“Wulan!!! Kamu apa-apaan?” seru Fakhri.
Fakhri sangat terkejut saat melihat Wulan sedang berdiri di balik pintu kamarnya sambil berkacak pinggang. Wulan terdiam, matanya menyalang dengan napas tersenggal sesekali melirik ke dalam kamar mencoba mencari Aina.
“Mas yang apa-apaan. Kenapa tidak pulang lagi malam ini? Kenapa juga harus menginap di sini?”
Fakhri menghela napas panjang sambil menatap Wulan dengan tajam.
“Kamu lupa, kalau Aina juga istriku. Dia berhak mendapat perhatian dan waktuku juga.”
Wulan berdecak sambil menggelengkan kepala.
“Selalu itu alasanmu. Apa kamu lupa, alasanku mau menerima menjadi istri keduamu, Mas?”
Fakhri terdiam sesaat menelan saliva dan membuat jakunnya naik turun, kemudian perlahan dia menganggukkan kepala.
“Aku tidak lupa.”
“Ya sudah, kenapa kamu ke sini? Bukannya kamu janji tidak akan ke sini lagi dan menemui Aina?”<
“Apa katamu? Cerai? Kamu ingin bercerai dariku?” ulang Wulan.Fakhri tidak menjawab hanya menatap tajam dengan netra coklatnya. Wulan membisu di tempatnya kemudian berjalan mendekat hingga tak berjarak di depan Fakhri. Perlahan wanita cantik itu mengulurkan tangan membelai wajah Fakhri.“Apa kamu tidak tahu, Mas? Betapa besar rasa cintaku padamu. Aku putus asa, kecewa dan merana saat kamu putuskan aku dulu. Aku semakin nelangsa begitu tahu kamu malah memilih Aina yang dijodohkan ibumu. Sungguh, itu adalah masa yang sulit bagiku.”Wulan menjeda kalimatnya dan sama sekali tidak melepas pandangannya dari Fakhri. Sementara Fakhri hanya membisu tanpa mau mengusik cerita Wulan.“Lalu, saat kamu datang kembali dan meminta menikah denganmu. Sungguh, itu adalah kebahagiaan yang tak terkira bagiku. Meskipun aku harus jadi yang kedua, tak masalah. Asalkan aku selalu bersamamu. Namun … kini kamu malah berkata seperti itu.”
“Eng … maaf, Damar. Kalau akhir pekan ini rasanya aku tidak bisa,” jawab Aina.Damar terdiam dan raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. Aina serba salah, tapi dia juga tidak mau berbohong.“Mas Fakhri mau mengajak kami pergi,” imbuh Aina.Damar tidak menjawab, tapi sudah menganggukkan kepala.“Hmm … begitu. Baiklah, aku akan memberi tahu jika kamu berhalangan.”Aina mengangguk, tapi matanya melihat raut Damar yang muram karena jawabannya tadi.“Apa aku boleh kembali ke ruanganku?” Aina mengalihkan topik pembicaraan. Obrolan mereka pagi ini membuat Aina tidak enak hati pada Damar. Damar mengangguk kemudian menyilakan Aina berlalu pergi.Helaan napas panjang sontak terdengar keluar dari bibir Damar usai wanita cantik itu berlalu dari ruangannya.“Kenapa juga aku selalu kalah dengan Fakhri? Padahal jelas-jelas ia sudah menyakitimu, Aina,” gumam Damar.
“Halo, Selamat malam. Saya Yeni. Yang tempo hari mengurus gugatan cerai Ibu,” ucap suara di seberang.Aina terdiam sejenak. Ia sangat terkejut mendapat panggilan tak terduga ini. Memang sebelumnya Aina sudah mengajukan gugatan cerai. Ia bahkan meminta bantuan seorang pengacara untuk mengurusnya. Hanya saja karena waktu tunggu untuk proses itu cukup lama membuat Aina melupakan hal tersebut.“Iya, Bu. Kalau boleh tahu ada perlu apa, ya?” Aina terlihat gugup saat menjawabnya.Ia sedang berada di kamar seorang diri usai makan malam tadi. Fakhri sedang menidurkan Zafran di kamar sebelah, tapi tentu saja Aina takut jika pembicaraannya ini didengar Fakhri.“Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan berhubungan dengan gugatan cerai Ibu? Apa bisa kita bertemu?”Aina terdiam sesaat. Entah mengapa dia terlihat ragu untuk menjawab. Sebelumnya Aina memang sudah membulatkan tekad untuk mengajukan gugatan cerai ke Fakhri. Namun
“Bunda, tadi seru banget. Aku sama Ayah … .”Zafran terus berceloteh sepanjang perjalanan pulang. Aina yang duduk di bangku depan hanya tersenyum sambil sesekali menganggukkan kepala. Sementara Fakhri terus fokus menatap lalu lintas yang semakin padat.“Nanti kita pergi ke pantai ya, Ayah. Tempo hari Om Damar pernah janji akan mengajak ke pantai, tapi belum terwujud sampai sekarang.”Zafran kembali bersuara dan kini sambil menyisipkan nama Damar di tengah permintaannya. Fakhri tidak bersuara hanya kepalanya yang terus mengangguk. Aina yang duduk di sebelahnya terdiam sambil menatap Fakhri dengan penasaran. Ia berharap Fakhri tidak mengambil hati semua ucapan Zafran kali ini.Selang beberapa saat, mereka tiba di rumah. Zafran langsung berhambur lari masuk ke dalam rumah. Kemudian sama seperti tadi, ia sibuk berceloteh menceritakan keseruan hari ini ke Bi Isa dan Mang Samin.Aina dan Fakhri mengikuti di belakang. Mereka
“Apa maksudmu, Fakhri?” tanya Damar.Fakhri berdecak sambil menyilangkan kaki melihat Damar dengan sudut matanya. Sebuah senyuman seringai terukir di raut tampan Fakhri kali ini dan itu membuat Damar semakin kesal.“Memangnya aku tidak tahu jika kamu tertarik pada istriku? Apa belum jelas laranganku tempo hari?”Damar kini yang berdecak sambil mengacak rambutnya.“Astaga!! Kamu cemburu ternyata. Dengar, Fakhri!! Ini murni urusan kerja dan tidak ada sangkut pautnya aku tertarik pada Aina atau tidak.”“Oh ya? Benarkah? Lalu kenapa kamu tidak menundanya senin pagi saja? Bahkan seharusnya yang menghubungi Aina kliennya yang bersangkutan, bukan kamu.”Damar terdiam, dadanya mengembang sibuk mengolah oksigen. Entah mengapa tiba-tiba dia merasa sesak usai mendengar kalimat Fakhri barusan. Wajah Damar menegang dan berusaha meredam emosinya. Ia tidak mau meladeni ucapan Fakhri kali ini.“Aku hanya berniat membantu. Aku yang mengenalkan Aina de
“Dia juga istri saya, Pak,” jawab Fakhri dengan lantang.Pak Ramli hanya diam sambil menganggukkan kepala. Sementara Aina tampak serba salah dan terus menunduk di sebelah Fakhri. Hanya Damar yang tampak bersikap datar dan tak bereaksi dengan situasi yang sedang berlangsung.“Kalau sudah selesai, kami mau pulang dulu.” Fakhri kembali menambahkan kalimatnya.Pak Ramli mengangguk kemudian menyilakan Fakhri dan Aina berlalu lebih dulu. Hanya Damar kini yang masih tinggal bersama Pak Ramli. Pak Ramli tersenyum sambil menepuk bahu Damar berulang.“Saya pikir Anda dan Bu Aina punya hubungan khusus, Pak. Ternyata dugaan saya salah.”Damar hanya tersenyum miring sambil melihat Pak Ramli dengan sudut matanya.“Aku memang punya hubungan khusus dengannya. Sayangnya hanya aku dan Aina saja yang tahu. Tenang saja, suatu saat kamu juga akan tahu, Fakhri dan aku tidak sabar melihat reaksimu,” gumam Damar dalam
“Wulan? Kamu mau menceraikan Wulan?” ulang Robby.Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Fakhri, tapi kepalanya sudah mengangguk berulang. Tentu saja gestur tubuh Fakhri tidak terlihat oleh Robby.“Gila!! Yang ada bisa mati kamu, Fakhri!!” Robby kembali menambahkan kalimatnya.Fakhri hanya diam dengan bahu naik turun mengolah oksigen.“Apa kamu lupa kalau kalian sudah membuat perjanjian pranikah saat itu dan Wulan tidak mau kamu ceraikan dengan alasan apa pun. Kamu lupa, Fakhri?”Fakhri mendengkus, menyandarkan punggungnya ke kursi sambil mengangguk dengan lesu.“Iya, aku tahu. Namun, aku rasa kamu bisa mengakalinya. Beri dia kompesasi harta gono gini dua atau tiga kali lipat pasti juga beres.”Robby menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Berulang pria berwajah Tionghoa itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.“Kamu bener-bener gila, Fakhri. Makanya sudah kub
“Hamil?” ulang Fakhri.Wulan tersenyum sambil menganggukkan kepala. Matanya berbinar indah dengan kedua pipi yang bersemu merah. Terlihat sekali jika wanita cantik berparas putih ini sedang dilanda kegembiraan.“Iya, kata Dokter sudah jalan tiga minggu,” jawab Wulan kini sambil mengelus perutnya.Fakhri hanya membisu. Bibirnya terkatup, matanya terkunci menatap test pack bertanda positif yang baru diberikan Wulan padanya. Fakhri tidak menduga akan mendengar kabar seperti ini. Padahal dia sudah menyiapkan kata-kata untuk menceraikan Wulan. Bahkan meminta Robby mengurus semuanya.“Eng … terus kamu mau ngomong apa tadi, Mas?” Kini Wulan mengalihkan topik pembicaraan.Fakhri yang tercenung hanya diam menatapnya dengan linglung. Kemudian setelah beberapa saat, kepalanya menggeleng.“Enggak. Gak jadi, gak penting, kok.”Lagi-lagi sebuah senyuman terkembang indah di wajah Wulan. Ia tidak tahu jika suaminya sedang kebingungan menghadapi berit
“Zafran,” batin Aina.Ia buru-buru membuka mata, mengurai pagutan mereka dan sangat terkejut saat melihat Fakhri sudah berada di atas tubuhnya dengan pakaian tidak lengkap. Tidak hanya itu, Aina juga tersentak kaget saat tangan Fakhri sudah masuk ke balik bajunya bahkan tengah bermain dengan gunung kembarnya.Fakhri terdiam. Dengan gugup, ia bangkit dari tubuh Aina sambil merapikan baju. Sama halnya dengan Fakhri, Aina tampak kikuk. Ia bangkit sambil mengancingkan bagian atas gaunnya yang sudah dibuka Fakhri. Tak dia hiraukan rambutnya yang tampak berantakan kali ini.Aina berjalan menuju pintu dan membukanya.“Eng … Ayah sedang mandi, Zafran. Sebentar lagi selesai.” Aina terpaksa berbohong.Zafran tersenyum, menganggukkan kepala sambil berlalu pergi. Aina kembali menutup pintu dan berjalan menuju kasur. Ia melihat Fakhri sudah terlihat rapi dan duduk terdiam di tepi kasur.“Maaf, Aina. Aku ---”Fakhri tidak meneruskan kalimatnya, tapi malah mendongak menatap Aina. Mata mereka bertemu
“Reza? Ada hubungan apa dia dengan Wulan?” tanya Fakhri.Baru tadi pagi Fakhri bertemu Reza dan sekarang dia sudah mendapat kabar jika Reza membantu memindahkan Wulan ke rumah sakit pusat kota.Robby tidak menjawab hanya mengendikkan bahu sambil mengaduk es jeruknya.“Entahlah …, tapi katanya mereka sempat pacaran usai kamu putus dengan Wulan. Bisa jadi Reza sengaja datang untuk menolongnya. Bagaimanapun dia masih mencintai Wulan.”Fakhri tersenyum hambar sambil menggelengkan kepala. Melihat reaksi Fakhri, membuat Robby penasaran.“Kenapa reaksimu seperti itu? Kamu tidak terlihat terkejut dengan kehadiran Reza.”Fakhri berdecak. “Aku baru saja bertemu dengannya tadi pagi, bahkan dia menawarkan sebuah kerja sama denganku. Kelihatannya kerja samanya menguntungkan dan aku putuskan untuk bergabung dengannya.”Robby terperangah kaget mendengar penjelasan Fakhri.“Gila!! Di
“Semua baik-baik saja kan, Mas?” tanya Aina.Fakhri melihat Aina sedang mendongak menatapnya. Mereka sudah berdiri di depan lift yang masih tertutup saat ini. Kemudian sebuah senyuman terukir dengan indah di raut tampan Fakhri.“Iya, baik-baik saja, kok.”Aina tersenyum lega kemudian sudah melenggang masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka. Fakhri mengikuti dan sama seperti tadi, pria tampan itu terus merangkul bahu Aina. Tak lama mereka sudah berjalan keluar kantor menuju mobil Fakhri. Sepanjang perjalanan senyum lebar terus terlihat di wajah keduanya.Tanpa sadar ada yang sedang memperhatikan gerak gerik mereka dari dalam mobil. Seorang pria berwajah manis berkulit sawo matang menatap penuh cemburu dari balik kacamata hitamnya.“Siapa sebenarnya wanita itu?” gumam pria itu yang tak lain Reza, “apa dia mantan istrinya Fakhri?”Reza terdiam dengan jari yang mengetuk dagu. Matanya masih menatap jauh ke depan memperhatikan mobil Fakhri yang mulai berjalan meninggalkan gedung perkanto
“Reza Nugraha? Kamu Reza Nugraha yang itu?” gumam Fakhri.Reza tersenyum masam sambil menganggukkan kepala. Ia langsung duduk di kursi depan meja Fakhri, sementara Susi sudah berlalu pergi dari ruangan Fakhri.“Jadi pada akhirnya kamu bisa sukses juga. Aku pikir selamanya kamu jadi pecundang,” imbuh Fakhri.Reza tertawa, menautkan kedua tangannya dengan mata yang tajam menatap Fakhri.“Aku memang pecundang saat SMA, tapi aku sudah sukses sekarang. Bahkan mungkin bisa dikatakan sama denganmu saat ini.”Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Ia ingat Reza Nugraha adalah temannya SMA. Dia dan Reza adalah rival. Mereka selalu bersaing dalam segala hal, termasuk ketika memperebutkan Wulan saat itu. Sayangnya, Wulan lebih memilih Fakhri ketimbang Reza.“Jadi maksud tujuanmu ke sini untuk apa? Pamer atau bagaimana?” Fakhri kembali bertanya dan langsung dijawab tawa sengau Reza.“Aku
“Siapa kamu?” tanya Bu Vita.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat seorang pria tiba-tiba datang dan mengajukan diri akan menanggung semua biaya perawatan Wulan. Pria misterius berkulit sawo matang itu tersenyum sambil menganggukkan kepala memberi salam ke Bu Vita.“Anggap saja, saya teman lama Wulan. Dia sudah banyak membantu saya dan kini giliran saya membantunya,” ujar pria itu lagi.Bu Vita, Devi dan Amar menatap penuh curiga ke arah pria tersebut. Pria tersebut tersenyum, mengulurkan tangan memulai perkenalan.“Saya Reza. Apa Tante sudah lupa?”Bu Vita terdiam sejenak. Teman Wulan sangat banyak dan dia tidak hapal satu persatunya. Apalagi Wulan acap kali berganti pasangan usai putus dengan Fakhri saat itu. Mungkin saja Reza salah satu dari mereka.“I—iya, Tante lupa.”Bu Vita tersenyum meringis sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Namun, mengapa saat melihat Reza
“Rumah sakit? Wulan?” gumam Fakhri.Ia sudah mengantuk, konsentrasinya sudah berkurang dan sama sekali tidak berminat dengan pembicaraan ini. Fakhri menguap lebar sambil meraup wajahnya dengan kasar.“Ma, kenapa Mama gak hubungi pengacaranya saja? Kenapa harus dengan saya? Saya sudah tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan Wulan!!”Fakhri meninggikan intonasi suaranya dan terdengar sedikit kesal. Bisa jadi semua yang dilakukan Wulan kali ini hanyalah sandiwara, akal-akalannya saja supaya mendapat simpatik Fakhri. Dia sudah berulang kali terbujuk oleh hal seperti itu dan Fakhri tidak mau mengulangnya lagi.“Tapi, Fakhri … Wulan butuh kamu. Bagaimanapun kamu pernah menjadi suaminya. Mama mohon kamu datang.”Fakhri tidak bersuara. Ia menghela napas panjang kemudian gegas mengakhiri panggilannya tanpa berpamitan ke Bu Vita. Fakhri meletakkan ponselnya di nakas dan mencoba kembali terlelap.Namun, sepertinya ia kesulitan untuk melakukannya. Meski dia kesal, jengkel dan marah dengan semua ula
“Heh??” gumam Fakhri.Pria tampan itu terkejut saat mendengar ucapan Aina. Ia tidak menduga jika Aina akan berkata seperti ini. Apa mungkin penantiannya untuk bisa kembali rujuk akan terwujud?Aina tersenyum sambil mempererat genggamannya dan menatap Fakhri dengan lembut.“Aku bersungguh-sungguh. Aku ingin memberimu kesempatan.”Fakhri tidak menjawab. Ia hanya tersenyum dengan mata coklatnya yang berbinar indah. Tanpa banyak bicara, Fakhri mendekat, menarik dagu Aina dan langsung mencium bibirnya.Aina gelagapan mendapat serangan dari mantan suaminya. Namun, ia tidak menolak. Dengan rileks, Aina melingkarkan tangannya di leher Fakhri dan meneruskan pagutan mereka.Entah berapa lama mereka saling berbagi saliva, yang pasti keduanya kini tampak terdiam dengan bibir yang memerah. Sesekali terdengar desah napas memburu dari keduanya. Meski pagutan mereka sudah terurai, tapi keduanya masih bergeming dengan kening yang mene
“Kamu kenapa, Mas? Kok pucet gitu?” tanya Aina.Mereka baru saja keluar dari studio bioskop dan kali ini Aina tampak terkejut melihat raut wajah Fakhri yang pucat pasi. Hari ini tanpa sengaja Fakhri membeli tiket film genre horror. Hanya itu tiket film yang tersisa dan karena Fakhri tak mau kehilangan momen kebersamaannya dengan Aina. Dia terpaksa menonton film horror meskipun tidak menyukainya.“Gak papa. Aku hanya kedinginan di dalam. Ac-nya kenceng banget,” jawab Fakhri.Ia berkata sambil memeluk tangan dan mengelus lengannya. Aina hanya manggut-manggut sambil mengulum senyum. Padahal dia tahu jika Fakhri ketakutan sepanjang menonton tadi. Dia terus menutup wajahnya dengan kedua tangan dan Aina berani taruhan, Fakhri tidak tahu jalan cerita film tersebut.Mereka terus berjalan keluar dari gedung bioskop itu. Harusnya sesuai rencana, mereka akan makan malam bersama Robby dan Rini. Namun, karena tidak ada kabar berita dari mereka,
“Eng … enggak. Memangnya apa yang aku sembunyikan dari Ibu?” ucap Fakhri.Sebenarnya Fakhri tidak mau mengatakan hal ini, tapi dia terpaksa berbohong kali ini. Belum saatnya Bu Rahma tahu mengenai kasus penukaran putranya. Ia akan memberi tahu jika semuanya sudah terungkap.Bu Rahma hanya diam dengan mata yang penuh selidik. Fakhri mengulum senyum kemudian mengelus lembut bahu ibunya.“Udah, Ibu jangan mikir aneh-aneh. Tahu, gak? Aku punya kabar baik buat Ibu.”Fakhri sudah mengalihkan topik pembicaraan. Bu Rahma masih terdiam dan fokus menatap Fakhri. Fakhri mengulum senyum sambil memperhatikan ibunya.“Aku mau kencan ama Aina akhir pekan ini. Jadi minta tolong Ibu jaga Zafran, ya?”Sontak sebuah senyuman terkembang lebar di raut wanita paruh baya itu.“Beneran kalian mau kencan?” ulang Bu Rahma menyakinkan.“Iya. Semoga saja setelah ini akan membawa hasil yang memua