“Kamu cantik sekali, Aina,” seru Damar.
Pukul lima sore saat Damar menjemput Aina dan dia sangat terkejut saat melihat penampilan Aina. Aina hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.
“Jangan bohong. Mana ada ibu hamil yang cantik, apalagi dengan perut yang udah gede gini,” jawab Aina.
Damar tertawa sambil menggelengkan kepala.
“Aku gak bohong. Lagipula kamu gak terlihat kalau sedang hamil, kok.”
Aina tersenyum sambil menundukkan kepala. Sejak kehamilan pertama dulu, perut Aina memang tidak sebesar ibu hamil pada umumnya. Perutnya terlihat besar begitu menginjak sembilan bulan saat akan melahirkan. Itu pun bagi orang awam yang melihat seperti hamil lima bulan saja. Aina sendiri tidak mengerti, tapi meski demikian kondisi bayinya sehat dan berkembang sesuai usianya.
“Ya sudah, kita berangkat, yuk!! Biar gak kemaleman sampai sana.”
Aina mengangguk. Ia sudah berpamitan ke Zafran juga Bi I
“Mereka memanggilmu, Aina,” bisik Damar.Pria manis itu mendekatkan tubuhnya ke Aina dan bersuara di telinga Aina. Aina terdiam, membalas tatapan Wulan tak kalah tajam. Melihat Aina tak bereaksi, Damar kembali bersuara.“Apa aku yang menjawab, Aina?” imbuh Damar.Aina menghela napas dan menggelengkan kepala.“Aku tidak tuli, Damar dan aku punya mulut untuk menjawab.” Aina mengatakannya dengan ketus dan nada yang tegas. Damar sampai terkejut mendengarnya. Baru kali ini ia mendengar Aina berbicara seperti itu.“Ayo, Aina!!!” Wulan kembali memanggil dan kini dengan nada mengejek.Fakhri yang berdiri di samping Wulan hanya diam menatap Aina. Matanya seakan sedang memberi isyarat untuk mencegah Aina, tapi Aina mengabaikan perintahnya. Ia sudah lama tidak dihiraukan Fakhri, jadi untuk apa dia menurutinya kali ini.Aina menghela napas panjang sambil menghembuskannya perlahan. Kemudian dengan ma
“Aku gak nangis,” sahut Aina.Ia mendongak dan menatap Damar yang sudah duduk di sampingnya. Damar tersenyum, memandang Aina dengan sendu. Kemudian perlahan tangannya terulur menyeka air mata di pipi wanita itu. Aina hanya diam saat tangan Damar mengusap air matanya.“Aku punya banyak tisu di mobil. Apa kamu tidak keberatan kalau kita pindah tempat, Aina?”Aina mengulum senyum sambil menganggukkan kepala. Perlahan dia bangkit, kemudian berjalan keluar lewat bagian belakang gedung. Damar yakin, Aina pasti tidak ingin bertemu banyak orang kali ini.“Sudah lebih baik?” tanya Damar.Mereka sudah di dalam mobil dan Aina tampak usai menyeka air matanya dengan tisu. Ia mengangguk sambil tersenyum ke arah Damar.“Iya, lebih baik.”“Sudah siap pulang?” Kembali Damar mengajukan pertanyaan.“Iya. Aku ingin lekas pulang. Zafran pasti sedang menantiku.”Damar men
“Jadi kamu sudah bertemu dengannya tadi?” tanya Damar.Alih-alih menjawab pertanyaan Fakhri, Damar malah balik bertanya. Fakhri berdecak dan mengangguk dengan pelan. Damar tersenyum memperhatikan reaksi Fakhri.“Aku butuh dia untuk membantuku, Fakhri. Bukankah aku pernah bilang.”Fakhri berdecak dan menggelengkan kepala. Dia kesal karena jawaban Aina dan Damar sama seolah mereka berdua sedang merencanakan sesuatu di belakangnya. Tanpa sebab ada banyak rasa cemburu bersemayam di dada Fakhri. Namun, sebisa mungkin Fakhri menyembunyikan reaksinya.“Tenang saja, aku masih memberinya kebebasan untuk melanjutkan kerjaannya yang dulu. Aina itu programmer handal dan sangat pintar. Sayang sekali kalau ilmunya tidak digunakan.”Lagi-lagi Fakhri berdecak dan menatap tajam Damar.“Kenapa kamu tidak bertanya dulu padaku saat merekrutnya? Dia itu istriku, Damar. Harusnya kamu minta izin padaku!!”Dama
“Cemburu katamu?” sergah Fakhri.Kini dia tampak marah. Wajahnya menegang, matanya berkilatan menyalang, Rona merah memenuhi rautnya yang rupawan. Setelah beberapa bulan terakhir baru kali ini Aina melihat reaksi Fakhri yang berbeda. Namun, apa pun reaksi Fakhri kali ini tidak membuat Aina peduli.“Iya, kamu cemburu, kan?” Aina malah membalas pertanyaan Fakhri.Fakhri terdiam, tidak menjawab. Sekilas Aina melihat tangannya terkepal seakan sedang menahan amarah. Entah mengapa Aina tersenyum penuh kemenangan saat melihat reaksinya. Anggap saja sakit hatinya saat weekend kemarin terbayar tuntas hari ini.Aina berdecak sambil membuka seat belt. Ia melihat Fakhri masih membeku di posisinya.“Lebih baik kamu pulang. Aku bisa naik taxi dari sini.”Aina bersiap beranjak keluar mobil, tapi tiba-tiba tangan Fakhri terulur dan menyambar lengan Aina. Aina tersentak kaget dan menatap Fakhri dengan bingung. Fakhri sudah
โNgapain katamu? Ini masih kamarku juga, ya?โ sergah Fakhri.Aina hanya diam, menelan saliva sambil memegang erat handuk yang menutup tubuhnya. Fakhri hanya diam, menatapnya datar. Kemudian dia bangkit dan berjalan menghampiri Aina. Ia berdiri sangat dekat di depan Aina. Bahkan matanya kini tampak terus tertuju ke dada Aina.Tubuh Aina memang lebih sintal dan molek dari biasanya. Gara-gara kehamilan ini membuat wanita cantik itu terlihat seksi dan menggoda dalam balutan handuk. Berulang jakun Fakhri naik turun dengan manik mata yang tak lepas dari Aina.Aina menunduk dan menghindari mata tajam itu. Mungkin dulu Aina akan suka dengan tatapan itu, tapi kini malah membuat Aina risih melihatnya. Fakhri mendengkus dengan keras kemudian berjalan melewati Aina. Aina menghela napas lega sambil mengurut dada dan memejamkan mata sekilas.Namun, dia terlalu cepat melakukannya. Tak disangka Fakhri malah menghentikan langkah, membalikkan badan dan berdiri di belakang
“Ban serep?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, pasalnya dia sudah keluar kamar lebih dulu dan memilih tidur di kamar tamu. Fakhri terdiam menghela napas panjang sambil meraup wajahnya. Padahal hari ini dia sengaja pulang sekalian mengantar ibunya hanya untuk memperbaiki keadaan. Namun, sepertinya Aina malah menolaknya.Fakhri urung terpejam. Ia bangkit usai merapikan piyamanya kemudian berjalan keluar kamar menuju kamar tamu tempat Aina berada. Fakhri langsung menekan handle pintu, tapi Aina sudah menguncinya dari dalam.“Aina … buka pintunya!!” ucap Fakhri.Ia berkata sambil mengetuk pintu kamar, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Beberapa kali Fakhri mengetuk, tapi tetap tidak ada jawaban. Fakhri berdecak, menggelengkan kepala kemudian dengan gontai berjalan kembali ke kamar.Ia tidak mau terus mengetuk pintu dan membuat seisi rumah ini terbangun. Fakhri berbaring kembali ke kasur. Ia melirik tempat Aina terl
“Pesan taxi??? Tapi, Mas ---”Belum selesai Wulan meneruskan kalimatnya, Fakhri sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melaju meninggalkan Wulan seorang diri. Wulan terperangah kaget melihat ulah Fakhri. Wajah putihnya sontak merah padam, matanya menyalang penuh amarah.“Sial!! Hanya semalam menginap di sini saja kamu sudah memperlakukanku seperti ini, Mas,” geram Wulan.Wulan makin kesal saat Bu Rahma keluar dan menghampirinya.“Loh, kok kamu masih di sini, Wulan?” tanya wanita paruh baya itu.“Iya, Bu. Mas Fakhri mau ketemuan ama klien. Saya … saya naik taxi saja ke kantor.”Bu Rahma hanya manggut-manggut dengan bibir yang sudah membentuk huruf ‘o’. Namun, Wulan melihat sorot mata mertuanya itu sudah menatap penuh ejekan. Wulan tahu dari awal berpacaran dengan Fakhri dulu, Bu Rahma tidak suka dengannya.Wulan pikir dengan menjadi istri kedua Fakhri akan bisa memenan
“Fakhri!! Kamu apa-apaan?” seru Damar.Fakhri tidak menggubris ocehan Damar, matanya terus mengunci ke arah Aina. Ulah Fakhri kali ini benar-benar membuat Aina kesal. Aina menarik napas panjang kemudian mengangguk dan berjalan menghampiri Fakhri.“Aku bisa jalan sendiri,” jawab Aina.Fakhri tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Baguslah kalau begitu. Ayo, kita pulang!!”Aina mengangguk sambil melirik Damar seakan berpamitan dengan isyarat matanya. Damar balas mengangguk dan menatap Aina serta Fakhri yang sudah berlalu pergi menjauh.Aina langsung masuk ke dalam mobil dengan Fakhri duduk di sampingnya. Sama seperti tempo hari, lagi-lagi Aina merasa asing di dalamnya. Banyak jejak Wulan di dalam mobil itu dan secara tidak langsung itu mengiris hati Aina. Kemudian tanpa diminta terlintas kejadian semalam dan kini Aina sibuk menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan mobil Fakhri melaju menin
โZafran,โ batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.โEng โฆ Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.โ Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.โMaaf, Aina. Aku ---โFakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
โSemua baik-baik saja kan, Mas?โ tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.โIya, baik-baik saja, kok.โAina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.โSiapa sebenarnya wanita itu?โ gumam pria itu yang tak lain Reza, โapa dia mantan istrinya Fakhri?โReza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkanto
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza
โRumah sakit? Wulan?โ gumam Fakhri.Ia sudah mengantuk, konsentrasinya sudah berkurang dan sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Fakhri menguap lebar sambil meraup wajahnya dengan kasar.โMa, kenapa Mama gak hubungi pengacaranya saja? Kenapa harus dengan saya? Saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Wulan!!โFakhri meninggikan intonasi suaranya dan terdengar sedikit kesal. Bisa jadi semua yang dilakukan Wulan kali ini hanyalah sandiwara, akal-akalannya saja supaya mendapat simpatik Fakhri. Dia sudah berulang kali terbujuk oleh hal seperti itu dan Fakhri tidak mau mengulangnya lagi.โTapi, Fakhri โฆ Wulan butuh kamu. Bagaimanapun kamu pernah menjadi suaminya. Mama mohon kamu datang.โFakhri tidak bersuara. Ia menghela napas panjang kemudian gegas mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan ke Bu Vita. Fakhri meletakkan ponselnya di nakas dan mencoba kembali terlelap.Namun, sepertinya ia kesulitan untuk melakukannya. Meski dia kesal, jengkel dan marah dengan semua ula
“Heh??” gumam Fakhri.Pria tampan itu terkejut saat mendengar ucapan Aina. Ia tidak menduga jika Aina akan berkata seperti ini. Apa mungkin penantiannya untuk bisa kembali rujuk akan terwujud?Aina tersenyum sambil mempererat genggamannya dan menatap Fakhri dengan lembut.“Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memberimu kesempatan.”Fakhri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata coklatnya yang berbinar indah. Tanpa banyak bicara, Fakhri mendekat, menarik dagu Aina dan langsung mencium bibirnya.Aina gelagapan mendapat serangan dari mantan suaminya. Namun, ia tidak menolak. Dengan rileks, Aina melingkarkan tangannya di leher Fakhri dan meneruskan pagutan mereka.Entah berapa lama mereka saling berbagi saliva, yang pasti keduanya kini tampak terdiam dengan bibir yang memerah. Sesekali terdengar desah napas memburu dari keduanya. Meski pagutan mereka sudah terurai, tapi keduanya masih bergeming dengan kening yang mene
“Kamu kenapa, Mas? Kok pucet gitu?” tanya Aina.Mereka baru saja keluar dari studio bioskop dan kali ini Aina tampak terkejut melihat raut wajah Fakhri yang pucat pasi. Hari ini tanpa sengaja Fakhri membeli tiket film genre horror. Hanya itu tiket film yang tersisa dan karena Fakhri tak mau kehilangan momen kebersamaannya dengan Aina. Dia terpaksa menonton film horror meskipun tidak menyukainya.“Gak papa. Aku hanya kedinginan di dalam. Ac-nya kenceng banget,” jawab Fakhri.Ia berkata sambil memeluk tangan dan mengelus lengannya. Aina hanya manggut-manggut sambil mengulum senyum. Padahal dia tahu jika Fakhri ketakutan sepanjang menonton tadi. Dia terus menutup wajahnya dengan kedua tangan dan Aina berani taruhan, Fakhri tidak tahu jalan cerita film tersebut.Mereka terus berjalan keluar dari gedung bioskop itu. Harusnya sesuai rencana, mereka akan makan malam bersama Robby dan Rini. Namun, karena tidak ada kabar berita dari mereka,
“Eng … enggak. Memangnya apa yang aku sembunyikan dari Ibu?” ucap Fakhri.Sebenarnya Fakhri tidak mau mengatakan hal ini, tapi dia terpaksa berbohong kali ini. Belum saatnya Bu Rahma tahu mengenai kasus penukaran putranya. Ia akan memberi tahu jika semuanya sudah terungkap.Bu Rahma hanya diam dengan mata yang penuh selidik. Fakhri mengulum senyum kemudian mengelus lembut bahu ibunya.“Udah, Ibu jangan mikir aneh-aneh. Tahu, gak? Aku punya kabar baik buat Ibu.”Fakhri sudah mengalihkan topik pembicaraan. Bu Rahma masih terdiam dan fokus menatap Fakhri. Fakhri mengulum senyum sambil memperhatikan ibunya.“Aku mau kencan ama Aina akhir pekan ini. Jadi minta tolong Ibu jaga Zafran, ya?”Sontak sebuah senyuman terkembang lebar di raut wanita paruh baya itu.“Beneran kalian mau kencan?” ulang Bu Rahma menyakinkan.“Iya. Semoga saja setelah ini akan membawa hasil yang memua