Rumah sederhana yang hanya memiliki tiga kamar tersebut kini terisi penuh,Mirna masih berada di dalam kamar tepatnya kamar yang dijadikan gudang. Dirinya tidak dapat menerima pengkhianatan sang suami namun dia harus bisa bertahan untuk mendapatkan kembali hak nya dan memastikan sang suami menyesali perbuatannya.
Meskipun memiliki paras wajah yang cantik dan otak yang cerdas, namun nasibnya sangat berbanding terbalik dengan itu semua. Dari kecil dirinya sudah tidak mengetahui siapa keluarga ataupun orang tuanya, dirinya tumbuh dan besar dengan baik disebuah panti asuhan, berkat otaknya yang cerdas dirinya berkali-kali mendapatkan beasiswa sehingga dirinya dapat menyelesaikan pendidikannya hingga SMA.Setelah menyelesaikan pendidikan SMA dirinya memutuskan untuk mencari pekerjaan agar dapat membantu anak-anak yatim yang berada di panti asuhan tersebut. Dirinya memutuskan untuk bekerja disebuah pabrik sebagai buruh harian, disanalah dirinya untuk pertama kalinya bertemu dan berkenalan hingga memutuskan untuk menikah dengan sang suami.Pernikahannya dengan Devan memang tidak mendapatkan restu dari keluarga terutama sang ibu mertua, padahal Mirna sudah berusaha untuk menjadi menantu yang baik dengan melakukan apa yang diminta oleh sang mertua namun sang mertua tetap saja tidak menyukainya.Mirna mengunci kamar yang kini akan dia tempati kemudian menjatuhkan tubuhnya yang lelah kelantai, air mata pun kembali luruh membasahi pipi untuk kesekian kalinya, marah,sedih,kesal,kecewa semuanya menjadi satu memenuhi hatinya.Didalam kamar yang sunyi dan lembab itu dirinya menangis seorang diri sepuasnya agar mendapatkan sedikit kelegaan dan membawanya terlelap kealam bawah sadar." Mirna!"Suara panggilan melengking membuat Mirna terbangun dari tidurnya, dirinya yang masih belum sepenuhnya sadar memaksakan tubuhnya untuk berdiri dan membukakan pintu kamarnya. "Ada apa?" Tanya Mirna ke ibu mertua yang memanggilnya dengan lantang. "Sudah siang seperti ini kenapa kamu masih tidur saja? Cepat siapkan sarapan kami, mulai hari ini kamulah yang harus bertanggung jawab menyiapkan sarapan!" Perintah sang mertua "Baiklah bu, tunggu sebentar," Mirna yang belum sadar sepenuhnya menuruti perintah sang mertua. Dia berjalan menuju dapur untuk menyiapkan sarapan. Namun begitu sampai didapur dirinya bertemu dengan Devan dan Yuli yang sedang menikmati sarapan mereka dengan bahagia." Oh iya ibu lupa rupanya Yuli sudah membuatkan sarapan, kalau begitu kamu pergi beli barang keperluan dapur kebetulan banyak bahan makanan yang sudah habis, dan ini uangnya!" Perintah mertua sembari memberikan uang satu lembar pecahan lima puluh ribuan." Oh ya jangan lupa kamu membelikan susu ibu hamil untuk Yuli, kebetulan susu dia sedang habis." Ujar mertua"Tapi uang yang ibu kasih ini tidak akan cukup untuk membeli bahan makanan apalagi harus membeli susu ibu hamil!" Cicit Mirna " Perhitungan sekali kamu ini! Cukup tidak cukup kamu harus bisa cukup jangan boros kalau tidak cukup juga ya kamu talangi saja, nanti kalau ibu sudah ada uang baru ibu ganti." Ujar mertua"Benar Mirna, pakai saja uang kamu nanti begitu aku gajian akan aku ganti," Ucap Devan."Apa jaminannya kamu akan menggantinya,mas?" Tanya Mirna yang tidak percaya akan janji manis sang suami."Jangan keterlaluan kamu Mirna! Sudah bagus aku masih mau menampung kamu disini jika bukan karena aku,kamu pasti sudah berakhir dijalanan!""Terserah kamu mau bilang apa mas, aku yang membangun rumah ini tapi justru aku yang berakhir manumpang dirumah ini,sungguh malang nasib aku ini." Sengit Mirna.Mirna yang menyadari kelicikan sang mertua tidak mau ambil pusing, dia tetap pergi membeli barang keperluan didapur menggunakan uang seadanya dan memanfaatkan waktu yang ada untuk mencari udara segar.Tiba di pasar tradisional yang menjual berbagai macam keperluan rumah tangga dengan harga yang relatif murah sedikit membawa angin segar dan melupakan masalah hidupnya. Dirinya membeli bahan makanan sesuai dengan jumlah uang yang diberikan sang mertua setelah itu dia baru membeli barang keperluan dirinya sendiri menggunakan uang miliknya.Selesai berbelanja dirinya memanfaatkan waktunya untuk mengunjungi sebuah bank yang terpercaya untuk membuat rekening baru dan juga menyewa safety box yang akan dia gunakan untuk menyimpan sisa uang dan juga beberapa aset yang dia kumpulkan selama bekerja di negeri orang.Dirinya harus melakukan itu semua jika tidak ingin benar-benar berakhir dijalanan, dirinya sangat yakin sang suami akan membuangnya jika dirinya sudah tidak berguna jadi alangkah baiknya sedia payung sebelum hujan.Mirna mengambil nomor antrian kemudian duduk menunggu nomor antriannya dipanggil, setelah menunggu cukup lama akhirnya Mirna dipanggil dan dilayani sesuai dengan prosedur bank tersebut.Namun seorang wanita dengan seragam karyawan bank tersebut mengenali dirinya"Mirna.. benar kamu Mirna?" Tanya wanita itu. " T-Tiara..?" Tanya Mirna tidak yakin" Benar ini aku Tiara, Apa kabarnya kamu? Kapan kamu tiba disini?" Tanya Tiara yang merupakan sahabat baik Mirna semenjak duduk di bangku SMA Pertemuan yang tidak disengaja itu berakhir menjadi acara reuni kedua sahabat itu, Mirna juga menceritakan keadaan rumah tangganya yang sekarang kepada sang sahabat.Sebagai teman yang sudah mengetahui bagaimana sifat dan kelakuan Devan beserta keluarganya hanya dapat bersimpati untuk Mirna. Sedangkan Tiara yang mengetahui maksud dan tujuan Mirna berada di bank tersebut membantu sang sahabat agar dapat menyimpan sisa uang dan juga asetnya dengan cepat dan aman.Lewat jam makan siang dirinya baru kembali kerumah,yang dimana sang mertua sudah memasang wajah tidak sukanya."Dari mana saja kamu? Kenapa lama sekali? Dimana susu hamil yang ibu minta belikan?" Tanya mertua sembari menarik kantong belanjaan yang Mirna bawa. " Tunggu bu, yang ibu ambil itu kantong belanjaan milik aku yang milik ibu yang ini," ujar Mirna menukar kantong belanjaan yang besar dengan kantong belanjaan yang lebih kecil. "K-kamu!" Ucap mertua dengan gagap"Karena uang yang ibu berikan tidak cukup untuk membeli dalam jumlah besar maka saya belikan dalam bentuk kemasan sachet kecil,tapi maaf untuk susu hamilnya tidak ada yang jual dalam kemasan sachet tapi saya sudah belikan susu kental manis kemasan sachet untuk menggantinya." Ucap Mirna kemudian meninggalkan sang mertua disana.Sungguh berat bagi Mirna untuk bisa bertahan di biduk rumah tangga seperti saat ini, dirinya harus menjadi yang kedua meskipun statusnya adalah isteri pertama, sudah bulan kedua dirinya tinggal bersama dengan suami,mertua dan juga Yuli. Rasanya tidak sudi jika mereka semua yang menguasai rumah yang aku bangun dengan susah payah, namun untuk bertahan lebih lama juga rasanya sakit sekali apalagi perlakuan ibu mertua yang tiap hari selalu menghina dirinya yang tidak bisa memberikan keturunan untuk sang suami. Padahal wanita mana yang tidak ingin memberikan keturunan untuk keluarganya namun jika yang diatas memiliki kehendak yang lain kita sebagai hambanya hanya bisa menerimanya, lagipula jika bukan karena kecelakaan itu tentu aku dan suami sudah memiliki seorang putra. Diam-diam Mirna mengumpulkan informasi mengenai legalitas rumah yang dibangun diatas tanah mertua melalui media sosial dan ternyata keputusannya membangun rumah ditanah mertua merupakan kebodohan yang sangat fatal.
Suara teriakan Devan ternyata membangunkan sang mertua yang sudah terlelap sedari awal. "Ada apa lagi,Devan? Apa perempuan mandul itu membuat ulah lagi?" Teriak sang mertua dari dalam kamarnya. "Tidak apa-apa,bu! aku cuma bilang Mirna untuk tidak pulang larut malam setiap harinya tapi dia malah membangkang!" ujar Devan pada ibu nya. Akibat kepolosan Mirna dalam hal percintaan yang membuat Mirna mau menikah dengan laki-laki seperti Devan yang suka mengadu kepada ibunya entah itu masalah besar ataupun kecil sehingga sang ibu selalu saja ikut campur dalam permasalahan rumah tangga mereka. Padahal dengan postur wajah yang dimiliki Mirna dia seharusnya bisa mendapatkan laki-laki yang lebih baik dari Devan. "Biarkan saja,Devan! Mau ngapain kamu perduli dia mau pulang jam berapa? perempuan seperti dia pasti sudah biasa pulang larut malam, lagi pula perempuan mandul seperti dia mau pulang sampai jam berapa juga tidak akan menghasilkan masalah buat nya," ketus sang mertua. "Tolong be
"D-Devan, cepat bawa Yuli ke klinik terdekat saja kita sudah tidak ada waktu, ketuban Yuli sudah pecah" ujar sang mertua. Devan bersama dengan sang ibu memutuskan membawa Yuli ke klinik persalinan yang terdekat karena jika mereka tetap bersikeras ke rumah sakit itu akan memakan waktu yang lebih lama sementara kondisi ketuban Yuli sudah pecah yang artinya proses persalinan akan segera terjadi. Sebelum pergi Devan tetap memaksa Mirna untuk memberikannya uang yang dia miliki berapa pun itu. "Aku tidak punya banyak waktu Mirna, kamu sudah lihat bagaimana keadaan Yuli apa kamu tega membiarkannya kesakitan lebih lama? Cepat berikan aku uang! Ujar Devan " Sudah aku katakan aku tidak punya uang lagi kenapa kamu tidak percaya?" Ujar Mirna " Jangan keras kepala Mirna atau kamu juga akan merasakaan sakit!" Ucap Devan Keadaan yang mendesak membuat Devan menjadi gelap mata, tanpa aba-aba Devan menjambak dan memukul Mirna secara bertubi-tubi, Mirna berteriak histeris meminta tolong namun t
"Kamu jangan sombong Mirna, walaupun rumah ini dibangun menggunakan uang kamu tapi rumah ini berada diatas tanah milik ibu, kalau saja tidak ada tanah milik ibu belum tentu dengan uang kamu yang pas-pas an itu bisa membangun rumah dengan luas seperti ini!" Sengit Devan. "Karena aku menggerti rumah ini berada diatas tanah milik ibu kamu makanya aku minta kamu menjualnya dan hasil penjualan kamu bagi jadi dua, aku rasa ini solusi yang terbaik! Aku juga perlu uang untuk melanjutkan hidup aku." ujar Mirna "Ada apa ini? Kamu mau minta ibu untuk menjual rumah ini dan memberikan kamu uang hasil penjualan rumah ini? Iya begitu?" Tanya sang mertua yang tiba-tiba muncul dari arah belakang mereka bersama dengan Yuli. Mirna memutar bola matanya dengan malas saat tahu ibu mertuanya mulai ikut campur. "Bukan memberikan hasil penjualan rumah keseluruhan untuk aku, tapi di bagi dua sesuai dengan harga tanah dan bangunan tersebut," ucap Mirna menjelaskan. "Memangnya kenapa harus dijual dan dibagi
Mirna tersenyum miring setelah selesai merapikan barang-barang miliknya yang akan dia bawa bersama dengannya, Hari ini dirinya memutuskan akan pergi meninggalkan rumah tersebut dia juga akan segera mengurus proses perceraiannya dengan Devan. Cukup sudah dia bersabar menghadapi kelakuan suami dan juga ibu mertuanya tersebut. Dengan langkah pasti dirinya keluar dari kamar sembari mendorong koper miliknya, entah mengapa rumah yang tiap paginya selalu ramai oleh suara tangisan bayi dan ocehan sang mertua kali ini sangat sunyi dan tenang. Suasana yang tenang seperti itu dimanfaatkan Mirna untuk menyiapkan sarapan untuk dirinya sendiri, sepiring nasi goreng dan segelas teh hangat menemani sarapan Mirna yang terakhir di rumah tersebut. Selang beberapa menit kemudian terdengar suara mesin mobil yang berhenti tepat didepan pagar rumahnya, Mirna sudah dapat menebak jika mobil tersebut adalah taksi online yang belum lama dia pesan melalui ponsel miliknya. Untuk memastikan dugaannya tidak
Suara tangisan bu Lastri masih saja terus terdengar, dia meraung-raung sembari memukul tanah beraspal. "Rumahkuu... rumahkuu...kembalikan rumahhkuu... huhuhu." Sementara itu Devan terlihat sibuk menghubungi Mirna, istri pertamanya namun panggilan tak kunjung tersambung, masih belum menyerah Devan mengirimkan banyak pesan kepada Mirna dan berharap istri pertamanya itu membalas pesan yang dia kirim. Api baru dapat dipadamkan setelah satu jam lamanya para petugas berusaha keras memadamkan api. Rumah yang dibangun diatas tanah miliknya kini menyisakan puing-puing yang hangus terbakar, untung saja rumah tersebut tidak berada dikawasan padat penduduk sehingga api tidak menyambar ke rumah lain dan memakan korban. Sementara itu di lain tempat, Mirna baru saja tiba dirumah mewah dengan halaman yang cukup luas, rumah mewah itu memang cukup mewah untuk dilihat dari luar tapi sebenarnya rumah itu dimanfaatkan sebagai kost an yang disewakan perkamarnya. Mirna masih belum tahu harus bagai
Devan tidak dapat membantah ucapan dari istri kedua nya itu, dengan gusar dia mengusap wajahnya."Lalu harus bagaimana kita sekarang Yuli? jika uang untuk menyewa rumah saja kita tidak punya kita harus kemana?" Tanya lelaki yang tidak siap berpoligami itu."Ya mana aku tahu, Mas! kamu yang harusnya berpikir bukan aku," Jawab Yuli tak acuh.Tanpa mereka sadari seorang di belakang mereka mendengar percakapan mereka, orang itu tak lain adalah ibu dari Devan sendiri, dia sudah dapat mengendalikan emosinya didepan umum namun hatinya masih saja mencurigai MIrna dan ingin membuat perhitungan dengan menantu pertamanya tersebut."Apa kamu sudah tahu dimana keberadaan MIrna sekarang, Devan?" tanya wanita tua itu pada anaknya."Aku belum tahu,bu! Mirna tidak memberitahu keberadaan dia yang sekarang," jawab singkat Devan"Bu, Sebaiknya yang kita pikirkan saat ini, akan tinggal dimana kita sekarang? Urusan dengan mbak Mirna bisa kita tunda nanti." Yuli lelah menghadapi putrinya yang terus menangis
Kedua sahabat itu nampak masih menikmati kebersamaan mereka sampai tidak menyadari hari telah menjelang siang. Keduanya menceritakan bagaimana perjalanan hidup mereka setelah lulus dari SMA, dimana Mirna yang tidak melanjutkan pendidikannya ke universitas karena faktor biaya, pernikahan dirinya dengan Devan sampai pengalamannya bekerja sebagai seorang tkw di negara yang sangat berbeda budaya dan bahasanya. Berbeda dengan Mirna, Tiara yang datang dari keluarga yang cukup berada tetap melanjutkan pendidikannya ketingkat yang lebih tinggi dikota lain."Dasar laki-laki bodoh! bisa-bisanya dia meninggalkan kamu hanya demi wanita jalang itu!" Geram Tiara pada suami sahabatnya itu."Sebenarnya aku tidak akan menyalahkan dia secara keseluruhan, aku memang wanita cacat yang tidak bisa memberikan dia kerurunan. Tapi yang aku sesalkan, kenapa dia tidak jujur saja jika dia ingin menikah lagi? dia justru menikah diam-diam tanpa bicara pada aku, sementara aku tetap terus bekerja banting tulang untu
Setelah Reza dan Aira pergi, Mirna kembali sibuk dengan kegiatan di stand rotinya, tersenyum dan bersiap melayani beberapa pelanggan yang mulai mengantre. Namun, tak disangka, seorang wanita paruh baya dengan ekspresi marah tiba-tiba datang ke stand Mirna sambil membawa sekantong roti. "Apa-apaan ini? Roti ini ada lalatnya!" seru wanita itu dengan suara nyaring, membuat pengunjung lain menoleh ke arahnya. Ia mengangkat roti yang sudah setengah dimakan, memperlihatkan bagian dalamnya yang penuh jamur dan lalat kecil yang masih melekat. Mirna tertegun, wajahnya seketika pucat. "Ibu... maaf, mungkin ada kesalahpahaman," ujarnya gugup, mencoba menenangkan wanita tersebut. Namun, wanita itu tidak memperdengarkan penjelasan Mirna dan justru mengangkat suara, "Kesalahpahaman? Ini tidak bisa dimaafkan! Bagaimana kamu bisa menjual makanan kadaluwarsa seperti ini?!" Beberapa pengunjung yang sedang mendekat tiba-tiba ragu. Mereka mulai saling berbisik, melirik stand Mirna dengan tatapan cur
Mirna tertegun ketika menyadari siapa anak kecil itu. "Aira? kamu Aira kan?" Tanya Mirna begitu sudah berada dihadapan anak berusia lima tahun ituAira menoleh dia berusaha mengingat-ingat wajah Mirna. Wajahnya tampak lega begitu dia ingat dengan wajah Mirna. "Tante Mirna!" serunya. Mirna mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan. sementara itu petugas sekuriti yang berdiri di samping anak tersebut menoleh saat melihat Mirna mendekat. "Ibu, apa Anda mengenal anak ini?"Mirna menanguk dan mengelus kepala Aira, berusaha menenangkan gadis kecil yang terlihat ketakutan."Iya, pak. Dia anak dari teman saya. Bagaimana anak ini bisa sama bapak? tanya Mirna. Petugas sekuriti itu menoleh pada ibu yang berdiri disampingnya. "Ibu ini menemukan anak ini menangis mencari ayahnya. Karena kami belum menemukan ayahnya kami bermaksud membawa anak ini ke kantor dulu supaya bisa lebih aman. Di sana kami bisa jaga dia dengan baik sambil mencari jalan terbaik untuk m
Yuli tersenyum sinis, menatap Devan dengan kekecewaan. "Perceraian? Kalau aku mau, aku pasti sudah pergi jauh begitu saja tanpa harus menjalani proses perceraian. Asal kamu ingat,mas. pernikahan kita tidak pernah terdaftar secara sah.Jadi aku bisa pergi kapan saja." Devan mengepalkan tangannya, matanya merah penuh kemarahan. "Jadi maksud kamu apa? Aku tidak pernah memaksa kamu untuk masuk ke dalam hidupku, kamu sendiri yang menginginkan hal itu."Yuli mendengus, menggeleng pelan sambil memandang Devan dengan tatapan tajam. "Tidak memaksa? Kamu, mungkin tidak memaksa secara langsung, tapi kamu, terus-terusan datang dengan sejuta janji manis, bahkan kamu berjanji jika aku mau menjadi bagian dari hidupmu, kamu akan menjadikan hidupku tiada beban. Sekarang apa? semua janji itu hilang entah ke mana."Devan terdiam, merasa perkataan Yuli menampar harga dirinya. "Tapi kamu juga jangan lupa, kamu sendiri yang awalnya menggoda aku lebih dulu. Ingat tidak ada kucing yang menolak ikan." sengit
Setelah Mirna menghubungi Tiara, Reza dan Mirna berjalan berdampingan menuju restoran favorit Mirna yang tidak jauh dari pengadilan. Wajah Mirna tampak lebih ceria dari biasanya. “Kita kemana? Apa ada tempat yang spesial yang harus kita datangi?” tanya Reza sambil tersenyum. Mirna mengangguk. “Ada restoran kecil dekat taman, disana tempatnya tenang dan makanannya enak-enak. Kak Reza dan Tiara pasti suka.” Setibanya di restoran, mereka memilih meja di sudut yang menghadap ke taman. Tak lama, Tiara datang dengan senyum yang tak kalah antusias. “Hari ini aku yang traktir, kalian pesan apa saja yang kalian suka,” Ucap Mirna. Tiara tersenyum. "Baiklah, kamu jangan menyesal karena aku akan memilih menu yang paling mahal." Goda Tiara. Reza tertawa kecil. “Setuju! kita harus memilih yang paling mahal. Mereka akhirnya memesan beberapa menu andalan dari restoran tersebut. Saat makanan datang, mereka bertiga mulai makan sambil bercanda, di tengah-tengah obrolan mereka, Reza bertanya den
Saat Mirna sampai di depan kost, ia melihat sosok Reza berdiri menunggu di bawah lampu jalan yang remang. Langkah Mirna melambat, dan sejenak ia terdiam, memperhatikan Reza yang tampak sabar menanti dengan sebuah tas kecil di tangannya. Wajah Reza yang biasanya tenang terlihat sedikit letih, tapi senyumnya muncul begitu melihat Mirna mendekat. “Akhirnya kamu sampai juga,” ujar Reza lembut, matanya memancarkan kehangatan yang seolah menghapus semua kelelahan Mirna. Mirna tersenyum, meski hatinya terasa campur aduk. “Maaf kalau membuat Kak Reza menunggu lama. kenapa kak Reza mendadak kemari?" tanyanya, tanyanya agar bisa mengesampingkan pertemuannya dengan Devan yang mengusik perasaannya. "Ada beberapa dokumen yang perlu kamu tanda tangani, dan ini," Reza menyerahkan tas kecil yang dibawanya. “Aku ke Bandung beberapa hari lalu, Jadi, aku bawakan oleh-oleh untuk kamu. Mirna mengintip ke dalam tas itu dan menemukan berbagai macam jajanan khas Bandung, Ia tertawa kecil, merasa terharu
Setelah keluar dari gedung pengadilan dan meninggalkan sang ibu. Dengan langkah berat Devan berjalan menuju tempat dimana mobilnya terparkir, bayangan wajah kecewa dari sang ibu terus terlintas di pikirannya. Begitu ia duduk di dalam mobil, ia menghela napas panjang, memejamkan mata, dan mencoba menenangkan diri. Ocehan sang ibu yang mengkritik keputusannya terngiang di telinganya membuat perasaan bersalahnya kembali muncul. " Apa keputusan aku ini sudah benar?" Batin.Devan bertanya. Devan terdiam sesaat, kemudian meraih ponselnya dan bermaksud untuk menghubungi ibunya, tapi ia ragu dan berhenti. “Tidak, keputusan aku ini sudah tepat. Aku lelah jika masalah ini tak kunjung selesai.” gumamnya, sambil memandang ponsel di tangannya. Keraguan itu masih ada, tetapi ia tahu bahwa perasaan ingin bebas dari pernikahan yang penuh konflik ini lebih kuat daripada bayangan kekecewaan ibunya Ibu Devan pulang dari persidangan dengan wajah penuh kemarahan.Ia mendapati Yuli yang menunggu di ruang
Waktu berlalu begitu cepat, sidang perceraian mereka akan di adakan siang ini. Mirna di dampingi Reza selaku pengacaranya tiba disana lebih awal, sementara Devan tiba beberapa saat setelahnya, dirinya juga di temani sang ibu yang angkuh. Suasana persidangan tampak begitu tegang, disebelah kanan Mirna duduk dengan tenang tapi tetap terlihat kecemasannya, sementara disebelahnya Reza selaku pengacara sudah siap menghadapi persidangan. Disisi lain Devan duduk bersama sang ibu dengan tatapan dingin. Sidang akhirnya dimulai, dan semua perhatian tertuju pada hakim yang membuka persidangan tersebut. Hakim kemudian meminta kedua belah pihak untuk menyampaikan argumen mereka mengenai perceraian tersebut. Reza berdiri mewakili Mirna, berbicara dengan tenang dan penuh kejelasan. “Yang Mulia, klien saya sudah bertahun-tahun menjalani kehidupan pernikahan yang penuh ketidakcocokan, tanpa penghargaan yang layak. Mirna telah mencoba, berulang kali, namun kini merasa bahwa perceraian adalah pil
Meskipun Devan dan Mirna sepakat untuk berpisah, namun pertemuan keduanya berakhir dengan ketegangan. Mirna melangkah keluar dari ruang mediasi dengan pandangan kosong. Dadanya terasa sesak jika teringat dengan ucapan Devan, seolah seluruh perjuangannya selama ini tak ada artinya. Suara pintu yang berderit menyadarkannya, dirinya melihat Reza yang berdiri di ujung lorong. Reza menghampirinya dan tanpa banyak kata, ia hanya mengulurkan sebotol air mineral. "Minum dulu," ucapnya Reza singkat. Mirna sedikit tersentak dari lamunannya, kemudian mengambil dan meneguk air yang berada didalam botol. "Terima kasih,kak." Mereka terdiam beberapa saat. Reza menatapnya sesaat sebelum berkata, “Semua ini pasti berat untuk kamu, tapi kamu pasti bisa melewatinya.” Mirna hanya mengangguk, merasa sedikit tenang dengan kata-kata Reza yang singkat. Reza memandang ke arah taman kecil di luar gedung, lalu berkata, “Ayo, kita duduk di sana sebentar. Udara segar bisa bantu kamu untuk lebih tenang." Me
Devan menatap Yuli dalam-dalam, mencoba menemukan alasan di balik kata-katanya. Bagaimanapun juga, ada logika yang sulit dia bantah. Mirna telah mengganggu kedamaian keluarganya, dan mungkin ini adalah cara untuk membuatnya membayar atas perbuatannya. Tapi dirinya merasa ragu untuk membawa masalah ini ke tingkat yang lebih tinggi. "Ide itu hanya akan membuat situasi semakin rumit saja, aku rasa lebih baik kita tidak perlu melakukan hal tersebut." Ucap DevanYuli mendengus pelan, lalu menatap Devan dengan ekspresi kecewa. "Mas, kenapa kamu selalu lemah?Mirna yang memulai semuanya dengan menggugat cerai, dia ingin menyeret kita ke pengadilan. Kalau kita tidak mengambil tindakan balasan, dia akan merasa menang.""Tapi, yul...kita tidak punya bukti yang cukup, bahkan menurut penyelidikan kebakaran terjadi karena kebocoran tabung gas. Bagaimana kita akan menggugatnya?" Devan merasakan ada dorongan untuk tetap berada di jalur yang lebih aman, meski sebagian hatinya juga tergoda untuk mengi