“Aku masih mencintaimu, Aina,” desis Fakhri.
Aina terdiam. Matanya berkabut menatap pria tampan di depannya. Sungguh kalimat Fakhri bagai angin surga yang berhembus di telinganya. Tanpa diminta buliran bening luruh berjatuhan membasahi pipi Aina. Ia tidak menduga Fakhri akan berkata seperti ini. Banyak amarah di dadanya belakangan ini kemudian perlahan melebur menghilang ditelan angin usai mendengar kalimat Fakhri.
"Ak---aku ... aku ---"
Belum selesai Aina bersuara, tangan Fakhri tiba-tiba terulur mengusap lembut pipinya. Menyeka air mata Aina, bersamaan dengan luruhnya semua murka. Perlahan Fakhri mendekat, menempelkan keningnya di kening Aina.
"Aku minta maaf ... ."
Sontak Aina tercengang, ia mendongak dan langsung beradu dengan netra coklat Fakhri. Lagi-lagi Fakhri melakukan hal yang tidak diduga Aina. Apa ini tandanya semuanya sudah berakhir? Perselisihan mereka beberapa bulan ini terselesaikan. Aina tidak tahu.
Kemudian deng
“Mas, aku bisa berangkat sendiri. Kamu gak usah mengantarku pagi ini,” pinta Aina.Usai semalam menginap di hotel dekat pantai, pagi ini Fakhri bersikeras hendak mengantar Aina kerja. Fakhri berdecak sambil menatap Aina tajam.“Kamu gak berubah, Aina. Selalu sok mandiri dan keras kepala.”Aina hanya diam saat Fakhri berkata seperti itu. Ia tahu, Fakhri sangat mengenal sifatnya dan Aina membenarkan ucapannya.“Aku suamimu dan aku ingin mengantarmu sekarang. Apa kamu mau aku memintamu berhenti kerja?”Sontak mata Aina membola saat mendengar ucapan Fakhri kemudian perlahan kepalanya menggeleng. Memang Fakhri sudah berubah, tapi tidak semudah itu juga Aina resign dari kerjaannya. Terlebih Damar sudah sangat baik membantunya belakangan ini.Fakhri tersenyum melihat reaksi Aina. Ia berjalan mendekat dan berdiri sejajar di depan Aina. Dengan lembut Fakhri menyentuh bahu Aina. Netra coklatnya kini mengamati Aina d
“Maaf, Fakhri. Aku tidak bisa sepenuhnya menurutimu. Ada beberapa hal yang membuatku harus dekat dengan Aina,” jawab Damar.Fakhri hanya diam, tapi matanya tampak berkilatan tajam menatap Damar. Terlihat sangat kecurigaan di tatapan Fakhri kali ini. Damar berdecak sambil tersenyum.“Maksudku dalam hal ini urusan kerjaan, Fakhri. Dia bawahanku dan sewaktu-waktu aku juga butuh kemampuannya. Jadi apa mungkin aku harus menjauhinya?”Fakhri manggut-manggut memahami ucapan Damar.“Aku juga tidak bodoh, Damar. Kalau urusan kerjaan, aku tidak masalah. Namun, di luar itu aku tidak akan mentolerir.”Damar hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Fakhri membalas senyumannya dan terlihat lega. Selanjutnya mereka tampak sibuk membicarakan urusan kerjaan, bahkan Fakhri membutuhkan waktu hampir setengah hari berada di kantor Damar.Menjelang jam makan siang, Fakhri berpamitan pulang. Ia langsung melajukan mobilnya me
“Apa katamu? Kamu mau menceraikanku?” tanya Wulan.Wanita cantik berwajah putih bak porselen itu tersentak kaget saat mendengar ucapan Fakhri. Namun, sepertinya Fakhri tidak memperhatikan reaksinya dan terlihat sibuk dengan pekerjaannya. Tentu saja Wulan kesal karena merasa diabaikan Fakhri.“MAS!!! Aku bicara denganmu!!”“Iya, aku dengar.” Fakhri malah menjawabnya dengan santai dan tanpa melihat ke arah Wulan.Melihat reaksi Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Wanita cantik itu langsung bangkit dari duduknya, kemudian tanpa bersuara, pergi berlalu meninggalkan ruangan Fakhri. Fakhri hanya meliriknya sekilas kemudian kembali sibuk dengan pekerjaannya tanpa berusaha untuk membujuk Wulan yang merajuk.Sementara itu, Damar sudah keluar ruangan dan berjalan menuju ruangan Aina. Kebetulan Aina sedang sendiri, anak buahnya sudah keluar untuk beristirahat makan siang.“Hai!! Kamu tidak istirahat, Aina?&rdqu
“Zafran mau memaafkan Ayah, kan?” tanya Fakhri.Ia kembali menanyakannya karena sedari tadi Zafran hanya diam bergeming dalam pelukan Fakhri. Masih belum ada jawaban keluar dari mulut Zafran, hingga tiba-tiba bocah laki-laki itu mengurai pelukannya lebih dulu.Aina dan Fakhri terdiam menatap Zafran dengan ekspresi bingung. Aina berharap Zafran mau memaafkan Fakhri dan mereka bisa kembali utuh menjadi satu keluarga seperti sebelumnya. Sementara Fakhri hanya membisu dengan mata yang penuh tanya menatap Zafran.Tidak masalah jika pria kecil ini tidak memaafkannya. Ulahnya beberapa bulan lalu pasti telah menorehkan luka yang teramat dalam. Namun, meski Zafran bukan anak kandungnya, Fakhri tidak mengingkari kalau perasaan sayangnya sangat besar pada Zafran. Ia sangat berharap Zafran mau memaafkannya.“Zafran sayang Ayah. Tentu saja Zafran akan memaafkan Ayah.” Serta merta Zafran bersuara.Fakhri langsung tersenyum dan kembali men
“Wulan!!! Kamu apa-apaan?” seru Fakhri.Fakhri sangat terkejut saat melihat Wulan sedang berdiri di balik pintu kamarnya sambil berkacak pinggang. Wulan terdiam, matanya menyalang dengan napas tersenggal sesekali melirik ke dalam kamar mencoba mencari Aina.“Mas yang apa-apaan. Kenapa tidak pulang lagi malam ini? Kenapa juga harus menginap di sini?”Fakhri menghela napas panjang sambil menatap Wulan dengan tajam.“Kamu lupa, kalau Aina juga istriku. Dia berhak mendapat perhatian dan waktuku juga.”Wulan berdecak sambil menggelengkan kepala.“Selalu itu alasanmu. Apa kamu lupa, alasanku mau menerima menjadi istri keduamu, Mas?”Fakhri terdiam sesaat menelan saliva dan membuat jakunnya naik turun, kemudian perlahan dia menganggukkan kepala.“Aku tidak lupa.”“Ya sudah, kenapa kamu ke sini? Bukannya kamu janji tidak akan ke sini lagi dan menemui Aina?”
“Apa katamu? Cerai? Kamu ingin bercerai dariku?” ulang Wulan.Fakhri tidak menjawab hanya menatap tajam dengan netra coklatnya. Wulan membisu di tempatnya kemudian berjalan mendekat hingga tak berjarak di depan Fakhri. Perlahan wanita cantik itu mengulurkan tangan membelai wajah Fakhri.“Apa kamu tidak tahu, Mas? Betapa besar rasa cintaku padamu. Aku putus asa, kecewa dan merana saat kamu putuskan aku dulu. Aku semakin nelangsa begitu tahu kamu malah memilih Aina yang dijodohkan ibumu. Sungguh, itu adalah masa yang sulit bagiku.”Wulan menjeda kalimatnya dan sama sekali tidak melepas pandangannya dari Fakhri. Sementara Fakhri hanya membisu tanpa mau mengusik cerita Wulan.“Lalu, saat kamu datang kembali dan meminta menikah denganmu. Sungguh, itu adalah kebahagiaan yang tak terkira bagiku. Meskipun aku harus jadi yang kedua, tak masalah. Asalkan aku selalu bersamamu. Namun … kini kamu malah berkata seperti itu.”
“Eng … maaf, Damar. Kalau akhir pekan ini rasanya aku tidak bisa,” jawab Aina.Damar terdiam dan raut wajahnya menunjukkan kekecewaan. Aina serba salah, tapi dia juga tidak mau berbohong.“Mas Fakhri mau mengajak kami pergi,” imbuh Aina.Damar tidak menjawab, tapi sudah menganggukkan kepala.“Hmm … begitu. Baiklah, aku akan memberi tahu jika kamu berhalangan.”Aina mengangguk, tapi matanya melihat raut Damar yang muram karena jawabannya tadi.“Apa aku boleh kembali ke ruanganku?” Aina mengalihkan topik pembicaraan. Obrolan mereka pagi ini membuat Aina tidak enak hati pada Damar. Damar mengangguk kemudian menyilakan Aina berlalu pergi.Helaan napas panjang sontak terdengar keluar dari bibir Damar usai wanita cantik itu berlalu dari ruangannya.“Kenapa juga aku selalu kalah dengan Fakhri? Padahal jelas-jelas ia sudah menyakitimu, Aina,” gumam Damar.
“Halo, Selamat malam. Saya Yeni. Yang tempo hari mengurus gugatan cerai Ibu,” ucap suara di seberang.Aina terdiam sejenak. Ia sangat terkejut mendapat panggilan tak terduga ini. Memang sebelumnya Aina sudah mengajukan gugatan cerai. Ia bahkan meminta bantuan seorang pengacara untuk mengurusnya. Hanya saja karena waktu tunggu untuk proses itu cukup lama membuat Aina melupakan hal tersebut.“Iya, Bu. Kalau boleh tahu ada perlu apa, ya?” Aina terlihat gugup saat menjawabnya.Ia sedang berada di kamar seorang diri usai makan malam tadi. Fakhri sedang menidurkan Zafran di kamar sebelah, tapi tentu saja Aina takut jika pembicaraannya ini didengar Fakhri.“Ada beberapa hal yang ingin saya tanyakan berhubungan dengan gugatan cerai Ibu? Apa bisa kita bertemu?”Aina terdiam sesaat. Entah mengapa dia terlihat ragu untuk menjawab. Sebelumnya Aina memang sudah membulatkan tekad untuk mengajukan gugatan cerai ke Fakhri. Namun
Aina berjengit kaget melihat ulah Damar. Namun, tentu saja ia berusaha menyembunyikan reaksinya. Ia tidak mau semua orang yang ada di sana tahu ulah Damar. Bahkan dengan pelan Aina menarik tangannya dari genggaman Damar. Sayangnya, pria manis ini terlalu erat memegang tangannya. Untung saja prosesi makan sudah selesai sehingga tidak membuat Aina kesulitan.Selang beberapa saat mereka sudah berpamitan. Aina tampak diam selama di dalam lift. Damar sudah tidak memegang tangannya lagi dan terlihat terus menatap Aina. Memang hanya mereka berdua di dalam lift kali ini.“Kamu marah padaku, Aina?” tanya Damar.Aina menghela napas sambil mendongak menatap Damar. Tidak disangka pria manis itu sedang tertegun menatapnya.“Iya,” jawab Aina dengan lugas.Damar menarik napas sambil memalingkan wajah. Ia tahu ulahnya tadi tidak sopan dan mungkin bisa dikatakan kurang ajar. Namun, Damar punya alasan sendiri melakukannya.“Aku h
“Hmmppff … . Mas, lepasin!!” pinta Aina.Ia tergesa mendorong dada Fakhri sambil mengurai pagutannya. Aina takut ada yang melihat ulah mereka. Fakhri menurut dan melepaskan Aina begitu saja. Mereka masih di dalam lift dan belum beranjak sedikit pun. Fakhri memang menahan liftnya agar tidak berjalan dan tidak membuka pintu. Untung saja ada dua lift di gedung ini, kalau tidak pasti banyak orang yang kebingungan karena ulah Fakhri.“Kamu ngapain ke sini?” Kembali Aina bertanya.Fakhri tersenyum sambil menyeka bibirnya. Ada bekas lipstik Aina menempel di sana.“Sudah kubilang aku ingin bertemu kamu. Aku kangen, Aina.”Aina diam membisu. Hanya matanya kini yang menatap Fakhri dengan tajam. Padahal semalam sikap Fakhri yang penurut membuat Aina kesal. Bahkan Aina sempat berpikir akan meneruskan proses gugatan cerainya saja. Namun, kehadiran Fakhri dan sikapnya kali ini benar-benar membuat Aina berubah pikiran la
Fakhri terdiam, matanya berkilatan menatap Wulan. Terlihat ada amarah yang tersimpan di sana, sayangnya Fakhri tidak meluapkannya kali ini. Dengan lambat, dia kembali duduk di sebelah Wulan. Wulan tersenyum lebar sambil menganggukkan kepala.“Nah, gitu, dong!!” ujar Wulan kesenangan.Fakhri tidak mempedulikan Wulan bahkan matanya terus melihat sinis ke wanita cantik berkulit putih ini. Wulan tidak peduli dengan reaksi Fakhri, yang penting dia sangat senang hari ini.Sementara itu Aina sudah meninggalkan gerai fastfood tersebut bersama Zafran. Bahkan dia sengaja jalan memutar tanpa mau melewati jendela tempat Wulan dan Fakhri duduk saat ini. Dia tidak mau Zafran melihat ayahnya bersama Wulan. Aina takut, Zafran akan mengajukan banyak pertanyaan seperti dulu lagi.“Bunda, lain kali kalau ke sini kita ajak Ayah, ya?” ujar Zafran di tengah perjalanan.Mereka sudah di dalam mobil menuju pulang. Aina yang mengemudi hanya menganggu
“WULAN!!” seru Aina.Ia langsung bangkit dan berdiri di samping Wulan. Wajah Aina tampak tegang kali ini. Selama ini dia tidak masalah jika Fakhri atau Wulan menyakitinya, tapi jangan Zafran. Dia masih kecil, tidak tahu apa-apa dan tidak seharusnya menanggung kesalahan orang tuanya.Wulan terkekeh melihat ulah Aina. Ia melipat tangan di depan dada sambil menatap Aina dengan penuh ejekan. Aina hanya diam, dadanya kembang kempis dengan bahu naik turun mengolah udara. Ulah madunya ini memang sudah keterlaluan dan Aina tidak akan mentolerir jika Wulan menyakiti Zafran.“Ada apa, Bunda?” Tiba-tiba Zafran sudah mendekat dan berdiri di depan mereka. Wajahnya tampak bingung melihat Aina dan Wulan bergantian.Aina tersenyum, mengelus wajah Zafran dengan lembut kemudian bersuara, “Gak papa. Zafran main lagi sana. Setengah jam lagi kita pulang, ya!!”Zafran tersenyum, rambutnya yang lurus menutupi sebagian matanya dan terli
“Eng … apa kamu tidak sibuk, Damar?” ujar Aina.Sebenarnya ingin sekali Aina menolak, tapi dia juga bingung harus mengatakan kalimat apa sebagai bentuk penolakannya. Damar terlalu banyak membantunya dan dia tidak enak sendiri. Damar tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Sepertinya kamu yang keberatan jika aku ikut. Apa kamu takut Fakhri?”Seketika Aina tercengang. Mata indahnya membola menatap Damar kemudian terdiam untuk beberapa saat. Damar menarik napas panjang sambil menganggukkan kepala.“Oke, baiklah. Aku tidak akan memaksa. Aku ---”“Boleh. Kamu boleh ikut, kok.” Tiba-tiba Aina memotong kalimat Damar dan bodohnya malah mengizinkan pria manis itu untuk ikut serta bersamanya nanti.Damar tersenyum lebar sambil menggelengkan kepala kemudian berjalan menghampiri Aina dan menepuk bahunya berulang.“Enggak. Aku gak ikut. Aku gak akan mempersulitmu, Aina.”Aina terdiam, entah mengapa ada rasa lega tiba-tiba menyusur relung hatinya. Ia bersyukur Damar sangat pengertian padanya. Damar su
“Apa Wulan tahu jika kamu ke sini?” tanya Aina.Kali ini mereka sudah tidur bersebelahan dengan tangan Fakhri yang tak lepas memeluk Aina. Fakhri tidak menjawab hanya diam sambil mempererat pelukannya. Aina mendongak dan melihat suaminya sedang melamun.“Mas … .”Fakhri langsung tersenyum, mengelus lembut lengan Aina sambil sesekali mendaratkan sebuah kecupan di kening Aina.“Wulan sedang tidur saat aku keluar tadi. Nanti sebentar lagi aku akan kembali.” Fakhri akhirnya bersuara dan ucapannya membuat Aina tenang.“Oh ya, apa kata Dokter tadi? Apa dia baik-baik saja?” Kini Fakhri mengalihkan topik pembicaraan dan tangannya sudah mengelus lembut perut Aina.Aina tersenyum sambil mengangguk. “Semua baik saja kok, Mas. Dia tumbuh dengan sempurna.”Fakhri tersenyum lega, tapi matanya masih tertuju ke perut Aina. Sesekali Fakhri mengelus lembut, menggerakkan tangannya memuta
“Aina … Sayang. Aku … aku bisa jelaskan ini,” ucap Fakhri.Entah mengapa pria tampan itu terlihat gugup saat bertemu dengan Aina. Bisa jadi dia merasa bersalah karena sudah mengikari janjinya untuk mengantar Aina kontrol kehamilan hari ini. Sementara Aina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Aku tahu kok, Mas. Pasti Wulan sedang hamil juga, kan?”Fakhri terdiam. Jakunnya naik turun, tapi matanya tetap fokus menatap wanita cantik di depannya. Banyak kata yang ingin diucapkan Fakhri, tapi entah mengapa lidahnya terasa kelu. Aina menyadari keadaan canggung ini. Pasti kini mereka sudah menjadi perhatian banyak orang dan Aina tidak mau membuat keadaan makin runyam.“Aku pulang dulu, ya!! Permisi.”Tanpa menunggu jawaban dari Fakhri maupun Wulan, Aina langsung berlalu pergi begitu saja. Sementara Fakhri hanya diam bergeming di tempatnya. Namun, matanya tak lepas sedikit pun dari punggung wanita c
“AINA!! Kamu masih di sini?” tanya Damar.Aina sangat terkejut saat melihat Damar menghampirinya di lobby. Aina hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Apa Fakhri belum menjemputmu?” Kembali Damar bertanya. Aina tersenyum sambil menggeleng.“Eng … belum datang. Mas Fakhri masih perjalanan. Mungkin terjebak macet.” Aina terpaksa berkata bohong kali ini.Damar terdiam dan mengawasi Aina beberapa saat. Aina buru-buru menghindar. Ia tidak mau Damar tahu jika dia sedang menunggu Fakhri. Aina sendiri tidak tahu Fakhri di mana bahkan ponselnya sudah tidak bisa dihubungi kali ini.“Kalau kamu tidak keberatan, aku antar, ya?”Sontak Aina terbelalak dan spontan menggelengkan kepala dengan cepat.“Gak usah. Mas Fakhri udah jalan, kok. Pasti sebentar lagi akan tiba.”Damar menghela napas panjang sambil menatap Aina dengan sudut matanya.“Ya sudah kalau be
“Damar, hari ini aku izin pulang cepat, ya?” pinta Aina pagi itu.Dua hari berselang usai berita kehamilan Wulan dan hari ini Aina sengaja menemui Damar di ruangannya untuk izin pulang cepat.Damar hanya diam menatap Aina dengan kedua alis yang mengernyit. Kemudian tak lama Damar sudah bersuara.“Memangnya kamu mau ke mana? Apa ada keperluan mendesak, Aina?”Aina tersenyum, matanya kini tertuju kepada perutnya. Damar ikut memperhatikan dan refleks tersenyum mengikuti Aina.“Kamu mau kontrol kehamilan?” tebak Damar kemudian.“Iya. Kebetulan aku dapat nomor awal dan jam setengah enam harus di sana. Takutnya kalau aku tidak pulang lebih cepat malah kemalaman sampai sana.”Damar manggut-manggut mendengar penjelasan Aina. Sebuah senyuman sudah tersungging di wajah pria manis itu.“Iya, aku izinkan. Apa perlu aku antar juga?”Aina dengan cepat menggelengkan kepala. Ta