“Mas, aku sudah siapkan bajumu. Kita berangkat besok pagi, ya?” ujar Wulan.
Malam ini usai pulang kerja, Wulan langsung berkemas untuk keberangkatan mereka keluar kota besok pagi. Fakhri yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya menganggukkan kepala tanpa suara. Wulan meliriknya sekilas dan melihat wajah Fakhri tampak melamun.
Perlahan Wulan mendekat kemudian memeluk Fakhri dari belakang. Fakhri yang sedang berdiri mematut di depan cermin hanya diam melihat ulah Wulan.
“Kamu kenapa? Belakangan ini kok banyak melamunnya.”
Fakhri tidak menjawab hanya mengulas senyum sambil lalu. Perlahan ia mengurai pelukan Wulan dan membalikkan badan. Wulan tersenyum sambil memandang Fakhri dengan tatapan menggoda. Hanya helaan napas panjang yang keluar dari bibir pria tampan itu.
“Aku mau keluar sebentar.” Tiba-tiba Fakhri bersuara, tentu saja hal itu membuat Wulan terkejut.
Mereka baru saja pulang dan kenapa Fakhri hen
“Aku gak mau!! Aku lelah, mau istirahat. Lebih baik kamu pulang saja,” sahut Aina.Tentu saja mendengar jawaban Aina membuat Fakhri semakin marah. Ia sontak berdiri dan langsung menarik tangan Aina. Aina gelagapan. Fakhri memutar tubuhnya hingga mereka berdiri saling dekat dan berhadapan.“APA KAMU BILANG? Berani melawanku sekarang!!!”Aina tidak menjawab, tapi matanya terus menantang Fakhri. Fakhri menatapnya dengan tajam tanpa kedip. Untuk beberapa saat tidak ada kata terucap hanya kedua pasang mata mereka yang bercakap. Hingga tiba-tiba tangan Fakhri merangkum wajah Aina, merengkuh pinggulnya mendekat dan perlahan mencium bibirnya.Aina terkesima kaget mendapat perlakuan suaminya. Ia ingin menolak, tapi dia juga merindukan semua sentuhannya. Untuk beberapa saat Aina memejamkan mata menikmati interaksi intim ini. Cukup lama mereka berbagi saliva hingga perlahan jemari Fakhri tiba-tiba menelusup masuk ke balik blus Aina.Ai
“Kamu cantik sekali, Aina,” seru Damar.Pukul lima sore saat Damar menjemput Aina dan dia sangat terkejut saat melihat penampilan Aina. Aina hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Jangan bohong. Mana ada ibu hamil yang cantik, apalagi dengan perut yang udah gede gini,” jawab Aina.Damar tertawa sambil menggelengkan kepala.“Aku gak bohong. Lagipula kamu gak terlihat kalau sedang hamil, kok.”Aina tersenyum sambil menundukkan kepala. Sejak kehamilan pertama dulu, perut Aina memang tidak sebesar ibu hamil pada umumnya. Perutnya terlihat besar begitu menginjak sembilan bulan saat akan melahirkan. Itu pun bagi orang awam yang melihat seperti hamil lima bulan saja. Aina sendiri tidak mengerti, tapi meski demikian kondisi bayinya sehat dan berkembang sesuai usianya.“Ya sudah, kita berangkat, yuk!! Biar gak kemaleman sampai sana.”Aina mengangguk. Ia sudah berpamitan ke Zafran juga Bi I
“Mereka memanggilmu, Aina,” bisik Damar.Pria manis itu mendekatkan tubuhnya ke Aina dan bersuara di telinga Aina. Aina terdiam, membalas tatapan Wulan tak kalah tajam. Melihat Aina tak bereaksi, Damar kembali bersuara.“Apa aku yang menjawab, Aina?” imbuh Damar.Aina menghela napas dan menggelengkan kepala.“Aku tidak tuli, Damar dan aku punya mulut untuk menjawab.” Aina mengatakannya dengan ketus dan nada yang tegas. Damar sampai terkejut mendengarnya. Baru kali ini ia mendengar Aina berbicara seperti itu.“Ayo, Aina!!!” Wulan kembali memanggil dan kini dengan nada mengejek.Fakhri yang berdiri di samping Wulan hanya diam menatap Aina. Matanya seakan sedang memberi isyarat untuk mencegah Aina, tapi Aina mengabaikan perintahnya. Ia sudah lama tidak dihiraukan Fakhri, jadi untuk apa dia menurutinya kali ini.Aina menghela napas panjang sambil menghembuskannya perlahan. Kemudian dengan ma
“Aku gak nangis,” sahut Aina.Ia mendongak dan menatap Damar yang sudah duduk di sampingnya. Damar tersenyum, memandang Aina dengan sendu. Kemudian perlahan tangannya terulur menyeka air mata di pipi wanita itu. Aina hanya diam saat tangan Damar mengusap air matanya.“Aku punya banyak tisu di mobil. Apa kamu tidak keberatan kalau kita pindah tempat, Aina?”Aina mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Perlahan dia bangkit, kemudian berjalan keluar lewat bagian belakang gedung. Damar yakin, Aina pasti tidak ingin bertemu banyak orang kali ini.“Sudah lebih baik?” tanya Damar.Mereka sudah di dalam mobil dan Aina tampak usai menyeka air matanya dengan tisu. Ia mengangguk sambil tersenyum ke arah Damar.“Iya, lebih baik.”“Sudah siap pulang?” Kembali Damar mengajukan pertanyaan.“Iya. Aku ingin lekas pulang. Zafran pasti sedang menantiku.”Damar men
“Jadi kamu sudah bertemu dengannya tadi?” tanya Damar.Alih-alih menjawab pertanyaan Fakhri, Damar malah balik bertanya. Fakhri berdecak dan mengangguk dengan pelan. Damar tersenyum memperhatikan reaksi Fakhri.“Aku butuh dia untuk membantuku, Fakhri. Bukankah aku pernah bilang.”Fakhri berdecak dan menggelengkan kepala. Dia kesal karena jawaban Aina dan Damar sama seolah mereka berdua sedang merencanakan sesuatu di belakangnya. Tanpa sebab ada banyak rasa cemburu bersemayam di dada Fakhri. Namun, sebisa mungkin Fakhri menyembunyikan reaksinya.“Tenang saja, aku masih memberinya kebebasan untuk melanjutkan kerjaannya yang dulu. Aina itu programmer handal dan sangat pintar. Sayang sekali kalau ilmunya tidak digunakan.”Lagi-lagi Fakhri berdecak dan menatap tajam Damar.“Kenapa kamu tidak bertanya dulu padaku saat merekrutnya? Dia itu istriku, Damar. Harusnya kamu minta izin padaku!!”Dama
“Cemburu katamu?” sergah Fakhri.Kini dia tampak marah. Wajahnya menegang, matanya berkilatan menyalang, Rona merah memenuhi rautnya yang rupawan. Setelah beberapa bulan terakhir baru kali ini Aina melihat reaksi Fakhri yang berbeda. Namun, apa pun reaksi Fakhri kali ini tidak membuat Aina peduli.“Iya, kamu cemburu, kan?” Aina malah membalas pertanyaan Fakhri.Fakhri terdiam, tidak menjawab. Sekilas Aina melihat tangannya terkepal seakan sedang menahan amarah. Entah mengapa Aina tersenyum penuh kemenangan saat melihat reaksinya. Anggap saja sakit hatinya saat weekend kemarin terbayar tuntas hari ini.Aina berdecak sambil membuka seat belt. Ia melihat Fakhri masih membeku di posisinya.“Lebih baik kamu pulang. Aku bisa naik taxi dari sini.”Aina bersiap beranjak keluar mobil, tapi tiba-tiba tangan Fakhri terulur dan menyambar lengan Aina. Aina tersentak kaget dan menatap Fakhri dengan bingung. Fakhri sudah
“Ngapain katamu? Ini masih kamarku juga, ya?” sergah Fakhri.Aina hanya diam, menelan saliva sambil memegang erat handuk yang menutup tubuhnya. Fakhri hanya diam, menatapnya datar. Kemudian dia bangkit dan berjalan menghampiri Aina. Ia berdiri sangat dekat di depan Aina. Bahkan matanya kini tampak terus tertuju ke dada Aina.Tubuh Aina memang lebih sintal dan molek dari biasanya. Gara-gara kehamilan ini membuat wanita cantik itu terlihat seksi dan menggoda dalam balutan handuk. Berulang jakun Fakhri naik turun dengan manik mata yang tak lepas dari Aina.Aina menunduk dan menghindari mata tajam itu. Mungkin dulu Aina akan suka dengan tatapan itu, tapi kini malah membuat Aina risih melihatnya. Fakhri mendengkus dengan keras kemudian berjalan melewati Aina. Aina menghela napas lega sambil mengurut dada dan memejamkan mata sekilas.Namun, dia terlalu cepat melakukannya. Tak disangka Fakhri malah menghentikan langkah, membalikkan badan dan berdiri di belakang
“Ban serep?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, pasalnya dia sudah keluar kamar lebih dulu dan memilih tidur di kamar tamu. Fakhri terdiam menghela napas panjang sambil meraup wajahnya. Padahal hari ini dia sengaja pulang sekalian mengantar ibunya hanya untuk memperbaiki keadaan. Namun, sepertinya Aina malah menolaknya.Fakhri urung terpejam. Ia bangkit usai merapikan piyamanya kemudian berjalan keluar kamar menuju kamar tamu tempat Aina berada. Fakhri langsung menekan handle pintu, tapi Aina sudah menguncinya dari dalam.“Aina … buka pintunya!!” ucap Fakhri.Ia berkata sambil mengetuk pintu kamar, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Beberapa kali Fakhri mengetuk, tapi tetap tidak ada jawaban. Fakhri berdecak, menggelengkan kepala kemudian dengan gontai berjalan kembali ke kamar.Ia tidak mau terus mengetuk pintu dan membuat seisi rumah ini terbangun. Fakhri berbaring kembali ke kasur. Ia melirik tempat Aina terl
“Apa katamu? Pergi?” tanya Fakhri.Fakhri langsung berdiri menghampiri Aina dan menghentikan makan paginya. Aina mengangguk, matanya tampak berair sambil menyodorkan secarik kertas ke Fakhri. Fakhri terdiam, membaca surat kecil dari Zafran dan terdiam cukup lama.“Jangan-jangan dia dengar pembicaraan kita semalam,” gumam Fakhri.Aina tidak menjawab hanya menggelengkan kepala sambil sesekali menyeka air matanya. Rini yang baru saja keluar dari kamar tampak terkejut melihat kehebohan pagi ini.“Bukannya tadi dia masih di kamar, Mbak,” sahut Rini.“Iya, Rin. Aku pikir juga gitu, tapi nyatanya dia gak ada. Dia ke mana sekarang?”Aina tampak sedih, matanya kembali berair. Entah mengapa mulai semalam, air matanya terus terkuras.“Aku yakin dia tidak mendengar pembicaraan kalian. Aku yang menemaninya saat kalian berdebat semalam dan dia baik-baik saja.”Rini kembali menambahk
CKIT!! BRAK!!Suara mobil Fakhri menabrak pohon di tepi jalan. Sontak Fakhri membuka mata dan terkejut saat dirinya sudah keluar dari jalan. Helaan napas panjang lolos keluar dari bibir Fakhri. Untung saja dia mengenakan seat belt sehingga tidak menyebabkan cidera apa pun pada tubuhnya. Hanya saja kali ini mobil bagian depan ringsek.“Ya Tuhan … untung saja aku selamat,” gumam Fakhri sambil mengurut dada.Ia membuka seat belt, lalu keluar dari mobil sambil melihat kerusakan mobilnya. Beruntung jalanan sedang sepi sehingga saat Fakhri mengemudi dengan mata terpejam tadi, tidak membahayakan pengguna jalan lainnya. Ditambah kecepatan mobil yang pelan membuat Fakhri terhindar dari kecelakaan.Kini Fakhri tampak sedang melakukan sebuah panggilan. Ia sedang menelepon salah satu asisten rumah tangganya agar menjemput di tkp. Fakhri juga menelepon bengkel langganan untuk menarik mobilnya.Selang beberapa saat dia sudah tiba di rumah. Ket
“Aina!!” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat Aina tiba-tiba keluar dan langsung menyambar ponselnya. Tidak hanya itu malah Aina kini sudah mendengar apa yang seharusnya tidak dia dengar.“MAS!!! Bener apa yang dikatakan Robby? Bener kalau anak kita sudah meninggal? Bener, Mas?” tanya Aina.Wanita cantik itu kini bertanya dengan mata berair ke Fakhri. Fakhri hanya diam, ia tidak menjawab malah menyambar ponselnya dari tangan Aina.“Rob, nanti saja kita bicara lagi.” Fakhri mengakhiri panggilannya.Di seberang sana Robby tampak linglung. Ia serba salah dan bingung harus bagaimana, padahal dia hanya ingin memberi informasi ke Fakhri. Namun, malah runyam seperti ini.“Mas … kenapa diam saja? Kenapa gak dijawab pertanyaanku?” Aina kembali bertanya bahkan kini sudah menarik lengan Fakhri.Fakhri menghela napas panjang. Ia belum bisa menjawab apalagi ada Zafran yang sudah mengintip perdebatan mereka dari jendela. Rini bergegas keluar, m
“Kamu yakin dengan penemuanmu ini, Kres?” tanya Robby.Dia ingin sekali lagi menyakinkan informasi yang baru diterima ini. Robby tidak mau informasi yang ia berikan ke Fakhri mentah dan tidak akurat.Terdengar decakan suara Kresna di seberang sana, mungkin jika mereka bertemu muka pasti akan terlihat jelas kekesalan Kresna saat ini.“Kamu pikir aku ngarang cerita, gitu?”Robby langsung tersenyum mendengarnya. Ia tahu kredibilitas Kresna dan kinerjanya selama ini. Dia akan benar-benar mencari informasi yang diminta dengan akurat.“Ya sudah kalau memang informasinya sudah akurat. Memangnya kamu dapat dari mana informasi itu?”Kresna tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Aku berhasil bertemu dengan petugas pemberkasan di rumah sakit itu. Meski sedikit alot, akhirnya dia bersedia menunjukkan rekam medis pasien tersebut.”Robby terdiam sesaat sambil menganggukkan kepala berulan
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkantor
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza