“Kamu mengizinkannya? Kamu mengizinkan Fakhri poligami?” tanya Damar.
“IYA!! Iya, aku mengizinkannya.”
Aina bersuara sangat keras dengan beberapa buliran air mata yang mengalir membasahi pipinya. Damar tertegun menatapnya, dia mengatupkan bibir dan tak bisa berkata-kata lagi. Sementara Aina sudah menunduk sambil menyeka air mata dengan punggung tangannya.
“Kamu tidak perlu tanya alasannya apa, yang pasti aku dan Mas Fakhri sudah memikirkan dalam-dalam tentang ini,” imbuh Aina.
Damar masih membisu hanya sesekali ia melirik Aina. Ia tidak habis pikir pernikahan sepupunya yang adem anyem, penuh rasa cinta dan saling menyayangi satu sama lain harus berubah dengan kedatangan orang ketiga. Damar yakin ada alasan yang sangat kuat dan sayangnya Aina menyembunyikan semua itu darinya.
“Aku baik-baik saja kalau kamu mau bertanya tentang keadaanku. Hubunganku dengan Mas Fakhri juga baik. Mungkin kami hanya butuh penyes
“SIALAN!!! BERENGSEK!! Apa maksudnya dia kirim pesan seperti ini?” maki Fakhri.Ia sangat kesal dan langsung menonaktifkan ponselnya lagi. Fakhri mendengkus sambil meraup wajahnya. Wajahnya yang putih langsung merah padam usai membaca pesan Damar tadi.“Jangan-jangan Aina yang cerita. Bukankah mereka ada hubungan kerja sekarang?”Fakhri geram, tangannya mengepal sambil sesekali memukul pahanya sendiri.“Dasar tukang selingkuh, pengadu. Mau cari dukungan, kalau yang dia lakukan itu benar dan aku yang salah. Dasar sialan!!!”“Mas!! Kamu ngapain? Kok ngomel-ngomel gak jelas gitu, sih.” Tiba-tiba Wulan menghampiri Fakhri dengan tatapan penuh tanya.Fakhri langsung terdiam sambil sibuk mengatur napasnya. Wulan tersenyum kemudian duduk di depan Fakhri.“Ada apa? Apa urusan kerjaan lagi? Dari tadi aku ngelihat kamu sewot mulu.”Fakhri tidak menjawab hanya menunduk sambil meli
“Ibu … ,” desis Aina lirih.Ia sangat terkejut saat melihat Bu Rahma, mertuanya tiba-tiba datang ke rumah sakit. Wanita paruh baya yang terlihat masih cantik itu hanya tersenyum datar sembari menatap Aina. Bu Rahma kini mengalihkan pandangannya ke Damar yang berdiri di sebelah Aina.“Kamu di sini juga, Damar? Sejak kapan kamu pulang dari luar negeri?” Alih-alih menjawab sapa Aina, Bu Rahma malah sibuk bertanya ke Damar.“Sudah hampir sebulan. Apa kabar, Tante?”Damar mengulurkan tangan dan menjabat tangan Bu Rahma kemudian mencium punggung tangannya. Bu Rahma hanya tersenyum sekilas sambil menganggukkan kepala kemudian kembali memperhatikan Aina.Damar seakan tahu jika ada yang hendak dibicarakan oleh dua wanita beda generasi ini. Ia bergegas pamit dan bersama Zafran pergi ke kantin. Sementara Aina dan Bu Rahma memilih duduk di taman. Untung saja cuaca hari ini tidak terlalu terik sehingga cukup nyaman dud
“Kamu baik-baik saja?” tanya Damar.Damar dan Zafran sudah menghampiri Aina di taman saat melihat Bu Rahma berlalu pergi tadi. Aina tersenyum menganggukkan kepala sambil mengelus kepala Zafran. Zafran tersenyum meringis memperlihatkan gigi susunya.“Bunda, Om Damar janji akhir pekan ini mau ajak Zafran ke kebun binatang. Boleh ya, Bunda?”Aina hanya diam, menatap Zafran kemudian melihat ke arah Damar. Damar tersenyum manis sambil menganggukkan kepala.“Kebetulan akhir pekan ini aku senggang, Aina. Kalau kamu tidak keberatan boleh gabung juga dengan kami. Iya kan, Zafran?”Zafran mengangguk dan kembali memperlihatkan senyum gigi susunya.“Lalu … aku terus menunda menggarap program untukmu begitu?”Damar tersenyum datar. Ia sudah menduga kalau Aina akan menolaknya.“Ya … apa salahnya menunda satu hari saja.”Aina tersenyum dan menggelengkan kepala.
“Tidak!! Tidak mungkin!!” geram Fakhri.Ia sudah meletakkan ponsel Wulan kembali ke tempatnya dan memilih berjalan menuju balkon. Fakhri duduk diam sambil mengamati lalu lalang orang di luar sana. Sementara benaknya sibuk melayang ke mana-mana.“Apa yang dilakukan Aina dan Damar? Apa benar mereka sedang terlibat hubungan kerja? Atau jangan-jangan Damar tahu tentang pernikahan poligamiku lalu mencoba mencari kesempatan mendekati Aina? Tidak, tidak. Damar tidak akan seperti itu.” Fakhri sibuk bermonolog dalam hati.Wulan yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak terkejut melihat Fakhri sedang melamun di balkon.“Mas ... jadi perginya?” tanya Wulan.Fakhri menoleh, mendengkus sambil menganggukkan kepala.“Iya, kamu sudah siap?”Wulan mengangguk, tersenyum lebar sambil memutar tubuhnya di depan Fakhri. Fakhri hanya diam mengamati penampilan istrinya. Kali ini Wulan mengenakan dress hitam
“Apa maksud Ibu?” tanya Aina.Ia benar-benar terkejut saat Bu Wati tiba-tiba bertanya tidak sopan seperti itu. Bu Wati hanya tersenyum menyeringai menatap Aina dengan sinis. Sementara Aina balas menatapnya tak kalah sengit. Selama ini tidak ada tetangganya yang mau tahu urusan rumah tangganya, hanya satu orang ini saja yang selalu sibuk mencari tahu.“Alah … pakai menyangkal segala. Udah ngaku aja, Mbak kalau itu ayahnya Zafran.”Dengan seenaknya Bu Wati kembali berkomentar. Aina berdecak menggelengkan kepala sambil menatap penuh amarah ke wanita paruh baya di depannya ini.“Dengar ya, Bu!! Jangan asal bicara!! Saya bisa menuntut Ibu balik dan melaporkan sebagai pencemaran nama baik.”Seketika terlihat kepanikan di wajah Bu Wati. Ia tidak menduga Aina yang dikenal lemah lembut dan penuh sopan santun akan bicara seperti itu.“Apa maksudnya? Saya … saya kan cuman ngomong aja. Kenapa harus
“Iya, ada apa, Mas?” sapa Aina.Ia tersenyum saat menyapa lebih dulu di ponsel. Meski perlakuan Fakhri sebelumnya membuat Aina sakit hati, tapi dia tidak mau menunjukkan kebenciannya di depan Zafran.“Mas … .” Suara Aina kembali memanggil karena tidak ada sahutan di seberang sana.Zafran yang duduk di sampingnya mendongak dengan mata penuh selidik. Aina tersenyum, mengurai pelukannya kemudian bangkit berdiri. Bisa jadi sinyal ponselnya kurang baik sehingga membuat komunikasinya tersendat, ditambah saat ini suaminya sedang berada di belahan bumi yang jauh.Aina memilih keluar dari kamar Zafran dan kembali ke kamarnya. Siapa tahu dengan begitu, sinyal di ponselnya lebih baik.“Mas … .” Sekali lagi Aina memanggil dan berharap ada balasan suara Fakhri di seberang sana.Namun, alih-alih suara Fakhri malah terdengar suara cempreng wanita yang sangat dikenal Aina.“Hmm … jadi kam
“Beneran kamu sudah menyelesaikan semuanya, Aina?” tanya Damar.Hampir tiga minggu berselang dan senin pagi ini, Aina sengaja datang ke kantor Damar. Ia sudah menyelesaikan tugas yang diminta Damar.Aina tersenyum sambil menganggukkan kepala. Wajahnya tampak berseri dengan mata berbinar penuh percaya diri.“Iya, bukannya aku sudah bilang kalau tidak sampai satu bulan akan menyelesaikannya.”Damar langsung tersenyum lebar mendengarnya. Kepalanya terus mengangguk dengan mata yang tak lepas dari Aina.“Syukurlah, aku memang sedang membutuhkannya saat ini. Jadi kamu akan menginstal langsung hari ini?”Aina mengangguk.“Iya, aku akan mencobanya. Siapa tahu ada miss-nya.”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Aku yakin itu tidak akan ada. Aku percaya padamu, Aina.”Aina tersenyum sambil menundukkan kepala. “Namun, tetap saja aku harus mengujinya. Kamu ti
“Mas Fakhri … ,” lirih Aina.Sudah tiga minggu lebih dia tidak bertemu pria ini dan kini tiba-tiba dia dipertemukan lagi di sini. Fakhri tampak terkejut saat melihat ada Aina dan juga Zafran. Saat di depan tadi, dia memang tidak melihat mobil Aina yang terparkir tersembunyi di balik tanaman. Jadi reaksinya tampak sangat kaget.“Ada apa, Bu? Kenapa Ibu memanggil Aina juga?” sergah Fakhri.Bu Rahma menghela napas panjang bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Fakhri.“Memangnya kenapa? Ibu hanya ingin mengundang mereka makan siang.”Fakhri hanya diam. Ia tidak bersuara, tapi matanya sudah melirik sinis ke arah Aina. Aina hanya diam menundukkan kepala. Sementara Zafran tampak girang begitu melihat kehadiran Fakhri. Namun, berbanding terbalik dengan sikap acuh Fakhri.Aina langsung membimbing Zafran agar mendekat ke arahnya dan tidak mengusik Fakhri. Ia tidak mau membuat suasana menjadi runyam.
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd