhak bertanya, jangan bikin aku malu dengan kelakuan kamu yang pulang malam tiap hari dan jadi bahan gosip tetangga!" Ketus Devan. "Aku tidak perduli apa kata orang! Kamu urus saja ibu dan perempuan jalang itu tidak perlu mengatur hidup aku!" Jawab Mirna "Kamu jangan durhaka sama suami kamu ini,Mirna!" Ujar Devan yang masih sangat percaya diri mengakui dirinya sebagai seorang suami. "Suami? Kapan kamu menjalankan peran kamu menjadi suami? Berhenti berlagak menjadi suami yang baik dan gak usah mengurusi hidup aku!" Ujar Mirna. " Mengapa sekarang susah sekali bicara dengan kamu? kamu jauh berubah, kamu bukan isteri yang aku kenal lagi!" tukas Devan dengan tatapan menyalak. Mirna menyeringai menatap Devan,kata-kata Devan bagaikan sebuah lelucon bagaimana bisa sang suami membandingkan dirinya yang dahulu dengan dirinya yang sekarang. " Yang kamu kenal bagaimana,mas? Yang diam saja saat ibu kamu menghina aku mandul? Atau aku yang akan menuruti semua kemauan kamu? Yang mana mas? Cepat jawab aku mas," "Selama ini aku berusaha menjadi isteri yang baik untuk kamu, bahkan aku mengikuti keinginan kamu untuk membangun rumah diatas tanah milik ibu kamu,aku bekerja siang malam agar dapat menyelesaikan pembangunan rumah ini agar nanti suatu saat aku kembali kita dapat tinggal bersama di tempat yang layak,tapi apa yang aku dapatkan? Bahkan kamu tega membawa wanita lain ke rumah ini bahkan sekarang wanita itu sedang hamil dan parahnya lagi kamu memaksa aku untuk menerimanya sebagai madu!" Raut wajah Mirna mengeras dengan tatapan mata penuh amarah, dia mengepalkan kedua tangannya untuk menahan amarahnya agar tidak kembali meledak.Dengan geram Mirna menjelaskan kekecewaanya kepada sang suami namun usahanya sia-sia saja. Ego Devan sebagai laki-laki yang tidak mau di disalahkan membuat apa yang Mirna katakan sia-sia belaka,Devan justru menyalahkan Mirna kembali."Kamu yang egois Mirna,apa kamu tidak mengerti ini semua karena kamu yang pergi meninggalkan aku sementara ibu juga selalu mendesak aku agar segera memiliki keturunan!" Jawab Devan "Berhenti menjadikan keturunan sebagai alasan kamu untuk berselingkuh,Devan! Jika memang kamu menikah karena menginginkan keturunan seharusnya kamu bicarakan dengan aku lebih dahulu aku akan mengerti meski hati aku akan sangat sakit untuk menerimanya," Geram Mirna"Seandainya aku tidak kembali dan berada di negeri orang apa kamu akan memberitahukan aku jika kamu sudah menikah disini? Pasti tidak! karena kamu tahu aku akan memilih berpisah dan menghentikan pembangunan rumah ini! Dari awal kamu sudah bermaksud untuk menipu aku!" Mirna melanjutkan ucapannya."Tidak ada yang mau menipu kamu Mirna aku memang salah aku dan aku mengerti kamu pasti sangat sulit menerima situasi seperti saat ini, tapi tolong kamu terima saja situasi ini,aku berjanji akan berusaha bersikap adil untuk kalian berdua" pinta Devan "Ha ha ha, gampang sekali kamu bicara,mas! Coba saja keadaan aku balik, aku yang poliandri dan berjanji akan bersikap adil sama suami-suami aku apa kamu akan menerimanya?" Mirna bertanya pada suaminya yang tak tahu malu itu. Bukannya menjawab Devan justru mengalihkan topik pembicaraan mereka,tentu saja dia tidak berani menjawab pertanyaan yang diajukan Mirna kerena itu akan menjadi bumerang untuknya. "Jadi sekarang mau kamu apa? apa kamu akan tetap seperti ini tiap hari pulang larut malam dan menjadi perbincangan para tetangga?" tanya Devan "Jika aku memberitahu kamu apa yang aku mau, apa kamu akan mewujudkannya?" Tidak menjawab Mirna justru mengajukan pertanyaan kembali. " Selama apa yang kamu minta itu adalah hal yang wajar aku akan mengabulkannya." Jawab Devan dengan yakin. " Bagaimana Jika aku minta kamu untuk meninggalkan Yuli?" Ujar Mirna tanpa basa basi. " Aku tidak mungkin meninggalkan Yuli sekarang karena dia sedang mengandung anak aku!" Devan beralasan. "Kamu bisa meninggalkannya setelah anak itu lahir,bukankah kamu hanya menginginkan anaknya saja?" Sengit Mirna"Kamu ingin aku memisahkan ibu dengan anaknya? lalu bagaimana dengan anak aku siapa nanti yang akan merawatnya?" tanya Devan yang tidak percaya akan keinginan Mirna. Mirna melangkah dan berhenti tepat di sisi telinga Devan mencoba memprovokasi sang saumi dengan madunya"Memangnya kamu yakin wanita seperti Yuli itu akan merawat anak kamu? Jangan terlalu yakin jika anak yang dikandung dia itu benar anak kamu, karena kamu dan Yuli itu pasangan yang serasi, kalian itu sama-sama murahan yang bisa melakukan hubungan terlarang di belakang pasangannya, jadi tidak menutup kemungkinan wanita murahan seperti dirinya merangkak di ranjang laki-laki lain,atau jangan-jangan naik keranjang suami orang!" Ucapku dengan berbisik. "Kamu jangan kurang ajar sama suami, Mirna!" Teriak Devan dengan matanya yang menyalak.Suara teriakan Devan ternyata membangunkan sang mertua yang sudah terlelap sedari awal. "Ada apa lagi,Devan? Apa perempuan mandul itu membuat ulah lagi?" Teriak sang mertua dari dalam kamarnya. "Tidak apa-apa,bu! aku cuma bilang Mirna untuk tidak pulang larut malam setiap harinya tapi dia malah membangkang!" ujar Devan pada ibu nya. Akibat kepolosan Mirna dalam hal percintaan yang membuat Mirna mau menikah dengan laki-laki seperti Devan yang suka mengadu kepada ibunya entah itu masalah besar ataupun kecil sehingga sang ibu selalu saja ikut campur dalam permasalahan rumah tangga mereka. Padahal dengan postur wajah yang dimiliki Mirna dia seharusnya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Devan. "Biarkan saja,Devan! Mau ngapain kamu perduli dia mau pulang jam berapa? perempuan seperti dia pasti sudah biasa pulang larut malam, lagi pula perempuan mandul seperti dia mau pulang sampai jam berapa juga tidak akan menghasilkan masalah buat nya," ketus sang mertua. "Tolong be
"D-Devan, cepat bawa Yuli ke klinik terdekat saja kita sudah tidak ada waktu, ketuban Yuli sudah pecah" ujar sang mertua. Devan bersama dengan sang ibu memutuskan membawa Yuli ke klinik persalinan yang terdekat karena jika mereka tetap bersikeras ke rumah sakit itu akan memakan waktu yang lebih lama sementara kondisi ketuban Yuli sudah pecah yang artinya proses persalinan akan segera terjadi. Sebelum pergi Devan tetap memaksa Mirna untuk memberikannya uang yang dia miliki berapa pun itu. "Aku tidak punya banyak waktu Mirna, kamu sudah lihat bagaimana keadaan Yuli apa kamu tega membiarkannya kesakitan lebih lama? Cepat berikan aku uang! Ujar Devan " Sudah aku katakan aku tidak punya uang lagi kenapa kamu tidak percaya?" Ujar Mirna " Jangan keras kepala Mirna atau kamu juga akan merasakaan sakit!" Ucap Devan Keadaan yang mendesak membuat Devan menjadi gelap mata, tanpa aba-aba Devan menjambak dan memukul Mirna secara bertubi-tubi, Mirna berteriak histeris meminta tolong namun t
"Kamu jangan sombong Mirna, walaupun rumah ini dibangun menggunakan uang kamu tapi rumah ini berada diatas tanah milik ibu, kalau saja tidak ada tanah milik ibu belum tentu dengan uang kamu yang pas-pas an itu bisa membangun rumah dengan luas seperti ini!" Sengit Devan. "Karena aku menggerti rumah ini berada diatas tanah milik ibu kamu makanya aku minta kamu menjualnya dan hasil penjualan kamu bagi jadi dua, aku rasa ini solusi yang terbaik! Aku juga perlu uang untuk melanjutkan hidup aku." ujar Mirna "Ada apa ini? Kamu mau minta ibu untuk menjual rumah ini dan memberikan kamu uang hasil penjualan rumah ini? Iya begitu?" Tanya sang mertua yang tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka bersama dengan Yuli. Mirna memutar bola matanya dengan malas saat tahu ibu mertuanya mulai ikut campur. "Bukan memberikan hasil penjualan rumah keseluruhan untuk aku, tapi di bagi dua sesuai dengan harga tanah dan bangunan tersebut," ucap Mirna menjelaskan. "Memangnya kenapa harus dijual dan dibagi
Mirna tersenyum miring setelah selesai merapikan barang-barang miliknya yang akan dia bawa bersama dengannya, Hari ini dirinya memutuskan akan pergi meninggalkan rumah tersebut dia juga akan segera mengurus proses perceraiannya dengan Devan. Cukup sudah dia bersabar menghadapi kelakuan suami dan juga ibu mertuanya tersebut. Dengan langkah pasti dirinya keluar dari kamar sembari mendorong koper miliknya, entah mengapa rumah yang tiap paginya selalu ramai oleh suara tangisan bayi dan ocehan sang mertua kali ini sangat sunyi dan tenang. Suasana yang tenang seperti itu dimanfaatkan Mirna untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat menemani sarapan Mirna yang terakhir di rumah tersebut. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara mesin mobil yang berhenti tepat didepan pagar rumahnya, Mirna sudah dapat menebak jika mobil tersebut adalah taksi online yang belum lama dia pesan melalui ponsel miliknya. Untuk memastikan dugaannya tidak
Suara tangisan bu Lastri masih saja terus terdengar, dia meraung-raung sembari memukul tanah beraspal. "Rumahkuu... rumahkuu...kembalikan rumahhkuu... huhuhu." Sementara itu Devan terlihat sibuk menghubungi Mirna, istri pertamanya namun panggilan tak kunjung tersambung, masih belum menyerah Devan mengirimkan banyak pesan kepada Mirna dan berharap istri pertamanya itu membalas pesan yang dia kirim. Api baru dapat dipadamkan setelah satu jam lamanya para petugas berusaha keras memadamkan api. Rumah yang dibangun diatas tanah miliknya kini menyisakan puing-puing yang hangus terbakar, untung saja rumah tersebut tidak berada dikawasan padat penduduk sehingga api tidak menyambar ke rumah lain dan memakan korban. Sementara itu di lain tempat, Mirna baru saja tiba dirumah mewah dengan halaman yang cukup luas, rumah mewah itu memang cukup mewah untuk dilihat dari luar tapi sebenarnya rumah itu dimanfaatkan sebagai kost an yang disewakan perkamarnya. Mirna masih belum tahu harus bagai
Devan tidak dapat membantah ucapan dari istri kedua nya itu, dengan gusar dia mengusap wajahnya."Lalu harus bagaimana kita sekarang Yuli? jika uang untuk menyewa rumah saja kita tidak punya kita harus kemana?" Tanya lelaki yang tidak siap berpoligami itu."Ya mana aku tahu, Mas! kamu yang harusnya berpikir bukan aku," Jawab Yuli tak acuh.Tanpa mereka sadari seorang di belakang mereka mendengar percakapan mereka, orang itu tak lain adalah ibu dari Devan sendiri, dia sudah dapat mengendalikan emosinya didepan umum namun hatinya masih saja mencurigai MIrna dan ingin membuat perhitungan dengan menantu pertamanya tersebut."Apa kamu sudah tahu dimana keberadaan MIrna sekarang, Devan?" tanya wanita tua itu pada anaknya."Aku belum tahu,bu! Mirna tidak memberitahu keberadaan dia yang sekarang," jawab singkat Devan"Bu, Sebaiknya yang kita pikirkan saat ini, akan tinggal dimana kita sekarang? Urusan dengan mbak Mirna bisa kita tunda nanti." Yuli lelah menghadapi putrinya yang terus menangis
Kedua sahabat itu nampak masih menikmati kebersamaan mereka sampai tidak menyadari hari telah menjelang siang. Keduanya menceritakan bagaimana perjalanan hidup mereka setelah lulus dari SMA, dimana Mirna yang tidak melanjutkan pendidikannya ke universitas karena faktor biaya, pernikahan dirinya dengan Devan sampai pengalamannya bekerja sebagai seorang tkw di negara yang sangat berbeda budaya dan bahasanya. Berbeda dengan Mirna, Tiara yang datang dari keluarga yang cukup berada tetap melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi dikota lain."Dasar laki-laki bodoh! bisa-bisanya dia meninggalkan kamu hanya demi wanita jalang itu!" Geram Tiara pada suami sahabatnya itu."Sebenarnya aku tidak akan menyalahkan dia secara keseluruhan, aku memang wanita cacat yang tidak bisa memberikan dia kerurunan. Tapi yang aku sesalkan, kenapa dia tidak jujur saja jika dia ingin menikah lagi? dia justru menikah diam-diam tanpa bicara pada aku, sementara aku tetap terus bekerja banting tulang untu
"Untuk apa aku melakukan hal itu? memang apa lagi yang bisa dimanfaatkan dari wanita itu? dia sudah tidak bekerja dan tidak memiliki uang!" ucap devan dengan mudahnya. "Setidaknya kamu harus meminta pertanggung jawaban atas semua yang terjadi sama kita sekarang, jika dia tidak mau mengakui perbuatannya maka laporkan saja dia ke polisi." ucap Yuli. "Kamu tidak perlu mengajari aku! Wanita itu sudah membuat masalah besar untuk kita, aku pasti akan meminta nya bertanggung jawab dan membuat perhitungan dengannya tanpa harus berpura-pura baik dengannya."ujar devan "Kalau begitu cepat dikerjakan, jangan membuang-buang waktu, aku sudah tidak sabar melihat wanita itu menderita." ucapn Yuli***** Sementara itu seorang wanita terlihat sibuk mempersiapkan segala keperluan untuk pembukaan toko roti, mulai dari bahan yang digunakan untuk pembuatan roti, sampai pembuatan roti itu sendiri, dia harus memberikan yang terbaik untuk awal pembukaan toko tersebut. Wanita itu adalah Mirna yang dua bula
Setelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang
Waktu berlalu begitu cepat, sidang perceraian mereka akan di adakan siang ini. Mirna di dampingi Reza selaku pengacaranya tiba disana lebih awal, sementara Devan tiba beberapa saat setelahnya, dirinya juga di temani sang ibu yang angkuh. Suasana persidangan tampak begitu tegang, disebelah kanan Mirna duduk dengan tenang tapi tetap terlihat kecemasannya, sementara disebelahnya Reza selaku pengacara sudah siap menghadapi persidangan. Disisi lain Devan duduk bersama sang ibu dengan tatapan dingin. Sidang akhirnya dimulai, dan semua perhatian tertuju pada hakim yang membuka persidangan tersebut. Hakim kemudian meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan argumen mereka mengenai perceraian tersebut. Reza berdiri mewakili Mirna, berbicara dengan tenang dan penuh kejelasan. “Yang Mulia, klien saya sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan pernikahan yang penuh ketidakcocokan, tanpa penghargaan yang layak. Mirna telah mencoba, berulang kali, namun kini merasa bahwa perceraian adalah pil
Meskipun Devan dan Mirna sepakat untuk berpisah, namun pertemuan keduanya berakhir dengan ketegangan. Mirna melangkah keluar dari ruang mediasi dengan pandangan kosong. Dadanya terasa sesak jika teringat dengan ucapan Devan, seolah seluruh perjuangannya selama ini tak ada artinya. Suara pintu yang berderit menyadarkannya, dirinya melihat Reza yang berdiri di ujung lorong. Reza menghampirinya dan tanpa banyak kata, ia hanya mengulurkan sebotol air mineral. "Minum dulu," ucapnya Reza singkat. Mirna sedikit tersentak dari lamunannya, kemudian mengambil dan meneguk air yang berada didalam botol. "Terima kasih,kak." Mereka terdiam beberapa saat. Reza menatapnya sesaat sebelum berkata, “Semua ini pasti berat untuk kamu, tapi kamu pasti bisa melewatinya.” Mirna hanya mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kata-kata Reza yang singkat. Reza memandang ke arah taman kecil di luar gedung, lalu berkata, “Ayo, kita duduk di sana sebentar. Udara segar bisa bantu kamu untuk lebih tenang." Me
Devan menatap Yuli dalam-dalam, mencoba menemukan alasan di balik kata-katanya. Bagaimanapun juga, ada logika yang sulit dia bantah. Mirna telah mengganggu kedamaian keluarganya, dan mungkin ini adalah cara untuk membuatnya membayar atas perbuatannya. Tapi dirinya merasa ragu untuk membawa masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi. "Ide itu hanya akan membuat situasi semakin rumit saja, aku rasa lebih baik kita tidak perlu melakukan hal tersebut." Ucap DevanYuli mendengus pelan, lalu menatap Devan dengan ekspresi kecewa. "Mas, kenapa kamu selalu lemah?Mirna yang memulai semuanya dengan menggugat cerai, dia ingin menyeret kita ke pengadilan. Kalau kita tidak mengambil tindakan balasan, dia akan merasa menang.""Tapi, yul...kita tidak punya bukti yang cukup, bahkan menurut penyelidikan kebakaran terjadi karena kebocoran tabung gas. Bagaimana kita akan menggugatnya?" Devan merasakan ada dorongan untuk tetap berada di jalur yang lebih aman, meski sebagian hatinya juga tergoda untuk mengi