“Enggak!! Aku gak menguntitmu!!” sergah Aina.
Aina berdecak sambil menatap Fakhri dengan kesal. Padahal tujuannya datang ke sini untuk menemui klien bukan menguntitnya.
“Jadi kamu penasaran dengan istriku?” Fakhri kembali bersuara.
Aina pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan makannya. Dia tidak berminat untuk berkenalan dengan istri kedua suaminya. Sudah cukup dia dihina semalam dan Aina tidak akan membiarkan suaminya terus merundungnya.
“Sayang … sini!!” Tiba-tiba Fakhri berseru dan kini sambil meminta Wulan mendekat. Wulan berdiri berjalan dengan gemulai ke arah Aina.
Wanita cantik berkulit putih bersih bak porselen dengan rambut hitam sepinggang sedang berdiri menatap Aina dengan sinis.
“Jadi ini istri yang sudah selingkuh di belakangmu sampai punya anak, Mas?” ucap Wulan. Fakhri tidak menjawab hanya melihat Aina dengan dingin.
Aina membalas tatapan sinis Wulan kemudian berdiri.
“Iya, benar sekali. Saya Aina dan Anda pasti Wulan. Wanita yang mau menjadi madu dalam pernikahan kami, kan?”
Wulan terbelalak kaget. Sementara Fakhri hanya diam tidak bereaksi.
“Apa katamu??” sergah Wulan.
Matanya membulat sempurna, ia mencondongkan dada dengan gemulai menatap Fakhri seolah meminta Fakhri membelanya. Fakhri menghela napas kemudian melihat Aina dengan tajam.
“Minta maaf, Aina!! Minta maaf padanya!!” titah Fakhri.
Aina terbelalak mendengar ucapan Fakhri. Dia tercengang mendengar suaminya berkata seperti itu. Dia tidak bersalah mengapa harus minta maaf. Bukankah semua yang ia katakan tadi benar.
“Memangnya salah ucapanku tadi? Bukankah benar dia istri keduamu, maduku, Mas?”
Fakhri berdecak, kini tatapannya semakin tajam ke Aina bagai ribuan pisau yang bersamaan menikam. Aina menelan saliva sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak mau!!”
Sontak Fakhri tercengang mendengar jawaban Aina. Wajahnya menegang dengan mata menyalang menatap Aina semakin tajam. Aina balas menatapnya.
“Aku tidak bersalah, untuk apa aku minta maaf?” tambah Aina.
Fakhri terkesima mendengar ucapan Aina. Ia tertawa sengau sambil menggelengkan kepala.
“Tidak bersalah katamu? Ngaca, Aina!! Ngaca!!” Fakhri mendekat hingga berdiri tak berjarak di depannya.
“Kamu yang membuat ini semua terjadi, jadi jangan memutar balik fakta. Kamu mau playing victim. Heh?”
Aina tidak menjawab. Ia sudah tahu akan ke arah mana percakapan suaminya kali ini.
“Wulan memang istri keduaku, tapi setidaknya dia tidak membohongiku seperti kamu. Lagipula dia mantan pacarku. Harusnya aku menikahinya dulu, bukan kamu!!” Kini Fakhri berkata sambil menyentil kening Aina dengan keras.
Aina meringis. Bukan sentilan Fakhri yang membuat Aina kesakitan, tapi ucapan Fakhri yang tajam telah mengiris ulu hatinya. Apa memang begini rasanya menjadi pendusta? Tak pernah bisa mendapat pengampunan apalagi hanya sekedar membela haknya.
“Udah, Mas. Lebih baik kita cari tempat lain saja. Males banget aku ketemu dia.” Wulan bersuara.
Fakhri mengangguk sambil menarik napas panjang. Kemudian tanpa berkata apa-apa, Fakhri mengajak Wulan berlalu pergi meninggalkan kafe tersebut.
Aina terdiam sambil menarik napas panjang. Kedua tangannya terkepal seakan sedang menahan amarah. Untung saja keadaan kafe itu masih sepi. Kalau tidak, dia pasti sangat malu. Aina duduk kembali ke tempatnya, menunduk sambil mencoba menata hatinya yang semakin berantakan.
Apa mungkin selamanya Fakhri tidak akan pernah memaafkannya? Padahal Aina ingin sekali duduk berdua, bicara dari hati ke hati dan menjelaskan semuanya. Namun, jangankah duduk berdua, melihatnya saja Fakhri seakan muak.
Lamunan Aina terinterupsi oleh bunyi dering ponselnya. Aina langsung meraih ponsel di tas dan melihat nomor klien yang menghubunginya tadi tertera di layar.
“Iya, Pak. Saya sudah di posisi,” jawab Aina dengan ramah.
Sebisa mungkin ia mengubah suasana hatinya. Ini proyek pertamanya setelah beberapa saat vakum karena harus menjaga Zafran sakit tempo hari.
“Iya, Bu Aina. Namun, sepertinya saya tidak bisa datang. Jadi biar bos saya langsung yang menemui Anda,” ujar suara di seberang.
Aina tercenung beberapa saat. Memang yang selama ini menghubunginya bukan pemilik perusahan itu. Namun, bagi Aina itu tak masalah. Toh dengan begitu dia bisa lebih mudah berkerja.
“Iya, Pak gak masalah. Saya akan tunggu.”
Aina sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponselnya dan bersiap menunggu siapa saja yang akan datang hari ini menemuinya.
“Aina … .” Sebuah suara memanggil Aina.
Perlahan Aina mendongak, matanya sontak bersiroboh dengan mata berwarna hazel di depannya. Aina mengerjap berulang, tertegun di tempatnya sambil menelan saliva.
“Masih ingat aku, Aina?” Kembali suara itu bertanya.
Aina tidak bersuara, tapi buru-buru menunduk. Bagaimana mungkin dia tidak mengingat pria di depannya ini? Pria yang pernah melalui malam panas bersamanya. Pria yang tanpa sengaja menumpahkan benihnya di rahim Aina. Pria yang selama ini selalu ingin dilupakan Aina.
“Ma—maaf … aku … aku sedang berjanji bertemu klien. Kita tidak seharusnya ---”
“Aku tahu, Aina.”
Alih-alih pergi menuruti keinginan Aina. Pria itu malah duduk di hadapan Aina. Aina terperanjat. Dengan mata membola ia menatap pria manis itu tanpa kedip. Seakan tahu tanya di mata Aina, pria itu kembali bersuara.
“Apa Pak Hasan tidak memberitahu jika aku klien yang kamu maksud itu?”
“Aku yang ingin memakai jasamu untuk membuat program di perusahaan milikku,” jelas Damar.Aina sontak membisu dan buru-buru menundukkan kepala. Damar Anggarda yang tak lain nama sosok pria di depannya ini hanya tersenyum sambil menatap Aina. Memang pernah terjadi sesuatu di antara mereka beberapa tahun lalu. Sayangnya Damar tidak pernah tahu apa yang dia lakukan telah membuat rumah tangga Aina retak.“Bagaimana kabar Fakhri?” Tiba-tiba Damar mengalihkan topik pembicaraan.Aina tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Damar memang sepupu jauh Fakhri. Dia tahu jika Aina menikah dengan Fakhri.“Lalu Zafran bagaimana? Dia sudah sekolah, belum?” Kembali Damar bertanya dan terdengar sangat tertarik untuk menanyakan kabar Zafran.“Iya. Zafran sudah sekolah. Semuanya … baik, kok.” Aina memutuskan untuk menjawab pertanyaannya.“Syukurlah. Sudah lama banget aku tidak kembali ke sini sehing
“Masuk rumah sakit? Rumah sakit mana?” tanya Aina.Rini mendengkus sambil berdecak kencang.“Aku akan kirim alamatnya. Buruan Mbak ke sini!!”Rini sudah mengakhiri panggilannya, sementara Aina bergegas melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Hampir satu jam perjalanan hingga akhirnya Aina tiba di sana. Ada Rini yang menyambutnya.“Gimana keadaan Ibu, Rin? Kenapa bisa kena serangan jantung?” berondong Aina.Rini terdiam sambil menatap tajam ke arah kakaknya. Aina melihat reaksinya dan menghentikan langkah.“Kenapa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?”Rini berdecak dan kini memicingkan mata sinis ke arah Aina.“Harusnya aku yang marah ke Mbak, bukan sebaliknya,” sergah Rini.Aina terkejut dengan ucapan Rini dan melihatnya dengan alis mengernyit. Rini menghela napas panjang, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Aina dengan kesal.“Ibu tahu kal
“Damar!! Kok … kamu di sini?” seru Aina.Dia terkejut saat melihat pria yang baru saja ditemuinya di kafe tadi pagi kembali berjumpa di rumah sakit. Damar tersenyum sambil menatap Aina dengan lembut.“Aku sedang menjengguk salah satu klien-ku. Kamu sendiri sedang apa?”Aina belum menjawab. Ia tampak ragu untuk berkata jujur, tapi tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Rini keluar menghampirinya.“Mbak, aku ke kantin dulu. Ibu sedang tidur, kok,” ujar Rini. Aina hanya mengangguk dan mengizinkan adiknya berlalu begitu saja.Kini Damar yang menatapnya dengan tajam.“Jadi ibumu yang sakit?” tebak Damar.Aina mengangguk sambil tersenyum. “Iya. I—ibu kena serangan jantung tadi pagi.”Damar terperangah kaget mendengarnya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran dan juga keterkejutan. Aina yakin jika pria di depannya ini tidak sedang bersandiwara.“Lalu &helli
“MAS!! MBAK!!! Kalian ngapain?” seru Rini.Rini yang baru saja datang dari kantin terkejut saat melihat interaksi aneh yang terjadi antara Fakhri dan Aina. Sesaat tadi Fakhri memang mengirim pesan ke Rini untuk menanyakan rumah sakit Bu Hani. Kebetulan dia sedang menemui klien dan berada tak jauh dari rumah sakit tersebut sehingga bisa segera datang.Fakhri melirik Rini sekilas. Ia melepaskan cengkraman tangannya di pipi Aina lalu tanpa berkata sepatah kata langsung masuk ke ruang rawat inap Bu Hani. Aina dan Rini sengaja tidak mengikuti Fakhri. Mereka berdiri diam di teras dengan saling pandang satu sama lain.“Mbak … Mbak baik-baik saja, kan?” cicit Rini penuh kekhawatiran.Aina tersenyum lebar sambil mengangguk, tapi mata bulatnya sudah berkaca dan itu tidak bisa disembunyikan dari Rini. Rini hanya diam memperhatikan. Sebenarnya apa yang terjadi antara Aina dan Fakhri? Selama ini, yang Rini tahu penikahan kakaknya adem ay
“Syukurlah, aku senang akhirnya kamu bisa meluangkan waktumu, Aina,” ujar Damar.Pagi itu Aina memang bertemu dengan Damar. Aina sudah memutuskan akan menerima job dari Damar. Memang sebenarnya ini tidak sejalan dengan hatinya, tapi kebutuhan hidup tidak bisa dicukupi jika menuruti kata hati. Apalagi Fakhri benar-benar melakukan ucapannya tempo hari.“Iya, aku pikir aku bisa membagi waktunya, Damar.” Terpaksa Aina beralasan, ia tidak mau Damar curiga saat dia tiba-tiba menerima kerjaan dari Damar.“Oke, gak masalah. Lalu kapan kamu mulai mengerjakannya?”Aina diam sesaat sambil mengaduk cappuccino pesanannya.“Besok juga gak papa. Aku akan ke kantormu untuk mencari tahu apa saja yang harus dilakukan.”Damar manggut-manggut mendengar jawaban Aina. Entah dilihat Aina atau tidak, mata hazel pria manis itu terus berbinar. Seakan sedang menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira.“Terus &
“Mas Fakhri … ,” seru Aina tertahan.Ia melihat Fakhri sedang berdiri terpaku menatap Zafran yang memeluk kakinya. Di sebelah Fakhri tampak Wulan sedang bergelayut manja. Wajah cantik Wulan terlihat masam dengan mata sinis menatap Zafran.Aina berjalan mendekat kemudian menarik Zafran yang masih memeluk kaki Fakhri. Mungkin dulu, Fakhri akan langsung menggendong Zafran dan mendaratkan banyak kecupan di wajah bocah laki-laki itu. Namun, tidak saat ini.“Zafran … ayo sini, Sayang!!!” pinta Aina.Ia berusaha melepas pelukan Zafran, tapi sepertinya bocah laki-laki itu semakin mempererat pelukannya.“Gak mau!! Aku mau sama Ayah, Bunda.”Aina berdecak, ia duduk bersimpuh sambil mencoba mengurai pelukan Zafran.“Sayang … Ayah masih ada kerjaan. Ayo, kita makan dulu, yuk!!”Zafran menggeleng. “Enggak. Aku udah gak lapar. Aku mau sama Ayah.”Zafran m
“Zafran, ayo makan dulu, Sayang!!” ucap Aina.Usai kepergian Fakhri tadi, Aina memutuskan pulang saja. Setiba di rumah, ia membujuk Zafran untuk makan. Namun, putra kecilnya itu terus memberi jawaban dengan gelengan kepala. Padahal, jelas-jelas saat perjalanan pulang tadi Zafran mengeluh kelaparan.“Sayang … ini makanan kesukaan Zafran. Spesial dibuatin Bunda tadi. Ayam kecap dengan telur puyuh. Yuk, buka mulutnya, Sayang.”Kembali Aina merayu putra kesayangannya untuk makan. Namun, lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menjadi jawabannya.“Zafran udah kenyang, Bunda.” Akhirnya Zafran bersuara setelah terdiam sejak tadi. Tentu saja jawaban Zafran membuat Aina terkejut.“Zafran belum makan sejak pulang dari sekolah. Kenapa sudah kenyang?”Tidak ada jawaban dari bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk sambil memeluk erat gulingnya. Aina tertegun melihatnya. Ia meletakkan sepiring nasi lengka
“Sayang banget. Cantik-cantik, tapi tukang selingkuh,” ujar Bu Wati.Aina tidak berkomentar. Entah siapa yang telah menyebar berita tentang rumah tangganya. Bisa jadi Bu Wati mendapatkannya dari Wulan. Bukankah suami Bu Wati salah satu karyawan dari perusahaan milik ayah Wulan.Aina menarik napas panjang, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung membalikkan badan. Bu Wati tercengang melihat reaksi Aina. Wanita bertubuh tambun itu mengejar Aina dan kini menarik lengan Aina.“Mbak, saya belum selesai ngomong. Kok ditinggal gitu aja, sih. Gak sopan banget.”Aina berdecak, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bu Wati.“Memangnya Bu Wati mau ngomong apa lagi? Toh saya sudah minta maaf. Ibu juga gak kenapa-napa, motornya juga baik-baik saja. Jadi apa lagi yang harus diomongin?”Bu Wati tersenyum kecut sambil menatap Aina dengan sinis. Aina menduga pasti wanita tambun ini kecewa karena ia tidak memberi jawaban y
“Wulan keguguran, Aina. Dia harus menjalani operasi kuretasi saat ini,” jelas Fakhri.Aina terdiam. Bibirnya terkatup rapat tak bisa berkata apa-apa. Entah apa yang dirasanya kali ini. Aina tidak pernah mengalami hal tersebut. Namun, dia tahu bagaimana rasanya menjadi seorang ibu dan sangat menyakitkan jika harus kehilangan calon bayi.“Aku … aku harus menemaninya beberapa hari ini. Maafkan aku, Aina … ,” imbuh Fakhri.Aina mengangguk sambil menarik napas panjang. Saat ini Wulan memang lebih membutuhkan Fakhri dan dia akan berbesar hati.“Iya, Mas. Gak papa. Aku paham, kok. Wulan pasti sangat kehilangan. Sampaikan salamku untuknya, ya.”Fakhri mengangguk kemudian sudah mengakhiri panggilannya. Aina tampak terdiam sambil menyimpan ponselnya. Ia tidak tahu apa yang sebenarnya menimpa Wulan semalam. Bisa jadi Wulan jatuh dengan sangat keras sehingga membuatnya keguguran.“Ada apa, Aina? Ap
“Ke Wulan malam ini? Memangnya ada apa, Mas?” tanya Aina.Ia penasaran mengapa tiba-tiba Fakhri ingin pergi. Kenapa juga isi pesan Wulan itu kini terbukti? Apa jangan-jangan Wulan sudah merencanakan hal ini?Fakhri tampak serba salah. Mata coklatnya kini menatap Aina dengan fokus. Ada banyak penyesalan di sana dan Aina bisa melihat dengan jelas.“Aku baru dapat telepon kalau Wulan terjatuh di kamar mandi dan pendarahan. Aku takut terjadi sesuatu dengan bayinya, Aina.”Aina terhenyak mendengar penjelasan dari Fakhri. Ia tahu Wulan sedang hamil muda dan hal yang baru saja dikatakan Fakhri itu sangat membahayakan kandungannya. Aina tidak bisa marah ataupun melarang Fakhri. Taruhannya adalah nyawa kali ini.Refleks kepala Aina mengangguk dengan mata yang terus fokus menatap Fakhri. Fakhri tersenyum lega sambil berhambur memeluk Aina. Aina hanya terdiam dalam dekapan suaminya. Sungguh dia tidak mau pria ini pergi, tapi di luar sa
“Kamu ingin aku berbohong?” sergah Wulan.Fakhri diam, mematikan laptopnya kemudian bangkit dan berjalan menuju Wulan. Ia duduk di sampingnya kemudian meraih tangan Wulan dan mencium punggung tangannya berulang kali. Wulan hanya terdiam, hatinya sudah meradang saat Fakhri menolak permintaannya. Namun, berangsur luluh ketika pria tampan itu merayunya.“Hanya sekali, kan. Selanjutnya aku tidak akan memintamu berbohong,” pinta Fakhri.Wulan belum berkomentar, tapi kepalanya perlahan mengangguk seakan mengiyakan permintaan Fakhri. Wulan memang sudah memberi seluruh hati dan tubuhnya untuk Fakhri. Jadi mana mungkin dia menolak permintaan Fakhri kali ini. Fakhri sontak tersenyum sambil mendekatkan wajah dan mengecup kening Wulan.“Sudah, yuk!! Kita pulang.”Wulan menurut. Tak lama mereka sudah berjalan beriringan keluar kantor. Mungkin kali ini Wulan akan menuruti permintaan Fakhri. Namun, dia punya rencana sendiri unt
“SIALAN!! Berengsek!!” maki Wulan.Aina hanya tersenyum mendengarnya. Tidak dia duga ucapannya barusan membuat Wulan marah. Dia kesal dengan madunya. Hari masih pagi, tapi sudah membuat ulah. Mungkin Wulan pikir, Aina akan diam saja dan tidak membalas, tapi dia salah besar.Tanpa menambahkan kata-kata lagi, Wulan langsung mengakhiri panggilannya. Dia melempar ponselnya ke sofa kemudian menyusul menghempaskan tubuhnya di sana.“Sialan!! Dia pikir, dia bisa menyaingiku. Tidak, Aina. Kamu salah besar. Aku akan membuat Fakhri hanya melihat ke arahku. Bukan kamu!!” geram Wulan.Wajah wanita cantik itu merah padam karena emosi dan hal ini benar-benar merusak moodnya pagi ini. Fakhri yang baru saja bangun dan keluar dari kamar tampak bingung melihat ulah Wulan. Ia mengernyitkan alis sambil berjalan menghampiri Wulan.“Kamu kenapa?” tanya Fakhri dengan polosnya.Wulan tidak menjawab malah melengos. Ia masih kesal
“Masa, sih?” Fakhri malah balik bertanya.Kini pria tampan itu juga mengendus tubuhnya sendiri. Kemudian tersenyum dengan cerianya dan menganggukkan kepala. Tentu saja ulah Fakhri membuat Wulan kesal. Dia sudah menduga jika seharian ini Fakhri menemui Aina. Sayangnya, Wulan tidak bisa menghubungi Bu Wati untuk mencari tahu. Wanita paruh baya itu sedang pulang kampung.“Iya, mirip parfum Aina.” Fakhri kembali berkomentar dan itu membuat Wulan semakin meradang.Matanya menatap tajam Fakhri dengan tampang cemberut dan bibir maju beberapa senti.“Tadi aku memang bertemu banyak klien dan salah satunya wanita. Mungkin parfum mereka yang mirip dengan milik Aina,” jelas Fakhri dan kali ini dia terpaksa berbohong.Fakhri sengaja tidak berkata jujur kali ini. Dia malas berdebat dengan Wulan. Sebisa mungkin dia ingin menciptakan suasana kondusif dengan istri keduanya itu. Sehingga jika usai Wulan melahirkan, ia tidak kesuli
“Mas Fakhri … ,” desis Aina.Aina sangat terkejut saat melihat Fakhri kembali datang dan sedang berdiri di depannya. Parahnya lagi ia sedang bertanya sesuatu yang kebingungan ia jawab. Apa mungkin Fakhri mendengar pembicaraannya dengan Damar?“Kok gak dijawab? Kalian sedang merahasiakan sesuatu dariku?” Fakhri kembali bersuara.Bahkan ia sudah berjalan masuk dan berdiri di depan Aina serta Damar sambil melipat tangan. Aina menatap Fakhri dengan gugup. Ia harap suaminya tidak melihat ekspresi wajahnya kali ini. Aina takut jika Fakhri marah dan kembali berulah yang menyeramkan.“Semalam kami menemui klien di rooftop resto dan aku tidak tahu jika Aina takut ketinggian. Itu sebabnya aku minta maaf.” Damar spontan menjawab dan Aina berharap Fakhri mau menerima penjelasannya.Fakhri masih diam dan kini melihat Aina dengan sudut matanya.“Kenapa kamu tidak bilang, Aina?”Aina kembali ter
“Loh, Mas ini bukan dokter langgananku? Apa gak masalah?” tanya Aina.Mereka sudah berada di rumah sakit dan hendak bertemu dengan dokter teman Robby tadi. Fakhri tersenyum sambil mengelus lembut lengan Aina.“Iya, gak papa. Dokter ini yang menangani Wulan. Kemarin saat mengantarnya kontrol, aku lihat dia sangat teliti memeriksanya. Jadi kamu coba dulu saja. Kalau tidak cocok, boleh pindah ke dokter langgananmu.”Aina hanya diam sambil berulang menelan ludah. Entah mengapa ada sedikit rasa sakit, saat Fakhri berkata tentang Wulan. Sepertinya Fakhri memang benar-benar memainkan perannya sebagai pelaku poligami yang baik. Bisa jadi juga dia sangat perhatian seperti ini jika bersama Wulan.Helaan napas panjang keluar dengan spontan dari bibir Aina dan sepertinya hal itu dilihat Fakhri. Fakhri tersenyum kemudian merengkuh Aina dalam pelukannya. Dengan lembut, Fakhri membimbingnya masuk ke dalam ruangan dokter.Dokter tersebut me
“Bunda!! Bunda gak bangun!!!” seru Zafran dari luar kamar.Aina sontak membuka mata dan melirik jam di dinding kamarnya. Sudah pukul enam pagi dan sepertinya dia sedikit kesiangan. Gara-gara kejadian semalam membuat Aina merasa lelah dan malas beraktivitas hari ini.“Eng … iya, Sayang. Bunda sudah bangun,” jawab Aina.Tak lama terdengar suara pintu dibuka bersamaan dengan Zafran yang berhambur masuk ke dalam kamar. Aina langsung tersenyum. Ia duduk di tepi kasur sambil menyambut pelukan Zafran.“Bunda kenapa? Sakit?” Kembali Zafran bertanya.Aina terdiam, tapi dia segera berdiri dan melihat pantulan dirinya di depan cermin. Wajahnya tampak pucat, ada lingkaran hitam di bawah matanya belum lagi rambut hitamnya yang tampak berantakan. Gara-gara kejadian semalam membuat Aina tak karuan.“Kalau Bunda sakit mending libur dulu. Zafran telepon Ayah, ya?”Aina sontak tercengang dan mengge
“DAMAR!!!” sentak Aina.Ia mendorong tubuh Damar sambil mengurai paksa pagutan pria manis itu. Wajah Aina menegang, matanya berair dengan bibir yang bergetar. Sementara Damar hanya diam, wajahnya terlihat datar, tapi matanya sedang menunjukkan penyesalan.“Maaf, Aina. Aku hanya ---”Damar tidak meneruskan kalimatnya karena Aina sudah membalikkan badan dan berlarian masuk ke dalam rumah. Hanya helaan napas yang keluar dari bibir pria manis itu diiringi lanjutan kata-kata.“Aku hanya sedang menunjukkan perasaanku,” lirih Damar.Sementara itu, Aina langsung masuk ke dalam kamar. Tidak dia hiraukan tatapan kebingungan Bi Isa yang membukakan pintu untuknya. Wanita cantik itu langsung menghempaskan tubuhnya ke kasur dan berurai air mata di sana.“Maafkan aku, Mas. Maafkan aku Mas Fakhri,” cicit Aina.Entah mengapa kejadian hari ini benar-benar menguras emosinya. Siang tadi Fakhri menemuinya da