“Wulan sudah pulang?” tanya Fakhri.
Ia baru saja menapakkan kaki ke dalam rumah dan langsung bertanya seperti itu ke asisten rumah tangganya. Fakhri tidak melihat mobil Wulan di garasi dan itu sebabnya dia bertanya.
“Belum, Pak,” jawab sang Asisten rumah tangga.
Fakhri hanya mengangguk kemudian berjalan dengan lesu menuju kamar. Sang Asisten tergopoh mengikuti.
“Pak, apa saya siapkan makan malam?” tanyanya.
Fakhri menghentikan langkahnya menoleh sambil tersenyum. “Gak usah, Bi. Saya sudah makan.”
Sang Art hanya mengangguk kemudian sudah berangsur pergi. Sementara Fakhri meneruskan langkahnya menuju kamar. Untuk beberapa saat dia tertegun saat kakinya tiba di pintu kamar.
Kamar tidurnya merupakan bagian paling indah di rumah ini. Setiap sudut, dihiasi dengan interior yang indah nan estetik. Wulan memang pemuja keindahan dan tak suka jika hanya sederhana.
Beda dengan kamar tidurnya
“Apa Wulan meminum obat ini? Untuk apa?” gumam Fakhri.Dia masih bingung dengan hasil penemuannya. Fakhri hanya diam kemudian memutuskan menyimpan penemuannya. Ia melanjutkan aktivitasnya. Ia akan mencari tahu lebih lanjut hari ini.Pukul delapan saat Fakhri sedang asyik sarapan, tiba-tiba Wulan datang. Wanita cantik berkulit putih bak porselen itu tersenyum manis sambil berjalan gemulai mendekat ke Fakhri.“Mas, kamu belum berangkat?” tanya Wulan dengan ramah.Wajahnya tampak berseri-seri dengan rona merah bersemu di pipinya. Dia terlihat bahagia pagi ini dan Fakhri tidak tahu apa yang menyebabkan istrinya bahagia.“Dari mana kamu? Semalaman tidak pulang tanpa kabar. Apa kamu lupa jika sudah menikah?”Wulan langsung duduk di depan Fakhri dan terdiam memperhatikan.“Maaf, Mas. Kemarin Mama minta aku antar belanja ke luar negeri. Katanya mumpung ada diskon besar-besaran.”Fakhri ti
“APA!!!??” seru Fakhri.Ia sangat terkejut saat mendengar penuturan Wulan. Tidak disangka proses keguguran Wulan kala itu disengaja. Padahal, gara-gara hal tersebut Fakhri terus menerus merasa bersalah. Tidak itu saja, bahkan gara-gara itu juga dia mengabaikan Aina.Wulan tersenyum penuh kemenangan sambil berulang menepuk bahu Fakhri. Sementara Fakhri hanya diam membisu. Lagi-lagi ada rasa berdesakan di dadanya membuat sakit yang amat sangat.“Iya, aku sengaja menggugurkannya. Aku tidak mau punya anak. Aku penganut paham childfree.”Fakhri tidak berkomentar hanya diam sambil menundukkan kepala semakin dalam. Wulan memang pacar pertamanya dan pernah menjalin hubungan dengannya sampai tiga tahun. Fakhri pikir dia sangat mengenal Wulan, tapi sepertinya dugaannya salah.“Aku tidak mau menjadi jelek, gendut dan kendor semua tubuhku. Lagipula punya anak itu merepotkan. Aku harus menyusuinya, mengganti popoknya belum lagi kal
“A—apa maksudmu, Rob?” tanya Fakhri tersendat.Dia benar-benar lupa jika pernah membuat perjanjian seperti itu dengan Wulan. Lagi-lagi karena ia tidak bisa mengendalikan emosi, usai bercerai dengan Aina, banyak hal yang diminta Wulan saat itu. Tanpa banyak pikir panjang Fakhri mengiyakannya saja. Pikirannya kalut karena harus kehilangan Aina. Ia masih sibuk dengan kesedihannya dan tidak memperhatikan dengan seksama permintaan Wulan.“Fakhri, aku sudah mengingatkanmu berulang kali. Namun, kamu bilang iyakan saja permintaan Wulan. Apa kamu masih ingat?” Robby di seberang sana kembali bersuara.Fakhri hanya membisu. Ingatannya tumpang tindih, saling silang tak beraturan. Dia benar-benar melupakan momen itu. Mungkin benar dia pernah mengiyakan permintaan Wulan. Wulan memang sangat pintar memanfaatkan kesempatan. Ia sengaja melakukan hal tersebut di saat Fakhri lemah.“Jadi aku minta maaf. Aku tidak bisa melakukannya kecuali
“Itu sebabnya kamu tidak mau dijodohkan dengan Melani?” imbuh Bu Tika.Belum sempat Damar menjawab ucapan mamanya, tapi wanita paruh baya itu kembali bersuara. Aina tampak terkejut mendengar pernyataan Bu Tika bahkan kini dia berulang menatap Damar penuh tanya.Damar menghela napas sambil memeluk Bu Tika. Kini semua perhatian sedang terpusat ke arahnya. Rasanya tidak mungkin Damar mengelak kemudian membuat malu mamanya.“Iya, Ma. Ini calon istriku.”Alih-alih menyangkal, Damar malah mengiyakan tebakan Bu Tika. Tentu saja suara riuh reda sudah menggema memenuhi suasana ruang tengah itu. Mata Aina membola seakan sedang mencari jawaban ke Damar. Namun, Damar malah memalingkan wajah seakan mencoba menghindari Aina.“Wah!! Syukurlah. Mama pikir kamu selamanya tidak akan menikah.”Senyum merekah di raut manis Bu Tika. Bahkan Pak Aldi, papanya Damar sudah ikut tersenyum mendengar ucapan istrinya. Semua yang ada d
Aina terdiam membisu, berdiri mematung di belakang pintu sambil mengurut dadanya. Bahunya naik turun menyesuaikan ritme desahan napasnya. Dia tidak menduga akan mengalami malam penuh ketegangan. “Tidak, Damar. Jangan jatuh cinta padaku,” gumam Aina sambil menggelengkan kepala. Matanya terpejam seakan sedang melakukan penyangkalan. Pernyataan Damar dan ulah keluarganya di pesta tadi benar-benar membuat Aina terkesima. Ia sudah tahu jika Damar menyukainya, tapi Aina tidak mau menjalin sebuah hubungan dulu. Hatinya masih sakit, masih terluka selain itu ada sedikit benci dan penyesalan setiap Aina teringat kejadian malam penuh dosa bersama Damar. Meski itu bukan murni kesengajaan, tapi tetap saja Aina merasa berdosa. Ia merasa telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya. “Bunda, Bunda baru datang?” Suara Zafran tiba-tiba menginterupsi lamunan Aina. Ia memang sedari tadi berdiri diam di balik pintu utama rumahnya dan belum kembali ke kamar. Aina langsung tersenyum dan berjalan men
“Sudah, Fakhri. Jangan seperti ini,” ujar Robby.Pria bermata sipit itu mengelus punggung Fakhri dengan lembut. Robby sudah berteman lama dengan Fakhri. Persahabatan mereka terjalin sejak SMA. Ia sangat mengenal sifat sahabatnya, tapi baru kali ini Robby melihat Fakhri sangat terpuruk.“Mungkin ini saatnya kamu untuk berubah. Lebih mengendalikan emosimu, mau mendengar orang lain dan lebih tegas dalam mengambil sikap. Aku yakin jika kamu berubah, kamu pasti bisa menghadapi semuanya lebih baik.”Fakhri membisu tampak sedang mencerna ucapan Robby. Kemudian perlahan dia mendongak menatap mata sipit pria di sampingnya ini.“Apa mungkin aku juga bisa mendapatkan Aina kembali?”Robby tidak menjawab. Ia tidak bisa berspekulasi tentang hal itu. Apalagi semua perbuatan Fakhri pada Aina sangat menorehkan luka di hati wanita cantik itu. Bahkan saat Robby bertemu Aina sebelum perceraian dulu masih terlihat luka mendalam di ra
“Aina?” ulang Bu Rahma.Wanita paruh baya itu sangat terkejut saat mendengar Bu Tika menyebut nama Aina. Memang sebelumnya Bu Rahma bahkan sudah merestui jika Aina bersama Damar. Hanya saja dia sedikit terkejut saat mendengar penjelasan Bu Tika tadi.Bu Tika tampak mengernyitkan alis memandang Bu Rahma dengan tatapan penuh tanya.“Iya, Aina. Apa kenal?”Bu Rahma hanya tersenyum tanpa memberi jawabab. Sesekali matanya melirik Fakhri. Fakhri tampak terdiam dan kini sudah menundukkan kepala. Samar Bu Rahma melihat wajah putra semata wayangnya itu berubah muram. Fakhri pasti juga shock mendengar hal ini.“Orangnya cantik, rambutnya hitam di bawah bahu, senyumnya menawan, sikapnya pun sangat sopan dan ramah. Aku suka sekali dengannya. Dia … .”Bu Tika kembali meneruskan ceritanya tentang Aina tanpa memperhatikan perubahan reaksi Bu Rahma dan Fakhri. Sepertinya wanita paruh baya itu terpesona dengan Aina.
“Saya tidak pergi, Bu. Saya hanya ---”Aina menjeda kalimatnya saat matanya tiba-tiba bertemu dengan netra coklat Fakhri. Aina buru-buru memalingkan wajah menghindar dari tatapan Fakhri. Fakhri terdiam, menunduk sambil menahan rasa yang bergejolak di dadanya. Ia tahu Aina masih membencinya dan tatapan mata Aina masih sama seperti terakhir kali bertemu.“Kalau tidak pergi. Ayo, duduk!! Kita sarapan dulu.” Suara Bu Rahma kembali menginterupsi lamunan Aina.Awalnya Aina masih bergeming di posisinya, tapi dia juga tidak enak sendiri. Perlahan Aina berjalan kemudian duduk di kursi makan bersebelahan dengan Zafran. Namun, sayangnya, posisi Aina kini malah berhadapan dengan Fakhri.Entah mengapa suasana meja makan pagi ini terlihat tegang. Hanya Bu Rahma dan Zafran yang tampak menikmati sarapan pagi. Sementara dua orang lainnya sibuk dengan ego mereka masing-masing.“Zafran mau pudding untuk pencuci mulut?” tawar Bu Rah
“Emang kamu mau pergi ke mana? Jangan ngawur kalau ngomong,” sergah Robby.Pria bermata sipit itu tampak marah usai mendengar ucapan Fakhri. Sementara Fakhri hanya diam, tampak melamun sambil menatap kosong ke depan.“Apa kamu bersikap seperti ini gara-gara Aina akan menikah dengan Damar?” Robby menebak sikap Fakhri yang aneh.Fakhri tidak menjawab, hanya melirik Robby sekilas. Sementara Robby menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. Mereka terdiam beberapa saat, sibuk dengan benaknya masing-masing.“Katamu sudah mengikhlaskannya. Sudah merelakannya bahagia, kenapa sekarang seperti ini lagi?” Robby memecah keheningan mereka.“Iya, mulutku yang bicara kayak gitu. Namun, hatiku tidak bisa melakukannya.”Robby langsung terdiam, terkatup rapat usai mendengar jawaban Fakhri. Robby masih ingat saat Fakhri bercerita tentang perjodohannya kala itu. Fakhri sangat senang begitu mengenal Aina,
“Bandara? Ngapain kita ke ---”Belum sempat Fakhri menyelesaikan kalimatnya, panggilan Robby sudah terputus.Fakhri berdecak sambil menggelengkan kepala. Dia tidak tahu mengapa Robby tiba-tiba memintanya ke bandara. Kemudian tanpa pikir panjang, Fakhri bangkit, berjalan tergesa keluar ruangan.Selang beberapa jam kemudian, ia sudah tiba di bandara. Setelah memarkir mobilnya, Fakhri berjalan menuju pintu keberangkatan. Matanya beredar mencari Robby, usai meneleponnya tadi ponsel Robby tidak bisa dihubungi.PUK!!Sebuah tepukan singgah di bahu Fakhri. Ia menoleh dan melihat Robby sedang menatapnya dengan kecewa.“Kenapa lama sekali? Terus bajumu mana?” cercah Robby.Fakhri menarik napas panjang sambil menatap Robby dengan bingung.“Memangnya kita mau ke mana? Mengapa dadakan begini? Lagian aku tadi terkena macet.”Robby mendengkus dengan kasar, melirik Fakhri dengan tajam sambil melipat
“Pak, berikut beberapa laporan yang Bapak minta,” ucap Susi.Fakhri baru saja datang dan duduk di kursi kerjanya saat Susi masuk ke ruangan sambil membawa beberapa berkas yang diminta. Fakhri hanya mengangguk sambil menatap tumpukan berkas tersebut.“Apa Wulan sudah datang, Sus?”Sejak kemarin Wulan tidak masuk kerja karena masih pusing akibat mabuk. Fakhri berpikir hari ini istrinya akan masuk seperti biasa. Belakangan ini Fakhri memang tidak bisa memantau jadwal istrinya.“Ibu Wulan tadi menelepon tidak masuk karena sakit, Pak.”Sontak Fakhri mengangkat kepalanya, menatap Susi dengan mata meruncing dan kedua alis yang terangkat.“Sakit?” Susi mengangguk mengiyakan pertanyaan Fakhri. Lama kelamaan sekretaris Fakhri ini tahu jika rumah tangga bosnya sedang tidak baik-baik saja.“Iya, Pak. Saya tidak tanya sakitnya apa.”Fakhri menghela napas panjang. Setahu Fakhri kema
“Sudah saatnya dia tahu, Aina,” lirih Fakhri.Pria tampan itu berkata sambil menundukkan kepala. Entah apa yang sedang disembunyikan Fakhri. Perasaannya atau raut wajah yang tiba-tiba berubah muram dengan buliran bening di sudut matanya.Tidak ada jawaban dari bibir Aina. Ia masih bergeming di posisinya sambil menatap Fakhri dengan trenyuh. Untung saja posisi rumah Aina berada di bagian paling ujung gang dengan area depannya merupakan tanah kosong sehingga tidak akan ada tetangga yang memperhatikan interaksi mereka sepagi ini.“Aku juga ingin melihat kalian bahagia menjadi satu keluarga. Kamu, Damar dan Zafran.”Fakhri kembali menambahkan kalimatnya dan entah mengapa banyak penekanan intonasi di setiap katanya. Suara Fakhri bahkan seperti tercekat menahan isak.“Bahkan aku bersedia pergi dari hidup Zafran agar anak itu hanya mau melihat Damar sebagai ayahnya.”Sontak Aina tercengang kaget mendengar kalimat
“Kok Zafran ngomong gitu? Bukannya Om Damar juga baik,” ujar Fakhri.Ia tidak mau memprovokasi Zafran. Bagaimanapun Zafran harus tahu siapa sebenarnya Damar. Mereka juga harusnya bersatu sebagai satu keluarga, meskipun awalnya kehadiran Zafran karena sebuah kesalahan. Namun, Fakhri sudah mengikhlaskan semuanya.Tidak ada suara yang keluar dari bibir bocah laki-laki itu. Ia hanya menunduk dengan bahu yang naik turun. Fakhri terdiam memperhatikan. Bisa jadi bocah ini sedang menangis.Perlahan Fakhri mengulurkan tangan menarik dagu Zafran dan tepat dugaannya jika bocah laki-laki itu sedang menangis.“Kenapa nangis? Apa Ayah menyakiti Zafran?”Zafran menggeleng, menyeka air matanya kemudian berhambur memeluk Fakhri. Fakhri hanya diam menangkap rangkulan Zafran dan membalasnya dengan erat.“Zafran hanya mau sama Ayah, bukan Om Damar.”Lagi-lagi kalimat itu terlontar dari bibir Zafran. Fakhri tidak bisa m
“Tante Tika??” seru Aina tertahan.Wanita cantik itu terkejut setengah mati dengan kehadiran Bu Tika apalagi ditambah dengan pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. Fakhri melihat kepanikan Aina. Perlahan ia menurunkan Zafran dan memintanya masuk ke dalam rumah lebih dulu. Kemudian Fakhri berjalan menghampiri Bu Tika.“Selamat malam, Tante,” sapa Fakhri dengan sopannya.Bu Tika tidak menjawab, hanya menganggukkan kepala sambil menatap sinis ke arah Fakhri. Fakhri menyadari kenapa Bu Tika bersikap seperti itu padanya. Pasti wanita paruh baya itu sudah sibuk berpikir banyak hal di benaknya.“Kalian tidak ada yang mau menjawab pertanyaan Tante?”Kembali Bu Tika bersuara dan tentu saja sorot matanya semakin tajam menginterogasi Aina serta Fakhri.“Pertanyaan apa, Tante? Tentang sebutan ‘ayah’ untukku tadi?”Fakhri yang menjawab dan dengan nada ringan, sama sekali dia tidak menunj
“Apa Damar melarang aku bertemu dengan Zafran juga?” tanya Fakhri.Sontak Aina mengangkat kepala dan tak ayal mata mereka bertemu lagi. Hembusan napas kasar keluar dari bibir Aina dibarengi gelengan kepalanya.“Enggak. Aku rasa kamu tahu jika Damar malah yang mengantar Zafran menemuimu tempo hari,” jawab Aina.Fakhri tersenyum menautkan kedua tangannya sambil menatap Aina dengan teduh.“Jadi boleh aku mengantarmu pulang, eh maksudku bertemu dengan Zafran?”Kembali Aina diam sesaat. Ia sedikit ragu, tapi dia sudah bertekad untuk mengubah sikapnya pada Fakhri. Bukankah berteman lebih baik dari pada terus menyulut kebencian.“Iya, baiklah.” Aina berkata sambil menganggukkan kepala. Seketika senyum manis terkembang di bibir Fakhri.Tak lama mereka sudah berada di dalam mobil. Aina duduk di sebelah Fakhri dan tampak sedang melamun memperhatikan kemacetan lalu lintas petang ini. Sesekali Fakhr
“Apa Anda sudah siap?” tanya Dokter tersebut.Damar terdiam sejenak, menatap dirinya kemudian mengangguk dengan mantap. Dokter tampan yang tak lain Rendy, teman sekaligus dokter yang pernah diminta tolong Fakhri itu tersenyum membalas gestur tubuh Damar.“Namun, harus Anda ketahui. Kalau kita akan melakukan operasi beberapa kali. Mungkin dua sampai tiga kali.”Damar mengangguk dengan mantap dan tidak terlihat sama sekali keraguan di wajahnya. Rendy hanya tersenyum sambil mengangguk. Damar tidak akan mundur lagi. Ia harus meneruskan operasi ini.Apalagi setahun ke depan, dia akan menikah dengan Aina. Damar tidak mau membuat Aina curiga dengan keadaannya. Aina pasti sangat shock jika tahu apa yang sebenarnya terjadi pada dirinya. Damar tidak mau kehilangan Aina lagi. Banyak yang telah ia korbankan untuk mendapatkan hati Aina dan kali ini dia tidak mau gagal.“Kalau begitu, silakan Anda bersiap. Kita akan operasi besok pa
“Jadi kamu berpikir Damar selingkuh dengan Wulan, begitu?” tanya Robby.Usai mandi dan mengakhiri pembicaraannya dengan Wulan. Fakhri keluar dari rumah dan mendatangi apartemen Robby. Robby tampak terkejut, tapi sudah memintanya masuk hingga akhirnya mereka duduk berdua di ruang tamu sibuk dengan percakapan ini.Fakhri tidak menjawab hanya menganggukkan kepala.“Aku melihat di rekaman CCTV kamar Wulan yang baru aku pasang, Rob. Sepertinya aku harus lebih sabar kali ini.”Robby menghela napas panjang sambil mengangguk.“Iya. Jangan sampai Wulan tahu kalau kamu sudah memasang CCTV dan mempersiapkan jebakan untuknya. Lagipula bukan Damar, pria yang sering diajak Wulan ke rumah.”Fakhri tidak menjawab hanya menunduk sambil sibuk mengaduk kopinya.“Lalu soal dugaan penggelapan yang dilakukan Wulan, kamu sudah mendapat buktinya?”Fakhri mendongak dan menatap Robby. Ia seakan baru ingat