“Pesan taxi??? Tapi, Mas ---”
Belum selesai Wulan meneruskan kalimatnya, Fakhri sudah masuk ke dalam mobil dan langsung melaju meninggalkan Wulan seorang diri. Wulan terperangah kaget melihat ulah Fakhri. Wajah putihnya sontak merah padam, matanya menyalang penuh amarah.
“Sial!! Hanya semalam menginap di sini saja kamu sudah memperlakukanku seperti ini, Mas,” geram Wulan.
Wulan makin kesal saat Bu Rahma keluar dan menghampirinya.
“Loh, kok kamu masih di sini, Wulan?” tanya wanita paruh baya itu.
“Iya, Bu. Mas Fakhri mau ketemuan ama klien. Saya … saya naik taxi saja ke kantor.”
Bu Rahma hanya manggut-manggut dengan bibir yang sudah membentuk huruf ‘o’. Namun, Wulan melihat sorot mata mertuanya itu sudah menatap penuh ejekan. Wulan tahu dari awal berpacaran dengan Fakhri dulu, Bu Rahma tidak suka dengannya.
Wulan pikir dengan menjadi istri kedua Fakhri akan bisa memenan
“Fakhri!! Kamu apa-apaan?” seru Damar.Fakhri tidak menggubris ocehan Damar, matanya terus mengunci ke arah Aina. Ulah Fakhri kali ini benar-benar membuat Aina kesal. Aina menarik napas panjang kemudian mengangguk dan berjalan menghampiri Fakhri.“Aku bisa jalan sendiri,” jawab Aina.Fakhri tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Baguslah kalau begitu. Ayo, kita pulang!!”Aina mengangguk sambil melirik Damar seakan berpamitan dengan isyarat matanya. Damar balas mengangguk dan menatap Aina serta Fakhri yang sudah berlalu pergi menjauh.Aina langsung masuk ke dalam mobil dengan Fakhri duduk di sampingnya. Sama seperti tempo hari, lagi-lagi Aina merasa asing di dalamnya. Banyak jejak Wulan di dalam mobil itu dan secara tidak langsung itu mengiris hati Aina. Kemudian tanpa diminta terlintas kejadian semalam dan kini Aina sibuk menerka apa yang akan terjadi selanjutnya.Perlahan mobil Fakhri melaju menin
“Aku masih mencintaimu, Aina,” desis Fakhri.Aina terdiam. Matanya berkabut menatap pria tampan di depannya. Sungguh kalimat Fakhri bagai angin surga yang berhembus di telinganya. Tanpa diminta buliran bening luruh berjatuhan membasahi pipi Aina. Ia tidak menduga Fakhri akan berkata seperti ini. Banyak amarah di dadanya belakangan ini kemudian perlahan melebur menghilang ditelan angin usai mendengar kalimat Fakhri."Ak---aku ... aku ---"Belum selesai Aina bersuara, tangan Fakhri tiba-tiba terulur mengusap lembut pipinya. Menyeka air mata Aina, bersamaan dengan luruhnya semua murka. Perlahan Fakhri mendekat, menempelkan keningnya di kening Aina."Aku minta maaf ... ."Sontak Aina tercengang, ia mendongak dan langsung beradu dengan netra coklat Fakhri. Lagi-lagi Fakhri melakukan hal yang tidak diduga Aina. Apa ini tandanya semuanya sudah berakhir? Perselisihan mereka beberapa bulan ini terselesaikan. Aina tidak tahu.Kemudian deng
“Mas, aku bisa berangkat sendiri. Kamu gak usah mengantarku pagi ini,” pinta Aina.Usai semalam menginap di hotel dekat pantai, pagi ini Fakhri bersikeras hendak mengantar Aina kerja. Fakhri berdecak sambil menatap Aina tajam.“Kamu gak berubah, Aina. Selalu sok mandiri dan keras kepala.”Aina hanya diam saat Fakhri berkata seperti itu. Ia tahu, Fakhri sangat mengenal sifatnya dan Aina membenarkan ucapannya.“Aku suamimu dan aku ingin mengantarmu sekarang. Apa kamu mau aku memintamu berhenti kerja?”Sontak mata Aina membola saat mendengar ucapan Fakhri kemudian perlahan kepalanya menggeleng. Memang Fakhri sudah berubah, tapi tidak semudah itu juga Aina resign dari kerjaannya. Terlebih Damar sudah sangat baik membantunya belakangan ini.Fakhri tersenyum melihat reaksi Aina. Ia berjalan mendekat dan berdiri sejajar di depan Aina. Dengan lembut Fakhri menyentuh bahu Aina. Netra coklatnya kini mengamati Aina d
“Maaf, Fakhri. Aku tidak bisa sepenuhnya menurutimu. Ada beberapa hal yang membuatku harus dekat dengan Aina,” jawab Damar.Fakhri hanya diam, tapi matanya tampak berkilatan tajam menatap Damar. Terlihat sangat kecurigaan di tatapan Fakhri kali ini. Damar berdecak sambil tersenyum.“Maksudku dalam hal ini urusan kerjaan, Fakhri. Dia bawahanku dan sewaktu-waktu aku juga butuh kemampuannya. Jadi apa mungkin aku harus menjauhinya?”Fakhri manggut-manggut memahami ucapan Damar.“Aku juga tidak bodoh, Damar. Kalau urusan kerjaan, aku tidak masalah. Namun, di luar itu aku tidak akan mentolerir.”Damar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Fakhri membalas senyumannya dan terlihat lega. Selanjutnya mereka tampak sibuk membicarakan urusan kerjaan, bahkan Fakhri membutuhkan waktu hampir setengah hari berada di kantor Damar.Menjelang jam makan siang, Fakhri berpamitan pulang. Ia langsung melajukan mobilnya me
“Apa katamu? Kamu mau menceraikanku?” tanya Wulan.Wanita cantik berwajah putih bak porselen itu tersentak kaget saat mendengar ucapan Fakhri. Namun, sepertinya Fakhri tidak memperhatikan reaksinya dan terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Tentu saja Wulan kesal karena merasa diabaikan Fakhri.“MAS!!! Aku bicara denganmu!!”“Iya, aku dengar.” Fakhri malah menjawabnya dengan santai dan tanpa melihat ke arah Wulan.Melihat reaksi Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Wanita cantik itu langsung bangkit dari duduknya, kemudian tanpa bersuara, pergi berlalu meninggalkan ruangan Fakhri. Fakhri hanya meliriknya sekilas kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya tanpa berusaha untuk membujuk Wulan yang merajuk.Sementara itu, Damar sudah keluar ruangan dan berjalan menuju ruangan Aina. Kebetulan Aina sedang sendiri, anak buahnya sudah keluar untuk beristirahat makan siang.“Hai!! Kamu tidak istirahat, Aina?&rdqu
“Zafran mau memaafkan Ayah, kan?” tanya Fakhri.Ia kembali menanyakannya karena sedari tadi Zafran hanya diam bergeming dalam pelukan Fakhri. Masih belum ada jawaban keluar dari mulut Zafran, hingga tiba-tiba bocah laki-laki itu mengurai pelukannya lebih dulu.Aina dan Fakhri terdiam menatap Zafran dengan ekspresi bingung. Aina berharap Zafran mau memaafkan Fakhri dan mereka bisa kembali utuh menjadi satu keluarga seperti sebelumnya. Sementara Fakhri hanya membisu dengan mata yang penuh tanya menatap Zafran.Tidak masalah jika pria kecil ini tidak memaafkannya. Ulahnya beberapa bulan lalu pasti telah menorehkan luka yang teramat dalam. Namun, meski Zafran bukan anak kandungnya, Fakhri tidak mengingkari kalau perasaan sayangnya sangat besar pada Zafran. Ia sangat berharap Zafran mau memaafkannya.“Zafran sayang Ayah. Tentu saja Zafran akan memaafkan Ayah.” Serta merta Zafran bersuara.Fakhri langsung tersenyum dan kembali men
“Wulan!!! Kamu apa-apaan?” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat melihat Wulan sedang berdiri di balik pintu kamarnya sambil berkacak pinggang. Wulan terdiam, matanya menyalang dengan napas tersenggal sesekali melirik ke dalam kamar mencoba mencari Aina.“Mas yang apa-apaan. Kenapa tidak pulang lagi malam ini? Kenapa juga harus menginap di sini?”Fakhri menghela napas panjang sambil menatap Wulan dengan tajam.“Kamu lupa, kalau Aina juga istriku. Dia berhak mendapat perhatian dan waktuku juga.”Wulan berdecak sambil menggelengkan kepala.“Selalu itu alasanmu. Apa kamu lupa, alasanku mau menerima menjadi istri keduamu, Mas?”Fakhri terdiam sesaat menelan saliva dan membuat jakunnya naik turun, kemudian perlahan dia menganggukkan kepala.“Aku tidak lupa.”“Ya sudah, kenapa kamu ke sini? Bukannya kamu janji tidak akan ke sini lagi dan menemui Aina?”
“Apa katamu? Cerai? Kamu ingin bercerai dariku?” ulang Wulan.Fakhri tidak menjawab hanya menatap tajam dengan netra coklatnya. Wulan membisu di tempatnya kemudian berjalan mendekat hingga tak berjarak di depan Fakhri. Perlahan wanita cantik itu mengulurkan tangan membelai wajah Fakhri.“Apa kamu tidak tahu, Mas? Betapa besar rasa cintaku padamu. Aku putus asa, kecewa dan merana saat kamu putuskan aku dulu. Aku semakin nelangsa begitu tahu kamu malah memilih Aina yang dijodohkan ibumu. Sungguh, itu adalah masa yang sulit bagiku.”Wulan menjeda kalimatnya dan sama sekali tidak melepas pandangannya dari Fakhri. Sementara Fakhri hanya membisu tanpa mau mengusik cerita Wulan.“Lalu, saat kamu datang kembali dan meminta menikah denganmu. Sungguh, itu adalah kebahagiaan yang tak terkira bagiku. Meskipun aku harus jadi yang kedua, tak masalah. Asalkan aku selalu bersamamu. Namun … kini kamu malah berkata seperti itu.”
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkanto
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza
“Rumah sakit? Wulan?” gumam Fakhri.Ia sudah mengantuk, konsentrasinya sudah berkurang dan sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Fakhri menguap lebar sambil meraup wajahnya dengan kasar.“Ma, kenapa Mama gak hubungi pengacaranya saja? Kenapa harus dengan saya? Saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Wulan!!”Fakhri meninggikan intonasi suaranya dan terdengar sedikit kesal. Bisa jadi semua yang dilakukan Wulan kali ini hanyalah sandiwara, akal-akalannya saja supaya mendapat simpatik Fakhri. Dia sudah berulang kali terbujuk oleh hal seperti itu dan Fakhri tidak mau mengulangnya lagi.“Tapi, Fakhri … Wulan butuh kamu. Bagaimanapun kamu pernah menjadi suaminya. Mama mohon kamu datang.”Fakhri tidak bersuara. Ia menghela napas panjang kemudian gegas mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan ke Bu Vita. Fakhri meletakkan ponselnya di nakas dan mencoba kembali terlelap.Namun, sepertinya ia kesulitan untuk melakukannya. Meski dia kesal, jengkel dan marah dengan semua ula
“Heh??” gumam Fakhri.Pria tampan itu terkejut saat mendengar ucapan Aina. Ia tidak menduga jika Aina akan berkata seperti ini. Apa mungkin penantiannya untuk bisa kembali rujuk akan terwujud?Aina tersenyum sambil mempererat genggamannya dan menatap Fakhri dengan lembut.“Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memberimu kesempatan.”Fakhri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata coklatnya yang berbinar indah. Tanpa banyak bicara, Fakhri mendekat, menarik dagu Aina dan langsung mencium bibirnya.Aina gelagapan mendapat serangan dari mantan suaminya. Namun, ia tidak menolak. Dengan rileks, Aina melingkarkan tangannya di leher Fakhri dan meneruskan pagutan mereka.Entah berapa lama mereka saling berbagi saliva, yang pasti keduanya kini tampak terdiam dengan bibir yang memerah. Sesekali terdengar desah napas memburu dari keduanya. Meski pagutan mereka sudah terurai, tapi keduanya masih bergeming dengan kening yang mene
“Kamu kenapa, Mas? Kok pucet gitu?” tanya Aina.Mereka baru saja keluar dari studio bioskop dan kali ini Aina tampak terkejut melihat raut wajah Fakhri yang pucat pasi. Hari ini tanpa sengaja Fakhri membeli tiket film genre horror. Hanya itu tiket film yang tersisa dan karena Fakhri tak mau kehilangan momen kebersamaannya dengan Aina. Dia terpaksa menonton film horror meskipun tidak menyukainya.“Gak papa. Aku hanya kedinginan di dalam. Ac-nya kenceng banget,” jawab Fakhri.Ia berkata sambil memeluk tangan dan mengelus lengannya. Aina hanya manggut-manggut sambil mengulum senyum. Padahal dia tahu jika Fakhri ketakutan sepanjang menonton tadi. Dia terus menutup wajahnya dengan kedua tangan dan Aina berani taruhan, Fakhri tidak tahu jalan cerita film tersebut.Mereka terus berjalan keluar dari gedung bioskop itu. Harusnya sesuai rencana, mereka akan makan malam bersama Robby dan Rini. Namun, karena tidak ada kabar berita dari mereka,
“Eng … enggak. Memangnya apa yang aku sembunyikan dari Ibu?” ucap Fakhri.Sebenarnya Fakhri tidak mau mengatakan hal ini, tapi dia terpaksa berbohong kali ini. Belum saatnya Bu Rahma tahu mengenai kasus penukaran putranya. Ia akan memberi tahu jika semuanya sudah terungkap.Bu Rahma hanya diam dengan mata yang penuh selidik. Fakhri mengulum senyum kemudian mengelus lembut bahu ibunya.“Udah, Ibu jangan mikir aneh-aneh. Tahu, gak? Aku punya kabar baik buat Ibu.”Fakhri sudah mengalihkan topik pembicaraan. Bu Rahma masih terdiam dan fokus menatap Fakhri. Fakhri mengulum senyum sambil memperhatikan ibunya.“Aku mau kencan ama Aina akhir pekan ini. Jadi minta tolong Ibu jaga Zafran, ya?”Sontak sebuah senyuman terkembang lebar di raut wanita paruh baya itu.“Beneran kalian mau kencan?” ulang Bu Rahma menyakinkan.“Iya. Semoga saja setelah ini akan membawa hasil yang memua