Share

Bab 5

Author: Jane Lestari
last update Last Updated: 2022-12-27 11:12:18

Bilal berlalu. Suasana masih dingin. Semua kembali ke ruang keluarga. Kebersamaan yang tadi penuh kebahagiaan, berubah. Malam semakin larut, Melati dan Hanan pamit pulang.

“Astagfirullah.” Tiada hentinya Meylani, mengucap zikir. Kondisi tadi, benar-benar memorak-porandakan, kebersamaan yang hangat, yang seharusnya tercipta malam ini.

Meylani dan Leo, kembali duduk di kursi yang sama, saat sore tadi. Tampak, kelelahan di wajah mereka berdua.

“Mas, ada apa dengan Bilal? Tidakkah Mas lihat, dia dalam kondisi sangat buruk?” Leo mendekat pada istrinya, duduk di sampingnya. Meylani mendaratkan kepalanya, lagi, di pundak Leo.

“Dia kelihatan hancur, sangat hancur, Mas! Beberapa tahun, kita tidak pernah mendengar kabarnya. Hanya kabar tentang pernikahannya, anak-anaknya. Dia tidak pernah lagi bercerita tentang dirinya, kebahagiaannya. Seperti Bilal, yang penuh obsesi dan banyak mimpi, di masa lalu.”

“Mas, sudah bertanya berulang kali, Sayang. Tapi, Bilal hanya menjawab, semua baik-baik saja. Walaupun, Mas tahu, itu jawaban yang kontra dengan kondisi dirinya.”

“Aku merasa stres dengan kondisi ini, Mas. Harapan, untuk persahabatan kita, sepertinya semakin lemah. Aku takut mengatakan, bahwa kita benar-benar tidak bisa lagi seperti dulu.”

Hening. Meylani menutup mata. Dia sangat lelah.

Beberapa saat, Leo baru sadar, istrinya telah terlelap. Dia lantas, mengangkat tubuh Mey, ke tempat tidur.

***

Setelah meninggalkan rumah Leo, Bilal tak langsung pulang ke rumahnya. Dia malah menghabiskan waktunya, di kios kecil yang tak jauh dari kampusnya dulu. Dia sangat kacau. Rambutnya acak-acakan. Pria yang selalu berpenampilan sempurna, tampak seperti kehilangan dirinya.

“Bilal?” Pemilik kios, terkejut dengan kehadiran Bilal, di malam yang larut ini. Dia, yang selalu dipanggil Baba, oleh mahasiswa yang mengenalnya. Wujudnya, menggambarkan, dia sosok yang penuh kasih sayang. Pria itu, sepantaran dengan Ayahnya Bilal.

Dia mengambil teh hangat, dan meletakkan di depan Bilal. Dia lantas duduk. Menunggu kalimat pertama, dari pria yang sedari tadi hanya diam, menenggelamkan wajahnya, di dalam lipatan kedua tangannya.

“Ba.” Kata pertama meluncur. Dia mengangkat mukanya. Air mata itu, mengalir di pipinya. Duka itu, terasa sangat menyayat hatinya, yang tidak lagi utuh.

“Kamu, merindukannya?”

Bilal, semakin tidak mampu mengendalikan kesedihannya. Air matanya membanjiri pipinya. Rasa malu sebagai seorang pria, tak lagi dia perlihatkan, saat berada di depan Baba, sosok yang sangat memahaminya.

“Nak, kamu selalu ke sini, saat kamu merindukannya. Dua belas tahun. Sungguh waktu yang lama. Apa kamu tidak lelah, seperti ini, Bilal?”

Bilal terpaku.

“Kamu sudah tiga puluh lima tahun. Kamu mau seperti ini, sampai kapan? Tidakkah kamu mau, mengalah demi kebahagianmu sendiri?”

“Aku tidak tahu Baba. Aku sekarang, pria yang lemah, sangat lemah. Aku harus selalu menjadi orang lain, saat bersama keluargaku sendiri. Aku bisa apa? Saat kehidupanku, berada dalam genggaman mereka?”

Baba tersenyum. Dia melihat pria yang sangat rapuh. Padahal dalam dunia nyata, dia pria yang sombong. Dia selalu menunjukkan pada dunia, bahwa dia yang terhebat, dia yang terbaik. Namun, ternyata cinta mampu menaklukkan semua itu.

Baba tetap berada di tempatnya, sebagai pendengar segala kekacauan hati Bilal. Selama dua belas tahun, hanya kalimat itu yang selalu dia dengar dari mulut Bilal. Aku merindukannya, Baba. Dan setelah itu, Bilal akan kembali pada dirinya, dan kembali ke rumah.

Benar saja. Hanya beberapa menit, Bilal sudah berdiri, dan pulang. Baba hanya tersenyum, melihat tingkahnya.

“Pak, anak itu sudah pergi?” Ibu Sum, istri Baba, keluar dari dapur. “Iya, Bu. Dia sudah pulang.”

“Kasihan sekali anak itu. Semoga Tuhan, memberikannya kesempatan, untuk mengobati kerinduannya.”

“Iya, Bu. Semoga saja. Kasihan sekali dia. Dia sudah menjalani hidup, bukan bersama dirinya, dalam waktu yang sangat panjang. Bapak melihat, dia sudah sangat lelah. Matanya tidak bisa berbohong.”

Detak jam dinding terdengar jelas. Menegaskan, perjumpaan gelap dan matahari, tak lagi lama. Waktu, tidak pernah bisa dihentikan. Ia akan terus menjalankan tugasnya, sampai takdir menghentikannya.

Seperti duka, yang akan terus bertahan, sampai takdir mengantarkan bahagia, sebagai penawarnya.

***

Hari berganti. Sebagai permohonan maaf, Camelia mengganti ketidakhadirannya semalam, dengan mengunjungi rumah Meylani, sepulang dari kantor.

Camelia duduk sendiri, di tepi air mancur, yang tengah memperlihatkan keindahannya. Meylani, tak terlihat bersamanya. Camelia begitu menikmati suasana sore. Dia merebahkan badannya, di kursi panjang, tepat di samping taman kecil itu.

“Kamu tidur?” Suara Meylani menghentak. Camelia membuka mata, mendapati wajah cantik sahabatnya, tepat ada di hadapannya.

“Cuma menutup mata, Mey. Menikmati kesejukan udara sore ini. Memfokuskan pikiranku, menikmati suara gemericik air. Benar-benar membuatku larut dan relaks.”

Meylani mendaratkan tubuhnya, di samping Camelia. Dia tampak bersama sebuah gitar akustik. “Gitar?” Camelia sedikit terkejut melihat benda itu.

“Boleh?” Tanpa menunggu jawaban, Meylani meletakkan benda itu, di pangkuan Camelia.

Camelia tersenyum, sedikit gugup. “Mey, aku sudah lama gak main gitar. Benda ini, seperti asing bagiku, saat ini.” Dia terus menatap dan meraba seluruh bagian dari benda berwarna cokelat itu. Tanpa diminta, sebuah kerinduan, kembali menyapa.

Senyuman itu, tiba-tiba mengucap, hai.

“Kamu ngapain berdiri di situ? Mau, belajar main gitar?”

“Mau banget!” Dia lantas mendekat ke pria yang sementara mendekap gitar. Senyuman itu merekah. Impian sedari kecilnya, ingin sekali bisa memainkan alat musik itu. Kala, dia menghabiskan waktu bernyanyi bersama ayahnya. Menyanyikan berbagai macam musik kesukaaan ayahnya. Sampai, dia tahu banyak lagu, keluaran tahun 70 sampai 80-an.

“Tapi, jari mulus kamu akan lecet sedikit. Berani?”

“Berani dong. Masa begitu saja, takut!” Camelia langsung mengambil alat musik itu, dari pangkuan pria, yang sedari tadi terus memperhatikannya.

“Tapi gak boleh sentuh!”

Pria itu terkekeh. Dilihatnya, wanita di hadapannya itu, benar-benar unik. “Terus, aku ngajarinya, gimana?”

“Kamu kasih petunjuk saja. Kan lebih mudah?” Pria itu masih tertawa. “Baiklah. Tapi aku merasa, ini akan lebih sulit.”

“Belum dicoba sudah menyimpulkan. Gimana sih?”

“Baik-baik, kita mulai ya.”

Pria itu mulai memandu, cara memulai, teknik meletakkan jari, cara memetik senar. Berulang kali dia ulangi, kalimat yang sama. Dan memang, Camelia, sangat cerdas. Hanya mencoba beberapa kali, dia sudah mampu memetik senar, perlahan.

“Auh!” Tangannya, berdarah. Darah, menetes, dari jempol kanannya. “Tuh kan, aku sudah bilang!” Pria itu langsung berdiri, dia berlari menuju kios kecil, di belakangnya.

“Kopi?”

“Iya.” Pria itu kembali, membawa sebungkus kopi hitam. Dia lantas, mengusapkannya, ke jari yang terluka itu. Dan, beberapa detik, luka itu mengering.

“Aku bilang tadi, jangan sentuh!”

“Ehm, bukannya terima kasih, malah bawel.”

“Iya, terima kasih!” Ucapan terima kasih, tapi jelas diucapkan tidak sepenuh hati. Pria itu hanya tertawa.

Astagfirullah. Camelia terjaga, setelah tangan Meylani menyentuh punggungnya.

“Kamu kenapa? Malah bengong! Ayolah, lagu favorit kita. Aku kangen banget dengan suara kamu. Ayo, ayo!” Meylani terus menyemangati sahabatnya itu.

“Lembayung Bali.” Tebak Camelia.

Bersama senyumannya, Camelia mulai menempatkan jari-jarinya di antara senar. Dia menyusunnya, seperti seorang ahli. Nada indah itu mulai mengalun. Dia menutup mata, menikmati setiap suara yang timbul dari gerakan jarinya.

Menatap lembayung di langit bali.

Dan kusadari betapa berharga kenanganmu

Dikala jiwaku tak terbatas

Bebas berandai mengulang waktu

Hingga masih bisa kuraih dirimu

Sosok yang mengisi kehampaan kalbuku

Bilakah diriku berucap maaf

Masa yang tlah kuingkari

Dan meninggalkanmu

Oh cinta

Camelia terus asyik memainkan gitar mengiringi suara merdunya. Suaranya benar-benar indah. Dia sangat berbakat.

Ini, Camelia yang kurindukan. Kamu masih ada di sana, Lia. Masih. Meylani, terus menatap sahabatnya itu, sangat serius.

“Ayo dong, kok malah diam!”

Akhirnya suara Meylani ikut menyatu, bersama suara Camelia, beserta alunan gitarnya.

Teman yang terhanyut arus waktu

Mekar mendewasa

Masih kusimpan suara tawa kita

kembalilah sahabat lawasku

Semarakan keheningan lubuk

Di tengah alunan merdu suara kedua wanita itu, hadir suara yang berbeda. Membuat keduanya terkesiap, dan menoleh ke arah sumber suara itu.

Ternyata, Leo. Dia mendekat, dengan bibir bergerak, menyuarakan lirik yang tepat, sesuai alunan musik Camelia.

Hingga masih bisa kurangkul kalian

Sosok yang mengaliri cawaran hidupku

Bilakah kita menangis bersama

tegar melawan tempaan semangatmu itu

Oh jingga

Hingga masih bisa kujangkau cahaya

Senyum yang menyalakan hasrat diriku

Bilakah kuhentikan pasir waktu

Tak terbangun dari hayal keajaiban ini

Ho mimpiiiiiiiii

Andai ada satu cara

Tuk kembali menatap agung suryamu

Lembayung Bali
iiiiiiiiiii.

Musik terhenti.

Camelia kembali, bersama senyumannya. Dia terlihat sangat bahagia, dan tatapannya tidak bergerak, dari benda ajaib di tangannya.

Suara tepuk tangan hadir bergerombol. Membuatnya, kaget. Tanpa disadarinya, Pak Musa dan Ibu Tati, juga sudah ada di tempat itu. Mereka ikut menikmati suara Camelia dan permainan gitarnya. Wajahnya memerah, malu.

“Lia, suara kamu gak berubah. Suara itu yang selalu aku rindukan.” Mey memeluk sahabatnya. Dia benar-benar menikmati setiap kata, setiap gerakan jari, setiap nada, yang dimainkan sahabatnya itu.

“Kamu memang berbakat dari dulu, Lia. Di antara kita, kamu memang yang paling jago. Gak diragukan lagi.” Leo pun turut memberikan pujian.

“Sudahlah. Ayo, move on. Kita ada di hari ini. Oke?” Camelia tidak terpengaruh dengan kalimat kedua sahabatnya. Dia mengembalikan gitar itu ke asalnya, ke pelukan Meylani.

Meylani malah menyandarkan kepalanya di pundak Camelia, masih memeluk benda bersuara indah itu. “Leo, wanitamu ini kenapa? Kok jadi manja begini?”

Leo tertawa. “Dia rindu pada sahabatnya, yang katanya, bawelnya minta ampun, suka protes, sensitif. Ya, itulah.”

Camelia menggelengkan kepala. Meylani tersenyum sendiri. “Selama sepuluh tahun di Jepang, aku merasa kesepian banget, Li. Aku gak punya teman dekat. Aku sibuk, tapi jiwaku seperti berada di sini.” Meylani terus bersama kenangannya.

Camelia menjadi pendengar. Dia hanya menjawab dengan senyuman.

“Empat tahun, aku hidup sama kamu. Gimana gak rindu coba. Hidup di satu kamar, yang panasnya, seperti dalam oven.”

Camelia terkekeh. Kalimat terakhir Meylani, turut melarutkannya dalam kenangan yang sama.

“Menghabiskan malam, mengipas-ngipas apapun itu, yang penting kita bisa selamat sampai pagi. Sampai seluruh kulit mulus ini, berubah jadi korban makhluk kecil itu. Kenangan di asrama, benar-benar tidak bisa aku lupakan.”

“Ya, menikmati setiap perjalanan, itulah tugas kita.” Akhirnya, kalimat itu terbit dari kebisuan Camelia. Masa lalu, gumamnya, dengan senyuman melepaskan.

Related chapters

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 6

    Leo beranjak. Dia meninggalkan kedua sahabat, yang sedang melepaskan rindunya. “Li, boleh gak, aku bicara serius?” Meylani menatap Camelia. “Ada apa?” Camelia tetaplah Camelia. Sosok yang kadang sangat dingin, super cuek. “Tapi janji, gak pake emosi dan marah ya?” Camelia tertawa. “Ya Allah, Mey. Sejak kapan, aku menjadi pemarah?” “Ya, siapa tahu saja.” Camelia menggelengkan kepalanya. Kalimat Meylani, sangat aneh untuknya. “Semalam, Bilal, datang.” Wajah itu berubah. Senyuman tiba-tiba terhapus, berganti wajah datar. “Bersama istrinya?” “Sendiri.” “Terus, hubungannya dengan aku, apa?” “Aku gak tahu, apa yang terjadi pada Bilal. Dia seperti pria yang hancur, penuh masalah. Aku khawatir, dia tak bahagia dengan hidupnya.” “Mey, kita ini sudah dewasa. Kita fokus saja, dengan kehidupan masing-masing. Sudahlah. Kita ini, bukan lagi remaja, seperti sepuluh tahun yang lalu.” “Hatimu masih bergeming di tempat yang sama?” Camelia terseny

    Last Updated : 2022-12-30
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 7

    Willy tampak gelisah. Dia terus mondar-mandir di ruangannya. Dari kejauhan Viona menuju ke arahnya. “Ada apa?” Mata Viona menelisik, mencari-cari sebab kegundahan rekannya itu. Willy akhirnya bisa duduk tenang. Pun, Viona mendaratkan tubuhnya di kursi depan Willy. “Mbak, bisa lihat ke sana?” Willy mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan Camelia. “Lia?” Viona memastikan. “Sebelahnya, Mbak!” Nada suara Willy, menegaskan sesuatu yang tidak dia sukai. “Oskar?” “Iya, Mbak! Ada urusan apa anak baru itu, selalu di ruangan Camelia beberapa hari ini?! Viona tertawa. Willy membuang buka. “Willy, Willy. Kamu cemburu?” Willy semakin menjauh, menyembunyikan wajahnya. Willy masih membisu. Viona menatap Willy lebih dalam. Dia akhirnya paham, apa yang sedang bergemuruh dalam hati pria itu. “Will, sekarang Oskar menangani kasus ibu Mayang. Dari hasil rapat sebelumnya, Lia akan mendampingi Oskar.” Viona menjelaskan, masih menahan tawa. “Kenapa harus Lia, Mbak? Masih ada yang lain!” Viona kembal

    Last Updated : 2023-01-15
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 8

    Perubahan sikap Willy, akhirnya menjadi bahan gosip, Kikan, Via bersama rekan-rekannya. Tahun lalu, gosip itu sempat mencuat, namun akhirnya berlalu begitu saja. Namun, kini situasinya berbeda. Di kantin, saat jam makan siang, para wanita muda itu berkumpul di satu meja. Dan pastinya, topik hangat yang sedang mengudara, adalah Willy Samudera. Pria tampan, namun menyebalkan. “Kalian sudah tahu kan, gosip kemarin?” Via memulai siaran langsungnya. “Pastinya!” sahut Mia. “Oh iya. Aku kan belum lama di Rumah Bahagia. Aku penasaran saja, apa Mbak Camelia, juga ada hati pada Mas Willy? Atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan?” ujar wanita yang paling muda, Yuni. Wanita lainnya tiba-tiba terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. “Iya, ya. Aku baru sadar, selama ini Mbak Lia, kelihatan tidak menanggapi sikap manis Mas Willy,” jelas Kikan. “Kalau aku sih, sebenarnya, gak setuju Mbak Lia dengan Mas Willy.” Via berubah serius. “Emang kenapa Mbak?” t

    Last Updated : 2023-01-21
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 9

    Kesibukan di Rumah Bahagia terus berlangsung tanpa henti. Tampak, seluruh senior consultant tengah rapat di ruangan Willy. Willy Samudera, adalah Direktur Rumah Bahagia saat ini. Rumah Bahagia sebenarnya bernama Relationship and Marriage Councelor. Namun, klien banyak menyebutnya Rumah Bahagia. Suasana rapat kelihatan sangat serius. Tapi, mendadak, seluruh perhatian tertuju pada bunyi ponsel Lia. “Maaf.” Camelia memberi isyarat, untuk mengangkat telepon di luar ruang rapat. “Iya Pak, ada apa?” Camelia baru menyadari, panggilan tersebut berasal dari Security apartemen-nya. “Siapa Pak?” Ekspresi Lia tiba-tiba berubah, panik. Dia seketika mematikan ponselnya, dan kembali ke ruang rapat. Dia mendekat dan berbisik pada Viona, dan kembali meninggalkan ruangan itu. Dia seperti memburu sesuatu. Dia lantas mengambil dompet dan kunci mobil, segera meninggalkan kantornya. Dipacunya mobil dengan kecepata

    Last Updated : 2023-01-22
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 10

    Matahari akhirnya memancarkan cahaya indah, menembus jendela kamar apartemen bercat kuning itu. Seluruh ornamen kediaman Camelia di dominasi warna kesukaannya, kuning. Meylani tampak sudah bangun, dengan wajah yang lebih segar. Istirahat, ternyata bisa memulihkan kondisinya. Dia kelihatan sibuk, di dapur kecil apartemen itu. Sedang Camelia, masih terlelap di karpet, samping tempat tidur. Meylani, menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat lelah. Bunyi alarm, tiba-tiba membuat gaduh. Membuat Camelia terbangun. Dia langsung mematikan suara berisik itu. “Mey?” Lia terkesiap, melihat keberadaan Mey di dapurnya, sepagi ini. Meylani membalas dengan senyuman. Alhamdulillah. Lia sangat bahagia, mendapati senyuman itu kembali. Dia lantas menuju kamar mandi membersihkan diri. Tak lama, dia kembali, duduk di meja makan. “Kamu enggak ke kantor, Li?” “Aku sepertinya ingin di apartemen saja, hari ini.” “Bukan karena aku,

    Last Updated : 2023-01-23
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 11

    Lia kembali ke apartemen-nya. Perasaan yang tak baik, pikiran kalut. Semuanya menjadi satu. Dia hanya berusaha terlihat baik di hadapan Meylani. Dia membuka pintu apartemen, dengan kunci cadangan yang dibawanya. Dia menilik keberadaan Mey. Makanan masih utuh! Lia mendapati, makanan di atas meja yang dia siapkan sebelum pergi tadi, ternyata belum di sentuh oleh Meylani. “Mey, kamu enggak apa-apa? Kenapa kamu belum makan?” Lia segera memeriksa kondisi Mey yang sedang berbaring di tempat tidur. “Mey, tanganmu dingin sekali. Kita ke rumah sakit, ya, aku khawatir.” Mey tidak menjawab. Lia tergopoh-gopoh. Diambilnya ponsel dan menghubungi seseorang. Dia menyiapkan seluruh keperluan Mey dan memasukkannya ke dalam ransel ukuran sedang, yang terpampang di atas almarinya. Dia dengan cepat, mengambil barang-barang penting yang dilihatnya. Lia dengan sigap membuka pintu, saat bel berbunyi. “Makasih, Pak. Bisa aku dibantu, membawa ini ke m

    Last Updated : 2023-01-24
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 12

    Kala Lia dan Willy tengah terlelap, Meylani terbangun. Dia menatap satu per satu, seorang di sisi kanannya, dan seorang lagi di sisi kirinya. Willy? Dia Menginap? Mey terkejut dengan keberadaan Willy. Benar-benar pria ini. Aku sangat salut dengan perjuangannya. Terus kenapa, kursi itu malah dianggurin? Mey menggeleng tak percaya. kursi panjang yang seharusnya bisa mereka gunakan, malah dibiarkan tidak terpakai. Sedangkan mereka berdua, menyiksa diri, tidur dalam keadaan duduk begitu. Mey menggenggam tangan Lia. Sekali lagi, rasa syukurnya tak henti dia lantunkan. Terima kasih, ya Allah. Malam terus bersenandung, bersama detik-detik, yang saling berkejaran. Hingga akhirnya berakhir, saat gelap berganti dengan terang. Subuh, Willy sudah terjaga lebih dahulu. Disusul Lia, yang kemudian, menghadap ke Penguasa Kehidupan. Mereka berdua, bertemu di musala. “Mas Will, enggak balik? Hari ini k

    Last Updated : 2023-01-25
  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 13

    Lia menatap Leo. Dia memberi isyarat, meminta Leo memulai kalimatnya. Katanya ingin bertemu. Sudah bertemu, malah diam! Kembali, Lia mengoceh sendiri. Entah apa lagi yang harus dia lakukan, agar ke dua makhluk di depannya, tidak hanya diam. “Kalau kalian hanya diam begini, aku pergi!” “Jangan, Li!” Sahut dua orang itu, serentak. Lia terkekeh. Tidak habis pikir, kelakuan dua orang dewasa itu. Kembali membisu. “Lagi-lagi diam! Kalian mau apa sih? Aku ingin pergi membersihkan diri! Sikap kalian ini, lebih bocah dari bocah sekalipun!” Lia mulai meninggikan suaranya, dongkol. Leo mengangkat tangannya. Meminta maaf. Dia mengangguk, tanda dia ingin bicara. Dia berjalan menuju Mey. Tapi, Mey mengalihkan wajahnya. Leo duduk, di kursi samping tempat tidur Mey, berusaha menggapai tangan istrinya, tapi wanita itu menghindar. “Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku sangat bersalah. Aku begitu terluka melihatmu saki

    Last Updated : 2023-01-26

Latest chapter

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 28

    Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal. Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara. “Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini, adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimanapun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata Mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?” Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia. “Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk Mbak Linda, bukan aku!” “Li—“ “Mbak Linda sangat mencintaimu Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 27

    Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia. Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri. “Kak, boleh Hanan bicara?” “Iya silakan.” “Kak, ini tentang Mas Willy.” “Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!” “Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan Mas Willy selama ini adalah kepalsuan?” Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung. “Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan. Lia masih diam. “Iya memang Kak, Mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal. Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itupun terjadi pada Mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana Mas Willy belajar salat, belajar ngaji Kak. Saya

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 26

    Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam. Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo dan Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman. Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu. Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orang tua bagi mereka. Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka ber

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 25

    Pagi menjemput. Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam. Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan. “Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu aku dengarkan!” Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya. “Kok malah diam?! Apa bagian kalian, aku tidak lagi penting?!” “Tidak begitu Li—“ “Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis. Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya. “Sebulan lalu saat aku dan Mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. etelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.” Meylani terdiam. Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam. Meylani sadar tatapan itu. Dia ber

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 24

    “Mbak Linda!!!” Lia terpaku. Jantungnya seperti berhenti bekerja. Dia seperti tidak percaya, wanita yang bersama Bilal, adalah wanita yang sangat dikenalnya. Wanita yang sebulan ini terus saja menganggu pikirannya dengan cerita hidupnya. Bilal? Apakah dia? Ya Allah… Lia terus bergumam. Linda menyambut Lia dengan senyuman. Sambutan yang tampak biasa. Padahal mereka terlibat dalam sebuah cerita yang sangat rumit. “Oh ya. Kita kenalan dulu dong,” ujar Meylani. “Lia, udah kenal dengan istri Bilal?” Lagi, Lia seperti tersambar petir. Dia merasakan badannya bergetar tak biasa. Detak jantungnya tak biasa. Linda menjulurkan tangan. “Linda Agustina Permana, Mbak Camelia,” ucapnya. Lia pun menyambut tangan itu, dengan ragu. “Wah, udah kenal ya?” tanya Meylani. “Siapa yang tidak kenal, psikolog terkenal, Mbak Camelia Zenia dari Rumah Bahagia!” Linda tersenyum, diikuti Mey. Lia justru semakin gelisah. Dia bingung mau bersikap baga

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 23

    Lia tersentak. Cerita tentang kehilangan, selalu juga menghadirkan kepiluan yang sama besarnya. Dia berhenti menulis. Dia fokus menatap Linda, yang terlihat mulai larut dalam kesedihan. Ya Allah, aku tidak menyangka wanita ini menyimpan cerita duka yang amat dalam. “Musibah yang seketika menghancurkan semua impian keluarga kecil kami, Mbak.” Air mata Lia, mulai perlahan menunjukkan dirinya. Dia tidak bisa menahan kesedihan. “Saat itu, saya benar-benar hancur Mbak, hati ini kehilangan harapan. Saya sangat terpukul, dan nyaris kehilangan bayi saya.” “Saya menyaksikan duka yang sama dalam keluarga Mas Taufiq. Ibu mertua, sangat kehilangan suaminya. Rumah yang penuh kebahagiaan, seketika berubah jadi tanpa kehidupan.” Lia mulai menghapus bulir-bulir, yang membasahi pipinya. “Kehidupan kami kehilangan tujuan. Sampai akhirnya, orang tua saya datang menemui ibu mertua. Meminta kejelasan saya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Orang

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 22

    Belum jauh, mobil itu memasuki sebuah pom bensin. “Li, aku isi bensin dulu ya?” “Iya, Mas.” Mobil Willy akhirnya masuk ke dalam antrian yang cukup panjang sore itu. Tiga mobil di depan, sebuah mobil menarik perhatian Lia. Bukannya itu Bilal? Kok mobilnya seperti mobil Linda tempo hari? Lia membatin. “Lia, mau singgah di mini market?” Lia kaget. “Iya Mas, boleh!” Ingatan akan cerita Linda, kembali membawanya dalam lamunan. Dia mengetahui bahwa suaminya menyukai wanita lain. Dia menikah karena takdir? Ya Allah, mengapa cerita wanita itu seperti membawaku ke masa lalu? batin Lia. “Hei, kamu ke mana saja?” “Kamu rindu ya?” Pria muda itu malah tertawa lebar. “Kok malah tertawa gitu? Tinggal jawab saja, ya kan?” “Ehm, ya bisa dibilang begitu. Memangnya sepekan ini kamu ke mana?” “Ibu kurang sehat, jadi aku jagaian di rumah sakit.” “Kok gak ngabarin?” “Gak mau ganggu ujian kam

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 21

    Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita muda sudah menunggu di ruangan Camelia. Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi. “Mbak, pagi banget tamunya datang?” “Tamu?” “Iya, itu di ruangan Mbak.” “Oh iya? Mbak belum lihat.” “Wanita itu cantik banget Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?” Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap. “Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.” “Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.” Kikan tersenyum lebar. “Memang

  • Maafkan Aku yang Telah Jatuh Cinta   Bab 20

    Dalam perjalanan menuju apartemen, Lia tampak hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion. Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu. “Lia?” Suara Willy membuat Lia terjaga. “Iya Mas Will?” “Aku mau ngajak makan malam, bisa?” Lia melihat jam di tangannya. “Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.” “Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.” Lia menarik napas. “Oke, Mas Will.” Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan Lia. Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Lia dan Willy sedikit terhambat. Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat. “Li kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.” “Oke.” Lia langsung turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita. Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang, menuju titik pusat tempat salat. “Mb

DMCA.com Protection Status