“Tidak!! Tidak mungkin!!” geram Fakhri.
Ia sudah meletakkan ponsel Wulan kembali ke tempatnya dan memilih berjalan menuju balkon. Fakhri duduk diam sambil mengamati lalu lalang orang di luar sana. Sementara benaknya sibuk melayang ke mana-mana.
“Apa yang dilakukan Aina dan Damar? Apa benar mereka sedang terlibat hubungan kerja? Atau jangan-jangan Damar tahu tentang pernikahan poligamiku lalu mencoba mencari kesempatan mendekati Aina? Tidak, tidak. Damar tidak akan seperti itu.” Fakhri sibuk bermonolog dalam hati.
Wulan yang baru saja keluar dari kamar mandi tampak terkejut melihat Fakhri sedang melamun di balkon.
“Mas ... jadi perginya?” tanya Wulan.
Fakhri menoleh, mendengkus sambil menganggukkan kepala.
“Iya, kamu sudah siap?”
Wulan mengangguk, tersenyum lebar sambil memutar tubuhnya di depan Fakhri. Fakhri hanya diam mengamati penampilan istrinya. Kali ini Wulan mengenakan dress hitam
“Apa maksud Ibu?” tanya Aina.Ia benar-benar terkejut saat Bu Wati tiba-tiba bertanya tidak sopan seperti itu. Bu Wati hanya tersenyum menyeringai menatap Aina dengan sinis. Sementara Aina balas menatapnya tak kalah sengit. Selama ini tidak ada tetangganya yang mau tahu urusan rumah tangganya, hanya satu orang ini saja yang selalu sibuk mencari tahu.“Alah … pakai menyangkal segala. Udah ngaku aja, Mbak kalau itu ayahnya Zafran.”Dengan seenaknya Bu Wati kembali berkomentar. Aina berdecak menggelengkan kepala sambil menatap penuh amarah ke wanita paruh baya di depannya ini.“Dengar ya, Bu!! Jangan asal bicara!! Saya bisa menuntut Ibu balik dan melaporkan sebagai pencemaran nama baik.”Seketika terlihat kepanikan di wajah Bu Wati. Ia tidak menduga Aina yang dikenal lemah lembut dan penuh sopan santun akan bicara seperti itu.“Apa maksudnya? Saya … saya kan cuman ngomong aja. Kenapa harus
“Iya, ada apa, Mas?” sapa Aina.Ia tersenyum saat menyapa lebih dulu di ponsel. Meski perlakuan Fakhri sebelumnya membuat Aina sakit hati, tapi dia tidak mau menunjukkan kebenciannya di depan Zafran.“Mas … .” Suara Aina kembali memanggil karena tidak ada sahutan di seberang sana.Zafran yang duduk di sampingnya mendongak dengan mata penuh selidik. Aina tersenyum, mengurai pelukannya kemudian bangkit berdiri. Bisa jadi sinyal ponselnya kurang baik sehingga membuat komunikasinya tersendat, ditambah saat ini suaminya sedang berada di belahan bumi yang jauh.Aina memilih keluar dari kamar Zafran dan kembali ke kamarnya. Siapa tahu dengan begitu, sinyal di ponselnya lebih baik.“Mas … .” Sekali lagi Aina memanggil dan berharap ada balasan suara Fakhri di seberang sana.Namun, alih-alih suara Fakhri malah terdengar suara cempreng wanita yang sangat dikenal Aina.“Hmm … jadi kam
“Beneran kamu sudah menyelesaikan semuanya, Aina?” tanya Damar.Hampir tiga minggu berselang dan senin pagi ini, Aina sengaja datang ke kantor Damar. Ia sudah menyelesaikan tugas yang diminta Damar.Aina tersenyum sambil menganggukkan kepala. Wajahnya tampak berseri dengan mata berbinar penuh percaya diri.“Iya, bukannya aku sudah bilang kalau tidak sampai satu bulan akan menyelesaikannya.”Damar langsung tersenyum lebar mendengarnya. Kepalanya terus mengangguk dengan mata yang tak lepas dari Aina.“Syukurlah, aku memang sedang membutuhkannya saat ini. Jadi kamu akan menginstal langsung hari ini?”Aina mengangguk.“Iya, aku akan mencobanya. Siapa tahu ada miss-nya.”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. “Aku yakin itu tidak akan ada. Aku percaya padamu, Aina.”Aina tersenyum sambil menundukkan kepala. “Namun, tetap saja aku harus mengujinya. Kamu ti
“Mas Fakhri … ,” lirih Aina.Sudah tiga minggu lebih dia tidak bertemu pria ini dan kini tiba-tiba dia dipertemukan lagi di sini. Fakhri tampak terkejut saat melihat ada Aina dan juga Zafran. Saat di depan tadi, dia memang tidak melihat mobil Aina yang terparkir tersembunyi di balik tanaman. Jadi reaksinya tampak sangat kaget.“Ada apa, Bu? Kenapa Ibu memanggil Aina juga?” sergah Fakhri.Bu Rahma menghela napas panjang bangkit dari duduknya kemudian menghampiri Fakhri.“Memangnya kenapa? Ibu hanya ingin mengundang mereka makan siang.”Fakhri hanya diam. Ia tidak bersuara, tapi matanya sudah melirik sinis ke arah Aina. Aina hanya diam menundukkan kepala. Sementara Zafran tampak girang begitu melihat kehadiran Fakhri. Namun, berbanding terbalik dengan sikap acuh Fakhri.Aina langsung membimbing Zafran agar mendekat ke arahnya dan tidak mengusik Fakhri. Ia tidak mau membuat suasana menjadi runyam.
“Aku sudah menyelesaikannya dengan caraku sendiri,” seru Fakhri.Ia kini mengangkat kepala dan menatap tajam Aina yang duduk di depannya. Aina hanya diam. Ia tidak memalingkan wajah juga tidak membalas tatapan Fakhri, hanya diam melihat kosong.Bu Rahma berdecak sambil menggelengkan kepala. Wanita paruh baya itu melihat ulah Fakhri dan Aina kemudian memperhatikan Zafran yang sudah selesai makan. Bocah pria itu tampak bingung dengan situasai saat ini. Mungkin ini kali pertama Zafran melihat kedua orang tuanya bersitegang.“Ibu jangan ikut campur urusanku. Aku sudah dewasa dan aku tahu yang kulakukan.”Fakhri kembali bersuara dan menoleh ke arah Bu Rahma. Bu Rahma tidak bisa menjawab, ia hanya diam sambil sesekali melirik Aina. Aina tahu wanita paruh baya itu sedang membantunya menyelesaikan masalah, tapi sepertinya suaminya sendiri tidak mau mendengar. Hati dan telinga Fakhri sudah tertutup rapat. Sebegitu sakitnya Aina melukai hing
“Kamu memang tukang pengadu, Aina!!” suara Fakhri menyeruak menginterupsi konsentrasi Aina.Aina menoleh dan melihat Fakhri sedang berdiri di depan pintu kamar. Bajunya terlihat lembab, rambutnya basah bahkan wajahnya sudah banyak titik air di sana.“Mas … apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu basah kuyup?”Aina tergesa mematikan laptop dan gegas bangkit menghampiri Fakhri.“Kamu kehujanan?” tanya Aina.Ia berdiri sejajar di depan Fakhri. Fakhri hanya diam menatapnya dengan dingin. Entah mengapa netra coklat itu bagai ribuan pisau yang menusuk hati Aina. Bibir Fakhri membiru bergetar karena kedinginan, wajahnya yang putih semakin terlihat pucat dengan beberapa buliran air menempel di sana.Aina tampak khawatir dan segera berjalan ke lemari mengambil handuk serta baju ganti. Untung masih tersisa beberapa baju Fakhri di sana.“Sini, ganti baju dulu!! Nanti kamu sakit,” pinta Aina.
“MAS!! Kamu dari mana? Kenapa basah kuyup begini?” tanya Wulan.Dia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba datang dengan badan basah kuyup. Fakhri tidak menjawab, ia langsung berjalan masuk menuju kamar mandi. Wulan tercengang dibuatnya. Tadi Fakhri memang berpamitan hendak menemui klien usai jam pulang kantor. Fakhri bahkan meminta Wulan pulang lebih dulu, tapi nyatanya ia malah ke rumah Aina.Wulan berjalan menuju kamar dan melihat Fakhri sudah masuk kamar mandi sebelum ia sempat bertanya. Wulan menghela napas panjang sambil menyiapkan baju ganti Fakhri.“Memangnya tidak ada payung di mobilnya hingga basah kuyup seperti itu,” gumam Wulan.Ia tidak mau menunggu Fakhri di kamar dan memilih kembali ke ruang tengah untuk melihat tv. Sementara itu, Fakhri hanya diam di dalam kamar mandi. Ia sudah menyalakan shower dan berdiri diam di bawahnya sambil memejamkan mata.Air hangat yang membasahi tubuhnya seakan sedang mengingatkan k
“MAS FAKHRI!!!” seru Aina.Ia langsung berdiri dan spontan berlari ke tempat Fakhri. Sudah ada beberapa yang mengerubunginya di sana. Damar ikut mendekat dan langsung menyeruak kerumunan itu.“Kenapa dia? Mas Fakhri kenapa, Wulan?” tanya Aina.Wulan tampak terkejut dengan kehadiran Aina yang tiba-tiba. Wulan memang tidak memperhatikan keberadaan Aina di kafe tadi. Ia hanya fokus dengan dua kliennya.“Aku gak tahu. Tiba-tiba dia pingsan.” Wulan berkata dengan acuh dan seolah tak peduli pada Fakhri.Aina terlihat kesal. Ia langsung merunduk, membantu menyadarkan Fakhri bersama beberapa orang yang lain. Kemudian Damar juga bersimpuh, menyanggah tubuh Fakhri.“Badannya panas, Aina,” gumam Damar.Aina mendengkus menggelengkan kepala sambil menatap Wulan dengan kesal.“Hei!! Kenapa kamu melihatku seperti itu? Kamu sedang menyalahkanku, Aina?” Wulan malah kembali bersuara den
“HEH!!!” seru Aina.Ia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba berkata seperti itu. Aina tahu jika pria di depannya ini masih menyimpan rasa padanya. Beberapa kali sikapnya yang menunjukkan hal seperti itu. Bahkan dulu, Fakhri mati-matian tidak mau melepaskan Aina. Namun, rasanya tidak mungkin jika Aina memenuhi keinginannya.Fakhri seakan tahu dengan kebingungan Aina. Ia tersenyum menatap Aina dengan sendu.“Aku tahu kamu pasti terkejut mendengarnya. Namun, aku rasa kamu juga tahu kalau aku masih mencintaimu. Aku ingin rujuk, Aina.”Belum ada jawaban dari bibir wanita cantik itu. Malah kini kepalanya menunduk menghindar dari tatapan Fakhri.“Aku yakin … kamu pasti masih meragukan aku. Asal kamu tahu, Aina. Aku sudah jauh berubah. Aku bukan Fakhri yang dulu. Fakhri yang emosional, yang tidak bisa mengatur amarahnya, yang tidak mau mendengar. Aku sudah berubah, Aina. Dan itu semua karena kamu.”Aina ma
“Rin, kamu jangan menuduh tanpa bukti. Nanti jatuhnya pencemaran nama baik,” ingat Robby.Rini hanya diam, matanya tampak menatap Robby dan entah mengapa seakan sedang menyimpan kesedihan.“Aku tahu … apa yang sedang kamu rasakan. Kamu pasti juga ingin melihat kakakmu bahagia, tapi kamu juga harus ingat kalau yang menjalani semua ini Aina. Apapun yang sudah menjadi keputusannya, harus kamu hargai.”Rini masih terdiam dan menundukkan kepala.“Iya, saya tahu kok, Pak. Maaf, saya jadi melenceng dari pekerjaan.”Robby hanya tersenyum sambil menganggukkan kepala. Kemudian Rini sudah bangkit dan berpamitan kembali ke ruangannya. Seperginya Rini, Robby jadi teringat dengan cerita Fakhri tentang Damar dan Wulan. Damar pernah mengantar Wulan pulang dalam kondisi mabuk. Apa saat itu mereka tidak sengaja bertemu di pub yang sama atau mereka memang sudah lama berteman dan janjian untuk hang out bersama malam itu?
“Kamu yakin mau melakukannya?” tanya Robby.Fakhri terdiam sesaat kemudian tampak sedang berpikir. Robby tersenyum sambil menepuk bahu Fakhri dengan lembut.“Lebih baik kamu bicarakan dengan Aina dulu. Takutnya dia tidak berkenan dan marah. Lalu hubungan kalian yang sudah membaik akan memburuk lagi.”Helaan napas panjang keluar dari bibir Fakhri. Dia menganggukkan kepala mengakui ucapan Robby memang benar. Bagaimanapun yang berhak pada Zafran adalah Aina. Kalaupun Fakhri ingin melakukan tes DNA, dia harus izin ke Aina dulu.“Ya udah kalau gitu. Aku balik kantor dulu ya, Rob. Jangan lupa kabari kalau urusannya udah kelar.”Fakhri bangkit siap berpamitan. Robby ikut mengantarnya sampai pintu. Baru saja Fakhri keluar ruangan, tiba-tiba ia melihat Rini. Tentu saja Rini langsung menyapanya.“Mas Fakhri!!” sapa Rini.Fakhri tersenyum. “Hai, Rin. Kamu kerja di sini sekarang?”
“Aku … aku gak papa kok, Aina,” jawab Damar.Dia harus secepatnya memberi jawaban ke Aina agar tidak curiga. Tentu saja kali ini Damar terpaksa berbohong.“Aku hanya sedikit lelah dan tadi meminta bawahanku untuk membeli makanan serta vitamin.” Damar dengan lancar menuturkan kebohongannya.Aina di seberang sana tampak semakin khawatir. Ia menghela napas panjang sambil menyelipkan rambut di balik telinganya.“Apa itu sebabnya kamu tidak mau melakukan video call denganku? Kamu takut aku khawatir?”Damar tersenyum sambil menggelengkan kepala. Ia semakin lega mendengar ucapan Aina. Sepertinya calon istrinya ini benar-benar mau menerima Damar seutuhnya.“Enggak, Aina. Jaringan di sini kurang bagus, aku takut tidak bisa melakukan video call. Bukankah dengan mendengar suaraku saja sudah cukup.”Aina terdiam, menelan ludah sambil menganggukkan kepala. Kenapa juga dia harus memaksa Damar?
“Gimana, Aina? Damar sudah menjawab, belum?” tanya Bu Tika.Hari ini sengaja Bu Tika datang ke rumah Aina. Harusnya hari ini Damar dan Aina melakukan pengukuran untuk baju pengantin mereka. Namun, karena Damar masih berada di luar negeri, jadi terpaksa Bu Tika meminta Aina melakukan panggilan video. Namun, hingga kini panggilan dari Aina belum dijawab oleh Damar.“Belum, Tante. Damar mungkin masih sibuk,” jawab Aina. Ia sudah mengakhiri panggilan dan menyimpan ponselnya.Aina sendiri tidak tahu mengapa tumben sekali Damar tidak menjawab panggilannya. Padahal biasanya pria manis itu yang paling bersemangat menerima teleponnya.“Ck, Damar ini gimana, sih? Mau nikah juga kok gak pulang-pulang. Sibuk ngurusin kerjaan aja,” dumel Bu Tika.Aina hanya mengulum senyum mendengar keluh kesah calon mertuanya.“Mungkin Damar sama dengan saya, Tante. Dia ingin menyelesaikan semua pekerjaan supaya fokus dengan pernikahan saja setelah ini.”Bu Tika tidak menyahut hanya diam sambil memajukan bibirnya
“TUNGGU!! TUNGGU, SUS!!” seru Fakhri.Ia langsung berdiri, berlari mengejar perawat yang mendorong kursi roda Damar. Ia harus memastikan apa yang sedang terjadi dengan Damar. Apa dia sakit? Atau mengalami kecelakaan? Lalu bagaimana dengan Aina? Apa dia tahu?Fakhri terus berjalan cepat mencoba menyibak beberapa orang yang berjalan lalu lalang, tapi sepertinya dia kehilangan jejak. Fakhri menghentikan langkahnya, menoleh ke kanan kiri dan segala penjuru. Saat ini, dia memang sedang berdiri di perempatan koridor rumah sakit dan di setiap sudut itu, dia tidak melihat sosok Damar.“Kemana perginya mereka?” gumam Fakhri.Matanya terus berkelebatan mencoba mencari, tapi dia tidak menemukan sosok yang diinginkan. Fakhri menarik napas panjang, membalikkan tubuh kemudian berjalan menuju apotik kembali.Fakhri yakin kalau dia tidak salah lihat. Nama dan suara yang ia dengar adalah milik sepupunya. Hanya saja Fakhri tidak tahu, apa yan
“Mas … kamu apa-apaan?” seru Wulan.Ia langsung turun dari kasur dan dengan sembarang menyambar selimut untuk membungkus tubuh bugilnya. Hal yang sama juga dilakukan Alex. Dia tampak terkejut, bergegas bangkit, meraih pakaiannya yang berserakan di lantai lalu memakainya.Fakhri hanya tersenyum menyeringai sambil meneruskan rekamannya.“Jangan buru-buru, Bro!! Lanjut aja gak papa. Aku gak masalah kok kamu bercinta dengannya.”Fakhri malah bersuara seperti itu. Tentu saja ucapan Fakhri membuat Wulan semakin kesal. Ia melirik Alex dan dengan sorot matanya memberi isyarat ke Alex agar pergi dari rumahnya.“Mas, apa maksudmu? Kenapa kamu lakukan ini?”Wulan protes dengan ulah Fakhri yang merekamnya. Fakhri tersenyum menyudahi rekaman dan menyimpan ponselnya.“Asal kamu tahu, aku melakukannya dengan Alex karena kamu tidak pernah menafkahiku, Mas. Aku juga butuh nafkah batin dan kamu mengabaik
“Wulan?” kata Fakhri baik bertanya. Ia sudah tahu jika istrinya terlibat dalam kasus manipulasi data ini, tapi Fakhri ingin mendapat lebih banyak bukti lagi untuk menggiring Wulan ke penjara. Sementara itu Pak Franky tampak menganggukkan kepala. “Iya, Pak. Bu Wulan yang meminta saya melakukan hal tersebut. Sebenarnya saya tidak ingin melakukan, hanya saja ---” “Hanya saja ia memberi Anda imbalan, kan?” potong Fakhri. Pak Franky tidak menjawab, jakunnya naik turun menelan saliva kemudian bersamaan kepalanya mengangguk. “Iya, Pak. Bu Wulan memang memberi imbalan untuk saya.” Fakhri terdiam beberapa saat. Salah dia juga telah memberi kepercayaan pada Wulan saat itu. Fakhri akui dia memang ceroboh apalagi saat emosi mengendalikannya. Saat itu pikirannya sedang kalut karena ulah Aina. Ia berusaha mengurangi beban pekerjaan dengan mengizinkan Wulan membuat keputusan untuk perusahaan. Sayangnya, Wulan malah menyalahgunakan kepercayaannya. “Saya menyesal, Pak. Saya menyesal telah melaku
“Fakhri!! Kupikir siapa,” gerutu Robby.Fakhri tersenyum lebar sambil memperlihatkan gigi putihnya. Senin pagi ini, dia memang sengaja datang ke apartemen Robby. Robby yang baru saja bangun menatap Fakhri dengan muka bantal. Mata sipitnya belum sepenuhnya terbuka bahkan masih melekat membentuk garis.“Sini, buruan!!”Fakhri mendorong pintu apartemen Robby lebih lebar dan langsung berjalan masuk menuju sofa. Robby hanya diam, menatap Fakhri dengan bingung kemudian berjalan menghampirinya.“Ini masih jam enam pagi, Fakhri. Masih terlalu pagi untuk bahas kerjaan. Lagian aku masih ngantuk.”Robby berkata sambil menguap lebar, duduk di sebelahnya. Namun, reaksi Fakhri malah tersenyum manis.“Aku ke sini mau ngasih kamu ini!!” Fakhri tiba-tiba mengulurkan sebuah flashdisk dari saku jasnya.Robby tidak bereaksi, hanya melirik dengan kedua alis yang terangkat.“Memangnya apa itu?&rd