“Mas Fakhri … ,” seru Aina tertahan.
Ia melihat Fakhri sedang berdiri terpaku menatap Zafran yang memeluk kakinya. Di sebelah Fakhri tampak Wulan sedang bergelayut manja. Wajah cantik Wulan terlihat masam dengan mata sinis menatap Zafran.
Aina berjalan mendekat kemudian menarik Zafran yang masih memeluk kaki Fakhri. Mungkin dulu, Fakhri akan langsung menggendong Zafran dan mendaratkan banyak kecupan di wajah bocah laki-laki itu. Namun, tidak saat ini.
“Zafran … ayo sini, Sayang!!!” pinta Aina.
Ia berusaha melepas pelukan Zafran, tapi sepertinya bocah laki-laki itu semakin mempererat pelukannya.
“Gak mau!! Aku mau sama Ayah, Bunda.”
Aina berdecak, ia duduk bersimpuh sambil mencoba mengurai pelukan Zafran.
“Sayang … Ayah masih ada kerjaan. Ayo, kita makan dulu, yuk!!”
Zafran menggeleng. “Enggak. Aku udah gak lapar. Aku mau sama Ayah.”
Zafran m
“Zafran, ayo makan dulu, Sayang!!” ucap Aina.Usai kepergian Fakhri tadi, Aina memutuskan pulang saja. Setiba di rumah, ia membujuk Zafran untuk makan. Namun, putra kecilnya itu terus memberi jawaban dengan gelengan kepala. Padahal, jelas-jelas saat perjalanan pulang tadi Zafran mengeluh kelaparan.“Sayang … ini makanan kesukaan Zafran. Spesial dibuatin Bunda tadi. Ayam kecap dengan telur puyuh. Yuk, buka mulutnya, Sayang.”Kembali Aina merayu putra kesayangannya untuk makan. Namun, lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menjadi jawabannya.“Zafran udah kenyang, Bunda.” Akhirnya Zafran bersuara setelah terdiam sejak tadi. Tentu saja jawaban Zafran membuat Aina terkejut.“Zafran belum makan sejak pulang dari sekolah. Kenapa sudah kenyang?”Tidak ada jawaban dari bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk sambil memeluk erat gulingnya. Aina tertegun melihatnya. Ia meletakkan sepiring nasi lengka
“Sayang banget. Cantik-cantik, tapi tukang selingkuh,” ujar Bu Wati.Aina tidak berkomentar. Entah siapa yang telah menyebar berita tentang rumah tangganya. Bisa jadi Bu Wati mendapatkannya dari Wulan. Bukankah suami Bu Wati salah satu karyawan dari perusahaan milik ayah Wulan.Aina menarik napas panjang, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung membalikkan badan. Bu Wati tercengang melihat reaksi Aina. Wanita bertubuh tambun itu mengejar Aina dan kini menarik lengan Aina.“Mbak, saya belum selesai ngomong. Kok ditinggal gitu aja, sih. Gak sopan banget.”Aina berdecak, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bu Wati.“Memangnya Bu Wati mau ngomong apa lagi? Toh saya sudah minta maaf. Ibu juga gak kenapa-napa, motornya juga baik-baik saja. Jadi apa lagi yang harus diomongin?”Bu Wati tersenyum kecut sambil menatap Aina dengan sinis. Aina menduga pasti wanita tambun ini kecewa karena ia tidak memberi jawaban y
“Zafran badannya panas, Bu. Tadi juga muntah usai makan nasi goreng,” jawab Bi Isa.Aina menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Ia tidak berharap Zafran jatuh sakit hari ini. Namun, bisa jadi sakit Zafran bukan karena fisiknya. Bocah kecil itu sudah bisa merasakan ada yang berubah dalam hidupnya. Sekali lagi Aina merasa yang paling bersalah.“Iya, Bi. Habis ini saya langsung pulang. Tolong, jaga Zafran sebentar, ya!!”Bi Isa sudah mengakhiri panggilannya bersamaan Damar yang masuk ke ruangan sambil membawa beberapa berkas.“Ini berkas kontrak kerjanya, Aina. Kamu bisa menandatangani di sini,” pinta Damar.Aina mengangguk, tanpa membaca dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Damar hanya diam memperhatikan. Ekspresi Aina berbeda dengan beberapa saat tadi. Wajahnya terlihat gelisah dan gerakannya tampak tergesa, seakan tak sabar untuk segera pergi dari tempat ini.“Apa semuanya baik-baik
“Pulang??? Fakhri sudah berada di rumahnya, Aina,” jawab Wulan.Aina hanya membisu di seberang sana. Dia sangat terkejut saat mencoba menghubungi Fakhri malah Wulan yang menjawab teleponnya.“Eng … maaf, Wulan. Boleh aku bicara sebentar dengan Mas Fakhri?” Tepat seperti keputusan Aina tadi, ia akan melakukan apa saja agar Fakhri mau menemui Zafran hari ini. Termasuk memohon dan merendahkan diri seperti ini.“Tidak!! Mas Fakhri sibuk.” Wulan menjawab dengan cepat dan ketus.Aina menghela napas panjang sambil menyugar rambut hitamnya. Ia sudah tahu jika akan mendapat jawaban seperti itu dari Wulan. Apalagi saat pertemuan pertama mereka tempo hari, Aina sudah menyulut genderang perang.“Tolong, Wulan. Aku hanya bicara sebentar tidak sampai lima menit.” Aina sudah memohon kali ini.“Sekali tidak ya, tidak. Apa kamu tidak tahu arti kata tidak?”Aina terdiam, menelan ludah s
“Mas … aku mohon, sekali ini saja,” tutur Aina.Ia tidak peduli dengan tatapan penuh ejekan Fakhri ke arahnya. Kali ini yang terpenting bagi Aina adalah Zafran. Fakhri menarik mundur dirinya dan terdiam lama menatap Aina. Ia pikir Aina akan marah atau membalas ucapan kasarnya, tapi nyatanya tidak.Aina melihat reaksi Fakhri. Ia tahu suaminya seorang pria penyayang, ayah yang baik dan penuh kasih. Pasti sisi hati Fakhri yang paling dalam tidak menginginkan semua ini. Aina yakin Fakhri juga rindu pada Zafran. Hanya karena ego mereka, semuanya seperti ini.Perlahan tangan Aina terulur dan menyentuh tangan Fakhri. Tangan yang hampir tiga bulan ini tidak disentuhnya. Aina tertegun saat Fakhri tidak menepis tangannya seperti kala itu. Tangan pria ini masih sama hangatnya seperti dulu. Sungguh, Aina sangat merindukan semua sentuhannya.“Pulang sebentar ya, Mas. Hanya lima menit pun tak masalah,” bujuk Aina.Fakhri tidak menj
“Tunggu, Mas!! Aku mohon … ,” seru Aina.Wulan sudah lebih dulu menyeret tangan Aina untuk keluar dari ruangan Fakhri. Aina berontak, tapi cekalan Wulan lebih erat mencengkram pergelangan tangannya.“Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Mas Fakhri, Aina!!” sentak Wulan.Aina hanya diam, menatap Wulan dengan tajam. Ia mendengar dengan jelas apa ucapan suaminya, tapi Aina sudah berjanji ke Zafran untuk membawa pulang ayahnya. Dan dia tidak mau mengecewakan putra kesayangannya itu.“DENGAR!! Aku tahu kamu ingin menemui Mas Fakhri, tapi dia juga punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, Aina.”Kembali Wulan bersuara. Entah dia berkata dengan sungguh-sungguh atau berkata seperti itu hanya untuk mengusir Aina. Aina tidak menjawab, hanya melirik Wulan sekilas kemudian dengan langkah gontai berjalan pergi meninggalkan ruangan Fakhri.Wulan tersenyum menyeringai kemudian berjalan masuk ke ruangan Fakhri.
“Zafran kejang, Bu. Saya takut ---”Belum sempat Bi Isa meneruskan kalimat, Aina sudah mengakhiri panggilannya. Ia berjalan cepat menuju mobil kemudian melajukannya dengan kecepatan penuh. Tidak sampai tiga puluh menit, Aina sudah tiba di rumah.“Mana Zafran, Bi?” seru Aina begitu turun dari mobil.Bi Isa tergopoh keluar dari dalam kamar. Ada Mang Samin yang menggendong Zafran.“Buruan, masukkan ke mobil!! Kita ke rumah sakit!!”Aina langsung melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ada Bi Isa dan Mang Samin duduk di belakang. Ia seperti orang yang kesetanan bahkan berulang kali menerobos lampu lalu lintas yang menyala merah.“Bu, hati-hati, Bu!!” seru Mang Samin dari belakang.Aina hanya mengangguk sambil terus fokus menatap lalu lintas sore itu yang semakin padat. Pukul enam petang saat Aina tiba di rumah sakit. Ia berlarian dengan Mang Samin dan Bi Isa di sampingnya.“Suster!! Tolong anak saya!!” seru Aina
“Bibi dan Mang Samin pulang saja. Biar saya yang jaga Zafran,” pinta Aina.Usai dipindahkan ke kamar rawat inap keadaan Zafran sudah stabil. Itu sebabnya Aina meminta Bi Isa dan Mang Samin pulang.“Iya, Bu. Besok pagi-pagi saya akan datang membawakan baju dan makanan buat Ibu,” ujar Bi Isa.Aina tersenyum sambil menganggukkan kepala. Bi Isa dan Mang Samin berpamitan pulang meninggalkan Aina seorang diri. Aina melirik ke arah brankar tempat Zafran terbaring. Bocah itu masih terlelap di sana.Tanpa diminta terlintas ingatan beberapa bulan lalu, saat Zafran masuk rumah sakit yang sama karena sakit demam berdarah. Ada Fakhri yang ikut menemani Aina. Bahkan suaminya memilih menginap di rumah sakit dan berangkat kerja dari sana. Fakhri juga sengaja membawa pekerjaannya ke rumah sakit sambil mengawasi Zafran. Lalu kalau malam tiba, Fakhri yang menjaga dan mengizinkan Aina terlelap dalam pangkuannya.Aina mendongak menahan buliran bening yang sudah berkump
“Bibi dan Mang Samin pulang saja. Biar saya yang jaga Zafran,” pinta Aina.Usai dipindahkan ke kamar rawat inap keadaan Zafran sudah stabil. Itu sebabnya Aina meminta Bi Isa dan Mang Samin pulang.“Iya, Bu. Besok pagi-pagi saya akan datang membawakan baju dan makanan buat Ibu,” ujar Bi Isa.Aina tersenyum sambil menganggukkan kepala. Bi Isa dan Mang Samin berpamitan pulang meninggalkan Aina seorang diri. Aina melirik ke arah brankar tempat Zafran terbaring. Bocah itu masih terlelap di sana.Tanpa diminta terlintas ingatan beberapa bulan lalu, saat Zafran masuk rumah sakit yang sama karena sakit demam berdarah. Ada Fakhri yang ikut menemani Aina. Bahkan suaminya memilih menginap di rumah sakit dan berangkat kerja dari sana. Fakhri juga sengaja membawa pekerjaannya ke rumah sakit sambil mengawasi Zafran. Lalu kalau malam tiba, Fakhri yang menjaga dan mengizinkan Aina terlelap dalam pangkuannya.Aina mendongak menahan buliran bening yang sudah berkump
“Zafran kejang, Bu. Saya takut ---”Belum sempat Bi Isa meneruskan kalimat, Aina sudah mengakhiri panggilannya. Ia berjalan cepat menuju mobil kemudian melajukannya dengan kecepatan penuh. Tidak sampai tiga puluh menit, Aina sudah tiba di rumah.“Mana Zafran, Bi?” seru Aina begitu turun dari mobil.Bi Isa tergopoh keluar dari dalam kamar. Ada Mang Samin yang menggendong Zafran.“Buruan, masukkan ke mobil!! Kita ke rumah sakit!!”Aina langsung melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ada Bi Isa dan Mang Samin duduk di belakang. Ia seperti orang yang kesetanan bahkan berulang kali menerobos lampu lalu lintas yang menyala merah.“Bu, hati-hati, Bu!!” seru Mang Samin dari belakang.Aina hanya mengangguk sambil terus fokus menatap lalu lintas sore itu yang semakin padat. Pukul enam petang saat Aina tiba di rumah sakit. Ia berlarian dengan Mang Samin dan Bi Isa di sampingnya.“Suster!! Tolong anak saya!!” seru Aina
“Tunggu, Mas!! Aku mohon … ,” seru Aina.Wulan sudah lebih dulu menyeret tangan Aina untuk keluar dari ruangan Fakhri. Aina berontak, tapi cekalan Wulan lebih erat mencengkram pergelangan tangannya.“Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Mas Fakhri, Aina!!” sentak Wulan.Aina hanya diam, menatap Wulan dengan tajam. Ia mendengar dengan jelas apa ucapan suaminya, tapi Aina sudah berjanji ke Zafran untuk membawa pulang ayahnya. Dan dia tidak mau mengecewakan putra kesayangannya itu.“DENGAR!! Aku tahu kamu ingin menemui Mas Fakhri, tapi dia juga punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, Aina.”Kembali Wulan bersuara. Entah dia berkata dengan sungguh-sungguh atau berkata seperti itu hanya untuk mengusir Aina. Aina tidak menjawab, hanya melirik Wulan sekilas kemudian dengan langkah gontai berjalan pergi meninggalkan ruangan Fakhri.Wulan tersenyum menyeringai kemudian berjalan masuk ke ruangan Fakhri.
“Mas … aku mohon, sekali ini saja,” tutur Aina.Ia tidak peduli dengan tatapan penuh ejekan Fakhri ke arahnya. Kali ini yang terpenting bagi Aina adalah Zafran. Fakhri menarik mundur dirinya dan terdiam lama menatap Aina. Ia pikir Aina akan marah atau membalas ucapan kasarnya, tapi nyatanya tidak.Aina melihat reaksi Fakhri. Ia tahu suaminya seorang pria penyayang, ayah yang baik dan penuh kasih. Pasti sisi hati Fakhri yang paling dalam tidak menginginkan semua ini. Aina yakin Fakhri juga rindu pada Zafran. Hanya karena ego mereka, semuanya seperti ini.Perlahan tangan Aina terulur dan menyentuh tangan Fakhri. Tangan yang hampir tiga bulan ini tidak disentuhnya. Aina tertegun saat Fakhri tidak menepis tangannya seperti kala itu. Tangan pria ini masih sama hangatnya seperti dulu. Sungguh, Aina sangat merindukan semua sentuhannya.“Pulang sebentar ya, Mas. Hanya lima menit pun tak masalah,” bujuk Aina.Fakhri tidak menj
“Pulang??? Fakhri sudah berada di rumahnya, Aina,” jawab Wulan.Aina hanya membisu di seberang sana. Dia sangat terkejut saat mencoba menghubungi Fakhri malah Wulan yang menjawab teleponnya.“Eng … maaf, Wulan. Boleh aku bicara sebentar dengan Mas Fakhri?” Tepat seperti keputusan Aina tadi, ia akan melakukan apa saja agar Fakhri mau menemui Zafran hari ini. Termasuk memohon dan merendahkan diri seperti ini.“Tidak!! Mas Fakhri sibuk.” Wulan menjawab dengan cepat dan ketus.Aina menghela napas panjang sambil menyugar rambut hitamnya. Ia sudah tahu jika akan mendapat jawaban seperti itu dari Wulan. Apalagi saat pertemuan pertama mereka tempo hari, Aina sudah menyulut genderang perang.“Tolong, Wulan. Aku hanya bicara sebentar tidak sampai lima menit.” Aina sudah memohon kali ini.“Sekali tidak ya, tidak. Apa kamu tidak tahu arti kata tidak?”Aina terdiam, menelan ludah s
“Zafran badannya panas, Bu. Tadi juga muntah usai makan nasi goreng,” jawab Bi Isa.Aina menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Ia tidak berharap Zafran jatuh sakit hari ini. Namun, bisa jadi sakit Zafran bukan karena fisiknya. Bocah kecil itu sudah bisa merasakan ada yang berubah dalam hidupnya. Sekali lagi Aina merasa yang paling bersalah.“Iya, Bi. Habis ini saya langsung pulang. Tolong, jaga Zafran sebentar, ya!!”Bi Isa sudah mengakhiri panggilannya bersamaan Damar yang masuk ke ruangan sambil membawa beberapa berkas.“Ini berkas kontrak kerjanya, Aina. Kamu bisa menandatangani di sini,” pinta Damar.Aina mengangguk, tanpa membaca dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Damar hanya diam memperhatikan. Ekspresi Aina berbeda dengan beberapa saat tadi. Wajahnya terlihat gelisah dan gerakannya tampak tergesa, seakan tak sabar untuk segera pergi dari tempat ini.“Apa semuanya baik-baik
“Sayang banget. Cantik-cantik, tapi tukang selingkuh,” ujar Bu Wati.Aina tidak berkomentar. Entah siapa yang telah menyebar berita tentang rumah tangganya. Bisa jadi Bu Wati mendapatkannya dari Wulan. Bukankah suami Bu Wati salah satu karyawan dari perusahaan milik ayah Wulan.Aina menarik napas panjang, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung membalikkan badan. Bu Wati tercengang melihat reaksi Aina. Wanita bertubuh tambun itu mengejar Aina dan kini menarik lengan Aina.“Mbak, saya belum selesai ngomong. Kok ditinggal gitu aja, sih. Gak sopan banget.”Aina berdecak, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bu Wati.“Memangnya Bu Wati mau ngomong apa lagi? Toh saya sudah minta maaf. Ibu juga gak kenapa-napa, motornya juga baik-baik saja. Jadi apa lagi yang harus diomongin?”Bu Wati tersenyum kecut sambil menatap Aina dengan sinis. Aina menduga pasti wanita tambun ini kecewa karena ia tidak memberi jawaban y
“Zafran, ayo makan dulu, Sayang!!” ucap Aina.Usai kepergian Fakhri tadi, Aina memutuskan pulang saja. Setiba di rumah, ia membujuk Zafran untuk makan. Namun, putra kecilnya itu terus memberi jawaban dengan gelengan kepala. Padahal, jelas-jelas saat perjalanan pulang tadi Zafran mengeluh kelaparan.“Sayang … ini makanan kesukaan Zafran. Spesial dibuatin Bunda tadi. Ayam kecap dengan telur puyuh. Yuk, buka mulutnya, Sayang.”Kembali Aina merayu putra kesayangannya untuk makan. Namun, lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menjadi jawabannya.“Zafran udah kenyang, Bunda.” Akhirnya Zafran bersuara setelah terdiam sejak tadi. Tentu saja jawaban Zafran membuat Aina terkejut.“Zafran belum makan sejak pulang dari sekolah. Kenapa sudah kenyang?”Tidak ada jawaban dari bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk sambil memeluk erat gulingnya. Aina tertegun melihatnya. Ia meletakkan sepiring nasi lengka
“Mas Fakhri … ,” seru Aina tertahan.Ia melihat Fakhri sedang berdiri terpaku menatap Zafran yang memeluk kakinya. Di sebelah Fakhri tampak Wulan sedang bergelayut manja. Wajah cantik Wulan terlihat masam dengan mata sinis menatap Zafran.Aina berjalan mendekat kemudian menarik Zafran yang masih memeluk kaki Fakhri. Mungkin dulu, Fakhri akan langsung menggendong Zafran dan mendaratkan banyak kecupan di wajah bocah laki-laki itu. Namun, tidak saat ini.“Zafran … ayo sini, Sayang!!!” pinta Aina.Ia berusaha melepas pelukan Zafran, tapi sepertinya bocah laki-laki itu semakin mempererat pelukannya.“Gak mau!! Aku mau sama Ayah, Bunda.”Aina berdecak, ia duduk bersimpuh sambil mencoba mengurai pelukan Zafran.“Sayang … Ayah masih ada kerjaan. Ayo, kita makan dulu, yuk!!”Zafran menggeleng. “Enggak. Aku udah gak lapar. Aku mau sama Ayah.”Zafran m