“Berkas? Aku harus menyiapkan berkas ini secepatnya,” gumam Aina.
Ia baru saja meletakkan ponsel kemudian tampak sibuk menyiapkan beberapa berkas dan memasukkan ke dalam sebuah map plastik. Tangan Aina bergerak lincah mengemas semua berkas itu, tapi entah mengapa hatinya terus berdebar tak karuan. Ada satu sisi di relung hatinya yang masih ragu untuk melakukan semua ini.
“Bunda … .” Suara Zafran tiba-tiba terdengar di belakang Aina.
Aina menoleh dan melihat putra semata wayangnya itu sedang berdiri sembari menatapnya. Aina tersenyum dan menghampirinya.
“Ada apa, Sayang? Kenapa bangun lagi?”
Zafran hanya diam kemudian duduk di tepi kasur bersebelahan dengan Aina.
“Apa benar Ayah sakit, Bunda?”
Tiba-tiba Zafran bertanya seperti itu. Aina sendiri tidak tahu dari mana Zafran tahu tentang hal ini. Padahal saat ke rumah sakit tadi Aina tidak mengatakannya bahkan ia tidak terlambat saat
“Kenapa Pak Hasan menghubungiku lagi? Apa ada masalah dengan programnya?” gumam Aina.Dia baru saja mendapat telepon dari Pak Hasan yang memintanya datang ke kantor Damar besok pagi. Memang sengaja Pak Hasan tidak memberitahu tujuan Aina datang ke kantor. Ia hanya memintanya datang.Aina menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala.“Akh … sudahlah, besok saja aku tanyakan.”Aina tidak mengambil pusing tentang hal itu. Ia hanya berpikir kalau ada kendala pada program yang baru ia buat dan tidak bertanya lebih lanjut ke Damar.Keesokkan harinya pukul delapan pagi, Aina tiba di kantor Damar. Ada Pak Hasan yang menyambut kedatangan Aina. Aina penasaran dan langsung mengajukan pertanyaan.“Maaf, Pak Hasan. Apa ada masalah dengan programnya kemarin hingga saya dipanggil ke sini lagi?” tanya Aina.Pak Hasan tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Tidak, Bu Aina. Pemanggilan kali
“Kamu bisa mulai kerja hari ini, Aina,” ujar Damar.Aina hanya mengangguk, tapi terlihat jelas rasa terkejut di wajahnya. Damar menangkap reaksi Aina kemudian tersenyum dan meralat ucapannya.“Namun, besok juga gak masalah. Kamu pasti belum mempersiapkan diri jika harus langsung kerja sekarang.”Aina tersenyum dan menganggukkan kepala.“Iya, kamu benar, Damar.”Damar tersenyum kesenangan menganggukkan kepala sambil sesekali mencuri pandang ke Aina.“Ya sudah, hari ini kamu selesaikan prosedurnya. Biar Pak Hasan yang membantumu.”Aina mengangguk, kemudian tak lama Pak Hasan masuk ke ruangan Damar. Aina berpamitan dan selanjutnya bersama Pak Hasan menyelesaikan beberapa prosedur tentang penerimaan pegawai. Dia tidak bekerja sebagai staf IT melainkan sebagai kepala IT di perusahaan Damar.Tentu saja Aina terkejut, apalagi dengan salary yang diberikan Damar. Rasanya Damar memang senga
“Mas, kamu di sini?” Tiba-tiba Wulan sudah bersuara di belakang Damar.Fakhri mengangkat kepala, menatap Wulan yang berdiri di belakang Damar, tapi sama sekali tidak menjawab pernyataan Damar tadi. Damar menghela napas panjang sambil menatap Fakhri dengan tajam. Banyak rasa kecewa yang ditunjukkan Damar dan Fakhri bisa merasakannya.“Damar, kok kamu di sini juga?” Kini Wulan menyapa Damar.Damar tersenyum masam sambil melirik Wulan dengan sinis.“Iya, kebetulan lewat tadi,” jawab Damar asal.Wulan hanya tersenyum kemudian ia sudah berdiri di sebelah Fakhri dan bergelayut manja di lengannya. Muak Damar melihatnya. Ia buru-buru memalingkan wajah, kemudian tanpa berkata apa-apa sudah berlalu pergi meninggalkan mereka berdua.Tentu saja ulah Damar mengundang tanya Wulan. Ia menatap Fakhri yang masih terdiam sejak tadi. Kedua alis Wulan terangkat menatap suami gantengnya. Wulan merasa ada sesuatu yang sedang te
“Maaf, Pak Fakhri. Saya terkena macet tadi,” ucap seorang pria.Fakhri mendongak dan langsung tersenyum saat melihat klien yang ia tunggu telah tiba.“Oh gak papa, Pak. Saya juga baru datang. Silakan duduk!!” Fakhri sudah menyilakan kliennya dan gara-gara hal itu membuat perhatiannya teralihkan.Dia tampak sibuk dan fokus dengan kliennya. Bahkan Fakhri tidak menyadari jika Aina dan Damar sudah berlalu pergi dari resto tersebut. Fakhri baru sadar saat matanya melirik ke tempat Aina dan Damar duduk tadi.Kini sudah berganti personil yang duduk di sana. Fakhri berdecak dengan keras dan itu terdengar oleh kliennya.“Apa ada masalah, Pak?” tanya sang Klien.Fakhri tersadar jika ulah bodohnya mengundang perhatian kliennya. Ia buru-buru tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Enggak, Pak.”Untung saja kliennya tidak banyak bertanya kali ini. Tak berapa lama Fakhri sudah berada di dalam m
“Yeay!! Selamat, Bunda!!” seru Zafran.Bocah tampan itu terus bersorak kegirangan sambil sibuk bertepuk tangan. Ia sangat senang bisa keluar makan bersama di restoran favoritnya. Gara-gara masalah finansial, Aina harus melakukan penghematan dan jarang membawa Zafran makan di luar belakangan ini.“Terima kasih, Sayang,” balas Aina.Zafran tersenyum sambil menganggukkan kepala.“Saya ikut senang Ibu bisa bekerja lagi.” Kini Bi Isa ikut menyahut. Wanita paruh baya itu tidak hanya sekedar asisten rumah tangga bagi Aina. Dia sudah seperti keluarga saja.“Terima kasih, Bi.”“Saya juga senang, Bu. Akhirnya saya punya kegiatan antar jemput Ibu lagi.” Mang Samin ikut menyahut dengan senyum polosnya.Aina mengangguk sambil tersenyum kesenangan. Damar yang duduk di depan Aina hanya tersenyum sambil sesekali mencuri pandang ke arah Aina.“Namun, seharusnya yang layak mendapa
“Mas, aku sudah siapkan bajumu. Kita berangkat besok pagi, ya?” ujar Wulan.Malam ini usai pulang kerja, Wulan langsung berkemas untuk keberangkatan mereka keluar kota besok pagi. Fakhri yang baru saja keluar dari kamar mandi hanya menganggukkan kepala tanpa suara. Wulan meliriknya sekilas dan melihat wajah Fakhri tampak melamun.Perlahan Wulan mendekat kemudian memeluk Fakhri dari belakang. Fakhri yang sedang berdiri mematut di depan cermin hanya diam melihat ulah Wulan.“Kamu kenapa? Belakangan ini kok banyak melamunnya.”Fakhri tidak menjawab hanya mengulas senyum sambil lalu. Perlahan ia mengurai pelukan Wulan dan membalikkan badan. Wulan tersenyum sambil memandang Fakhri dengan tatapan menggoda. Hanya helaan napas panjang yang keluar dari bibir pria tampan itu.“Aku mau keluar sebentar.” Tiba-tiba Fakhri bersuara, tentu saja hal itu membuat Wulan terkejut.Mereka baru saja pulang dan kenapa Fakhri hen
“Aku gak mau!! Aku lelah, mau istirahat. Lebih baik kamu pulang saja,” sahut Aina.Tentu saja mendengar jawaban Aina membuat Fakhri semakin marah. Ia sontak berdiri dan langsung menarik tangan Aina. Aina gelagapan. Fakhri memutar tubuhnya hingga mereka berdiri saling dekat dan berhadapan.“APA KAMU BILANG? Berani melawanku sekarang!!!”Aina tidak menjawab, tapi matanya terus menantang Fakhri. Fakhri menatapnya dengan tajam tanpa kedip. Untuk beberapa saat tidak ada kata terucap hanya kedua pasang mata mereka yang bercakap. Hingga tiba-tiba tangan Fakhri merangkum wajah Aina, merengkuh pinggulnya mendekat dan perlahan mencium bibirnya.Aina terkesima kaget mendapat perlakuan suaminya. Ia ingin menolak, tapi dia juga merindukan semua sentuhannya. Untuk beberapa saat Aina memejamkan mata menikmati interaksi intim ini. Cukup lama mereka berbagi saliva hingga perlahan jemari Fakhri tiba-tiba menelusup masuk ke balik blus Aina.Ai
“Kamu cantik sekali, Aina,” seru Damar.Pukul lima sore saat Damar menjemput Aina dan dia sangat terkejut saat melihat penampilan Aina. Aina hanya tersenyum sambil menggelengkan kepala.“Jangan bohong. Mana ada ibu hamil yang cantik, apalagi dengan perut yang udah gede gini,” jawab Aina.Damar tertawa sambil menggelengkan kepala.“Aku gak bohong. Lagipula kamu gak terlihat kalau sedang hamil, kok.”Aina tersenyum sambil menundukkan kepala. Sejak kehamilan pertama dulu, perut Aina memang tidak sebesar ibu hamil pada umumnya. Perutnya terlihat besar begitu menginjak sembilan bulan saat akan melahirkan. Itu pun bagi orang awam yang melihat seperti hamil lima bulan saja. Aina sendiri tidak mengerti, tapi meski demikian kondisi bayinya sehat dan berkembang sesuai usianya.“Ya sudah, kita berangkat, yuk!! Biar gak kemaleman sampai sana.”Aina mengangguk. Ia sudah berpamitan ke Zafran juga Bi I
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd