“Zafran, ayo makan dulu, Sayang!!” ucap Aina.
Usai kepergian Fakhri tadi, Aina memutuskan pulang saja. Setiba di rumah, ia membujuk Zafran untuk makan. Namun, putra kecilnya itu terus memberi jawaban dengan gelengan kepala. Padahal, jelas-jelas saat perjalanan pulang tadi Zafran mengeluh kelaparan.
“Sayang … ini makanan kesukaan Zafran. Spesial dibuatin Bunda tadi. Ayam kecap dengan telur puyuh. Yuk, buka mulutnya, Sayang.”
Kembali Aina merayu putra kesayangannya untuk makan. Namun, lagi-lagi hanya gelengan kepala yang menjadi jawabannya.
“Zafran udah kenyang, Bunda.” Akhirnya Zafran bersuara setelah terdiam sejak tadi. Tentu saja jawaban Zafran membuat Aina terkejut.
“Zafran belum makan sejak pulang dari sekolah. Kenapa sudah kenyang?”
Tidak ada jawaban dari bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk sambil memeluk erat gulingnya. Aina tertegun melihatnya. Ia meletakkan sepiring nasi lengka
“Sayang banget. Cantik-cantik, tapi tukang selingkuh,” ujar Bu Wati.Aina tidak berkomentar. Entah siapa yang telah menyebar berita tentang rumah tangganya. Bisa jadi Bu Wati mendapatkannya dari Wulan. Bukankah suami Bu Wati salah satu karyawan dari perusahaan milik ayah Wulan.Aina menarik napas panjang, tanpa berkata apa-apa. Ia langsung membalikkan badan. Bu Wati tercengang melihat reaksi Aina. Wanita bertubuh tambun itu mengejar Aina dan kini menarik lengan Aina.“Mbak, saya belum selesai ngomong. Kok ditinggal gitu aja, sih. Gak sopan banget.”Aina berdecak, menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah Bu Wati.“Memangnya Bu Wati mau ngomong apa lagi? Toh saya sudah minta maaf. Ibu juga gak kenapa-napa, motornya juga baik-baik saja. Jadi apa lagi yang harus diomongin?”Bu Wati tersenyum kecut sambil menatap Aina dengan sinis. Aina menduga pasti wanita tambun ini kecewa karena ia tidak memberi jawaban y
“Zafran badannya panas, Bu. Tadi juga muntah usai makan nasi goreng,” jawab Bi Isa.Aina menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Ia tidak berharap Zafran jatuh sakit hari ini. Namun, bisa jadi sakit Zafran bukan karena fisiknya. Bocah kecil itu sudah bisa merasakan ada yang berubah dalam hidupnya. Sekali lagi Aina merasa yang paling bersalah.“Iya, Bi. Habis ini saya langsung pulang. Tolong, jaga Zafran sebentar, ya!!”Bi Isa sudah mengakhiri panggilannya bersamaan Damar yang masuk ke ruangan sambil membawa beberapa berkas.“Ini berkas kontrak kerjanya, Aina. Kamu bisa menandatangani di sini,” pinta Damar.Aina mengangguk, tanpa membaca dia langsung membubuhkan tanda tangannya. Damar hanya diam memperhatikan. Ekspresi Aina berbeda dengan beberapa saat tadi. Wajahnya terlihat gelisah dan gerakannya tampak tergesa, seakan tak sabar untuk segera pergi dari tempat ini.“Apa semuanya baik-baik
“Pulang??? Fakhri sudah berada di rumahnya, Aina,” jawab Wulan.Aina hanya membisu di seberang sana. Dia sangat terkejut saat mencoba menghubungi Fakhri malah Wulan yang menjawab teleponnya.“Eng … maaf, Wulan. Boleh aku bicara sebentar dengan Mas Fakhri?” Tepat seperti keputusan Aina tadi, ia akan melakukan apa saja agar Fakhri mau menemui Zafran hari ini. Termasuk memohon dan merendahkan diri seperti ini.“Tidak!! Mas Fakhri sibuk.” Wulan menjawab dengan cepat dan ketus.Aina menghela napas panjang sambil menyugar rambut hitamnya. Ia sudah tahu jika akan mendapat jawaban seperti itu dari Wulan. Apalagi saat pertemuan pertama mereka tempo hari, Aina sudah menyulut genderang perang.“Tolong, Wulan. Aku hanya bicara sebentar tidak sampai lima menit.” Aina sudah memohon kali ini.“Sekali tidak ya, tidak. Apa kamu tidak tahu arti kata tidak?”Aina terdiam, menelan ludah s
“Mas … aku mohon, sekali ini saja,” tutur Aina.Ia tidak peduli dengan tatapan penuh ejekan Fakhri ke arahnya. Kali ini yang terpenting bagi Aina adalah Zafran. Fakhri menarik mundur dirinya dan terdiam lama menatap Aina. Ia pikir Aina akan marah atau membalas ucapan kasarnya, tapi nyatanya tidak.Aina melihat reaksi Fakhri. Ia tahu suaminya seorang pria penyayang, ayah yang baik dan penuh kasih. Pasti sisi hati Fakhri yang paling dalam tidak menginginkan semua ini. Aina yakin Fakhri juga rindu pada Zafran. Hanya karena ego mereka, semuanya seperti ini.Perlahan tangan Aina terulur dan menyentuh tangan Fakhri. Tangan yang hampir tiga bulan ini tidak disentuhnya. Aina tertegun saat Fakhri tidak menepis tangannya seperti kala itu. Tangan pria ini masih sama hangatnya seperti dulu. Sungguh, Aina sangat merindukan semua sentuhannya.“Pulang sebentar ya, Mas. Hanya lima menit pun tak masalah,” bujuk Aina.Fakhri tidak menj
“Tunggu, Mas!! Aku mohon … ,” seru Aina.Wulan sudah lebih dulu menyeret tangan Aina untuk keluar dari ruangan Fakhri. Aina berontak, tapi cekalan Wulan lebih erat mencengkram pergelangan tangannya.“Kamu tidak dengar apa yang dikatakan Mas Fakhri, Aina!!” sentak Wulan.Aina hanya diam, menatap Wulan dengan tajam. Ia mendengar dengan jelas apa ucapan suaminya, tapi Aina sudah berjanji ke Zafran untuk membawa pulang ayahnya. Dan dia tidak mau mengecewakan putra kesayangannya itu.“DENGAR!! Aku tahu kamu ingin menemui Mas Fakhri, tapi dia juga punya kesibukan yang tidak bisa ditinggalkan, Aina.”Kembali Wulan bersuara. Entah dia berkata dengan sungguh-sungguh atau berkata seperti itu hanya untuk mengusir Aina. Aina tidak menjawab, hanya melirik Wulan sekilas kemudian dengan langkah gontai berjalan pergi meninggalkan ruangan Fakhri.Wulan tersenyum menyeringai kemudian berjalan masuk ke ruangan Fakhri.
“Zafran kejang, Bu. Saya takut ---”Belum sempat Bi Isa meneruskan kalimat, Aina sudah mengakhiri panggilannya. Ia berjalan cepat menuju mobil kemudian melajukannya dengan kecepatan penuh. Tidak sampai tiga puluh menit, Aina sudah tiba di rumah.“Mana Zafran, Bi?” seru Aina begitu turun dari mobil.Bi Isa tergopoh keluar dari dalam kamar. Ada Mang Samin yang menggendong Zafran.“Buruan, masukkan ke mobil!! Kita ke rumah sakit!!”Aina langsung melarikan mobilnya dengan kecepatan tinggi. Ada Bi Isa dan Mang Samin duduk di belakang. Ia seperti orang yang kesetanan bahkan berulang kali menerobos lampu lalu lintas yang menyala merah.“Bu, hati-hati, Bu!!” seru Mang Samin dari belakang.Aina hanya mengangguk sambil terus fokus menatap lalu lintas sore itu yang semakin padat. Pukul enam petang saat Aina tiba di rumah sakit. Ia berlarian dengan Mang Samin dan Bi Isa di sampingnya.“Suster!! Tolong anak saya!!” seru Aina
“Bibi dan Mang Samin pulang saja. Biar saya yang jaga Zafran,” pinta Aina.Usai dipindahkan ke kamar rawat inap keadaan Zafran sudah stabil. Itu sebabnya Aina meminta Bi Isa dan Mang Samin pulang.“Iya, Bu. Besok pagi-pagi saya akan datang membawakan baju dan makanan buat Ibu,” ujar Bi Isa.Aina tersenyum sambil menganggukkan kepala. Bi Isa dan Mang Samin berpamitan pulang meninggalkan Aina seorang diri. Aina melirik ke arah brankar tempat Zafran terbaring. Bocah itu masih terlelap di sana.Tanpa diminta terlintas ingatan beberapa bulan lalu, saat Zafran masuk rumah sakit yang sama karena sakit demam berdarah. Ada Fakhri yang ikut menemani Aina. Bahkan suaminya memilih menginap di rumah sakit dan berangkat kerja dari sana. Fakhri juga sengaja membawa pekerjaannya ke rumah sakit sambil mengawasi Zafran. Lalu kalau malam tiba, Fakhri yang menjaga dan mengizinkan Aina terlelap dalam pangkuannya.Aina mendongak menahan buliran bening yang sudah berkump
“Kamu sudah siuman?” tanya Damar.Aina mengerjapkan mata sambil mengedarkan sekeliling. Ia sudah terbaring di atas brankar bersebelahan dengan Zafran. Ada Damar yang duduk di sampingnya menatap penuh gelisah.Aina tersenyum sambil menganggukkan kepala. Perlahan Aina menggerakkan tubuhnya seakan hendak bangun dari tempat tidurnya.“Kamu mau ke mana?” Kembali Damar bertanya.Ia sudah berdiri dan mencegah Aina bangun dari tidurnya.“Aku baik-baik saja, Damar. Aku … aku ingin turun. Aku tidak suka berbaring seperti ini.”Damar menarik napas panjang sambil menggelengkan kepala. Kemudian berjalan ke ujung ranjang dan memutar pengait pengatur posisi ranjang di sana.“Sudah lebih baik?”Aina urung turun dari brankar dan hanya mengangguk usai posisi ranjangnya diubah Damar.“Kamu sedang hamil, Aina?” Kembali Damar mengajukan pertanyaan.Aina terdiam, menata
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd