Willy tampak gelisah. Dia terus mondar-mandir di ruangannya. Dari kejauhan Viona menuju ke arahnya. “Ada apa?” Mata Viona menelisik, mencari-cari sebab kegundahan rekannya itu. Willy akhirnya bisa duduk tenang. Pun, Viona mendaratkan tubuhnya di kursi depan Willy. “Mbak, bisa lihat ke sana?” Willy mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan Camelia. “Lia?” Viona memastikan. “Sebelahnya, Mbak!” Nada suara Willy, menegaskan sesuatu yang tidak dia sukai. “Oskar?” “Iya, Mbak! Ada urusan apa anak baru itu, selalu di ruangan Camelia beberapa hari ini?! Viona tertawa. Willy membuang buka. “Willy, Willy. Kamu cemburu?” Willy semakin menjauh, menyembunyikan wajahnya. Willy masih membisu. Viona menatap Willy lebih dalam. Dia akhirnya paham, apa yang sedang bergemuruh dalam hati pria itu. “Will, sekarang Oskar menangani kasus ibu Mayang. Dari hasil rapat sebelumnya, Lia akan mendampingi Oskar.” Viona menjelaskan, masih menahan tawa. “Kenapa harus Lia, Mbak? Masih ada yang lain!” Viona kembal
Perubahan sikap Willy, akhirnya menjadi bahan gosip, Kikan, Via bersama rekan-rekannya. Tahun lalu, gosip itu sempat mencuat, namun akhirnya berlalu begitu saja. Namun, kini situasinya berbeda. Di kantin, saat jam makan siang, para wanita muda itu berkumpul di satu meja. Dan pastinya, topik hangat yang sedang mengudara, adalah Willy Samudera. Pria tampan, namun menyebalkan. “Kalian sudah tahu kan, gosip kemarin?” Via memulai siaran langsungnya. “Pastinya!” sahut Mia. “Oh iya. Aku kan belum lama di Rumah Bahagia. Aku penasaran saja, apa Mbak Camelia, juga ada hati pada Mas Willy? Atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan?” ujar wanita yang paling muda, Yuni. Wanita lainnya tiba-tiba terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. “Iya, ya. Aku baru sadar, selama ini Mbak Lia, kelihatan tidak menanggapi sikap manis Mas Willy,” jelas Kikan. “Kalau aku sih, sebenarnya, gak setuju Mbak Lia dengan Mas Willy.” Via berubah serius. “Emang kenapa Mbak?” t
Kesibukan di Rumah Bahagia terus berlangsung tanpa henti. Tampak, seluruh senior consultant tengah rapat di ruangan Willy. Willy Samudera, adalah Direktur Rumah Bahagia saat ini. Rumah Bahagia sebenarnya bernama Relationship and Marriage Councelor. Namun, klien banyak menyebutnya Rumah Bahagia. Suasana rapat kelihatan sangat serius. Tapi, mendadak, seluruh perhatian tertuju pada bunyi ponsel Lia. “Maaf.” Camelia memberi isyarat, untuk mengangkat telepon di luar ruang rapat. “Iya Pak, ada apa?” Camelia baru menyadari, panggilan tersebut berasal dari Security apartemen-nya. “Siapa Pak?” Ekspresi Lia tiba-tiba berubah, panik. Dia seketika mematikan ponselnya, dan kembali ke ruang rapat. Dia mendekat dan berbisik pada Viona, dan kembali meninggalkan ruangan itu. Dia seperti memburu sesuatu. Dia lantas mengambil dompet dan kunci mobil, segera meninggalkan kantornya. Dipacunya mobil dengan kecepata
Matahari akhirnya memancarkan cahaya indah, menembus jendela kamar apartemen bercat kuning itu. Seluruh ornamen kediaman Camelia di dominasi warna kesukaannya, kuning. Meylani tampak sudah bangun, dengan wajah yang lebih segar. Istirahat, ternyata bisa memulihkan kondisinya. Dia kelihatan sibuk, di dapur kecil apartemen itu. Sedang Camelia, masih terlelap di karpet, samping tempat tidur. Meylani, menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat lelah. Bunyi alarm, tiba-tiba membuat gaduh. Membuat Camelia terbangun. Dia langsung mematikan suara berisik itu. “Mey?” Lia terkesiap, melihat keberadaan Mey di dapurnya, sepagi ini. Meylani membalas dengan senyuman. Alhamdulillah. Lia sangat bahagia, mendapati senyuman itu kembali. Dia lantas menuju kamar mandi membersihkan diri. Tak lama, dia kembali, duduk di meja makan. “Kamu enggak ke kantor, Li?” “Aku sepertinya ingin di apartemen saja, hari ini.” “Bukan karena aku,
Lia kembali ke apartemen-nya. Perasaan yang tak baik, pikiran kalut. Semuanya menjadi satu. Dia hanya berusaha terlihat baik di hadapan Meylani. Dia membuka pintu apartemen, dengan kunci cadangan yang dibawanya. Dia menilik keberadaan Mey. Makanan masih utuh! Lia mendapati, makanan di atas meja yang dia siapkan sebelum pergi tadi, ternyata belum di sentuh oleh Meylani. “Mey, kamu enggak apa-apa? Kenapa kamu belum makan?” Lia segera memeriksa kondisi Mey yang sedang berbaring di tempat tidur. “Mey, tanganmu dingin sekali. Kita ke rumah sakit, ya, aku khawatir.” Mey tidak menjawab. Lia tergopoh-gopoh. Diambilnya ponsel dan menghubungi seseorang. Dia menyiapkan seluruh keperluan Mey dan memasukkannya ke dalam ransel ukuran sedang, yang terpampang di atas almarinya. Dia dengan cepat, mengambil barang-barang penting yang dilihatnya. Lia dengan sigap membuka pintu, saat bel berbunyi. “Makasih, Pak. Bisa aku dibantu, membawa ini ke m
Kala Lia dan Willy tengah terlelap, Meylani terbangun. Dia menatap satu per satu, seorang di sisi kanannya, dan seorang lagi di sisi kirinya. Willy? Dia Menginap? Mey terkejut dengan keberadaan Willy. Benar-benar pria ini. Aku sangat salut dengan perjuangannya. Terus kenapa, kursi itu malah dianggurin? Mey menggeleng tak percaya. kursi panjang yang seharusnya bisa mereka gunakan, malah dibiarkan tidak terpakai. Sedangkan mereka berdua, menyiksa diri, tidur dalam keadaan duduk begitu. Mey menggenggam tangan Lia. Sekali lagi, rasa syukurnya tak henti dia lantunkan. Terima kasih, ya Allah. Malam terus bersenandung, bersama detik-detik, yang saling berkejaran. Hingga akhirnya berakhir, saat gelap berganti dengan terang. Subuh, Willy sudah terjaga lebih dahulu. Disusul Lia, yang kemudian, menghadap ke Penguasa Kehidupan. Mereka berdua, bertemu di musala. “Mas Will, enggak balik? Hari ini k
Lia menatap Leo. Dia memberi isyarat, meminta Leo memulai kalimatnya. Katanya ingin bertemu. Sudah bertemu, malah diam! Kembali, Lia mengoceh sendiri. Entah apa lagi yang harus dia lakukan, agar ke dua makhluk di depannya, tidak hanya diam. “Kalau kalian hanya diam begini, aku pergi!” “Jangan, Li!” Sahut dua orang itu, serentak. Lia terkekeh. Tidak habis pikir, kelakuan dua orang dewasa itu. Kembali membisu. “Lagi-lagi diam! Kalian mau apa sih? Aku ingin pergi membersihkan diri! Sikap kalian ini, lebih bocah dari bocah sekalipun!” Lia mulai meninggikan suaranya, dongkol. Leo mengangkat tangannya. Meminta maaf. Dia mengangguk, tanda dia ingin bicara. Dia berjalan menuju Mey. Tapi, Mey mengalihkan wajahnya. Leo duduk, di kursi samping tempat tidur Mey, berusaha menggapai tangan istrinya, tapi wanita itu menghindar. “Sayang, aku benar-benar minta maaf. Aku sangat bersalah. Aku begitu terluka melihatmu saki
“Will, kita harus mempertimbangkan saran Meta dan Oskar.” “Itu tidak mungkin! Rumah Bahagia sudah sepulun tahun, bahkan lebih dari itu. Kita sudah menjalani semuanya dengan baik dan sempurna selama ini. Kita tidak mungkin mengubah begitu saja, filosofi yang sudah menjadi icon Rumah Bahagia!” “Tapi, kita harus berkaca pada kenyataan, Will. Bahwa semua tidak sesempurna yang kita lihat selama ini. Jika kenyataan itu terkuak ke publik, apakah tidak akan merusak citra Rumah Bahagia?” “Tapi sampai sekarang, semuanya baik-baik saja!” “Ini untuk besok dan kelangsungan Rumah Bahagia, Wil. Kamu tahu, alasan Lia tidak pernah mau ke bagian Konseling? Karena filosofi Rumah Bahagia yang menganggunya. Kita seperti membuat sekat, bahwa hanya yang punya hidup sempurna, yang bisa ada di tempat ini.” “Sekali aku bilang tidak, tetap tidak! Semua sudah berlangsung lama, jangan seenaknya diubah hanya karena perkataan Oskar dan Meta. Mereka itu belum
Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal. Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara. “Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini, adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimanapun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata Mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?” Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia. “Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk Mbak Linda, bukan aku!” “Li—“ “Mbak Linda sangat mencintaimu Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti
Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia. Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri. “Kak, boleh Hanan bicara?” “Iya silakan.” “Kak, ini tentang Mas Willy.” “Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!” “Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan Mas Willy selama ini adalah kepalsuan?” Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung. “Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan. Lia masih diam. “Iya memang Kak, Mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal. Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itupun terjadi pada Mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana Mas Willy belajar salat, belajar ngaji Kak. Saya
Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam. Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo dan Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman. Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu. Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orang tua bagi mereka. Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka ber
Pagi menjemput. Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam. Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan. “Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu aku dengarkan!” Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya. “Kok malah diam?! Apa bagian kalian, aku tidak lagi penting?!” “Tidak begitu Li—“ “Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis. Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya. “Sebulan lalu saat aku dan Mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. etelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.” Meylani terdiam. Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam. Meylani sadar tatapan itu. Dia ber
“Mbak Linda!!!” Lia terpaku. Jantungnya seperti berhenti bekerja. Dia seperti tidak percaya, wanita yang bersama Bilal, adalah wanita yang sangat dikenalnya. Wanita yang sebulan ini terus saja menganggu pikirannya dengan cerita hidupnya. Bilal? Apakah dia? Ya Allah… Lia terus bergumam. Linda menyambut Lia dengan senyuman. Sambutan yang tampak biasa. Padahal mereka terlibat dalam sebuah cerita yang sangat rumit. “Oh ya. Kita kenalan dulu dong,” ujar Meylani. “Lia, udah kenal dengan istri Bilal?” Lagi, Lia seperti tersambar petir. Dia merasakan badannya bergetar tak biasa. Detak jantungnya tak biasa. Linda menjulurkan tangan. “Linda Agustina Permana, Mbak Camelia,” ucapnya. Lia pun menyambut tangan itu, dengan ragu. “Wah, udah kenal ya?” tanya Meylani. “Siapa yang tidak kenal, psikolog terkenal, Mbak Camelia Zenia dari Rumah Bahagia!” Linda tersenyum, diikuti Mey. Lia justru semakin gelisah. Dia bingung mau bersikap baga
Lia tersentak. Cerita tentang kehilangan, selalu juga menghadirkan kepiluan yang sama besarnya. Dia berhenti menulis. Dia fokus menatap Linda, yang terlihat mulai larut dalam kesedihan. Ya Allah, aku tidak menyangka wanita ini menyimpan cerita duka yang amat dalam. “Musibah yang seketika menghancurkan semua impian keluarga kecil kami, Mbak.” Air mata Lia, mulai perlahan menunjukkan dirinya. Dia tidak bisa menahan kesedihan. “Saat itu, saya benar-benar hancur Mbak, hati ini kehilangan harapan. Saya sangat terpukul, dan nyaris kehilangan bayi saya.” “Saya menyaksikan duka yang sama dalam keluarga Mas Taufiq. Ibu mertua, sangat kehilangan suaminya. Rumah yang penuh kebahagiaan, seketika berubah jadi tanpa kehidupan.” Lia mulai menghapus bulir-bulir, yang membasahi pipinya. “Kehidupan kami kehilangan tujuan. Sampai akhirnya, orang tua saya datang menemui ibu mertua. Meminta kejelasan saya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Orang
Belum jauh, mobil itu memasuki sebuah pom bensin. “Li, aku isi bensin dulu ya?” “Iya, Mas.” Mobil Willy akhirnya masuk ke dalam antrian yang cukup panjang sore itu. Tiga mobil di depan, sebuah mobil menarik perhatian Lia. Bukannya itu Bilal? Kok mobilnya seperti mobil Linda tempo hari? Lia membatin. “Lia, mau singgah di mini market?” Lia kaget. “Iya Mas, boleh!” Ingatan akan cerita Linda, kembali membawanya dalam lamunan. Dia mengetahui bahwa suaminya menyukai wanita lain. Dia menikah karena takdir? Ya Allah, mengapa cerita wanita itu seperti membawaku ke masa lalu? batin Lia. “Hei, kamu ke mana saja?” “Kamu rindu ya?” Pria muda itu malah tertawa lebar. “Kok malah tertawa gitu? Tinggal jawab saja, ya kan?” “Ehm, ya bisa dibilang begitu. Memangnya sepekan ini kamu ke mana?” “Ibu kurang sehat, jadi aku jagaian di rumah sakit.” “Kok gak ngabarin?” “Gak mau ganggu ujian kam
Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita muda sudah menunggu di ruangan Camelia. Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi. “Mbak, pagi banget tamunya datang?” “Tamu?” “Iya, itu di ruangan Mbak.” “Oh iya? Mbak belum lihat.” “Wanita itu cantik banget Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?” Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap. “Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.” “Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.” Kikan tersenyum lebar. “Memang
Dalam perjalanan menuju apartemen, Lia tampak hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion. Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu. “Lia?” Suara Willy membuat Lia terjaga. “Iya Mas Will?” “Aku mau ngajak makan malam, bisa?” Lia melihat jam di tangannya. “Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.” “Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.” Lia menarik napas. “Oke, Mas Will.” Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan Lia. Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Lia dan Willy sedikit terhambat. Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat. “Li kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.” “Oke.” Lia langsung turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita. Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang, menuju titik pusat tempat salat. “Mb