Leo dan Meylani, masih terpaku, menatap langkah Bilal menuju pintu. Keduanya terlihat cemas. Meylani, tampak menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia seperti, sangat takut, dengan kedatangan, sosok yang ada di balik pintu itu.
Ruang keluarga, berada di samping kamar Leo dan Meylani. Dari posisi mereka berdiri, pintu masuk dihalangi oleh ruang tamu yang cukup besar, sehingga mereka tidak bisa melihat tamu yang datang.
Tak lama setelah Bilal menuju pintu, langkah kaki yang cukup meriah saling bersahutan. Langkah itu, menuju tempat Leo dan Meylani, yang masih saling menatap satu sama lain.
“Mas, kok, kayak ramai ya? Lia datang bersama siapa?” Meylani begitu yakin, akan kedatangan sahabatnya itu.
“Kamu tenang dulu, ya. Kita tunggu saja.”
Meylani lantas duduk, menenangkan diri. Dia seperti, membawa jejak masa lalu dalam jiwanya. Dia terusik, sehingga kekhawatiran menguasai dirinya.
“Sayang.” Tangan Leo memegang pundak istrinya, menunjuk ke arah sosok yang berdiri di hadapannya.
“Kak Mey.” Meylani terkesiap. Dia membuang napas, lega itu sangat terasa. “Melati.” Senyum Meylani berkibar, menyambut pelukan Melati yang tampak hadir bersama suami dan putrinya.
“Kak Mey, apa kabar?”
“Alhamdulillah, baik, Mel. Duh, Kak Mey, senang banget, bisa ketemu kamu. Udah lama ya kita gak ketemu.”
“Iya Kak. Ini kenalin Hanan, suami aku, dan Yumna.” Meylani menyapa Hanan, dan memeluk Yumna, yang tampak sangat lucu, dengan setelan gamis pink, lengkap dengan jilbab berhias bordir boneka, di sepanjang pinggirannya.
Mereka lantas menyatu di ruang keluarga yang begitu luas. Ruangan itu, terlihat masih cukup lapang, untuk menerima beberapa tamu lagi.
Bilal, menyepi, duduk di pojok dekat dengan jendela, yang tersambung dengan taman. Dia kelihatan canggung. Dia mengalihkan perhatiannya, menatap hujan, yang tiba-tiba hadir, bersama dengan kedatangan Melati dan keluarganya.
“Mel, Kak Lia, ke mana? Gak bersamaan?” Meylani akhirnya sadar. Sosok yang sedari tadi dinantinya, ternyata sampai detik ini, belum juga hadir.
“Sebenarnya, tadi, kami janjian ketemu di sini, Kak. Tapi, di perjalanan, Kak Lia kasih kabar, dia ada panggilan ke kantor. Katanya ada rapat penting. Jadinya, dia langsung putar balik ke kantor. Kalau sempat, dari kantor, katanya dia akan singgah, Kak.”
Meylani menganggukkan kepalanya, sambil menatap Bilal, yang masih sibuk sendiri. Alhamdulillah. Nantilah diatur lagi.
Tampak, seorang wanita setengah baya, membawa beberapa gelas minuman hangat, beserta sepiring pisang goreng bertabur keju. Disajikannya di atas meja bulat, di ruang keluarga.
Hanan memilih duduk beralasakan karpet di depan TV besar bersama putrinya. Mereka asyik, menyaksikan acara kartun kesukaan Yumna.
“Bilal, ayo, kita minum teh dulu.” Leo menghampiri Bilal. Keduanya lantas bergabung, duduk bersama Hanan.
Melati, tampak, memindahkan minuman hangat di atas meja, ke hadapan ketiga pria itu. “Kak Bilal, apa kabar?” Melati, membuka gembok keheningan Bilal. Bersama senyuman, masih canggung, Bilal menjawab, “Kabar baik, Mel, alhamdulillah.”
“Kok sendiri saja Kak? Gak bersama keluarga?” Melati meneruskan kalimatnya.
“Mereka kebetulan lagi ada acara di rumah mertua.” Bilal berusaha menjaga sikapnya.
“Kenapa Kak Bilal malah ke sini? Kenapa gak ke rumah mertua?” Leo dan Meylani, tersentak. Kalimat Melati, begitu menyesakkan.
Bilal tersedak. Leo dan Meylani saling memandangi.
Jeda beberapa detik. Meylani mengambil alih, suasana dingin yang menguasai ruangan itu.
“Oh ya, dengar-dengar Hanan, juga aktif di Rumah Bahagia?”
“Iya, Kak. Tapi khusus bagian external, tidak terlibat langsung. Saya menangani bantuan hukum.”
“Hanan, pengacara?” Meylani melanjutkan pertanyaan-nya. Dia begitu penasaran, dengan aktivitas suami Melati itu.
Disertai senyuman, Hanan menjawab, “Iya, Kak. Kebetulan saya bersama saudara, sudah punya Firma sendiri.”
Leo menimpali cerita Hanan. “Keren! Nama Firma-nya, apa Nan?”
“The Samudera & Partners, dikenalnya, Sam Firm, Kak.” Leo menatap Mey. “Sayang, pengacara perusahaan Papi, bukannya dari sana?”
Meylani termenung, sejenak.
Dia mencoba mengingat kembali, pertemuannya dengan direksi perusahaan keluarganya, tempo hari. “Ehm, iya Mas. Tempo hari, yang aku pernah temui itu, Mas Willy. Ya, Willy Samudera.”
“Betul sekali Kak. Mas Willy, sepupu saya. Tapi, sekarang dia banyak berkantor di Rumah Bahagia.”
“Satu kantor dengan Camelia dong?”
“Iya, Kak. Bersama Kak Lia.” Hanan menegaskan kalimat Meylani. Di tengah percakapan Meylani, Leo dan Hanan, tampak Melati menatap kebisuan Bilal.
“Kak Mey. Belum kenal Mas Willy?” Melati keluar dari diamnya. “Sekedar kenal saja, saat pertemuan di kantor, kemarin itu. Emang kenapa, Mel?”
“Kak Lia, belum pernah cerita?”
“Seingat Kak Mey, belum pernah. Ada apa, Lia dan Willy? Ada sesuatu?” Meylani, mendadak penasaran, oleh kalimat Melati.
Perbincangan serius, terhenti sejenak.
Azan magrib, membuat semuanya meninggalkan ruang keluarga, menuju musala besar, yang melengkapi taman belakang rumah baru itu. Asap tebal, yang berasal dari pembakaran seafood, turut menghiasi waktu yang beranjak gelap.
Pak Musa, dibantu oleh ibu Tati, menata makanan, di atas meja, menyambut tamu mereka. Pak Musa adalah sopir yang biasa mendampingi Meylani. Sedangkan ibu Tati, wanita setengah baya yang bertugas mengurus rumah.
Malam ini, Leo dan Meylani, mengkhususkan menjamu sahabat mereka. Hanya Camelia yang belum hadir.
Taman belakang rumah Mey dan Leo, cukup luas. Bentuknya menyerupai kotak, dengan susunan, musala di sebelah kiri, taman beserta air mancur cukup tinggi, di tengah, dan ruang makan dengan suasana ventige di sebelah kanan.
Makan malam, dimulai.
Semua tampak bahagia, menikmati hidangan istimewa, syukuran rumah baru Leo dan Mey. Tapi, wajah berbeda diperlihatkan Bilal. Dia seperti tidak nyaman di tempatnya. Dia gelisah. Sedangkan yang lain, asyik tertawa dengan berbagi cerita.
“Sayang, memangnya Kak Lia dan Mas Will, sudah ada perkembangan?” Hanan berbisik pada istrinya, setelah makan malam. Dia sangat penasaran, dengan cerita istrinya pada Meylani beberapa menit sebelumnya.
Melati tidak menjawab, dia hanya mengedipkan mata, memberi kode, menunjuk ke arah Bilal. Namun, Hanan tidak memahami maksud istrinya. Dia kembali fokus bermain bersama Yumna. Melati berjalan menuju Meylani, membantu ibu Tati, membersihkan sisa-sisa makan malam mereka.
“Bil, kamu kenapa? Ada masalah?” Leo mendekati Bilal. Dia merasakan, sikap Bilal, aneh malam ini. Bilal hanya menggeleng. “Kamu ada masalah dengan Linda?” Leo langsung menebak.
“Semua baik-baik saja, Leo. Semua masih sama, baik!” Bilal menjawab singkat, dengan nada ketus. Pertanda, dia tidak senang dengan pertanyaan Leo.
“Kita sudah lama banget, gak pernah bercerita, tentang banyak hal. Aku sangat berharap, dengan kepindahanku bersama Mey ke sini, hubungan kita, bisa seperti dulu lagi. Persahabatan yang indah, tanpa duka, penuh tawa, penuh kebahagiaan.”
“Tapi, kita tidak bisa berpura-pura, lupa akan waktu, Leo. Bahwa kita sudah berada di kehidupan yang berbeda. Kita berada di dunia yang berbeda. Di usia yang semakin mendewasa, jelas, tujuan hidup kita, pun, berbeda.”
Percakapan terhenti. Terdengar suara Meylani memanggil. Leo lantas mengajak Bilal, untuk kembali berkumpul bersama yang lain.
“Kok, Kak Lia belum datang ya?” Meylani sangat menunggu kehadiran Lia, sahabatnya. Dia sudah menghubungi ponsel Camelia, namun tidak aktif.
“Atau aku hubungi Mas Willy, mungkin beliau bersama Kak Lia.” Melati lantas menekan tombol di ponselnya, dan berbicara dengan Willy. Tak lama, Melati mengakhiri teleponnya.
“Kak Lia masih di kantor, Kak. Ponselnya mati, dan dia lupa bawa charger. Dia akan malam malam bersama Mas Willy, katanya tadi. Setelah tiba di rumah, dia akan hubungi Kak Mey.”
“Oh ya. Tadi, kamu belum selesai cerita, tentang Lia dan Willy. Mereka ada hubungan?” Meylani menatap Melati, serius. Dia sangat menunggu jawaban, atas rasa penasarannya.
“Melati hanya bisa mengatakan, bahwa saat ini, Kak Lia sudah bahagia, Kak. Dan mungkin, tidak lama lagi, dia tidak sendiri lagi.”
“Serius?!” Meylani sungguh kaget. Dia sahabat Camelia, tapi dia tidak tahu apa-apa. “Iya, Kak.” Melati menjawab singkat.
Ujung mata Melati, tampak mengarah pada Bilal. Entah mengapa, sedari tadi, Melati selalu memata-matai perilaku Bilal.
Kakakku juga akan bahagia, pasti bahagia! Dan saat itu tiba, giliran kamu, yang akan merasakan sakitnya dicampakkan!
“Jujur, Mel. Aku dan Mas Leo, sangat bahagia, jika Lia telah menemukan cintanya. Dia berhak bahagia.”
“Iya, Kak. Itu pasti!”
Bilal berbisik ke telinga Leo yang duduk tepat di sampingnya. Leo menjawab dengan anggukan.
“Mey, Melati, Hanan, saya pamit duluan ya. Senang bisa bertemu hari ini.” Melati dan Hanan menjawab dengan senyuman.
“Makasih ya, Bi.” Meylani berdiri, melepas Bilal, yang ditemani Leo, menuju gerbang. Keduanya berjalan, tanpa suara. Seperti ada yang mengganjal dalam pertemuan mereka malam ini.
“Bil? Apakah kamu baik-baik saja?” Leo masih saja meragukan keadaan sahabatnya itu. “Aku baik-baik saja! Memangnya apa yang kamu pikirkan?”
“Apakah pernikahanmu baik-baik saja?”
Bilal tertawa, tanpa suara. “Memangnya kamu lihat, ada yang salah?!” Suara Bilal, semakin meninggi.
“Oke, oke. Aku senang mendengar kalimat itu. Yang aku mau, kamu juga harus bahagia, karena Camelia juga sudah bahagia.”
Ekpresi Bilal berubah. Emosi itu tiba-tiba hadir. Dia melemparkan ponsel yang digenggamnya.
Ponsel malang itu, hancur. Seluruh bagiannya, berhamburan di tanah. Kekuatan lemparan dahsyat, mengantarnya, mendarat di permukaan tembok yang kokoh.
“Bilal?!!” Leo tercenung.
Dia tidak percaya, sikap Bilal sekejap berubah. Dia yang begitu sabar beberapa detik sebelumnya, berubah menjadi buas, seketika.
“Kalian itu, ada apa?!!!” Suara Bilal melengking. Amarahnya meledak. Penghuni lainnya, berlarian menuju sumber suara yang memekikkan telinga itu.
Meylani menghampiri Leo. Hanan menggendong Yumna, dan Melati juga sudah ada di sampingnya. Semua terkejut dengan sikap Bilal. Yang tiba-tiba, berubah menjadi sosok yang menakutkan.
“Bilal, tenang.” Leo berusaha menenangkan sahabatnya itu. Sikap Bilal, semakin jujur menjelaskan, kondisinya, yang sedang tidak baik-baik saja.
“Aku ke sini, karena menghargai kalian berdua! Aku mengabaikan seluruh keraguanku, bertemu dengan kalian! Tapi, di sini, aku merasa dipermainkan oleh cerita-cerita kalian! Kalian seperti bukan sahabatku!” Amarah Bilal, masih terjaga.
“Istigfar, Bil. Kami minta maaf, ya. Yang harus kamu tahu, kami masih sahabatmu. Tolong, sampaikan, apa yang keliru.” Suara Leo sangat terkendali. Dia kenal betul, siapa yang ada di hadapannya.
Di sisi lain, Meylani terpukul. Dia terus memegang tangan suaminya. Hanan dan Melati, hanya bisa berdiri, membisu. Mereka, pun, khawatir dengan situasi ini.
“Sudahlah!” Tanpa kalimat panjang, Bilal berlalu. Dia masuk ke dalam mobilnya.
Bilal berlalu. Suasana masih dingin. Semua kembali ke ruang keluarga. Kebersamaan yang tadi penuh kebahagiaan, berubah. Malam semakin larut, Melati dan Hanan pamit pulang. “Astagfirullah.” Tiada hentinya Meylani, mengucap zikir. Kondisi tadi, benar-benar memorak-porandakan, kebersamaan yang hangat, yang seharusnya tercipta malam ini. Meylani dan Leo, kembali duduk di kursi yang sama, saat sore tadi. Tampak, kelelahan di wajah mereka berdua. “Mas, ada apa dengan Bilal? Tidakkah Mas lihat, dia dalam kondisi sangat buruk?” Leo mendekat pada istrinya, duduk di sampingnya. Meylani mendaratkan kepalanya, lagi, di pundak Leo. “Dia kelihatan hancur, sangat hancur, Mas! Beberapa tahun, kita tidak pernah mendengar kabarnya. Hanya kabar tentang pernikahannya, anak-anaknya. Dia tidak pernah lagi bercerita tentang dirinya, kebahagiaannya. Seperti Bilal, yang penuh obsesi dan banyak mimpi, di masa lalu.” “Mas, sudah bertanya berulang kali, Sayang. Tapi, Bilal hanya menjawab, semua baik-baik sa
Leo beranjak. Dia meninggalkan kedua sahabat, yang sedang melepaskan rindunya. “Li, boleh gak, aku bicara serius?” Meylani menatap Camelia. “Ada apa?” Camelia tetaplah Camelia. Sosok yang kadang sangat dingin, super cuek. “Tapi janji, gak pake emosi dan marah ya?” Camelia tertawa. “Ya Allah, Mey. Sejak kapan, aku menjadi pemarah?” “Ya, siapa tahu saja.” Camelia menggelengkan kepalanya. Kalimat Meylani, sangat aneh untuknya. “Semalam, Bilal, datang.” Wajah itu berubah. Senyuman tiba-tiba terhapus, berganti wajah datar. “Bersama istrinya?” “Sendiri.” “Terus, hubungannya dengan aku, apa?” “Aku gak tahu, apa yang terjadi pada Bilal. Dia seperti pria yang hancur, penuh masalah. Aku khawatir, dia tak bahagia dengan hidupnya.” “Mey, kita ini sudah dewasa. Kita fokus saja, dengan kehidupan masing-masing. Sudahlah. Kita ini, bukan lagi remaja, seperti sepuluh tahun yang lalu.” “Hatimu masih bergeming di tempat yang sama?” Camelia terseny
Willy tampak gelisah. Dia terus mondar-mandir di ruangannya. Dari kejauhan Viona menuju ke arahnya. “Ada apa?” Mata Viona menelisik, mencari-cari sebab kegundahan rekannya itu. Willy akhirnya bisa duduk tenang. Pun, Viona mendaratkan tubuhnya di kursi depan Willy. “Mbak, bisa lihat ke sana?” Willy mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan Camelia. “Lia?” Viona memastikan. “Sebelahnya, Mbak!” Nada suara Willy, menegaskan sesuatu yang tidak dia sukai. “Oskar?” “Iya, Mbak! Ada urusan apa anak baru itu, selalu di ruangan Camelia beberapa hari ini?! Viona tertawa. Willy membuang buka. “Willy, Willy. Kamu cemburu?” Willy semakin menjauh, menyembunyikan wajahnya. Willy masih membisu. Viona menatap Willy lebih dalam. Dia akhirnya paham, apa yang sedang bergemuruh dalam hati pria itu. “Will, sekarang Oskar menangani kasus ibu Mayang. Dari hasil rapat sebelumnya, Lia akan mendampingi Oskar.” Viona menjelaskan, masih menahan tawa. “Kenapa harus Lia, Mbak? Masih ada yang lain!” Viona kembal
Perubahan sikap Willy, akhirnya menjadi bahan gosip, Kikan, Via bersama rekan-rekannya. Tahun lalu, gosip itu sempat mencuat, namun akhirnya berlalu begitu saja. Namun, kini situasinya berbeda. Di kantin, saat jam makan siang, para wanita muda itu berkumpul di satu meja. Dan pastinya, topik hangat yang sedang mengudara, adalah Willy Samudera. Pria tampan, namun menyebalkan. “Kalian sudah tahu kan, gosip kemarin?” Via memulai siaran langsungnya. “Pastinya!” sahut Mia. “Oh iya. Aku kan belum lama di Rumah Bahagia. Aku penasaran saja, apa Mbak Camelia, juga ada hati pada Mas Willy? Atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan?” ujar wanita yang paling muda, Yuni. Wanita lainnya tiba-tiba terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. “Iya, ya. Aku baru sadar, selama ini Mbak Lia, kelihatan tidak menanggapi sikap manis Mas Willy,” jelas Kikan. “Kalau aku sih, sebenarnya, gak setuju Mbak Lia dengan Mas Willy.” Via berubah serius. “Emang kenapa Mbak?” t
Kesibukan di Rumah Bahagia terus berlangsung tanpa henti. Tampak, seluruh senior consultant tengah rapat di ruangan Willy. Willy Samudera, adalah Direktur Rumah Bahagia saat ini. Rumah Bahagia sebenarnya bernama Relationship and Marriage Councelor. Namun, klien banyak menyebutnya Rumah Bahagia. Suasana rapat kelihatan sangat serius. Tapi, mendadak, seluruh perhatian tertuju pada bunyi ponsel Lia. “Maaf.” Camelia memberi isyarat, untuk mengangkat telepon di luar ruang rapat. “Iya Pak, ada apa?” Camelia baru menyadari, panggilan tersebut berasal dari Security apartemen-nya. “Siapa Pak?” Ekspresi Lia tiba-tiba berubah, panik. Dia seketika mematikan ponselnya, dan kembali ke ruang rapat. Dia mendekat dan berbisik pada Viona, dan kembali meninggalkan ruangan itu. Dia seperti memburu sesuatu. Dia lantas mengambil dompet dan kunci mobil, segera meninggalkan kantornya. Dipacunya mobil dengan kecepata
Matahari akhirnya memancarkan cahaya indah, menembus jendela kamar apartemen bercat kuning itu. Seluruh ornamen kediaman Camelia di dominasi warna kesukaannya, kuning. Meylani tampak sudah bangun, dengan wajah yang lebih segar. Istirahat, ternyata bisa memulihkan kondisinya. Dia kelihatan sibuk, di dapur kecil apartemen itu. Sedang Camelia, masih terlelap di karpet, samping tempat tidur. Meylani, menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat lelah. Bunyi alarm, tiba-tiba membuat gaduh. Membuat Camelia terbangun. Dia langsung mematikan suara berisik itu. “Mey?” Lia terkesiap, melihat keberadaan Mey di dapurnya, sepagi ini. Meylani membalas dengan senyuman. Alhamdulillah. Lia sangat bahagia, mendapati senyuman itu kembali. Dia lantas menuju kamar mandi membersihkan diri. Tak lama, dia kembali, duduk di meja makan. “Kamu enggak ke kantor, Li?” “Aku sepertinya ingin di apartemen saja, hari ini.” “Bukan karena aku,
Lia kembali ke apartemen-nya. Perasaan yang tak baik, pikiran kalut. Semuanya menjadi satu. Dia hanya berusaha terlihat baik di hadapan Meylani. Dia membuka pintu apartemen, dengan kunci cadangan yang dibawanya. Dia menilik keberadaan Mey. Makanan masih utuh! Lia mendapati, makanan di atas meja yang dia siapkan sebelum pergi tadi, ternyata belum di sentuh oleh Meylani. “Mey, kamu enggak apa-apa? Kenapa kamu belum makan?” Lia segera memeriksa kondisi Mey yang sedang berbaring di tempat tidur. “Mey, tanganmu dingin sekali. Kita ke rumah sakit, ya, aku khawatir.” Mey tidak menjawab. Lia tergopoh-gopoh. Diambilnya ponsel dan menghubungi seseorang. Dia menyiapkan seluruh keperluan Mey dan memasukkannya ke dalam ransel ukuran sedang, yang terpampang di atas almarinya. Dia dengan cepat, mengambil barang-barang penting yang dilihatnya. Lia dengan sigap membuka pintu, saat bel berbunyi. “Makasih, Pak. Bisa aku dibantu, membawa ini ke m
Kala Lia dan Willy tengah terlelap, Meylani terbangun. Dia menatap satu per satu, seorang di sisi kanannya, dan seorang lagi di sisi kirinya. Willy? Dia Menginap? Mey terkejut dengan keberadaan Willy. Benar-benar pria ini. Aku sangat salut dengan perjuangannya. Terus kenapa, kursi itu malah dianggurin? Mey menggeleng tak percaya. kursi panjang yang seharusnya bisa mereka gunakan, malah dibiarkan tidak terpakai. Sedangkan mereka berdua, menyiksa diri, tidur dalam keadaan duduk begitu. Mey menggenggam tangan Lia. Sekali lagi, rasa syukurnya tak henti dia lantunkan. Terima kasih, ya Allah. Malam terus bersenandung, bersama detik-detik, yang saling berkejaran. Hingga akhirnya berakhir, saat gelap berganti dengan terang. Subuh, Willy sudah terjaga lebih dahulu. Disusul Lia, yang kemudian, menghadap ke Penguasa Kehidupan. Mereka berdua, bertemu di musala. “Mas Will, enggak balik? Hari ini k
Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal. Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara. “Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini, adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimanapun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata Mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?” Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia. “Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk Mbak Linda, bukan aku!” “Li—“ “Mbak Linda sangat mencintaimu Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti
Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia. Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri. “Kak, boleh Hanan bicara?” “Iya silakan.” “Kak, ini tentang Mas Willy.” “Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!” “Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan Mas Willy selama ini adalah kepalsuan?” Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung. “Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan. Lia masih diam. “Iya memang Kak, Mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal. Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itupun terjadi pada Mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana Mas Willy belajar salat, belajar ngaji Kak. Saya
Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam. Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo dan Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman. Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu. Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orang tua bagi mereka. Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka ber
Pagi menjemput. Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam. Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan. “Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu aku dengarkan!” Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya. “Kok malah diam?! Apa bagian kalian, aku tidak lagi penting?!” “Tidak begitu Li—“ “Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis. Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya. “Sebulan lalu saat aku dan Mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. etelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.” Meylani terdiam. Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam. Meylani sadar tatapan itu. Dia ber
“Mbak Linda!!!” Lia terpaku. Jantungnya seperti berhenti bekerja. Dia seperti tidak percaya, wanita yang bersama Bilal, adalah wanita yang sangat dikenalnya. Wanita yang sebulan ini terus saja menganggu pikirannya dengan cerita hidupnya. Bilal? Apakah dia? Ya Allah… Lia terus bergumam. Linda menyambut Lia dengan senyuman. Sambutan yang tampak biasa. Padahal mereka terlibat dalam sebuah cerita yang sangat rumit. “Oh ya. Kita kenalan dulu dong,” ujar Meylani. “Lia, udah kenal dengan istri Bilal?” Lagi, Lia seperti tersambar petir. Dia merasakan badannya bergetar tak biasa. Detak jantungnya tak biasa. Linda menjulurkan tangan. “Linda Agustina Permana, Mbak Camelia,” ucapnya. Lia pun menyambut tangan itu, dengan ragu. “Wah, udah kenal ya?” tanya Meylani. “Siapa yang tidak kenal, psikolog terkenal, Mbak Camelia Zenia dari Rumah Bahagia!” Linda tersenyum, diikuti Mey. Lia justru semakin gelisah. Dia bingung mau bersikap baga
Lia tersentak. Cerita tentang kehilangan, selalu juga menghadirkan kepiluan yang sama besarnya. Dia berhenti menulis. Dia fokus menatap Linda, yang terlihat mulai larut dalam kesedihan. Ya Allah, aku tidak menyangka wanita ini menyimpan cerita duka yang amat dalam. “Musibah yang seketika menghancurkan semua impian keluarga kecil kami, Mbak.” Air mata Lia, mulai perlahan menunjukkan dirinya. Dia tidak bisa menahan kesedihan. “Saat itu, saya benar-benar hancur Mbak, hati ini kehilangan harapan. Saya sangat terpukul, dan nyaris kehilangan bayi saya.” “Saya menyaksikan duka yang sama dalam keluarga Mas Taufiq. Ibu mertua, sangat kehilangan suaminya. Rumah yang penuh kebahagiaan, seketika berubah jadi tanpa kehidupan.” Lia mulai menghapus bulir-bulir, yang membasahi pipinya. “Kehidupan kami kehilangan tujuan. Sampai akhirnya, orang tua saya datang menemui ibu mertua. Meminta kejelasan saya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Orang
Belum jauh, mobil itu memasuki sebuah pom bensin. “Li, aku isi bensin dulu ya?” “Iya, Mas.” Mobil Willy akhirnya masuk ke dalam antrian yang cukup panjang sore itu. Tiga mobil di depan, sebuah mobil menarik perhatian Lia. Bukannya itu Bilal? Kok mobilnya seperti mobil Linda tempo hari? Lia membatin. “Lia, mau singgah di mini market?” Lia kaget. “Iya Mas, boleh!” Ingatan akan cerita Linda, kembali membawanya dalam lamunan. Dia mengetahui bahwa suaminya menyukai wanita lain. Dia menikah karena takdir? Ya Allah, mengapa cerita wanita itu seperti membawaku ke masa lalu? batin Lia. “Hei, kamu ke mana saja?” “Kamu rindu ya?” Pria muda itu malah tertawa lebar. “Kok malah tertawa gitu? Tinggal jawab saja, ya kan?” “Ehm, ya bisa dibilang begitu. Memangnya sepekan ini kamu ke mana?” “Ibu kurang sehat, jadi aku jagaian di rumah sakit.” “Kok gak ngabarin?” “Gak mau ganggu ujian kam
Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita muda sudah menunggu di ruangan Camelia. Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi. “Mbak, pagi banget tamunya datang?” “Tamu?” “Iya, itu di ruangan Mbak.” “Oh iya? Mbak belum lihat.” “Wanita itu cantik banget Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?” Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap. “Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.” “Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.” Kikan tersenyum lebar. “Memang
Dalam perjalanan menuju apartemen, Lia tampak hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion. Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu. “Lia?” Suara Willy membuat Lia terjaga. “Iya Mas Will?” “Aku mau ngajak makan malam, bisa?” Lia melihat jam di tangannya. “Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.” “Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.” Lia menarik napas. “Oke, Mas Will.” Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan Lia. Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Lia dan Willy sedikit terhambat. Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat. “Li kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.” “Oke.” Lia langsung turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita. Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang, menuju titik pusat tempat salat. “Mb