“Wulan? Kamu mau menceraikan Wulan?” ulang Robby.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibir Fakhri, tapi kepalanya sudah mengangguk berulang. Tentu saja gestur tubuh Fakhri tidak terlihat oleh Robby.
“Gila!! Yang ada bisa mati kamu, Fakhri!!” Robby kembali menambahkan kalimatnya.
Fakhri hanya diam dengan bahu naik turun mengolah oksigen.
“Apa kamu lupa kalau kalian sudah membuat perjanjian pranikah saat itu dan Wulan tidak mau kamu ceraikan dengan alasan apa pun. Kamu lupa, Fakhri?”
Fakhri mendengkus, menyandarkan punggungnya ke kursi sambil mengangguk dengan lesu.
“Iya, aku tahu. Namun, aku rasa kamu bisa mengakalinya. Beri dia kompesasi harta gono gini dua atau tiga kali lipat pasti juga beres.”
Robby menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Berulang pria berwajah Tionghoa itu menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
“Kamu bener-bener gila, Fakhri. Makanya sudah kub
“Hamil?” ulang Fakhri.Wulan tersenyum sambil menganggukkan kepala. Matanya berbinar indah dengan kedua pipi yang bersemu merah. Terlihat sekali jika wanita cantik berparas putih ini sedang dilanda kegembiraan.“Iya, kata Dokter sudah jalan tiga minggu,” jawab Wulan kini sambil mengelus perutnya.Fakhri hanya membisu. Bibirnya terkatup, matanya terkunci menatap test pack bertanda positif yang baru diberikan Wulan padanya. Fakhri tidak menduga akan mendengar kabar seperti ini. Padahal dia sudah menyiapkan kata-kata untuk menceraikan Wulan. Bahkan meminta Robby mengurus semuanya.“Eng … terus kamu mau ngomong apa tadi, Mas?” Kini Wulan mengalihkan topik pembicaraan.Fakhri yang tercenung hanya diam menatapnya dengan linglung. Kemudian setelah beberapa saat, kepalanya menggeleng.“Enggak. Gak jadi, gak penting, kok.”Lagi-lagi sebuah senyuman terkembang indah di wajah Wulan. Ia tidak tahu jika suaminya sedang kebingungan menghadapi berit
“Damar, hari ini aku izin pulang cepat, ya?” pinta Aina pagi itu.Dua hari berselang usai berita kehamilan Wulan dan hari ini Aina sengaja menemui Damar di ruangannya untuk izin pulang cepat.Damar hanya diam menatap Aina dengan kedua alis yang mengernyit. Kemudian tak lama Damar sudah bersuara.“Memangnya kamu mau ke mana? Apa ada keperluan mendesak, Aina?”Aina tersenyum, matanya kini tertuju kepada perutnya. Damar ikut memperhatikan dan refleks tersenyum mengikuti Aina.“Kamu mau kontrol kehamilan?” tebak Damar kemudian.“Iya. Kebetulan aku dapat nomor awal dan jam setengah enam harus di sana. Takutnya kalau aku tidak pulang lebih cepat malah kemalaman sampai sana.”Damar manggut-manggut mendengar penjelasan Aina. Sebuah senyuman sudah tersungging di wajah pria manis itu.“Iya, aku izinkan. Apa perlu aku antar juga?”Aina dengan cepat menggelengkan kepala. Ta
“AINA!! Kamu masih di sini?” tanya Damar.Aina sangat terkejut saat melihat Damar menghampirinya di lobby. Aina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Apa Fakhri belum menjemputmu?” Kembali Damar bertanya. Aina tersenyum sambil menggeleng.“Eng … belum datang. Mas Fakhri masih perjalanan. Mungkin terjebak macet.” Aina terpaksa berkata bohong kali ini.Damar terdiam dan mengawasi Aina beberapa saat. Aina buru-buru menghindar. Ia tidak mau Damar tahu jika dia sedang menunggu Fakhri. Aina sendiri tidak tahu Fakhri di mana bahkan ponselnya sudah tidak bisa dihubungi kali ini.“Kalau kamu tidak keberatan, aku antar, ya?”Sontak Aina terbelalak dan spontan menggelengkan kepala dengan cepat.“Gak usah. Mas Fakhri udah jalan, kok. Pasti sebentar lagi akan tiba.”Damar menghela napas panjang sambil menatap Aina dengan sudut matanya.“Ya sudah kalau be
“Aina … Sayang. Aku … aku bisa jelaskan ini,” ucap Fakhri.Entah mengapa pria tampan itu terlihat gugup saat bertemu dengan Aina. Bisa jadi dia merasa bersalah karena sudah mengikari janjinya untuk mengantar Aina kontrol kehamilan hari ini. Sementara Aina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Aku tahu kok, Mas. Pasti Wulan sedang hamil juga, kan?”Fakhri terdiam. Jakunnya naik turun, tapi matanya tetap fokus menatap wanita cantik di depannya. Banyak kata yang ingin diucapkan Fakhri, tapi entah mengapa lidahnya terasa kelu. Aina menyadari keadaan canggung ini. Pasti kini mereka sudah menjadi perhatian banyak orang dan Aina tidak mau membuat keadaan makin runyam.“Aku pulang dulu, ya!! Permisi.”Tanpa menunggu jawaban dari Fakhri maupun Wulan, Aina langsung berlalu pergi begitu saja. Sementara Fakhri hanya diam bergeming di tempatnya. Namun, matanya tak lepas sedikit pun dari punggung wanita c
“Apa Wulan tahu jika kamu ke sini?” tanya Aina.Kali ini mereka sudah tidur bersebelahan dengan tangan Fakhri yang tak lepas memeluk Aina. Fakhri tidak menjawab hanya diam sambil mempererat pelukannya. Aina mendongak dan melihat suaminya sedang melamun.“Mas … .”Fakhri langsung tersenyum, mengelus lembut lengan Aina sambil sesekali mendaratkan sebuah kecupan di kening Aina.“Wulan sedang tidur saat aku keluar tadi. Nanti sebentar lagi aku akan kembali.” Fakhri akhirnya bersuara dan ucapannya membuat Aina tenang.“Oh ya, apa kata Dokter tadi? Apa dia baik-baik saja?” Kini Fakhri mengalihkan topik pembicaraan dan tangannya sudah mengelus lembut perut Aina.Aina tersenyum sambil mengangguk. “Semua baik saja kok, Mas. Dia tumbuh dengan sempurna.”Fakhri tersenyum lega, tapi matanya masih tertuju ke perut Aina. Sesekali Fakhri mengelus lembut, menggerakkan tangannya memuta
“Eng … apa kamu tidak sibuk, Damar?” ujar Aina.Sebenarnya ingin sekali Aina menolak, tapi dia juga bingung harus mengatakan kalimat apa sebagai bentuk penolakannya. Damar terlalu banyak membantunya dan dia tidak enak sendiri. Damar tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Sepertinya kamu yang keberatan jika aku ikut. Apa kamu takut Fakhri?”Seketika Aina tercengang. Mata indahnya membola menatap Damar kemudian terdiam untuk beberapa saat. Damar menarik napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Oke, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Aku ---”“Boleh. Kamu boleh ikut, kok.” Tiba-tiba Aina memotong kalimat Damar dan bodohnya malah mengizinkan pria manis itu untuk ikut serta bersamanya nanti.Damar tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala kemudian berjalan menghampiri Aina dan menepuk bahunya berulang.“Enggak. Aku gak ikut. Aku gak akan mempersulitmu, Aina.”Aina terdiam, entah mengapa ada rasa lega tiba-tiba menyusur relung hatinya. Ia bersyukur Damar sangat pengertian padanya. Damar su
“WULAN!!” seru Aina.Ia langsung bangkit dan berdiri di samping Wulan. Wajah Aina tampak tegang kali ini. Selama ini dia tidak masalah jika Fakhri atau Wulan menyakitinya, tapi jangan Zafran. Dia masih kecil, tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya menanggung kesalahan orang tuanya.Wulan terkekeh melihat ulah Aina. Ia melipat tangan di depan dada sambil menatap Aina dengan penuh ejekan. Aina hanya diam, dadanya kembang kempis dengan bahu naik turun mengolah udara. Ulah madunya ini memang sudah keterlaluan dan Aina tidak akan mentolerir jika Wulan menyakiti Zafran.“Ada apa, Bunda?” Tiba-tiba Zafran sudah mendekat dan berdiri di depan mereka. Wajahnya tampak bingung melihat Aina dan Wulan bergantian.Aina tersenyum, mengelus wajah Zafran dengan lembut kemudian bersuara, “Gak papa. Zafran main lagi sana. Setengah jam lagi kita pulang, ya!!”Zafran tersenyum, rambutnya yang lurus menutupi sebagian matanya dan terli
Fakhri terdiam, matanya berkilatan menatap Wulan. Terlihat ada amarah yang tersimpan di sana, sayangnya Fakhri tidak meluapkannya kali ini. Dengan lambat, dia kembali duduk di sebelah Wulan. Wulan tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Nah, gitu, dong!!” ujar Wulan kesenangan.Fakhri tidak mempedulikan Wulan bahkan matanya terus melihat sinis ke wanita cantik berkulit putih ini. Wulan tidak peduli dengan reaksi Fakhri, yang penting dia sangat senang hari ini.Sementara itu Aina sudah meninggalkan gerai fastfood tersebut bersama Zafran. Bahkan dia sengaja jalan memutar tanpa mau melewati jendela tempat Wulan dan Fakhri duduk saat ini. Dia tidak mau Zafran melihat ayahnya bersama Wulan. Aina takut, Zafran akan mengajukan banyak pertanyaan seperti dulu lagi.“Bunda, lain kali kalau ke sini kita ajak Ayah, ya?” ujar Zafran di tengah perjalanan.Mereka sudah di dalam mobil menuju pulang. Aina yang mengemudi hanya menganggu
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd