“Aku sudah menyelesaikannya dengan caraku sendiri,” seru Fakhri.
Ia kini mengangkat kepala dan menatap tajam Aina yang duduk di depannya. Aina hanya diam. Ia tidak memalingkan wajah juga tidak membalas tatapan Fakhri, hanya diam melihat kosong.
Bu Rahma berdecak sambil menggelengkan kepala. Wanita paruh baya itu melihat ulah Fakhri dan Aina kemudian memperhatikan Zafran yang sudah selesai makan. Bocah pria itu tampak bingung dengan situasai saat ini. Mungkin ini kali pertama Zafran melihat kedua orang tuanya bersitegang.
“Ibu jangan ikut campur urusanku. Aku sudah dewasa dan aku tahu yang kulakukan.”
Fakhri kembali bersuara dan menoleh ke arah Bu Rahma. Bu Rahma tidak bisa menjawab, ia hanya diam sambil sesekali melirik Aina. Aina tahu wanita paruh baya itu sedang membantunya menyelesaikan masalah, tapi sepertinya suaminya sendiri tidak mau mendengar. Hati dan telinga Fakhri sudah tertutup rapat. Sebegitu sakitnya Aina melukai hing
“Kamu memang tukang pengadu, Aina!!” suara Fakhri menyeruak menginterupsi konsentrasi Aina.Aina menoleh dan melihat Fakhri sedang berdiri di depan pintu kamar. Bajunya terlihat lembab, rambutnya basah bahkan wajahnya sudah banyak titik air di sana.“Mas … apa yang kamu lakukan? Kenapa kamu basah kuyup?”Aina tergesa mematikan laptop dan gegas bangkit menghampiri Fakhri.“Kamu kehujanan?” tanya Aina.Ia berdiri sejajar di depan Fakhri. Fakhri hanya diam menatapnya dengan dingin. Entah mengapa netra coklat itu bagai ribuan pisau yang menusuk hati Aina. Bibir Fakhri membiru bergetar karena kedinginan, wajahnya yang putih semakin terlihat pucat dengan beberapa buliran air menempel di sana.Aina tampak khawatir dan segera berjalan ke lemari mengambil handuk serta baju ganti. Untung masih tersisa beberapa baju Fakhri di sana.“Sini, ganti baju dulu!! Nanti kamu sakit,” pinta Aina.
“MAS!! Kamu dari mana? Kenapa basah kuyup begini?” tanya Wulan.Dia sangat terkejut saat Fakhri tiba-tiba datang dengan badan basah kuyup. Fakhri tidak menjawab, ia langsung berjalan masuk menuju kamar mandi. Wulan tercengang dibuatnya. Tadi Fakhri memang berpamitan hendak menemui klien usai jam pulang kantor. Fakhri bahkan meminta Wulan pulang lebih dulu, tapi nyatanya ia malah ke rumah Aina.Wulan berjalan menuju kamar dan melihat Fakhri sudah masuk kamar mandi sebelum ia sempat bertanya. Wulan menghela napas panjang sambil menyiapkan baju ganti Fakhri.“Memangnya tidak ada payung di mobilnya hingga basah kuyup seperti itu,” gumam Wulan.Ia tidak mau menunggu Fakhri di kamar dan memilih kembali ke ruang tengah untuk melihat tv. Sementara itu, Fakhri hanya diam di dalam kamar mandi. Ia sudah menyalakan shower dan berdiri diam di bawahnya sambil memejamkan mata.Air hangat yang membasahi tubuhnya seakan sedang mengingatkan k
“MAS FAKHRI!!!” seru Aina.Ia langsung berdiri dan spontan berlari ke tempat Fakhri. Sudah ada beberapa yang mengerubunginya di sana. Damar ikut mendekat dan langsung menyeruak kerumunan itu.“Kenapa dia? Mas Fakhri kenapa, Wulan?” tanya Aina.Wulan tampak terkejut dengan kehadiran Aina yang tiba-tiba. Wulan memang tidak memperhatikan keberadaan Aina di kafe tadi. Ia hanya fokus dengan dua kliennya.“Aku gak tahu. Tiba-tiba dia pingsan.” Wulan berkata dengan acuh dan seolah tak peduli pada Fakhri.Aina terlihat kesal. Ia langsung merunduk, membantu menyadarkan Fakhri bersama beberapa orang yang lain. Kemudian Damar juga bersimpuh, menyanggah tubuh Fakhri.“Badannya panas, Aina,” gumam Damar.Aina mendengkus menggelengkan kepala sambil menatap Wulan dengan kesal.“Hei!! Kenapa kamu melihatku seperti itu? Kamu sedang menyalahkanku, Aina?” Wulan malah kembali bersuara den
“Apa maksudmu, Wulan?” tanya Aina.Wulan berdecak sambil menggelengkan kepala. Mata wanita berkulit putih itu kini menatap dengan tajam ke Aina seolah sedang mengulitinya.“Harusnya kamu tidak membuatnya kesulitan, Aina. Kamu yang sudah selingkuh, kamu yang membohonginya. Harusnya kamu tahu diri dan mengajukan gugatan cerai sendiri, tanpa harus menunggu keputusan Mas Fakhri.”Aina terdiam. Kini dia tahu apa maksud pembicaraan Wulan.“Kalau kamu memang mencintainya, harusnya kamu rela melihatnya dia bahagia. Dan kali ini, hanya aku yang bisa membuatnya bahagia. Bukan kamu!!”Belum ada jawaban dari Aina. Ia hanya diam dan memilih menjadi pendengar saja kali ini.“Keluarga Pak Fakhri?” Tiba-tiba seorang perawat datang menginterupsi percakapan mereka.“Iya, Sus!!” sahut Wulan.“Pasien sudah dipindahkan ke kamar rawat inap, Bu. Jadi sudah bisa dijenguk,” imbuh p
“Halo, Ibu. Ada apa?” sapa Aina.Malam itu baru saja Aina hendak memejamkan mata, tiba-tiba Bu Rahma menelepon.“Aina kamu di mana? Apa kamu sudah tahu jika Fakhri masuk rumah sakit?” Suara Bu Rahma di seberang tampak khawatir.Aina terdiam sesaat, mengangguk dengan ragu. Jelas ia tahu, dia yang membawa Fakhri ke rumah sakit bersama Damar tadi siang. Namun, rasanya saat ini jawaban itu tidak diperlukan.“Sakit apa Mas Fakhri, Bu?” Aina malah balik bertanya. Anggap saja dia tidak tahu dan saat ini dia ingin mencari tahu lebih banyak.“Kata Wulan kecapekan terus juga kemungkinan kena asam lambung. Duh, kok bisa Fakhri kena asam lambung. Dia kan gak pernah telat makan. Bukankah saat bersama kamu dulu, Fakhri baik-baik saja, Aina?”Aina terdiam. Tidak menjawab. Ia tidak mau berargumen. Percuma saja dia membela diri, toh Fakhri tidak akan memenangkannya.“Sakit asam lambung bukan hanya
“Iya, tentu,” jawab Aina.Sebuah senyuman sontak terukir di wajah cantik wanita itu. Aina langsung menarik kursi mendekat brankar Fakhri, mulai membuka plastik wrap pada makanan, kemudian bersiap menyuapinya.“Mas, hadap sini, dong!!” pinta Aina.Awalnya Fakhri tampak malas, tapi perlahan kepalanya menoleh dengan patuh ke arah Aina. Kalau dipikir-pikir ulah Fakhri saat ini seperti anak kecil yang sedang merajuk dan ini mengingatkan Aina pada Zafran.“Buka mulutnya!!” Lagi-lagi Aina memberi perintah, lalu dengan tunduk Fakhri menuruti perintahnya.Fakhri tidak berkomentar sedikit pun. Ia menoleh ke arah Aina, membuka mulut meski matanya sama sekali tidak melihat ke istrinya sedikit pun. Aina tidak peduli, asal ia bisa bersama Fakhri beberapa saat saja sudah cukup. Siapa tahu dengan momen seperti ini membuka jalan komunikasi mereka yang tersendat.“Sudah, aku sudah kenyang.”Hanya beberapa
“Fakhri, Aina mana?” tanya Bu RahmaBeberapa saat setelah Fakhri mengusir Aina, Bu Rahma kembali masuk ke ruang rawat inap tempat Fakhri berada. Wanita paruh baya itu terkejut saat tidak melihat Aina di sana.“Aku menyuruhnya pergi,” jawab Fakhri.Bu Rahma tampak terkejut dan menatap Fakhri dengan tajam.“Apa maksudmu menyuruhnya pergi? Kamu mengusirnya, Fakhri?”Fakhri tidak menjawab hanya berdecak sambil menatap Bu Rahma dengan malas. Bu Rahma semakin marah, berjalan mendekat ke brankar Fakhri.“Dia istrimu juga. Apa salahnya menjengukmu, Fakhri?”Fakhri menghela napas panjang sambil berdecak melihat Bu Rahma.“Bu … sudah kubilang jangan ikut campur dengan urusanku. Biarkan aku selesaikan sendiri masalahku.”Bu Rahma terdiam menatap Fakhri dengan seksama sambil menggelengkan kepala berulang.“Ibu lihat kamu tidak menyelesaikan masalahmu, ta
“Mas, aku bawain nasi Padang kesukaanmu,” ucap Wulan.Ia berjalan mendekat ke Fakhri sambil menyodorkan nasi kotak bertuliskan nama sebuah rumah makan Padang. Fakhri hanya diam tidak berkomentar sedikit pun. Sementara Bu Rahma hanya menghela napas panjang.Wanita paruh baya itu mendekat ke Wulan, kemudian mengambil nasi kotak tersebut.“Wulan, apa kamu tidak tahu jika Fakhri belum boleh makan nasi. Pencernaannya ada masalah dan dia hanya boleh makan bubur.”Wulan tampak terkejut dan menatap Fakhri dengan bingung.“Mas … kok kamu gak bilang tadi.”Fakhri berdecak, melirik Wulan dengan gemas. Padahal semalam dokter sudah memberitahu tentang hal itu padanya, kenapa Wulan malah berkata seperti itu?“Maaf, Bu. Saya gak tahu. Mungkin nasi Padangnya buat Ibu saja.”Bu Rahma hanya diam sambil melirik sinis Wulan. Wulan tampak mengabaikan tatapan Bu Rahma kemudian dia melihat Damar
“Saudari Wulan Ariani terbukti bersalah telah melakukan penggelapan uang perusahaan … .” Hari ini adalah hari pembacaan keputusan sidang untuk Wulan. Semua bukti yang terkumpul untuk kejahatan yang dilakukan Wulan sama sekali tidak disangkal dan Wulan mengakuinya. Bahkan dia juga mengaku telah menukar bayi Fakhri dan Aina serta menjebak Aina dengan memberi minuman obat perangsang. Fakhri yang ikut hadir di sana hanya diam mendengarkan. Sesekali ia melirik Wulan yang duduk di kursi pesakitan. Wulan sudah jauh berbeda. Wajahnya tidak secantik dulu, rambut indahnya juga tampak ditata dengan asal apalagi kini tubuhnya semakin kurus tidak seksi seperti dulu. Kalau boleh jujur, Fakhri kasihan melihatnya. Aina yang duduk di samping Fakhri hanya diam. Ia sadar siapa yang sedang diperhatikan suaminya saat ini. Aina tidak berkomentar dan terus memperhatikan Fakhri. “Kamu mau menemuinya?” Tiba-tiba Aina bertanya usai pembacaan keputusan berakhir. Fakhri menghela napas dan melihat Aina.
“Udah, Mas. Mau sampai berapa kali kamu melakukannya?” dumel Aina.Ia berkata sambil menyingkirkan wajah Fakhri yang menempel di dadanya. Fakhri terkekeh sambil terus mendaratkan beberapa kecupan di sana. Ia sama sekali tidak mau melepas pelukannya ke Aina.“Memangnya kamu lupa, kalau Ibu bersama Zafran dan Ryan minta oleh-oleh adik. Makanya aku berusaha mewujudkannya.”Aina berdecak, sambil menyelipkan rambut ke belakang telinga. Fakhri sudah mengangkat kepalanya dan kini duduk bersandar di samping Aina.“Iya, aku tahu. Namun, ini sudah sore, Mas. Kita bahkan melewatkan makan pagi dan makan siang. Aku laper.”Fakhri mengulum senyum saat melihat ekspresi Aina. Kalau mau jujur dia juga sudah merasa lapar. Namun, rasanya Fakhri tidak mau kehilangan satu momen pun dengan Aina.“Ya sudah, aku pesan makanan dulu.”Fakhri membalikkan tubuhnya dan bersiap meraih telepon yang ada di nakas. Namun
BRAK!!!Pintu kamar tertutup dan Fakhri hanya diam melongo berdiri di depannya. Matanya mengerjap berulang saat menyadari jika dirinya sudah berada di luar kamar.“Fakhri!! Kamu ngapain di sini?” seru Bu Rahma.Wanita paruh baya itu terkejut saat melihat putranya berdiri di depan pintu kamar dengan ekspresi wajah bingung. Fakhri menoleh sambil menghela napas panjang.“Istriku baru saja disabotase Zafran dan Ryan, Bu.”Sontak Bu Rahma terkekeh mendengar aduannya.“Sudah, biarin saja. Toh, kamu tadi siang sudah melakukannya. Lagian besok kalian sudah berangkat untuk honeymoon. Jadi biarkan anak-anak bersama bundanya malam ini.”Fakhri menghela napas panjang sambil menganggukkan kepala. Untung saja, tadi siang dia sudah melakukan pemanasan tiga ronde dengan Aina, kalau tidak pasti sangat kesal malam ini.“Apa mau ditemani Ibu tidur, Fakhri?” Tiba-tiba Bu Rahma bersuara dengan menggod
“Fakhri!! Kamu ke mana aja? Dari tadi Ibu telepon gak diangkat!” Suara Bu Rahma langsung terdengar di telinga Fakhri.Fakhri menguap lebar sambil mengucek matanya. Usai ijab kabul di KUA, harusnya Fakhri bersama Aina merayakan resepsi dan tasyakuran di rumah Bu Rahma. Namun, Fakhri malah sengaja mengajak Aina pulang ke rumah baru mereka dan menikmati malam pernikahan lebih awal.“Aku ngantuk, Bu,” jawab Fakhri sambil menguap.“Ngantuk? Memangnya kamu di mana? Kenapa juga Pak Udin gak balik ke rumah?”Pak Udin adalah sopir Fakhri yang baru dan kebetulan tadi Fakhri menyuruhnya untuk istirahat. Sepertinya Pak Udin menurut perintahnya.“Banyak tamu mencari kamu dan Aina. Mereka pengen ketemu, Fakhri.”Fakhri menghela napas panjang. Dari awal, Fakhri dan Aina memang tidak mau melakukan perayaan. Toh, ini bukan pernikahan pertama mereka. Hanya Bu Rahma saja yang telah mengundang para tamu hingga mer
Rabu pagi, satu minggu kemudian tampak kesibukan di rumah Bu Rahma. Wanita paruh baya itu tampak berjalan mondar mandir dari ruang tamu ke kamar Fakhri. Wajahnya terlihat gelisah saat melihat pintu kamar Fakhri masih tertutup rapat.“Ryan, Zafran, coba periksa ayahmu!! Kenapa dari tadi belum keluar? Nenek takut kita datang terlambat ke KUA,” ujar Bu Rahma.Hari ini memang hari pernikahan Fakhri. Sesuai permintaan Aina, mereka akan melakukan jiab kabul di kantor KUA. Setelahnya akan mengadakan tasyakuran dan resepsi sederhana di rumah Bu Rahma.Sebenarnya Bu Rahma ingin merayakan pernikahan kedua putranya ini dengan meriah, tapi Aina dan Fakhri menolaknya. Mereka tidak mau lelah, bahkan sehari setelahnya akan melakukan perjalanan keluar negeri untuk honeymoon.“Iya, Nek!!” Ryan dan Zafran menjawab berbarengan.Mereka berjalan beriringan menuju kamar Fakhri. Baru saja Ryan hendak mengentuk pintu kamar Fakhri, tiba-tiba handel
“TUNGGU!!! STOP!!! Jangan bilang kamu mau mencabut gugatanmu ke Wulan!!” sahut Robby.Rini yang mendengar ucapan Robby tampak terkejut. Hal yang sama juga ditunjukkan Fakhri, sayangnya Robby tidak bisa melihat reaksinya kali ini.“HEH??? Mencabut gugatan ke Wulan? Siapa juga yang mau mencabut gugatan?” ucap Fakhri.Sontak helaan napas panjang keluar dengan kasar dari bibir Robby, bahkan pria bermata sipit itu sudah mengurut dadanya.“Lalu kamu mau minta tolong apa tadi?”Fakhri mendengkus sambil melirik interaksi Aina bersama Zafran dan Ryan di ruangannya.“Aku mau minta tolong kamu percepat pernikahanku.”Kini berganti Robby yang terkejut, mata sipitnya melebar usai mendengar permintaan Fakhri.“Bukannya tinggal dua minggu lagi. Kenapa mau dipercepat lagi?”Fakhri tersenyum sambil menyembunyikan wajahnya. Ia berdiri dan menjauh dari Aina serta kedua putranya. F
“Sayang … kok kamu ngomong gitu?” tanya Fakhri.Aina tidak menjawab, malah kini yang berganti menundukkan kepala. Dia paham hanya wanita kedua yang datang ke hati Fakhri. Meski pada akhirnya Fakhri lebih memilihnya, tapi setidaknya ada kenangan indah antara Fakhri dan Wulan.“Aku sama sekali gak bermaksud akan membahas ke arah sana. Aku sudah tidak mencintainya. Aku hanya sekedar memberitahumu mengenai keadaan Wulan.” Fakhri menambahkan kalimatnya dan terkesan sedang membuat pembelaan.Aina menghela napas panjang sambil mengangkat kepalanya. Matanya bertemu dengan netra coklat Fakhri dan terdiam untuk beberapa saat.“Aku juga sama sekali gak masalah jika kamu mengenang momen dengannya. Dia cinta pertamamu, bagaimanapun ada kenangan indah antara kamu dan dia. Bisa jadi itu yang membuatmu melankolis seperti ini.”Suara Aina terdengar datar, tidak tertangkap dia sedang sedih apalagi cemburu. Hanya saja Fakhri
“Sialan!! Bangsat!! Jadi kamu yang menyebabkan kecelakaanku?” sergah Wulan.Damar tersenyum sambil berdiri menjauh dari sisi brankar. Wajah Wulan sudah merah padam dengan bunyi gigi yang saling beradu belum lagi tangannya yang sudah mengepal seakan hendak melayangkan sebuah pukulan ke Damar.“Kalau iya, kenapa? Kamu ingin membalasku, Wulan?”Tidak ada jawaban dari Wulan. Ia duduk bersandar ke bantal dengan dada kembang kempis mengolah amarah dan wajah yang semakin merah.“Bukankah kamu juga yang telah menabrakku tempo hari hingga membuatku tak berdaya.”Wulan membisu dan buru-buru memalingkan wajah.“Aku rasa kita sudah impas, Wulan. Aku akan mencabut gugatanku dan melupakan semua. Sayangnya, kamu tidak bisa melakukan hal yang sama seperti aku.”Wulan belum menjawab, tapi wajahnya sudah meredup bahkan tatapan matanya tampak sayu. Dengan sendu Wulan menatap kaki kanannya yang kini dibabat
“APA!!! Mama mau bunuh diri?” seru Devi.Amar yang duduk di sebelah Devi tampak terkejut. Tanpa banyak bertanya, ia langsung menjalankan mobilnya meninggalkan rumah Fakhri lebih dulu. Fakhri yang berada di dalam mobil mengabaikannya. Bisa jadi Amar dan Devi punya kepentingan lain yang harus dilakukan.Selang beberapa saat Devi dan Amar sudah tiba di rumah sakit tempat Bu Vita dirawat. Wanita paruh baya itu tampak tergolek lemah di atas brankar dengan kedua pergelangan tangannya di babat perban.Devi baru saja dijelaskan oleh perawat yang bertugas jika Bu Vita berusaha mengakhiri hidupnya dengan menyayat pergelangan tangan menggunakan pecahan cermin di kamarnya. Bu Vita shock saat tahu kenyataan tentang Wulan.“Memangnya siapa yang memberitahu keadaan Kak Wulan ke Mama? Bukannya hanya kita yang diberitahu dokter,” gumam Devi.Ia seolah sedang berbicara pada dirinya sendiri. Amar yang berdiri di sebelahnya hanya diam sambil menatap Bu Vita dengan iba.“Sebenarnya beberapa saat yang lalu,