Bab 2 Kejutan untuk Fakhri

“ENGGAK, MAS!!! Aku gak mau!!” seru Aina.

Fakhri tidak menggubris seruan Aina. Ia malah langsung mengibaskan kaki agar Aina melepas pelukannya. Tanpa berkata apa pun, Fakhri berjalan keluar kamar. Aina gegas bangkit mengejar Fakhri. Ia tidak mau pernikahannya berakhir seperti ini. Ini kesalahannya dan Aina akan menjelaskan semuanya malam ini.

“MAS!! TUNGGU!!” Aina menarik lengan Fakhri.

Namun, Fakhri malah menepis tangan Aina bahkan mengibaskannya hingga Aina terpental.

“Cukup, Aina!!! Aku tidak mau dengar lagi. Kamu sudah dengar ucapanku, kan?”

Aina menggeleng, wajahnya semakin berantakan. Riasannya pudar dengan rambut hitam kelamnya yang acak-acakan. Aina tidak menyerah, dia mengekor langkah Fakhri.

“Aku gak mau, Mas. Aku gak mau cerai. Kamu dengar dulu penjelasanku. Aku ---”

Fakhri mengangkat tangannya ke udara dan menatap Aina dengan tajam. Sontak kalimat Aina terjeda, bibirnya bergetar hebat. Air matanya semakin luber. Namun, pria tampan di depan Aina ini hanya membisu. Wajahnya muram, tidak seperti beberapa jam tadi.

“Mulai malam ini, aku akan tinggal di rumah Ibu. Kamu saja yang di sini. Aku akan mengurus semuanya dengan cepat agar kamu bisa lekas bersama pacarmu itu.”

Aina mengatupkan rapat bibirnya sambil memejamkan mata sekilas. Ngilu hatinya saat Fakhri berkata seperti itu. Aina menarik napas panjang sambil menggelengkan kepala menatap Fakhri.

“Apa kamu benar-benar tidak mau mendengarkan penjelasanku, Mas? Apa kita tidak bisa memperbaiki semuanya?”

Ganti Fakhri yang terkejut. Ia membalas tatapan Aina dengan tajam.

“Memperbaiki apa? Kamu yang merusaknya. Kamu yang menghancurkannya, Aina.”

Aina membisu, menundukkan kepala sambil menahan buliran bening yang semakin banyak berkumpul di sudut matanya.

“Kamu tidak tahu bagaimana perasaanku? Kamu yang menyebabkan aku seperti ini. Harusnya kamu sadar diri, Aina!!”

Aina terdiam, isak tangis sudah terdengar lirih keluar dari mulutnya. Fakhri terdiam, tertegun menatap istrinya yang berurai air mata.

“Aku sangat mencintaimu. Aku selalu setia dan tak pernah mengkhianatimu. Namun, apa balasanmu? Enam tahun kita berumah tangga dan teganya kamu tutupi kebusukanmu selama ini. Apa belum puas kamu menyakitiku, Aina?”

Tangis Aina semakin pecah. Untung saja Bu Rahma sudah pulang sehingga tidak tahu pertikaian mereka kali ini.

“Mas … ini semua tidak seperti yang kamu pikirkan. Aku gak selingkuh, Mas. Sumpah, demi Tuhan. Aku ---”

“CUKUP!!!” Fakhri memotong kalimat Aina begitu saja, “aku gak mau mendengar ceritamu. Aku gak mau tahu siapa ayah Zafran. Yang pasti aku akan melakukan apa yang kukatakan tadi.”

Aina membisu, matanya penuh buliran bening, pipinya sembab, hidungnya berair. Dia benar-benar berantakan saat ini. Sama seperti hatinya yang tak karuan. Tanpa berkata apa-apa lagi, Fakhri langsung membalikkan badan dan berlalu pergi begitu saja.

Aina tercengang saat suaminya benar-benar meninggalkannya. Aina menyeka air matanya kemudian berlarian mengejar Fakhri. Fakhri sudah masuk ke dalam mobil, menyalakan mesin dan siap pergi.

Serta merta Aina berdiri di depannya menghadang. Fakhri tampak kesal. Ia tidak keluar, tapi hanya menatap Aina dari dalam mobil. Aina semakin nekat bahkan sudah merentangkan tangannya di depan mobil Fakhri.

“Dengerin penjelasanku dulu!! Baru kamu boleh pergi!!” tantang Aina.

Fakhri menghela napas panjang, kemudian membuka kaca jendela dan menjulurkan kepalanya.

“MINGGIR AINA!! Aku bilang minggir!!”

“Aku gak mau!! Sudah kubilang dengarkan penjelasanku dulu baru kamu boleh pergi.”

Fakhri berdecak, rahangnya menegang, mata coklatnya menatap tajam sementara jakunnya berulang bergerak naik turun menelan saliva. Banyak rasa mengendap di dadanya. Sakit, marah, benci dan mungkin sedikit cinta berkumpul di sana.

Fakhri meraup wajahnya dengan kasar, kemudian sudah mulai menyalakan mobil. Aina tampak tercengang. Ia pikir suaminya akan keluar dan mendengarkan penjelasannya jika dia berbuat senekat ini, tapi dugaan Aina salah.

“Kamu tidak mau minggir?” Fakhri kembali bertanya sambil menjulurkan kepalanya keluar jendela.

Aina hanya diam, tidak menjawab. Namun, tatapan matanya sudah menunjukkan kesungguhan.

“Baik, terserah. Aku akan benar-benar menabrakmu kali ini, Aina!!”

Aina sedikit takut mendengar ucapan Fakhri. Aina yakin Fakhri hanya mengertaknya. Ia mengenal suaminya dengan baik. Suaminya seorang pria penyayang dan baik hati. Bahkan dia seorang ayah yang penuh cinta. Tak jarang Fakhri selalu menjadwalkan meeting lebih siang hanya karena ingin mengantar Zafran ke sekolah lebih dulu.

Namun, dugaan Aina salah. Fakhri langsung melajukan mobil dan mengarah ke arahnya. Aina tertegun sesaat dan tak sempat menghindar saat mobil Fakhri benar-benar menerjangnya.

CKITTT!!! BRAK!!!

Bunyi decitan rem beradu dengan sesuatu yang terantuk keras memecahkan keheningan malam itu.

“SHIT!! AINA!!” umpat Fakhri.

Ia langsung keluar dari mobil dan tercengang saat melihat istrinya sudah tergeletak tak berdaya di aspal. Fakhri semakin ketakutan saat melihat tidak ada gerakan pada tubuh istrinya.

“Sialan!! Kenapa juga kamu gak mau minggir?”

Fakhri merunduk, mencoba membangunkan Aina. Namun, wanita cantik itu sama sekali tak membuka matanya. Fakhri panik, ia langsung menggendong Aina, membawa masuk ke mobilnya.

Selang beberapa saat Fakhri sudah tiba di rumah sakit.

“Istri saya kenapa, Dok?” tanya Fakhri.

Ia langsung membawa Aina ke rumah sakit begitu melihat istrinya pingsan tadi. Meski Fakhri sangat membencinya, tapi dia juga tidak mau dituduh menghabisi nyawa istrinya seperti tadi.

Pria paruh baya yang duduk di hadapannya hanya tersenyum sambil menatap Fakhri.

“Istri Anda baik-baik saja, Tuan. Dia hanya kelelahan.”

Fakhri menghela napas lega usai mendengar jawaban sang Dokter. Meski hubungan mereka sudah di ujung tanduk, tapi Fakhri masih bertanggung jawab sepenuhnya terhadap Aina.

“Ada satu hal yang harus Anda ketahui, Tuan.” Dokter itu menambahkan.

Fakhri terdiam, alisnya mengernyit dengan mata yang menatap penuh tanya ke sang Dokter.

“Apa itu, Dok?”

Pria paruh baya itu kembali tersenyum bahkan sudah mengulurkan tangan ke arah Fakhri.

“Selamat, Tuan. Sepertinya istri Anda sedang hamil saat ini.”

“APA!!!??”