Pukul sepuluh pagi, Rumah Bahagia, penuh kesibukan. Tampak beberapa orang wanita, sedang menunggu antrian. Menunggu giliran, untuk bertemu dengan konsultan-nya masing-masing.
Rumah Bahagia, sebuah kantor konsultan pernikahan. Diberi nama Rumah Bahagia, karena tujuan mereka, hanya ingin menciptakan kebahagiaan.
Sejak berdiri selama sepuluh tahun yang lalu, Rumah Bahagia, telah memecahkan rekor tersendiri. Telah menyelesaikan ribuan kasus rumah tangga, tanpa perceraian. Dan itu menjadi motto mereka, Menciptakan Bahagia, dan Tetap Bersama.
“Selamat Pagi, Camelia Zenia.” Camelia terkesiap. Dia tanpa sadar, berdiri dan menutup jalan. “Selamat Pagi, Mas Will,” jawab Camelia, kaget. “Bagaimana kabarnya Lia?”
“Alhamdulillah hari ini, luar biasa, Mas.” Camelia memberi senyuman hangat. “Aku masuk dulu, ya.”
“Silahkan, Mas.” Camelia tampak ramah, dan memberikan jalan, untuk Willy, menuju ruangannya. “Mbak Lia, kenapa?” Kembali, tersentak. “Kikan? Aku kaget!”
“Mbak kenapa? Kok dari tadi, bengong di situ?”
“Itu, kamu lihat!” sahut Camelia, menunjuk ke ruangan konseling. “Ibu Mayang dan suaminya?”
“Iya! Enggak selesai ya, urusan mereka?”
“Masalah mereka, lumayan berat Mbak. Mbak Viona sampai jadi stres hadapi mereka berdua. Setiap dipertemukan, pasti, selalu berantem. Jadinya, titik temu, sulit. Wong, ngobrol santai saja, mereka enggak bisa.”
Camelia masuk ke dalam ruangannya, diikuti Kikan. “Di Ruang Dengar, aku pikir, masalah Ibu Mayang, bisa diselesaikan dengan cepat. Karena, dari semua yang beliau sampaikan, permasalahan mereka itu, ya klasik. Masalah umumnya pernikahan, jenuh,” lanjut Camelia.
“Kayaknya sih, masalah ini, menjadi ujian berat untuk Rumah Bahagia. Mbak Viona sempat cerita, dia seperti kehilangan harapan, untuk pasangan ini.”
Camelia tampak tersenyum. Dia seperti larut dalam pikirannya sendiri. Menjauh dari pembahasan Kikan.
“Mbak, baik-baik saja?” tanya Kikan, heran. Camelia tiba-tiba tersenyum sendiri.
“Aku cuma merasa, Rumah Bahagia ini, amazing. Keajaiban dari Tuhan. Aku, kamu, dan Mas Willy, Mbak Meta, Mas Oskar, Via, semua belum punya pengalaman berumah tangga. Hanya Mbak Viona, yang ada di antara kita, dan punya pengalaman. Tapi, buktinya, kita bisa bertahan selama sepuluh tahun. Dengan ribuan klien, beserta permasalahan rumah tangga mereka, yang sungguh tidak mudah.”
“Mbak, aku penasaran satu hal.”
“Tentang apa?”
“Mbak, kenapa, belum mau ke bagian Konseling. Tetap bertahan di Ruang Dengar, hampir sepuluh tahun.”
Camelia, menjawab disertai senyuman. “Kikan, aku mengerti posisi terbaik, yang bisa aku persembahkan untuk Rumah Bahagia. Konseling, membutuhkan seseorang yang punya track record sempurna. Dapatkah kamu menerima saran, dari seseorang, yang hidupnya saja gagal?”
Kikan terpaku.
“Sepuluh tahun di Rumah Bahagia, satu hal penting yang aku simpulkan. Bahwa semua orang yang memiliki masalah, hal pertama yang mereka butuhkan adalah didengarkan. Dan, aku merasa, sudah berada di tempat paling tepat, menjadi pendengar terbaik untuk mereka yang membutuhkan kita.”
“Kamu tahu gak Dik. Kenapa, Rumah Bahagia, semakin ke sini, semakin dibutuhkan banyak orang?”
“Karena Rumah Bahagia tidak pernah gagal, Mbak?” jawab Kikan. “Bukan! Karena, Rumah Bahagia, berhasil menjadi teman, bagi mereka yang merasa jauh dari kehidupan mereka sendiri. Anak yang kehilangan kasih sayang orang tua. Anak yang merasa, tidak diinginkan. Istri yang jenuh dengan sikap suaminya. Suami yang tidak betah di rumah. Sebenarnya persoalan mereka sama.”
“Hilangnya kebersamaan, ya, Mbak?’
“Ya, kamu benar!”
“Dan inilah yang bertahun-tahun, Rumah Bahagia, mampu ciptakan. Menumbuhkan kembali kerinduan, akan kebersamaan itu. Dan akhirnya, itu menjadi obat, dari seluruh persoalan mereka.”
“Mbak, sebenarnya aku masih harus banyak belajar. Aku ingin sekali menjadi salah satu konsultan di sini. Bukan hanya di belakang meja, mengurus administrasi.”
“Pasti, hari itu akan tiba. Kamu terus belajar saja. Amati dan pelajari, apa yang setiap hari terjadi. Kan, semua tamu, pasti bertemu kamu dulu, kan?”
“Iya, Mbak.”
“Di situ, kamu sudah bisa membaca, persoalan apa, yang sedang mereka alami.”
“Baik, Mbak. Aku pasti belajar.” Setelah percakapan yang cukup panjang, Kikan kembali ke tempatnya.
***
Aktivitas Rumah Bahagia berjalan seperti biasanya. Antrian sampai pukul satu siang sudah mencapai tiga puluh antrian. Lelah terlihat jelas, di wajah seluruh personil Rumah Bahagia.
Di tengak kesibukan yang tiada henti, Camelia dan Kikan tersentak. Mereka keluar dari ruangan.
“Kikan, ada apa? Itu suara Mas Will!”
“Iya, Mbak. Tampaknya Mas Willy lagi marah besar!”
“Marah? Pada siapa?”
“Itu, Mbak.” Kikan menunjuk ke arah Pak Husen, yang baru keluar dari ruangan Willy.
Via, sekretaris Willy, berjalan ke arah Kikan dan Camelia. Dia tampak terburu-buru.
“Vi, ada apa? Kok siang ini, semua pada tegang banget?”
“Mbak, Mas Will, mau rapat, sekarang!”
“Ada apa?” Camelia masih bingung. “Ayo, Mbak.” Via berjalan menuju ruangan rapat, diikuti Camelia. Tampak Viona, juga berjalan ke arah yang sama.
“Mbak?” Camelia mencoba bertanya, tapi Viona hanya menjawab dengan isyarat, bahwa dia tidak paham yang terjadi.
Di ruang rapat, tampak Willy, duduk serius di kursinya. Wajahnya, menyiratkan persoalan besar. Dia pria yang emosional, namun, sekian lama, dia jauh lebih sabar. Entah mengapa, siang ini, sikap kerasnya itu hadir lagi.
Viona dan Camelia, mengambil tempat. Mereka saling menatap.
“Will, ada apa? Kok tiba-tiba, kita rapat?” Viona membuka pembicaraan, setelah Willy masih membisu, dengan tatapan serius.
“Aku ingin membicarakan pemberhentian Pak Husen!”
Viona dan Camelia, kembali, tercenung.
“Ada masalah apa, Mas?” Camelia, pun, penasaran. “Ini ketiga kalinya, beliau membuat kesalahan! Dan aku merasa, sudah cukup!”
“Kesalahan apa Mas?” Viona menggerakkan matanya, tampak memberi instruksi pada Camelia untuk lebih tenang. Viona sangat paham karakter Willy.
“Ayo, kita bicarakan, dengan tenang. Kamu bisa ceritakan yang terjadi, Will, sehingga keputusan apapun yang diambil, adil untuk semua pihak.” Kalimat Viona, menunjukkan kedewasaannya, sebagai yang tertua di antara kedua rekannya itu. Dia lebih bijak dan sangat tenang.
“Mbak, aku benar-benar sangat marah! Dokumen pentingku, ditumpahi kopi panas. Dokumen yang harus kubawa ke rapat pemegang saham! Aku tidak bisa lagi memaafkan keteledoran seperti itu. Tidak bisa!” Willy meluapkan amarahnya, di setiap kalimat yang dia ucapkan.
“Mulai detik ini, Pak Husen, aku pecat!”
Viona menatap Camelia.
“Mas—“
Belum selesai, kalimat Camelia dipotong oleh Willy. “Ini sudah keputusan final, tidak ada pertimbangan!”
“Please, Mas. Boleh aku bicara sedikit?” Camelia berusaha menembus tembok keras hati Willy. Namun, Willy tidak menjawab.
“Will, kita di sini tim. Baiknya, kita bisa saling mendengarkan, ya?” Viona membujuk Willy.
Willy menarik napas panjang, dan membuang muka ke arah jendela. Dia begitu berat menatap Camelia, yang duduk di hadapannya.
Sejenak, hening.
“Oke!” Akhirnya, tembok keras itu, terbuka. “Terkadang, kita harus menggunakan sisi kemanusiaan dalam sebuah persoalan, Mas. Lia tidak bermaksud mengajari Mas Willy tentang ini. Tapi, sebagai seorang partner, Lia hanya mengingatkan.”
“Kamu langsung saja, Lia!”
“Baik, Mas. Aku mohon, Mas. Pak Husen, jangan dipecat. Masih dengan alasan yang sama.”
“Lia, Lia. Kita harus profesional. Kalau selalu pakai perasaan, kantor ini bisa hancur! Untuk masalah ini, maaf, aku sama sekali tidak bisa lagi kompromi! Ini ketiga kalinya, Lia! Tiga kali!”
Willy menekan kata tiga kali. Pak Husen sudah melakukan kesalahan berulang kali. Yang berarti, kali ini, Willy tidak akan lagi, memberi maaf.
”Baik, Mas. Jika itu keputusan Mas Will, sebelum Pak Husen menerima surat pemecatan, aku mengundurkan diri, Mas!”
“Lia?! Apa-apaan ini?” Viona, pun, tersentak. “Iya, Mbak. Ini keputusanku.”
Willy justru semakin emosi, dengan ucapan Camelia. Dia benar-benar berusaha menahan emosinya, yang semakin menguasai dirinya.
“Apakah itu kalimat ancaman?”
“Ini serius, Mas!” Willy menatap Viona. Dan Viona menggelengkan kepalanya.
“Oh my god!!!” teriak Willy. Dia akhirnya tidak mampu menahan emosinya yang tertahan.
Beberapa detik, ruangan menyepi. Willy menutup wajahnya dengan kedua tangannya. Semakin tidak percaya, dengan apa yang terjadi, siang ini.
Willy menarik napas, sangat panjang. Dan berkata, “Baiklah, Pak Husen, aku maafkan!” Suaranya tampak melemah.
“Terima kasih, Mas.” Senyum bahagia Camelia merekah, dan dia sekejap menghilang dari hadapan Willy dan Viona.
“Mbaakkk!!!” Willy begitu gregetan. Dia tidak percaya dengan apa yang dilakukannya. Dia bukan dirinya.
Viona tersenyum. “Untuk ketiga kalinya, Willy Samudera, dikalahkan oleh Camelia Zenia. Hattrick, ya.”
“Mbak, bahagia banget ya, melihat penderitaanku? Aku bisa jadi gila, kalau seperti ini, Mbak!”
“Gila karena Lia?”
“Mbak, cukup!”
“Mbak paham kok, Will. Mbak sangat kenal kamu.”
“Tapi aku benci sikap seperti ini. Ini sangat tidak profesional, Mbak. Aku merasa, lama-lama aku bukan lagi diriku, jika terus di sini!”
Viona, lagi, tersenyum. “Ya, memang susah, kalau hati sudah masuk ranah profesional. Jadinya, ya begini.”
Willy, terpaku.
“Ada yang takut banget ya, kalau Camelia pergi dari Rumah Bahagia?”
“Mbak, please!”
Masih dengan senyumannya, Viona berdiri dan meninggalkan Willy di ruang rapat.
Leo dan Meylani, masih terpaku, menatap langkah Bilal menuju pintu. Keduanya terlihat cemas. Meylani, tampak menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Dia seperti, sangat takut, dengan kedatangan, sosok yang ada di balik pintu itu. Ruang keluarga, berada di samping kamar Leo dan Meylani. Dari posisi mereka berdiri, pintu masuk dihalangi oleh ruang tamu yang cukup besar, sehingga mereka tidak bisa melihat tamu yang datang. Tak lama setelah Bilal menuju pintu, langkah kaki yang cukup meriah saling bersahutan. Langkah itu, menuju tempat Leo dan Meylani, yang masih saling menatap satu sama lain. “Mas, kok, kayak ramai ya? Lia datang bersama siapa?” Meylani begitu yakin, akan kedatangan sahabatnya itu. “Kamu tenang dulu, ya. Kita tunggu saja.” Meylani lantas duduk, menenangkan diri. Dia seperti, membawa jejak masa lalu dalam jiwanya. Dia terusik, sehingga kekhawatiran menguasai dirinya. “Sayang.” Tangan Leo memegang pundak istrinya, menunjuk ke arah sosok yang berdiri di hadapannya.
Bilal berlalu. Suasana masih dingin. Semua kembali ke ruang keluarga. Kebersamaan yang tadi penuh kebahagiaan, berubah. Malam semakin larut, Melati dan Hanan pamit pulang. “Astagfirullah.” Tiada hentinya Meylani, mengucap zikir. Kondisi tadi, benar-benar memorak-porandakan, kebersamaan yang hangat, yang seharusnya tercipta malam ini. Meylani dan Leo, kembali duduk di kursi yang sama, saat sore tadi. Tampak, kelelahan di wajah mereka berdua. “Mas, ada apa dengan Bilal? Tidakkah Mas lihat, dia dalam kondisi sangat buruk?” Leo mendekat pada istrinya, duduk di sampingnya. Meylani mendaratkan kepalanya, lagi, di pundak Leo. “Dia kelihatan hancur, sangat hancur, Mas! Beberapa tahun, kita tidak pernah mendengar kabarnya. Hanya kabar tentang pernikahannya, anak-anaknya. Dia tidak pernah lagi bercerita tentang dirinya, kebahagiaannya. Seperti Bilal, yang penuh obsesi dan banyak mimpi, di masa lalu.” “Mas, sudah bertanya berulang kali, Sayang. Tapi, Bilal hanya menjawab, semua baik-baik sa
Leo beranjak. Dia meninggalkan kedua sahabat, yang sedang melepaskan rindunya. “Li, boleh gak, aku bicara serius?” Meylani menatap Camelia. “Ada apa?” Camelia tetaplah Camelia. Sosok yang kadang sangat dingin, super cuek. “Tapi janji, gak pake emosi dan marah ya?” Camelia tertawa. “Ya Allah, Mey. Sejak kapan, aku menjadi pemarah?” “Ya, siapa tahu saja.” Camelia menggelengkan kepalanya. Kalimat Meylani, sangat aneh untuknya. “Semalam, Bilal, datang.” Wajah itu berubah. Senyuman tiba-tiba terhapus, berganti wajah datar. “Bersama istrinya?” “Sendiri.” “Terus, hubungannya dengan aku, apa?” “Aku gak tahu, apa yang terjadi pada Bilal. Dia seperti pria yang hancur, penuh masalah. Aku khawatir, dia tak bahagia dengan hidupnya.” “Mey, kita ini sudah dewasa. Kita fokus saja, dengan kehidupan masing-masing. Sudahlah. Kita ini, bukan lagi remaja, seperti sepuluh tahun yang lalu.” “Hatimu masih bergeming di tempat yang sama?” Camelia terseny
Willy tampak gelisah. Dia terus mondar-mandir di ruangannya. Dari kejauhan Viona menuju ke arahnya. “Ada apa?” Mata Viona menelisik, mencari-cari sebab kegundahan rekannya itu. Willy akhirnya bisa duduk tenang. Pun, Viona mendaratkan tubuhnya di kursi depan Willy. “Mbak, bisa lihat ke sana?” Willy mengarahkan telunjuknya ke arah ruangan Camelia. “Lia?” Viona memastikan. “Sebelahnya, Mbak!” Nada suara Willy, menegaskan sesuatu yang tidak dia sukai. “Oskar?” “Iya, Mbak! Ada urusan apa anak baru itu, selalu di ruangan Camelia beberapa hari ini?! Viona tertawa. Willy membuang buka. “Willy, Willy. Kamu cemburu?” Willy semakin menjauh, menyembunyikan wajahnya. Willy masih membisu. Viona menatap Willy lebih dalam. Dia akhirnya paham, apa yang sedang bergemuruh dalam hati pria itu. “Will, sekarang Oskar menangani kasus ibu Mayang. Dari hasil rapat sebelumnya, Lia akan mendampingi Oskar.” Viona menjelaskan, masih menahan tawa. “Kenapa harus Lia, Mbak? Masih ada yang lain!” Viona kembal
Perubahan sikap Willy, akhirnya menjadi bahan gosip, Kikan, Via bersama rekan-rekannya. Tahun lalu, gosip itu sempat mencuat, namun akhirnya berlalu begitu saja. Namun, kini situasinya berbeda. Di kantin, saat jam makan siang, para wanita muda itu berkumpul di satu meja. Dan pastinya, topik hangat yang sedang mengudara, adalah Willy Samudera. Pria tampan, namun menyebalkan. “Kalian sudah tahu kan, gosip kemarin?” Via memulai siaran langsungnya. “Pastinya!” sahut Mia. “Oh iya. Aku kan belum lama di Rumah Bahagia. Aku penasaran saja, apa Mbak Camelia, juga ada hati pada Mas Willy? Atau hanya cinta bertepuk sebelah tangan?” ujar wanita yang paling muda, Yuni. Wanita lainnya tiba-tiba terdiam. Mereka saling menatap satu sama lain. “Iya, ya. Aku baru sadar, selama ini Mbak Lia, kelihatan tidak menanggapi sikap manis Mas Willy,” jelas Kikan. “Kalau aku sih, sebenarnya, gak setuju Mbak Lia dengan Mas Willy.” Via berubah serius. “Emang kenapa Mbak?” t
Kesibukan di Rumah Bahagia terus berlangsung tanpa henti. Tampak, seluruh senior consultant tengah rapat di ruangan Willy. Willy Samudera, adalah Direktur Rumah Bahagia saat ini. Rumah Bahagia sebenarnya bernama Relationship and Marriage Councelor. Namun, klien banyak menyebutnya Rumah Bahagia. Suasana rapat kelihatan sangat serius. Tapi, mendadak, seluruh perhatian tertuju pada bunyi ponsel Lia. “Maaf.” Camelia memberi isyarat, untuk mengangkat telepon di luar ruang rapat. “Iya Pak, ada apa?” Camelia baru menyadari, panggilan tersebut berasal dari Security apartemen-nya. “Siapa Pak?” Ekspresi Lia tiba-tiba berubah, panik. Dia seketika mematikan ponselnya, dan kembali ke ruang rapat. Dia mendekat dan berbisik pada Viona, dan kembali meninggalkan ruangan itu. Dia seperti memburu sesuatu. Dia lantas mengambil dompet dan kunci mobil, segera meninggalkan kantornya. Dipacunya mobil dengan kecepata
Matahari akhirnya memancarkan cahaya indah, menembus jendela kamar apartemen bercat kuning itu. Seluruh ornamen kediaman Camelia di dominasi warna kesukaannya, kuning. Meylani tampak sudah bangun, dengan wajah yang lebih segar. Istirahat, ternyata bisa memulihkan kondisinya. Dia kelihatan sibuk, di dapur kecil apartemen itu. Sedang Camelia, masih terlelap di karpet, samping tempat tidur. Meylani, menatap wajah sahabatnya yang terlihat sangat lelah. Bunyi alarm, tiba-tiba membuat gaduh. Membuat Camelia terbangun. Dia langsung mematikan suara berisik itu. “Mey?” Lia terkesiap, melihat keberadaan Mey di dapurnya, sepagi ini. Meylani membalas dengan senyuman. Alhamdulillah. Lia sangat bahagia, mendapati senyuman itu kembali. Dia lantas menuju kamar mandi membersihkan diri. Tak lama, dia kembali, duduk di meja makan. “Kamu enggak ke kantor, Li?” “Aku sepertinya ingin di apartemen saja, hari ini.” “Bukan karena aku,
Lia kembali ke apartemen-nya. Perasaan yang tak baik, pikiran kalut. Semuanya menjadi satu. Dia hanya berusaha terlihat baik di hadapan Meylani. Dia membuka pintu apartemen, dengan kunci cadangan yang dibawanya. Dia menilik keberadaan Mey. Makanan masih utuh! Lia mendapati, makanan di atas meja yang dia siapkan sebelum pergi tadi, ternyata belum di sentuh oleh Meylani. “Mey, kamu enggak apa-apa? Kenapa kamu belum makan?” Lia segera memeriksa kondisi Mey yang sedang berbaring di tempat tidur. “Mey, tanganmu dingin sekali. Kita ke rumah sakit, ya, aku khawatir.” Mey tidak menjawab. Lia tergopoh-gopoh. Diambilnya ponsel dan menghubungi seseorang. Dia menyiapkan seluruh keperluan Mey dan memasukkannya ke dalam ransel ukuran sedang, yang terpampang di atas almarinya. Dia dengan cepat, mengambil barang-barang penting yang dilihatnya. Lia dengan sigap membuka pintu, saat bel berbunyi. “Makasih, Pak. Bisa aku dibantu, membawa ini ke m
Suasana hening kembali tercipta. Di tempat itu, Lia dan Meylani sudah duduk berhadapan dengan Bilal. Pertemuan yang kembali menyiratkan kesedihan dari tatapan Lia, pun dengan Bilal. Sendu yang terus bergema menuruti perjalanan waktu tanpa suara. “Bi,” ucap Lia memulai disertai senyum. Lia memegang dadanya, dan berucap, “Di sini, adanya cinta. Adanya ketulusan. Bagaimanapun dia tersampaikan, dia akan tetap akan sampai ke tempat yang sama. Aku melihat kesempurnaan cinta ada di mata Mbak Linda. Sosok asisten dosen, yang lebih dulu kamu cintai. Aku benar kan, Bi?” Bilal menghela napas. Dia tidak menjawab pertanyaan Lia. “Jika aku bisa menyimpulkan, sebenarnya cintamu yang sebenarnya itu, untuk Mbak Linda, bukan aku!” “Li—“ “Mbak Linda sangat mencintaimu Bi. Aku tidak mungkin merenggut itu hanya karena alasan masa lalu. Dia mendampingimu selama dua belas tahun ini. Itu sudah cukup membuktikan bahwa dia adalah takdirmu. Tolong, jangan sakiti
Di meja saat makan malam. Hanan mencoba mencari waktu terbaik untuk memulai berbicara dengan Lia. Setelah makan malam, Hanan akhirnya memberanikan diri. “Kak, boleh Hanan bicara?” “Iya silakan.” “Kak, ini tentang Mas Willy.” “Iya Nan? Apa yang kamu ingin jelaskan? Aku sudah dengar semuanya!” “Apakah Kak Lia, merasa, semua kebaikan Mas Willy selama ini adalah kepalsuan?” Lia membisu. Dia seperti terpengaruh ucapan Hanan. Dia merenung. “Apakah pantas, kita menilai seseorang dari masa lalunya Kak? Apakah itu adil?” sambung Hanan. Lia masih diam. “Iya memang Kak, Mas Willy punya masa lalu kelam. Saya pun sama, Kak. Kami sama-sama tumbuh dari keluarga yang jauh dari agama. Tapi semakin dewasa, kami belajar banyak hal. Seperti saya banyak belajar dari Melati saat kuliah. Itupun terjadi pada Mas Willy selama mengenal Kak Lia di Rumah Bahagia. Saya menjadi saksi bagaimana Mas Willy belajar salat, belajar ngaji Kak. Saya
Dua hari berlalu, Lia sudah kembali ke apartemen. Namun, belum sejam, sebuah kabar buruk tiba-tiba menciptakan duka yang begitu dalam. Kabar kematian Baba, membuat Lia langsung mengganti pakaian dan bersama Leo dan Meylani menuju pemakaman. Tidak ada kalimat yang tercipta. Hanya tatapan kesedihan yang mengantarkan ketiganya ke lokasi pemakaman. Suasana pemakaman Baba menyiratkan duka yang begitu besar. Dia sosok yang sangat dikenal oleh seluruh mahasiswa. Terlihat banyak hati yang patah dengan kematian pria yang ramah dan baik hati itu. Di antara keramaian para pelayat, tampak Bilal dan Camelia yang berdiri sedikit berjarak, di antara Leo dan Meylani. Ke empat sahabat ini, tidak bisa melupakan kehadiran Baba dalam perjalanan mereka, saat masih di kampus. Pria tua itu, sudah seperti orang tua bagi mereka. Sesaat setelah pemakaman selesai, Mey dan Leo pamit pulang lebih awal. Tinggallah Lia dan Bilal yang masih berdiri di samping pusara Baba. Mereka ber
Pagi menjemput. Melati tampak lelah. Dia kelihatan tidak tidur dengan baik semalam. Tepat pukul tujuh pagi, Meylani sudah ada di apartemen. Keduanya jelas panik, akan reaksi Lia atas apa yang mereka sembunyikan. “Silahkan kalian ceritakan, apa yang seharusnya sejak dulu aku dengarkan!” Melati dan Meylani saling bertatapan. Mereka bingung memulai segalanya. Kemarahan Lia, sudah jelas hadir di matanya. “Kok malah diam?! Apa bagian kalian, aku tidak lagi penting?!” “Tidak begitu Li—“ “Silahkan Mey!” sambung Lia, sinis. Meylani menarik napas panjang. Dia memberi isyarat pada Melati, bahwa dia yang akan menceritakan segalanya. “Sebulan lalu saat aku dan Mas Leo ke Bandung, aku singgah di rumah Melati. etelah beberapa jam di sana, kami kedatangan tamu, istri Bilal.” Meylani terdiam. Lidahnya seperti terikat, begitu berat melanjutkan kalimatnya. Lia mengangkat wajahnya, menatap tajam. Meylani sadar tatapan itu. Dia ber
“Mbak Linda!!!” Lia terpaku. Jantungnya seperti berhenti bekerja. Dia seperti tidak percaya, wanita yang bersama Bilal, adalah wanita yang sangat dikenalnya. Wanita yang sebulan ini terus saja menganggu pikirannya dengan cerita hidupnya. Bilal? Apakah dia? Ya Allah… Lia terus bergumam. Linda menyambut Lia dengan senyuman. Sambutan yang tampak biasa. Padahal mereka terlibat dalam sebuah cerita yang sangat rumit. “Oh ya. Kita kenalan dulu dong,” ujar Meylani. “Lia, udah kenal dengan istri Bilal?” Lagi, Lia seperti tersambar petir. Dia merasakan badannya bergetar tak biasa. Detak jantungnya tak biasa. Linda menjulurkan tangan. “Linda Agustina Permana, Mbak Camelia,” ucapnya. Lia pun menyambut tangan itu, dengan ragu. “Wah, udah kenal ya?” tanya Meylani. “Siapa yang tidak kenal, psikolog terkenal, Mbak Camelia Zenia dari Rumah Bahagia!” Linda tersenyum, diikuti Mey. Lia justru semakin gelisah. Dia bingung mau bersikap baga
Lia tersentak. Cerita tentang kehilangan, selalu juga menghadirkan kepiluan yang sama besarnya. Dia berhenti menulis. Dia fokus menatap Linda, yang terlihat mulai larut dalam kesedihan. Ya Allah, aku tidak menyangka wanita ini menyimpan cerita duka yang amat dalam. “Musibah yang seketika menghancurkan semua impian keluarga kecil kami, Mbak.” Air mata Lia, mulai perlahan menunjukkan dirinya. Dia tidak bisa menahan kesedihan. “Saat itu, saya benar-benar hancur Mbak, hati ini kehilangan harapan. Saya sangat terpukul, dan nyaris kehilangan bayi saya.” “Saya menyaksikan duka yang sama dalam keluarga Mas Taufiq. Ibu mertua, sangat kehilangan suaminya. Rumah yang penuh kebahagiaan, seketika berubah jadi tanpa kehidupan.” Lia mulai menghapus bulir-bulir, yang membasahi pipinya. “Kehidupan kami kehilangan tujuan. Sampai akhirnya, orang tua saya datang menemui ibu mertua. Meminta kejelasan saya, yang sebentar lagi akan melahirkan. Orang
Belum jauh, mobil itu memasuki sebuah pom bensin. “Li, aku isi bensin dulu ya?” “Iya, Mas.” Mobil Willy akhirnya masuk ke dalam antrian yang cukup panjang sore itu. Tiga mobil di depan, sebuah mobil menarik perhatian Lia. Bukannya itu Bilal? Kok mobilnya seperti mobil Linda tempo hari? Lia membatin. “Lia, mau singgah di mini market?” Lia kaget. “Iya Mas, boleh!” Ingatan akan cerita Linda, kembali membawanya dalam lamunan. Dia mengetahui bahwa suaminya menyukai wanita lain. Dia menikah karena takdir? Ya Allah, mengapa cerita wanita itu seperti membawaku ke masa lalu? batin Lia. “Hei, kamu ke mana saja?” “Kamu rindu ya?” Pria muda itu malah tertawa lebar. “Kok malah tertawa gitu? Tinggal jawab saja, ya kan?” “Ehm, ya bisa dibilang begitu. Memangnya sepekan ini kamu ke mana?” “Ibu kurang sehat, jadi aku jagaian di rumah sakit.” “Kok gak ngabarin?” “Gak mau ganggu ujian kam
Hari baru. Pukul sembilan pagi, seorang wanita muda sudah menunggu di ruangan Camelia. Kikan menuju pantry dan mendapati Lia sedang menyeduh segelas kopi. “Mbak, pagi banget tamunya datang?” “Tamu?” “Iya, itu di ruangan Mbak.” “Oh iya? Mbak belum lihat.” “Wanita itu cantik banget Mbak. Kok datang ke Rumah Bahagia ya? Apakah dia juga tidak bahagia dengan pernikahannya?” Lia tidak menjawab. Dia hanya tersenyum, sambil mengaduk kopi hitam yang terus mengeluarkan kepulan asap. “Benar-benar ya Mbak. Tidak pernah ada yang bisa memastikan kebahagiaan. Wanita yang sempurna seperti wanita itu, pun, masih menemui masalah dalam pernikahan.” “Itulah kehidupan. Kita sudah diciptakan dengan perjalanan masing-masing. Jadi, mudah atau sulitnya hidup, tidak ditentukan oleh cantik tidaknya seseorang. Tapi karena Tuhan menganggap, bahwa itulah yang terbaik untuk menjadikan kita lebih baik.” Kikan tersenyum lebar. “Memang
Dalam perjalanan menuju apartemen, Lia tampak hanya terpaku, menatap kosong ke arah spion. Willy sesekali menoleh ke arah wanita itu. “Lia?” Suara Willy membuat Lia terjaga. “Iya Mas Will?” “Aku mau ngajak makan malam, bisa?” Lia melihat jam di tangannya. “Ini sudah jam lima sore, Mas. Kita akan dapat magrib di jalan.” “Aku punya tempat yang bersih dan punya musala yang nyaman. Sekalian makan malam di sana.” Lia menarik napas. “Oke, Mas Will.” Willy kembali tersenyum mendengar persetujuan Lia. Lalu lintas tampak sibuk sore menjelang magrib. Membuat perjalanan Lia dan Willy sedikit terhambat. Azan magrib berkumandang, membuat Willy mengubah rute, mencari masjid terdekat. “Li kita salat di sini saja ya, sebelum lanjut ke restoran.” “Oke.” Lia langsung turun dari mobil, menuju area tempat wudhu wanita. Beberapa saat berlalu, dia berjalan menapaki teras masjid yang sangat lapang, menuju titik pusat tempat salat. “Mb