Lia menatap Leo. Dia memberi isyarat, meminta Leo memulai kalimatnya.
Katanya ingin bertemu. Sudah bertemu, malah diam!
Kembali, Lia mengoceh sendiri. Entah apa lagi yang harus dia lakukan, agar ke dua makhluk di depannya, tidak hanya diam.
“Kalau kalian hanya diam begini, aku pergi!”
“Jangan, Li!” Sahut dua orang itu, serentak. Lia terkekeh. Tidak habis pikir, kelakuan dua orang dewasa itu.
Kembali membisu.
“Lagi-lagi diam! Kalian mau apa sih? Aku ingin pergi membersihkan diri! Sikap kalian ini, lebih bocah dari bocah sekalipun!” Lia mulai meninggikan suaranya, dongkol.
Leo mengangkat tangannya. Meminta maaf. Dia mengangguk, tanda dia ingin bicara. Dia berjalan menuju Mey. Tapi, Mey mengalihkan wajahnya.
Leo duduk, di kursi samping tempat tidur Mey, berusaha menggapai tangan istrinya, tapi wanita itu menghindar.
“Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku sangat bersalah. Aku begitu terluka melihatmu saki
“Will, kita harus mempertimbangkan saran Meta dan Oskar.” “Itu tidak mungkin! Rumah Bahagia sudah sepulun tahun, bahkan lebih dari itu. Kita sudah menjalani semuanya dengan baik dan sempurna selama ini. Kita tidak mungkin mengubah begitu saja, filosofi yang sudah menjadi icon Rumah Bahagia!” “Tapi, kita harus berkaca pada kenyataan, Will. Bahwa semua tidak sesempurna yang kita lihat selama ini. Jika kenyataan itu terkuak ke publik, apakah tidak akan merusak citra Rumah Bahagia?” “Tapi sampai sekarang, semuanya baik-baik saja!” “Ini untuk besok dan kelangsungan Rumah Bahagia, Wil. Kamu tahu, alasan Lia tidak pernah mau ke bagian Konseling? Karena filosofi Rumah Bahagia yang menganggunya. Kita seperti membuat sekat, bahwa hanya yang punya hidup sempurna, yang bisa ada di tempat ini.” “Sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Semua sudah berlangsung lama, jangan seenaknya diubah hanya karena perkataan Oskar dan Meta. Mereka itu belum
Tiba di rumah sakit, Leo langsung ditangani di ruang unit gawat darurat. Bilal mendampingi Leo. Sedang Willy tampak berbicara dengan perawat di bagian administrasi. “Maaf Mas, ini sudah aturan rumah sakit.” Terdengar suara perawat, menjelaskan beberapa hal pada Willy. “Mbak, aturan itu bisa disesuaikan dengan kondisi yang terjadi. Mbak jangan ngajari saya tentang aturan!” “Iya, Mas.” Wanita muda itu, berusaha tenang, dengan suara Willy yang terdengar emosional. “Jadi, bisa kan?” “Tidak bisa, Mas. Jika Mas berkenan, turun ke kelas yang lebih rendah saja. Di sana, satu kamar bisa dua pasien.” “Aku maunya di kamar ini! Berapa pun saya bayar!” “Bukan masalah biaya, Mas. Ini sudah aturannya.” “Aturan-aturan! Sejak tadi itu saja yang bisa kamu ucapkan!” Suara Willy mulai menukik. Seluruh mata tertuju padanya. Rumah sakit yang hening berubah ricuh karenanya. “Mas, maaf ini rumah sakit. Mohon lebih tenang,” pinta seoran
Sebuah langkah, membuat seluruh mata tertuju ke pintu. “Assalamu’alaykum.” “Wa’alaykumussalam.” Tersentak! Mas Willy? Kembali, Lia, dikagetkan dengan kehadiran pria itu. Bukannya, aku sudah mengabaikannya kemarin? Lia menggeleng tidak percaya. “Mas Will, masuk,” sambut Mey. “Gimana kabar kalian berdua?” “Alhamdulillah sudah baik, Will. Oh ya btw, makasih ya sudah membantu Bilal ngurus aku.” “Sebagai teman, ya memang harus begitu,” sahut Willy. Lia, masih saja terpaku. Hatinya, belum sepenuhnya move on, dari sikap Willy kemarin. “Oh ya, ini aku bawa makanan, untuk sarapan.” Mey tersenyum. Matanya tertuju pada ke-diam-an Lia. “Pastinya, bukan untuk aku dan Leo, kan?” tebak Mey. Wajah Willy berubah, memerah. Dia menggaruk kepalanya. “Li, kok diam saja? Tuh, Mas Will bawain sarapan.” Lia, tersenyum, terpaksa. Dia menghela nap
“Melati hanya ingin Kak Lia tidak lagi sendiri. Pesan terakhir ibu, kita harus saling menjaga, Kak. Dan sekarang, sudah ada Mas Hanan yang menjaga Melati. Giliran Kak Lia, menemukan seseorang. Ya Kak?” “Adikku, menikah bukan hanya mengangkat kesendirian. Harus ada kesempurnaan hati, untuk saling menerima di dalamnya.” “Kak, Melati ingin mendengar kejujuran. Apakah Kakak belum menjauh, dari perasaan pada Kak Bilal?” Jeda. Kalimat Melati, kembali menguak rangkaian perjalanan kenangan, yang telah meninggalkan jejak luka. “Adikku, Kakak sudah berada di hari ini. Masa lalu, hanyalah cerita kenangan. Bukan cerita nyata hari ini.” “Jadi, apa alasan Kakak belum membuka hati?” “Sekarang, Kakak baru berusaha ke jalur itu.” “Aku hanya berharap satu hal Kak. Kakakku segera menyudahi kesendiriannya. Sudah cukup, penantian dan kesabaran Kak Lia selama ini. Ya Kak?” “InsyaaAllah, Mel. Udah ya. Kakak mau istirahat dulu.”
Rumah Bahagia. Willy kembali dengan wajah murung. Aura penuh cinta, berubah menjadi kekecewaan. Viona langsung menuju ruangan Willy. Setelah melihat pria itu melintas di depan ruangannya, seperti tidak bahagia. Tiba di ruangannya, Willy langsung menghempaskan dirinya di kursi kebesarannya. Dia membuka tirai jendela. Melihat kemacetan parah di sekitar kantornya. “Will, kamu baik-baik saja?” “Baik!” jawab Willy, singkat. Cara menjawab Willy menegaskan, hatinya tidak sedang baik-baik saja. “Syukurlah. Oskar akan menemuimu melaporkan perkembangan kasus beberapa klien.” “Aku menunggu sekarang!” Viona mencoba meraba prahara Willy. Tapi, dia tidak ingin mencari masalah dengan banyak bicara. Dia pun segera memanggil Oskar. Tak lama, dua anak muda, sudah ada di ruangan Willy. “Maaf, Mas….” Oskar tidak melanjutkan kalimatnya. Dia menatap ke arah Viona, yang ada di hadapanya. Willy tampak penasara
Lia menarik napas. Entah bagaimana lagi, dia bisa menghadapi pria itu. Dia sadar, Willy pria yang baik. Jiwa keras dan karakter pemimpin dalam dirinya menciptakan keengganan menerima kegagalan. Sebuah bantahan dianggap menodai harga dirinya. Suasana menjadi hening. “Apa yang bisa aku lakukan, agar Mas Will memaafkan Oskar, sehingga Mbak Viona bisa bertahan?” Lia benar-benar tidak memiliki cara lain. Dia tidak bisa tanpa Viona. Dan berat baginya, melihat Oskar dikorbankan hanya untuk memenuhi keegoisan Willy. “Terima lamaranku!” Tersentak! Jantung Lia, serasa berhenti berdetak. Permintaan yang sungguh keterlaluan. Katanya profesional? Pria munafik! ujar Lia, dalam hati. Dia mulai merasa dongkol dengan sikap tidak adil Willy. “Bukankah Mas Will sendiri yang bilang, profesionalisme?” “Ya terserah kamu saja. Mau atau tidak!” Ya Allah, pria ini! “Aku menerima dengan s
Dalam perjalanan menuju apartemen, Lia tampak hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion. Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu. “Lia?” Suara Willy membuat Lia terjaga. “Iya Mas Will?” “Aku mau ngajak makan malam, bisa?” Lia melihat jam di tangannya. “Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.” “Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.” Lia menarik napas. “Oke, Mas Will.” Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan Lia. Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Lia dan Willy sedikit terhambat. Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat. “Li kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.” “Oke.” Lia langsung turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita. Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang, menuju titik pusat tempat salat. “Mb
Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita muda sudah menunggu di ruangan Camelia. Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi. “Mbak, pagi banget tamunya datang?” “Tamu?” “Iya, itu di ruangan Mbak.” “Oh iya? Mbak belum lihat.” “Wanita itu cantik banget Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?” Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap. “Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.” “Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.” Kikan tersenyum lebar. “Memang