“Ngapain katamu? Ini masih kamarku juga, ya?” sergah Fakhri.
Aina hanya diam, menelan saliva sambil memegang erat handuk yang menutup tubuhnya. Fakhri hanya diam, menatapnya datar. Kemudian dia bangkit dan berjalan menghampiri Aina. Ia berdiri sangat dekat di depan Aina. Bahkan matanya kini tampak terus tertuju ke dada Aina.
Tubuh Aina memang lebih sintal dan molek dari biasanya. Gara-gara kehamilan ini membuat wanita cantik itu terlihat seksi dan menggoda dalam balutan handuk. Berulang jakun Fakhri naik turun dengan manik mata yang tak lepas dari Aina.
Aina menunduk dan menghindari mata tajam itu. Mungkin dulu Aina akan suka dengan tatapan itu, tapi kini malah membuat Aina risih melihatnya. Fakhri mendengkus dengan keras kemudian berjalan melewati Aina. Aina menghela napas lega sambil mengurut dada dan memejamkan mata sekilas.
Namun, dia terlalu cepat melakukannya. Tak disangka Fakhri malah menghentikan langkah, membalikkan badan dan berdiri di belakang
“Ban serep?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, pasalnya dia sudah keluar kamar lebih dulu dan memilih tidur di kamar tamu. Fakhri terdiam menghela napas panjang sambil meraup wajahnya. Padahal hari ini dia sengaja pulang sekalian mengantar ibunya hanya untuk memperbaiki keadaan. Namun, sepertinya Aina malah menolaknya.Fakhri urung terpejam. Ia bangkit usai merapikan piyamanya kemudian berjalan keluar kamar menuju kamar tamu tempat Aina berada. Fakhri langsung menekan handle pintu, tapi Aina sudah menguncinya dari dalam.“Aina … buka pintunya!!” ucap Fakhri.Ia berkata sambil mengetuk pintu kamar, tapi tidak ada jawaban dari dalam kamar. Beberapa kali Fakhri mengetuk, tapi tetap tidak ada jawaban. Fakhri berdecak, menggelengkan kepala kemudian dengan gontai berjalan kembali ke kamar.Ia tidak mau terus mengetuk pintu dan membuat seisi rumah ini terbangun. Fakhri berbaring kembali ke kasur. Ia melirik tempat Aina terl
“Pesan taxi??? Tapi, Mas ---”Belum selesai Wulan meneruskan kalimatnya, Fakhri sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melaju meninggalkan Wulan seorang diri. Wulan terperangah kaget melihat ulah Fakhri. Wajah putihnya sontak merah padam, matanya menyalang penuh amarah.“Sial!! Hanya semalam menginap di sini saja kamu sudah memperlakukanku seperti ini, Mas,” geram Wulan.Wulan makin kesal saat Bu Rahma keluar dan menghampirinya.“Loh, kok kamu masih di sini, Wulan?” tanya wanita paruh baya itu.“Iya, Bu. Mas Fakhri mau ketemuan ama klien. Saya … saya naik taxi saja ke kantor.”Bu Rahma hanya manggut-manggut dengan bibir yang sudah membentuk huruf ‘o’. Namun, Wulan melihat sorot mata mertuanya itu sudah menatap penuh ejekan. Wulan tahu dari awal berpacaran dengan Fakhri dulu, Bu Rahma tidak suka dengannya.Wulan pikir dengan menjadi istri kedua Fakhri akan bisa memenan
“Fakhri!! Kamu apa-apaan?” seru Damar.Fakhri tidak menggubris ocehan Damar, matanya terus mengunci ke arah Aina. Ulah Fakhri kali ini benar-benar membuat Aina kesal. Aina menarik napas panjang kemudian mengangguk dan berjalan menghampiri Fakhri.“Aku bisa jalan sendiri,” jawab Aina.Fakhri tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Baguslah kalau begitu. Ayo, kita pulang!!”Aina mengangguk sambil melirik Damar seakan berpamitan dengan isyarat matanya. Damar balas mengangguk dan menatap Aina serta Fakhri yang sudah berlalu pergi menjauh.Aina langsung masuk ke dalam mobil dengan Fakhri duduk di sampingnya. Sama seperti tempo hari, lagi-lagi Aina merasa asing di dalamnya. Banyak jejak Wulan di dalam mobil itu dan secara tidak langsung itu mengiris hati Aina. Kemudian tanpa diminta terlintas kejadian semalam dan kini Aina sibuk menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan mobil Fakhri melaju menin
“Aku masih mencintaimu, Aina,” desis Fakhri.Aina terdiam. Matanya berkabut menatap pria tampan di depannya. Sungguh kalimat Fakhri bagai angin surga yang berhembus di telinganya. Tanpa diminta buliran bening luruh berjatuhan membasahi pipi Aina. Ia tidak menduga Fakhri akan berkata seperti ini. Banyak amarah di dadanya belakangan ini kemudian perlahan melebur menghilang ditelan angin usai mendengar kalimat Fakhri."Ak---aku ... aku ---"Belum selesai Aina bersuara, tangan Fakhri tiba-tiba terulur mengusap lembut pipinya. Menyeka air mata Aina, bersamaan dengan luruhnya semua murka. Perlahan Fakhri mendekat, menempelkan keningnya di kening Aina."Aku minta maaf ... ."Sontak Aina tercengang, ia mendongak dan langsung beradu dengan netra coklat Fakhri. Lagi-lagi Fakhri melakukan hal yang tidak diduga Aina. Apa ini tandanya semuanya sudah berakhir? Perselisihan mereka beberapa bulan ini terselesaikan. Aina tidak tahu.Kemudian deng
“Mas, aku bisa berangkat sendiri. Kamu gak usah mengantarku pagi ini,” pinta Aina.Usai semalam menginap di hotel dekat pantai, pagi ini Fakhri bersikeras hendak mengantar Aina kerja. Fakhri berdecak sambil menatap Aina tajam.“Kamu gak berubah, Aina. Selalu sok mandiri dan keras kepala.”Aina hanya diam saat Fakhri berkata seperti itu. Ia tahu, Fakhri sangat mengenal sifatnya dan Aina membenarkan ucapannya.“Aku suamimu dan aku ingin mengantarmu sekarang. Apa kamu mau aku memintamu berhenti kerja?”Sontak mata Aina membola saat mendengar ucapan Fakhri kemudian perlahan kepalanya menggeleng. Memang Fakhri sudah berubah, tapi tidak semudah itu juga Aina resign dari kerjaannya. Terlebih Damar sudah sangat baik membantunya belakangan ini.Fakhri tersenyum melihat reaksi Aina. Ia berjalan mendekat dan berdiri sejajar di depan Aina. Dengan lembut Fakhri menyentuh bahu Aina. Netra coklatnya kini mengamati Aina d
“Maaf, Fakhri. Aku tidak bisa sepenuhnya menurutimu. Ada beberapa hal yang membuatku harus dekat dengan Aina,” jawab Damar.Fakhri hanya diam, tapi matanya tampak berkilatan tajam menatap Damar. Terlihat sangat kecurigaan di tatapan Fakhri kali ini. Damar berdecak sambil tersenyum.“Maksudku dalam hal ini urusan kerjaan, Fakhri. Dia bawahanku dan sewaktu-waktu aku juga butuh kemampuannya. Jadi apa mungkin aku harus menjauhinya?”Fakhri manggut-manggut memahami ucapan Damar.“Aku juga tidak bodoh, Damar. Kalau urusan kerjaan, aku tidak masalah. Namun, di luar itu aku tidak akan mentolerir.”Damar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Fakhri membalas senyumannya dan terlihat lega. Selanjutnya mereka tampak sibuk membicarakan urusan kerjaan, bahkan Fakhri membutuhkan waktu hampir setengah hari berada di kantor Damar.Menjelang jam makan siang, Fakhri berpamitan pulang. Ia langsung melajukan mobilnya me
“Apa katamu? Kamu mau menceraikanku?” tanya Wulan.Wanita cantik berwajah putih bak porselen itu tersentak kaget saat mendengar ucapan Fakhri. Namun, sepertinya Fakhri tidak memperhatikan reaksinya dan terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Tentu saja Wulan kesal karena merasa diabaikan Fakhri.“MAS!!! Aku bicara denganmu!!”“Iya, aku dengar.” Fakhri malah menjawabnya dengan santai dan tanpa melihat ke arah Wulan.Melihat reaksi Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Wanita cantik itu langsung bangkit dari duduknya, kemudian tanpa bersuara, pergi berlalu meninggalkan ruangan Fakhri. Fakhri hanya meliriknya sekilas kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya tanpa berusaha untuk membujuk Wulan yang merajuk.Sementara itu, Damar sudah keluar ruangan dan berjalan menuju ruangan Aina. Kebetulan Aina sedang sendiri, anak buahnya sudah keluar untuk beristirahat makan siang.“Hai!! Kamu tidak istirahat, Aina?&rdqu
“Zafran mau memaafkan Ayah, kan?” tanya Fakhri.Ia kembali menanyakannya karena sedari tadi Zafran hanya diam bergeming dalam pelukan Fakhri. Masih belum ada jawaban keluar dari mulut Zafran, hingga tiba-tiba bocah laki-laki itu mengurai pelukannya lebih dulu.Aina dan Fakhri terdiam menatap Zafran dengan ekspresi bingung. Aina berharap Zafran mau memaafkan Fakhri dan mereka bisa kembali utuh menjadi satu keluarga seperti sebelumnya. Sementara Fakhri hanya membisu dengan mata yang penuh tanya menatap Zafran.Tidak masalah jika pria kecil ini tidak memaafkannya. Ulahnya beberapa bulan lalu pasti telah menorehkan luka yang teramat dalam. Namun, meski Zafran bukan anak kandungnya, Fakhri tidak mengingkari kalau perasaan sayangnya sangat besar pada Zafran. Ia sangat berharap Zafran mau memaafkannya.“Zafran sayang Ayah. Tentu saja Zafran akan memaafkan Ayah.” Serta merta Zafran bersuara.Fakhri langsung tersenyum dan kembali men
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd