“Enggak!! Aku gak menguntitmu!!” sergah Aina.
Aina berdecak sambil menatap Fakhri dengan kesal. Padahal tujuannya datang ke sini untuk menemui klien bukan menguntitnya.
“Jadi kamu penasaran dengan istriku?” Fakhri kembali bersuara.
Aina pura-pura tidak mendengar dan melanjutkan makannya. Dia tidak berminat untuk berkenalan dengan istri kedua suaminya. Sudah cukup dia dihina semalam dan Aina tidak akan membiarkan suaminya terus merundungnya.
“Sayang … sini!!” Tiba-tiba Fakhri berseru dan kini sambil meminta Wulan mendekat. Wulan berdiri berjalan dengan gemulai ke arah Aina.
Wanita cantik berkulit putih bersih bak porselen dengan rambut hitam sepinggang sedang berdiri menatap Aina dengan sinis.
“Jadi ini istri yang sudah selingkuh di belakangmu sampai punya anak, Mas?” ucap Wulan. Fakhri tidak menjawab hanya melihat Aina dengan dingin.
Aina membalas tatapan sinis Wulan kemudian berdiri.
“Iya, benar sekali. Saya Aina dan Anda pasti Wulan. Wanita yang mau menjadi madu dalam pernikahan kami, kan?”
Wulan terbelalak kaget. Sementara Fakhri hanya diam tidak bereaksi.
“Apa katamu??” sergah Wulan.
Matanya membulat sempurna, ia mencondongkan dada dengan gemulai menatap Fakhri seolah meminta Fakhri membelanya. Fakhri menghela napas kemudian melihat Aina dengan tajam.
“Minta maaf, Aina!! Minta maaf padanya!!” titah Fakhri.
Aina terbelalak mendengar ucapan Fakhri. Dia tercengang mendengar suaminya berkata seperti itu. Dia tidak bersalah mengapa harus minta maaf. Bukankah semua yang ia katakan tadi benar.
“Memangnya salah ucapanku tadi? Bukankah benar dia istri keduamu, maduku, Mas?”
Fakhri berdecak, kini tatapannya semakin tajam ke Aina bagai ribuan pisau yang bersamaan menikam. Aina menelan saliva sambil menggelengkan kepala.
“Aku tidak mau!!”
Sontak Fakhri tercengang mendengar jawaban Aina. Wajahnya menegang dengan mata menyalang menatap Aina semakin tajam. Aina balas menatapnya.
“Aku tidak bersalah, untuk apa aku minta maaf?” tambah Aina.
Fakhri terkesima mendengar ucapan Aina. Ia tertawa sengau sambil menggelengkan kepala.
“Tidak bersalah katamu? Ngaca, Aina!! Ngaca!!” Fakhri mendekat hingga berdiri tak berjarak di depannya.
“Kamu yang membuat ini semua terjadi, jadi jangan memutar balik fakta. Kamu mau playing victim. Heh?”
Aina tidak menjawab. Ia sudah tahu akan ke arah mana percakapan suaminya kali ini.
“Wulan memang istri keduaku, tapi setidaknya dia tidak membohongiku seperti kamu. Lagipula dia mantan pacarku. Harusnya aku menikahinya dulu, bukan kamu!!” Kini Fakhri berkata sambil menyentil kening Aina dengan keras.
Aina meringis. Bukan sentilan Fakhri yang membuat Aina kesakitan, tapi ucapan Fakhri yang tajam telah mengiris ulu hatinya. Apa memang begini rasanya menjadi pendusta? Tak pernah bisa mendapat pengampunan apalagi hanya sekedar membela haknya.
“Udah, Mas. Lebih baik kita cari tempat lain saja. Males banget aku ketemu dia.” Wulan bersuara.
Fakhri mengangguk sambil menarik napas panjang. Kemudian tanpa berkata apa-apa, Fakhri mengajak Wulan berlalu pergi meninggalkan kafe tersebut.
Aina terdiam sambil menarik napas panjang. Kedua tangannya terkepal seakan sedang menahan amarah. Untung saja keadaan kafe itu masih sepi. Kalau tidak, dia pasti sangat malu. Aina duduk kembali ke tempatnya, menunduk sambil mencoba menata hatinya yang semakin berantakan.
Apa mungkin selamanya Fakhri tidak akan pernah memaafkannya? Padahal Aina ingin sekali duduk berdua, bicara dari hati ke hati dan menjelaskan semuanya. Namun, jangankah duduk berdua, melihatnya saja Fakhri seakan muak.
Lamunan Aina terinterupsi oleh bunyi dering ponselnya. Aina langsung meraih ponsel di tas dan melihat nomor klien yang menghubunginya tadi tertera di layar.
“Iya, Pak. Saya sudah di posisi,” jawab Aina dengan ramah.
Sebisa mungkin ia mengubah suasana hatinya. Ini proyek pertamanya setelah beberapa saat vakum karena harus menjaga Zafran sakit tempo hari.
“Iya, Bu Aina. Namun, sepertinya saya tidak bisa datang. Jadi biar bos saya langsung yang menemui Anda,” ujar suara di seberang.
Aina tercenung beberapa saat. Memang yang selama ini menghubunginya bukan pemilik perusahan itu. Namun, bagi Aina itu tak masalah. Toh dengan begitu dia bisa lebih mudah berkerja.
“Iya, Pak gak masalah. Saya akan tunggu.”
Aina sudah mengakhiri panggilannya. Ia menyimpan ponselnya dan bersiap menunggu siapa saja yang akan datang hari ini menemuinya.
“Aina … .” Sebuah suara memanggil Aina.
Perlahan Aina mendongak, matanya sontak bersiroboh dengan mata berwarna hazel di depannya. Aina mengerjap berulang, tertegun di tempatnya sambil menelan saliva.
“Masih ingat aku, Aina?” Kembali suara itu bertanya.
Aina tidak bersuara, tapi buru-buru menunduk. Bagaimana mungkin dia tidak mengingat pria di depannya ini? Pria yang pernah melalui malam panas bersamanya. Pria yang tanpa sengaja menumpahkan benihnya di rahim Aina. Pria yang selama ini selalu ingin dilupakan Aina.
“Ma—maaf … aku … aku sedang berjanji bertemu klien. Kita tidak seharusnya ---”
“Aku tahu, Aina.”
Alih-alih pergi menuruti keinginan Aina. Pria itu malah duduk di hadapan Aina. Aina terperanjat. Dengan mata membola ia menatap pria manis itu tanpa kedip. Seakan tahu tanya di mata Aina, pria itu kembali bersuara.
“Apa Pak Hasan tidak memberitahu jika aku klien yang kamu maksud itu?”
“Aku yang ingin memakai jasamu untuk membuat program di perusahaan milikku,” jelas Damar.Aina sontak membisu dan buru-buru menundukkan kepala. Damar Anggarda yang tak lain nama sosok pria di depannya ini hanya tersenyum sambil menatap Aina. Memang pernah terjadi sesuatu di antara mereka beberapa tahun lalu. Sayangnya Damar tidak pernah tahu apa yang dia lakukan telah membuat rumah tangga Aina retak.“Bagaimana kabar Fakhri?” Tiba-tiba Damar mengalihkan topik pembicaraan.Aina tidak menjawab hanya menganggukkan kepala. Damar memang sepupu jauh Fakhri. Dia tahu jika Aina menikah dengan Fakhri.“Lalu Zafran bagaimana? Dia sudah sekolah, belum?” Kembali Damar bertanya dan terdengar sangat tertarik untuk menanyakan kabar Zafran.“Iya. Zafran sudah sekolah. Semuanya … baik, kok.” Aina memutuskan untuk menjawab pertanyaannya.“Syukurlah. Sudah lama banget aku tidak kembali ke sini sehing
“Masuk rumah sakit? Rumah sakit mana?” tanya Aina.Rini mendengkus sambil berdecak kencang.“Aku akan kirim alamatnya. Buruan Mbak ke sini!!”Rini sudah mengakhiri panggilannya, sementara Aina bergegas melajukan mobilnya menuju rumah sakit. Hampir satu jam perjalanan hingga akhirnya Aina tiba di sana. Ada Rini yang menyambutnya.“Gimana keadaan Ibu, Rin? Kenapa bisa kena serangan jantung?” berondong Aina.Rini terdiam sambil menatap tajam ke arah kakaknya. Aina melihat reaksinya dan menghentikan langkah.“Kenapa? Kenapa kamu melihatku seperti itu?”Rini berdecak dan kini memicingkan mata sinis ke arah Aina.“Harusnya aku yang marah ke Mbak, bukan sebaliknya,” sergah Rini.Aina terkejut dengan ucapan Rini dan melihatnya dengan alis mengernyit. Rini menghela napas panjang, melipat tangannya di depan dada sambil menatap Aina dengan kesal.“Ibu tahu kal
“Damar!! Kok … kamu di sini?” seru Aina.Dia terkejut saat melihat pria yang baru saja ditemuinya di kafe tadi pagi kembali berjumpa di rumah sakit. Damar tersenyum sambil menatap Aina dengan lembut.“Aku sedang menjengguk salah satu klien-ku. Kamu sendiri sedang apa?”Aina belum menjawab. Ia tampak ragu untuk berkata jujur, tapi tiba-tiba pintu ruangan terbuka dan Rini keluar menghampirinya.“Mbak, aku ke kantin dulu. Ibu sedang tidur, kok,” ujar Rini. Aina hanya mengangguk dan mengizinkan adiknya berlalu begitu saja.Kini Damar yang menatapnya dengan tajam.“Jadi ibumu yang sakit?” tebak Damar.Aina mengangguk sambil tersenyum. “Iya. I—ibu kena serangan jantung tadi pagi.”Damar terperangah kaget mendengarnya. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran dan juga keterkejutan. Aina yakin jika pria di depannya ini tidak sedang bersandiwara.“Lalu &helli
“MAS!! MBAK!!! Kalian ngapain?” seru Rini.Rini yang baru saja datang dari kantin terkejut saat melihat interaksi aneh yang terjadi antara Fakhri dan Aina. Sesaat tadi Fakhri memang mengirim pesan ke Rini untuk menanyakan rumah sakit Bu Hani. Kebetulan dia sedang menemui klien dan berada tak jauh dari rumah sakit tersebut sehingga bisa segera datang.Fakhri melirik Rini sekilas. Ia melepaskan cengkraman tangannya di pipi Aina lalu tanpa berkata sepatah kata langsung masuk ke ruang rawat inap Bu Hani. Aina dan Rini sengaja tidak mengikuti Fakhri. Mereka berdiri diam di teras dengan saling pandang satu sama lain.“Mbak … Mbak baik-baik saja, kan?” cicit Rini penuh kekhawatiran.Aina tersenyum lebar sambil mengangguk, tapi mata bulatnya sudah berkaca dan itu tidak bisa disembunyikan dari Rini. Rini hanya diam memperhatikan. Sebenarnya apa yang terjadi antara Aina dan Fakhri? Selama ini, yang Rini tahu penikahan kakaknya adem ay
“Syukurlah, aku senang akhirnya kamu bisa meluangkan waktumu, Aina,” ujar Damar.Pagi itu Aina memang bertemu dengan Damar. Aina sudah memutuskan akan menerima job dari Damar. Memang sebenarnya ini tidak sejalan dengan hatinya, tapi kebutuhan hidup tidak bisa dicukupi jika menuruti kata hati. Apalagi Fakhri benar-benar melakukan ucapannya tempo hari.“Iya, aku pikir aku bisa membagi waktunya, Damar.” Terpaksa Aina beralasan, ia tidak mau Damar curiga saat dia tiba-tiba menerima kerjaan dari Damar.“Oke, gak masalah. Lalu kapan kamu mulai mengerjakannya?”Aina diam sesaat sambil mengaduk cappuccino pesanannya.“Besok juga gak papa. Aku akan ke kantormu untuk mencari tahu apa saja yang harus dilakukan.”Damar manggut-manggut mendengar jawaban Aina. Entah dilihat Aina atau tidak, mata hazel pria manis itu terus berbinar. Seakan sedang menunjukkan kebahagiaan yang tak terkira.“Terus &
“Mas Fakhri … ,” seru Aina tertahan.Ia melihat Fakhri sedang berdiri terpaku menatap Zafran yang memeluk kakinya. Di sebelah Fakhri tampak Wulan sedang bergelayut manja. Wajah cantik Wulan terlihat masam dengan mata sinis menatap Zafran.Aina berjalan mendekat kemudian menarik Zafran yang masih memeluk kaki Fakhri. Mungkin dulu, Fakhri akan langsung menggendong Zafran dan mendaratkan banyak kecupan di wajah bocah laki-laki itu. Namun, tidak saat ini.“Zafran … ayo sini, Sayang!!!” pinta Aina.Ia berusaha melepas pelukan Zafran, tapi sepertinya bocah laki-laki itu semakin mempererat pelukannya.“Gak mau!! Aku mau sama Ayah, Bunda.”Aina berdecak, ia duduk bersimpuh sambil mencoba mengurai pelukan Zafran.“Sayang … Ayah masih ada kerjaan. Ayo, kita makan dulu, yuk!!”Zafran menggeleng. “Enggak. Aku udah gak lapar. Aku mau sama Ayah.”Zafran m
“Zafran, ayo makan dulu, Sayang!!” ucap Aina.Usai kepergian Fakhri tadi, Aina memutuskan pulang saja. Setiba di rumah, ia membujuk Zafran untuk makan. Namun, putra kecilnya itu terus memberi jawaban dengan gelengan kepala. Padahal, jelas-jelas saat perjalanan pulang tadi Zafran mengeluh kelaparan.“Sayang … ini makanan kesukaan Zafran. Spesial dibuatin Bunda tadi. Ayam kecap dengan telur puyuh. Yuk, buka mulutnya, Sayang.”Kembali Aina merayu putra kesayangannya untuk makan. Namun, lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menjadi jawabannya.“Zafran udah kenyang, Bunda.” Akhirnya Zafran bersuara setelah terdiam sejak tadi. Tentu saja jawaban Zafran membuat Aina terkejut.“Zafran belum makan sejak pulang dari sekolah. Kenapa sudah kenyang?”Tidak ada jawaban dari bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk sambil memeluk erat gulingnya. Aina tertegun melihatnya. Ia meletakkan sepiring nasi lengka
“Sayang banget. Cantik-cantik, tapi tukang selingkuh,” ujar Bu Wati.Aina tidak berkomentar. Entah siapa yang telah menyebar berita tentang rumah tangganya. Bisa jadi Bu Wati mendapatkannya dari Wulan. Bukankah suami Bu Wati salah satu karyawan dari perusahaan milik ayah Wulan.Aina menarik napas panjang, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung membalikkan badan. Bu Wati tercengang melihat reaksi Aina. Wanita bertubuh tambun itu mengejar Aina dan kini menarik lengan Aina.“Mbak, saya belum selesai ngomong. Kok ditinggal gitu aja, sih. Gak sopan banget.”Aina berdecak, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bu Wati.“Memangnya Bu Wati mau ngomong apa lagi? Toh saya sudah minta maaf. Ibu juga gak kenapa-napa, motornya juga baik-baik saja. Jadi apa lagi yang harus diomongin?”Bu Wati tersenyum kecut sambil menatap Aina dengan sinis. Aina menduga pasti wanita tambun ini kecewa karena ia tidak memberi jawaban y
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd