Camelia, sejak tiga tahun ini, tinggal di Apartemen Jakarta Residence. Sebuah hunian, hadiah dari adiknya, Melati, tak lama, setelah dia menikah.
Akhir pekan, Camelia selalu menghabiskan waktu, membaca di balkon apartemennya. Suasana santai, seraya menatap kesibukan sekitar apartemen, menjadi hiburan-nya.
Bel apartemen berbunyi.
Camelia sontak berdiri menuju pintu. Senyumannya terurai saat membuka pintu. Menyaksikan sosok yang memang sangat dirindukannya.
“Tante cantik.” Panggilan Yumna, anak dari Melati. Camelia langsung memeluk gadis kecil itu. “Tante rindu banget, sama Yumna cerewet.”
Melati dan Hanan, suaminya, tersenyum, melihat keakraban Yumna dan Camelia. Mereka lantas masuk ke dalam Apartemen Camelia.
“Kak, pasti belum makan, kan? Ini kami bawakan, makanan kesukaan Kak Lia.” Melati meletakkan makanan, di atas meja. Camelia tampak serius bermain bersama Yumna, dia tidak menggubris ucapan Melati.
“Yumna, udah makan siang?”
“Udah dong, Tante Cantik.”
“Kalau begitu, Tante makan dulu. Lanjut main sama Ayah, ya.”
“Oke Tante.” Yumna berlari ke arah Ayahnya, di balkon. Camelia bergabung dengan Melati di meja makan.
“Bagaimana kabar Kak Lia? Baik-baik saja, kan?”
“Alhamdulillah, seperti biasa, Dik.” Camelia menjawab, disertai senyuman hangat.
“Kak Lia, gak kesepian?”
Camelia tersenyum. “Tumben, kamu bertanya tentang kesepian? Ada apa? Bisa langsung to the point aja.”
Melati tersenyum. “Memang ya, kalau bicara dengan psikolog, gak boleh basa-basi. Jadinya aku yang kecele.”
Camelia, terkekeh.
“Kak, sejak ibu pergi, Melati selalu memikirkan kondisi Kak Lia. Melati merasa bersalah, meninggalkan Kak Lia sendiri, seperti ini.”
Kembali, Camelia tersenyum. Dia fokus mengunyah makanan, yang sedang memenuhi mulutnya.
“Kak?” Melati kembali menuntut jawaban. “Gimana? Kamu maunya, Kakak jawabnya gimana?”
“Kok malah bertanya balik?”
“Mel. Perjalanan hidup, itu bukan pilihan. Tapi suatu kepastian yang harus dijalani. Kesepian, sudah bagian dari kehidupan Kak Lia. Kamu jangan khawatir. Semua ada masanya. Kamu fokus pada kehidupan-mu bersama Hanan dan Yumna, ya.”
“Tapi Kak? Melati selalu khawatir keadaan Kak Lia, jika terus sendiri.”
“InsyaaAllah, semua akan baik-baik saja.”
Melati mengangguk. Ribuan bahasa, pun, tidak akan bisa mengalahkan keras hatinya, sang kakak. Persoalan orang tuanya di masa lalu, yang juga, menghancurkan cintanya, semakin menenggelamkannya dalam kesendirian.
“Kak Meylani nitip salam.”
“Kak Meylani ada di Indonesia?” Melati tersentak mendengar keberadaan sahabat kakaknya.
“Iya. Dia dan Kak Leo, memutuskan kembali ke Indonesia.”
“Alhamdulillah.” Melati tersenyum lebar. Suasana hatinya, yang sempat suram, berganti cerah.
“Kok, kamu bahagia banget?”
“Kak, kalau Kak Mey ada di Indonesia, Melati tidak akan khawatir lagi. Karena Kak Lia sudah punya Kak Mey.”
“Iya. Kak Lia juga sangat senang, Kak Mey balik lagi ke sini.”
“Kak?”
“Iya. Ada apa? Kok sedari tadi, Kakak lihat, kamu ingin mengatakan sesuatu. Kenapa gak disampaikan saja? Kamu kan, kenal sama Kak Lia. Gak usah ragu, langsung saja.”
“Kak, Mas Willy.”
Camelia, kembali tersenyum. “Kamu belum selesai dengan beliau?”
“Kak, bukan Melati. Kak Lia, kan?”
“Mel, hubungan Kakak dengan Mas Willy, murni hubungan kerja. Bagi Kakak, pantang, mencampur-adukan urusan pribadi dan urusan pekerjaan.”
“Jadi?”
“Ya, itu. Kakak tidak akan pernah menjalin hubungan, dengan siapapun, di kantor yang sama.”
“Jadi, jika Mas Willy serius, dia harus meninggalkan Rumah Bahagia?”
“Iya, seperti itu. Tapi, itu gak akan terjadi, Mel. Mas Willy sangat mencintai Rumah Bahagia. Itu adalah obsesinya, mimpinya, lebih dari apapun. Beliau pernah ngomong sama Kak Lia. Bahwa dia belum menikah, karena dia ingin fokus, di Rumah Bahagia.”
“Aduh, Kak Lia. Kok jadi ribet banget. Ada yang suka, malah dicuekin begitu. Mas Willy kan baik banget. Dia juga sudah tahu betul, semua tentang keluarga kita. Masalah, yang selalu Kak Lia khawatirkan. Tapi, kenapa malah sulit begini, Kak?”
“Mel, semua orang punya jalan kehidupan masing-masing. Kak Lia pun, punya alasan, untuk setiap keputusan yang Kak Lia ambil. Kamu mengerti, kan?”
“Baik, Kak. Intinya, Melati sangat menyayangi Kak Lia. Melati cuma ingin Kak Lia bahagia.”
“Iya. Makasih ya.”
Pelukan Melati, mendarat di tubuh Camelia. Harapan itu sangat besar. Melihat kakaknya, juga mengakhiri kesendiriannya.
***
Hari ini, Meylani dan Leo, pindah ke rumah baru mereka. Setelah menunggu beberapa bulan, akhirnya rumah impian itu, siap menerima penghuninya.
“Mas, Ayah dan Ibu, semuanya, udah balik?”
Meylani keluar dari kamar. Dia mencari orang tua dan mertuanya, yang tidak terlihat lagi di ruang keluarga. Rumah mereka, seketika sepi.
“Udah sayang. Mama Papa, Ayah dan Ibu, tadi lihat kamu kecapaian. Mereka gak mau ganggu. Jadi, Mas, gak bangunin kamu, saat mereka pamit pulang.”
Leo berjalan menuju istrinya. Dia memeluk Meylani dari belakang. Tangannya melingkar di pinggang sang istri. Mendekatkan dagunya, di pundak kekasih hatinya.
"Akhirnya bisa berdua juga ya?" Leo terus saja menganggu belahan jiwanya. “Mas, mandi dulu! Keringatnya, asem!”
“Asem tapi ngangenin?” Meylani mendengus, dongkol, dengan kepercayaan diri suaminya. Dia berusaha melepaskan diri dari pelukan Leo. Tapi, tidak berhasil.
“Mau ke mana sih?”
“Mas, Mey mau ke dapur. Haus.”
“Mas ambilkan, ya.” Tanpa jawaban Meylani, Leo sudah melangkah menuju dapur.
Meylani duduk tepat di depan TV. Tak lama, Leo sudah kembali dengan segelas air.
“Suami Mey, sweet banget ya. Makasih Sayang.”
Leo malah menunjuk pipinya. Dan Meylani tahu betul, maksud sang suami. Meylani memberikan kecupan, di pipi, kekasihnya itu.
“Makasih.” Leo membalas dengan senyuman paling manis. “Sayang, kamu gak apa-apa?”
“Cuma kelelahan saja, Mas.” Meylani menjatuhkan kepalanya, di pundak Leo, yang duduk tepat di sampingnya. “Ini sudah jam empat. Bukannya Lia, janji datang sore ini?”
“Iya, Mas. Tadi dia kasih kabar, udah di jalan.”
“Mas, jadi ngundang Bilal dan Linda?” Meylani tiba-tiba ingat, tentang kehadiran Bilal dan istrinya.
“Iya.”
“Mas, gimana sih? Duh, bisa jadi apa pertemuan itu nanti?”
“Gak usah khawatir Sayang. Kita semua sudah dewasa. Mas yakin, Camelia dan Bilal, sangat memahami posisi mereka saat ini.”
“Ini makan malam pertama kita, setelah kita pindah ke Jepang. Sudah lama banget, kita gak semeja berempat. Jika saja, musibah itu tidak terjadi, mungkin Camelia dan Bilal—“
“Sayang, gak boleh bicara begitu. Semua sudah ketetapan Tuhan.” Meylani mengambil tangan suaminya, dan mengecup punggungnya. Leo pun melakukan hal yang sama.
Sesaat hening.
Suara bel berbunyi, menyingkap kebisuan. “Mas aja yang buka.” Leo berjalan menuju pintu.
“Assalamu’alaykum.” Senyum Bilal, membuka pertemuan malam ini.
“Wa’alaykumussalam. Akhirnya yang ditunggu sudah tiba.” Leo mengajak Bilal masuk ke dalam rumah. Mereka langsung bergabung dengan Meylani di ruang keluarga.
“Bilal!” Meylani sedikit kaget melihat sosok, yang kini ada di hadapannya.
“Kok, kaget banget?” Bilal heran dengan tingkah Meylani, tidak biasanya. “Kamu sendiri?”
“Iya, sendiri.”
“Bukannya, kami mengundang kamu dengan istri dan anak kamu? Jangan sampai, kamu lupa, kamu punya istri dan anak.” Leo tertawa puas.
“Kamu ya. Aku baru nyampe, sudah diledekin begitu. Anak-anak bersama ibunya, lagi nginap di rumah neneknya. Mereka sudah rencanakan, sejak bulan lalu. Makanya, aku sendiri, Abang Leo!” Bilal, menatap Leo, tajam.
"Bercanda, Bang. Kok serius banget sih?" Leo sadar, kalimatnya menyinggung perasaan Bilal. Entah mengapa, sahabatnya itu, semakin hari, semakin sensitif saja.
Meylani tertegun. Dia seperti memikirkan sesuatu, yang menguras energinya.
Bilal memberi kode kepada Leo, menunjuk sikap Meylani, yang terdiam. Tidak seperti biasanya. “Sayang, kamu kenapa?” Leo sedikit khawatir dengan sikap istrinya. “Mas, bisa temani aku dulu, ke kamar?”
“Oke.”
“Lal, kamu di sini dulu ya. Aku antar Mey dulu, ke kamar. Kayaknya dia kurang sehat.”
“Silahkan.”
Leo dan Meylani berjalan menuju kamar. Setelah menutup pintu, Mey mendaratkan tubuhnya di pinggir tempat tidur. Leo berjongkok di depan istrinya. Dia tahu betul, istrinya ingin menceritakan kegundahan hatinya.
“Mas! Aku khawatir, sebentar lagi Lia akan datang.”
“Semua akan baik-baik saja, Sayang.” Suara Leo begitu lembut. Dia mengambil tangan Meylani, dan menggenggamnya erat. Berusaha menenangkan.
“Mas, aku yang paling tahu, kondisi hati Lia, selama sepuluh tahun ini. Lukanya, tangisnya, tidak bisa terhapus dari ingatanku, Mas. Aku takut, apa yang kita lakukan malam ini, kembali menghidupkan luka itu.”
Leo mengecup tangan istrinya. “Tapi, Bilal sudah datang? Mas suruh dia balik saja?”
“Aduh Mas. Gak bisa begitu juga. Gak enak! Kita yang ngundang, kok malah kita usir.”
“Jadi, gimana? Mas, juga tidak tahu. Mas pikirnya, semua akan baik-baik saja. Lia sudah sangat dewasa. Bukan lagi remaja dua puluh tahun yang patah hati, Sayang. Percaya sama Mas.”
“Mey, cuma takut, Mas.”
“Semua akan baik-baik saja, Sayang.” Leo memeluk istrinya. Saat keduanya terpaku, suara bel kembali berbunyi. Meylani tersentak, kaget.
"Mas!"
Leo seketika berdiri, keluar dari kamar dan melihat Bilal, sudah menuju arah pintu. Dia lantas menatap gugup pada istrinya, yang sudah berdiri di sampingnya.
Pukul sepuluh pagi, Rumah Bahagia, penuh kesibukan. Tampak beberapa orang wanita, sedang menunggu antrian. Menunggu giliran, untuk bertemu dengan konsultan-nya masing-masing. Rumah Bahagia, sebuah kantor konsultan pernikahan. Diberi nama Rumah Bahagia, karena tujuan mereka, hanya ingin menciptakan kebahagiaan. Sejak berdiri selama sepuluh tahun yang lalu, Rumah Bahagia, telah memecahkan rekor tersendiri. Telah menyelesaikan ribuan kasus rumah tangga, tanpa perceraian. Dan itu menjadi motto mereka, Menciptakan Bahagia, dan Tetap Bersama. “Selamat Pagi, Camelia Zenia.” Camelia terkesiap. Dia tanpa sadar, berdiri dan menutup jalan. “Selamat Pagi, Mas Will,” jawab Camelia, kaget. “Bagaimana kabarnya Lia?” “Alhamdulillah hari ini, luar biasa, Mas.” Camelia memberi senyuman hangat. “Aku masuk dulu, ya.” “Silahkan, Mas.” Camelia tampak ramah, dan memberikan jalan, untuk Willy, menuju ruangannya. “Mbak Lia, kenapa?” Kembali, tersentak. “Kikan? Aku kaget!” “Mbak kenapa? Kok dari tadi,
Leo dan Meylani, masih terpaku, menatap langkah Bilal menuju pintu. Keduanya terlihat cemas. Meylani, tampak menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia seperti, sangat takut, dengan kedatangan, sosok yang ada di balik pintu itu. Ruang keluarga, berada di samping kamar Leo dan Meylani. Dari posisi mereka berdiri, pintu masuk dihalangi oleh ruang tamu yang cukup besar, sehingga mereka tidak bisa melihat tamu yang datang. Tak lama setelah Bilal menuju pintu, langkah kaki yang cukup meriah saling bersahutan. Langkah itu, menuju tempat Leo dan Meylani, yang masih saling menatap satu sama lain. “Mas, kok, kayak ramai ya? Lia datang bersama siapa?” Meylani begitu yakin, akan kedatangan sahabatnya itu. “Kamu tenang dulu, ya. Kita tunggu saja.” Meylani lantas duduk, menenangkan diri. Dia seperti, membawa jejak masa lalu dalam jiwanya. Dia terusik, sehingga kekhawatiran menguasai dirinya. “Sayang.” Tangan Leo memegang pundak istrinya, menunjuk ke arah sosok yang berdiri di hadapannya.
Bilal berlalu. Suasana masih dingin. Semua kembali ke ruang keluarga. Kebersamaan yang tadi penuh kebahagiaan, berubah. Malam semakin larut, Melati dan Hanan pamit pulang. “Astagfirullah.” Tiada hentinya Meylani, mengucap zikir. Kondisi tadi, benar-benar memorak-porandakan, kebersamaan yang hangat, yang seharusnya tercipta malam ini. Meylani dan Leo, kembali duduk di kursi yang sama, saat sore tadi. Tampak, kelelahan di wajah mereka berdua. “Mas, ada apa dengan Bilal? Tidakkah Mas lihat, dia dalam kondisi sangat buruk?” Leo mendekat pada istrinya, duduk di sampingnya. Meylani mendaratkan kepalanya, lagi, di pundak Leo. “Dia kelihatan hancur, sangat hancur, Mas! Beberapa tahun, kita tidak pernah mendengar kabarnya. Hanya kabar tentang pernikahannya, anak-anaknya. Dia tidak pernah lagi bercerita tentang dirinya, kebahagiaannya. Seperti Bilal, yang penuh obsesi dan banyak mimpi, di masa lalu.” “Mas, sudah bertanya berulang kali, Sayang. Tapi, Bilal hanya menjawab, semua baik-baik sa
Leo beranjak. Dia meninggalkan kedua sahabat, yang sedang melepaskan rindunya. “Li, boleh gak, aku bicara serius?” Meylani menatap Camelia. “Ada apa?” Camelia tetaplah Camelia. Sosok yang kadang sangat dingin, super cuek. “Tapi janji, gak pake emosi dan marah ya?” Camelia tertawa. “Ya Allah, Mey. Sejak kapan, aku menjadi pemarah?” “Ya, siapa tahu saja.” Camelia menggelengkan kepalanya. Kalimat Meylani, sangat aneh untuknya. “Semalam, Bilal, datang.” Wajah itu berubah. Senyuman tiba-tiba terhapus, berganti wajah datar. “Bersama istrinya?” “Sendiri.” “Terus, hubungannya dengan aku, apa?” “Aku gak tahu, apa yang terjadi pada Bilal. Dia seperti pria yang hancur, penuh masalah. Aku khawatir, dia tak bahagia dengan hidupnya.” “Mey, kita ini sudah dewasa. Kita fokus saja, dengan kehidupan masing-masing. Sudahlah. Kita ini, bukan lagi remaja, seperti sepuluh tahun yang lalu.” “Hatimu masih bergeming di tempat yang sama?” Camelia terseny
Willy tampak gelisah. Dia terus mondar-mandir di ruangannya. Dari kejauhan Viona menuju ke arahnya. “Ada apa?” Mata Viona menelisik, mencari-cari sebab kegundahan rekannya itu. Willy akhirnya bisa duduk tenang. Pun, Viona mendaratkan tubuhnya di kursi depan Willy. “Mbak, bisa lihat ke sana?” Willy mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan Camelia. “Lia?” Viona memastikan. “Sebelahnya, Mbak!” Nada suara Willy, menegaskan sesuatu yang tidak dia sukai. “Oskar?” “Iya, Mbak! Ada urusan apa anak baru itu, selalu di ruangan Camelia beberapa hari ini?! Viona tertawa. Willy membuang buka. “Willy, Willy. Kamu cemburu?” Willy semakin menjauh, menyembunyikan wajahnya. Willy masih membisu. Viona menatap Willy lebih dalam. Dia akhirnya paham, apa yang sedang bergemuruh dalam hati pria itu. “Will, sekarang Oskar menangani kasus ibu Mayang. Dari hasil rapat sebelumnya, Lia akan mendampingi Oskar.” Viona menjelaskan, masih menahan tawa. “Kenapa harus Lia, Mbak? Masih ada yang lain!” Viona kembal
Perubahan sikap Willy, akhirnya menjadi bahan gosip, Kikan, Via bersama rekan-rekannya. Tahun lalu, gosip itu sempat mencuat, namun akhirnya berlalu begitu saja. Namun, kini situasinya berbeda. Di kantin, saat jam makan siang, para wanita muda itu berkumpul di satu meja. Dan pastinya, topik hangat yang sedang mengudara, adalah Willy Samudera. Pria tampan, namun menyebalkan. “Kalian sudah tahu kan, gosip kemarin?” Via memulai siaran langsungnya. “Pastinya!” sahut Mia. “Oh iya. Aku kan belum lama di Rumah Bahagia. Aku penasaran saja, apa Mbak Camelia, juga ada hati pada Mas Willy? Atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan?” ujar wanita yang paling muda, Yuni. Wanita lainnya tiba-tiba terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. “Iya, ya. Aku baru sadar, selama ini Mbak Lia, kelihatan tidak menanggapi sikap manis Mas Willy,” jelas Kikan. “Kalau aku sih, sebenarnya, gak setuju Mbak Lia dengan Mas Willy.” Via berubah serius. “Emang kenapa Mbak?” t
Kesibukan di Rumah Bahagia terus berlangsung tanpa henti. Tampak, seluruh senior consultant tengah rapat di ruangan Willy. Willy Samudera, adalah Direktur Rumah Bahagia saat ini. Rumah Bahagia sebenarnya bernama Relationship and Marriage Councelor. Namun, klien banyak menyebutnya Rumah Bahagia. Suasana rapat kelihatan sangat serius. Tapi, mendadak, seluruh perhatian tertuju pada bunyi ponsel Lia. “Maaf.” Camelia memberi isyarat, untuk mengangkat telepon di luar ruang rapat. “Iya Pak, ada apa?” Camelia baru menyadari, panggilan tersebut berasal dari Security apartemen-nya. “Siapa Pak?” Ekspresi Lia tiba-tiba berubah, panik. Dia seketika mematikan ponselnya, dan kembali ke ruang rapat. Dia mendekat dan berbisik pada Viona, dan kembali meninggalkan ruangan itu. Dia seperti memburu sesuatu. Dia lantas mengambil dompet dan kunci mobil, segera meninggalkan kantornya. Dipacunya mobil dengan kecepata
Matahari akhirnya memancarkan cahaya indah, menembus jendela kamar apartemen bercat kuning itu. Seluruh ornamen kediaman Camelia di dominasi warna kesukaannya, kuning. Meylani tampak sudah bangun, dengan wajah yang lebih segar. Istirahat, ternyata bisa memulihkan kondisinya. Dia kelihatan sibuk, di dapur kecil apartemen itu. Sedang Camelia, masih terlelap di karpet, samping tempat tidur. Meylani, menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat lelah. Bunyi alarm, tiba-tiba membuat gaduh. Membuat Camelia terbangun. Dia langsung mematikan suara berisik itu. “Mey?” Lia terkesiap, melihat keberadaan Mey di dapurnya, sepagi ini. Meylani membalas dengan senyuman. Alhamdulillah. Lia sangat bahagia, mendapati senyuman itu kembali. Dia lantas menuju kamar mandi membersihkan diri. Tak lama, dia kembali, duduk di meja makan. “Kamu enggak ke kantor, Li?” “Aku sepertinya ingin di apartemen saja, hari ini.” “Bukan karena aku,
Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal. Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara. “Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini, adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimanapun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata Mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?” Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia. “Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk Mbak Linda, bukan aku!” “Li—“ “Mbak Linda sangat mencintaimu Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti
Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia. Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri. “Kak, boleh Hanan bicara?” “Iya silakan.” “Kak, ini tentang Mas Willy.” “Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!” “Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan Mas Willy selama ini adalah kepalsuan?” Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung. “Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan. Lia masih diam. “Iya memang Kak, Mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal. Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itupun terjadi pada Mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana Mas Willy belajar salat, belajar ngaji Kak. Saya
Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam. Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo dan Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman. Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu. Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orang tua bagi mereka. Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka ber
Pagi menjemput. Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam. Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan. “Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu aku dengarkan!” Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya. “Kok malah diam?! Apa bagian kalian, aku tidak lagi penting?!” “Tidak begitu Li—“ “Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis. Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya. “Sebulan lalu saat aku dan Mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. etelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.” Meylani terdiam. Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam. Meylani sadar tatapan itu. Dia ber
“Mbak Linda!!!” Lia terpaku. Jantungnya seperti berhenti bekerja. Dia seperti tidak percaya, wanita yang bersama Bilal, adalah wanita yang sangat dikenalnya. Wanita yang sebulan ini terus saja menganggu pikirannya dengan cerita hidupnya. Bilal? Apakah dia? Ya Allah… Lia terus bergumam. Linda menyambut Lia dengan senyuman. Sambutan yang tampak biasa. Padahal mereka terlibat dalam sebuah cerita yang sangat rumit. “Oh ya. Kita kenalan dulu dong,” ujar Meylani. “Lia, udah kenal dengan istri Bilal?” Lagi, Lia seperti tersambar petir. Dia merasakan badannya bergetar tak biasa. Detak jantungnya tak biasa. Linda menjulurkan tangan. “Linda Agustina Permana, Mbak Camelia,” ucapnya. Lia pun menyambut tangan itu, dengan ragu. “Wah, udah kenal ya?” tanya Meylani. “Siapa yang tidak kenal, psikolog terkenal, Mbak Camelia Zenia dari Rumah Bahagia!” Linda tersenyum, diikuti Mey. Lia justru semakin gelisah. Dia bingung mau bersikap baga
Lia tersentak. Cerita tentang kehilangan, selalu juga menghadirkan kepiluan yang sama besarnya. Dia berhenti menulis. Dia fokus menatap Linda, yang terlihat mulai larut dalam kesedihan. Ya Allah, aku tidak menyangka wanita ini menyimpan cerita duka yang amat dalam. “Musibah yang seketika menghancurkan semua impian keluarga kecil kami, Mbak.” Air mata Lia, mulai perlahan menunjukkan dirinya. Dia tidak bisa menahan kesedihan. “Saat itu, saya benar-benar hancur Mbak, hati ini kehilangan harapan. Saya sangat terpukul, dan nyaris kehilangan bayi saya.” “Saya menyaksikan duka yang sama dalam keluarga Mas Taufiq. Ibu mertua, sangat kehilangan suaminya. Rumah yang penuh kebahagiaan, seketika berubah jadi tanpa kehidupan.” Lia mulai menghapus bulir-bulir, yang membasahi pipinya. “Kehidupan kami kehilangan tujuan. Sampai akhirnya, orang tua saya datang menemui ibu mertua. Meminta kejelasan saya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Orang
Belum jauh, mobil itu memasuki sebuah pom bensin. “Li, aku isi bensin dulu ya?” “Iya, Mas.” Mobil Willy akhirnya masuk ke dalam antrian yang cukup panjang sore itu. Tiga mobil di depan, sebuah mobil menarik perhatian Lia. Bukannya itu Bilal? Kok mobilnya seperti mobil Linda tempo hari? Lia membatin. “Lia, mau singgah di mini market?” Lia kaget. “Iya Mas, boleh!” Ingatan akan cerita Linda, kembali membawanya dalam lamunan. Dia mengetahui bahwa suaminya menyukai wanita lain. Dia menikah karena takdir? Ya Allah, mengapa cerita wanita itu seperti membawaku ke masa lalu? batin Lia. “Hei, kamu ke mana saja?” “Kamu rindu ya?” Pria muda itu malah tertawa lebar. “Kok malah tertawa gitu? Tinggal jawab saja, ya kan?” “Ehm, ya bisa dibilang begitu. Memangnya sepekan ini kamu ke mana?” “Ibu kurang sehat, jadi aku jagaian di rumah sakit.” “Kok gak ngabarin?” “Gak mau ganggu ujian kam
Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita muda sudah menunggu di ruangan Camelia. Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi. “Mbak, pagi banget tamunya datang?” “Tamu?” “Iya, itu di ruangan Mbak.” “Oh iya? Mbak belum lihat.” “Wanita itu cantik banget Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?” Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap. “Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.” “Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.” Kikan tersenyum lebar. “Memang
Dalam perjalanan menuju apartemen, Lia tampak hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion. Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu. “Lia?” Suara Willy membuat Lia terjaga. “Iya Mas Will?” “Aku mau ngajak makan malam, bisa?” Lia melihat jam di tangannya. “Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.” “Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.” Lia menarik napas. “Oke, Mas Will.” Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan Lia. Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Lia dan Willy sedikit terhambat. Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat. “Li kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.” “Oke.” Lia langsung turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita. Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang, menuju titik pusat tempat salat. “Mb