Kupasang telinga setajam mungkin tak lupa kunyalakan perekam suara. Aku tak mau nantinya di kira fitrah karena tak memiliki barang bukti. Jaman sekarang memang harus pintar apalagi bila berhadapan dengan manusia bermulut ular seperti mereka. "Febi malu ma, perut sudah membuncit tapi masih belum punya suami. Sialan si Marsel sudah hamili Febi tapi malah kabur.""Sabar Feb, tak ada Marsel Romi pun jadi.""Mama yakin kan rencana kita akan berhasil?""Yakin sayang. Mulai sekarang kamu harus lebih pintar bersandiwara. Buat Romi merasa tak tega dan iba. Dengan ini dia pasti menerima tawaran untuk menikah dengan kamu. Mama tahu persis Romi itu orangnya baik dan mudah merasa kasihan. Tak tega lah dia melihat kamu depresi hingga nyaris bunuh diri.""Hahaha... Mama benar, dulu saja dia mudah kubohongi. Sejak mulai berhubungan dengan dia aku sudah memiliki selingkuhan. Bodohnya Romi yang tak tahu dan percaya padaku. Meski akhirnya dia juga tahu. Tapi butuh waktu yang lama untuk dia mengetahui k
Aku mengatur napas yang kian sesak. Cobaan tak henti-hentinya melandaku. Dari kehilangan pujaan hati kini prusahaan di ambang kehancuran. Ya Robb, apakah ada kesalahan di masa lalu hingga Engkau menurunkan cobaan bertubi-tubi padaku? Ini semua tak adil untukku Ya Allah. "Astagfirullah," ucapku pelan. Ampuni hamba Ya Allah karena telah berburuk sangka kepada-Mu. Sungguh Engkaulah zat yang tahu mana yang baik untuk hambanya. Bukankah Allah memberi cobaan sesuai dengan kemampuan hambanya. Hal ini tertuang dalam firman Allah dalam surat Al Baqarah ayat terakhir.لَا يُكَلِّفُ اللَّهُ نَفْسًا إِلَّا وُسْعَهَاArtinya: Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya. (Q.S Al Baqarah ayat 286)."Pak Romi, baik-baik saja kan?" Dila sudah berdiri di depanku. Sejak kapan dia di sini? "Kamu dari tadi?""Iya Pak. Bapak saja yang tidak memperhatikan padahal saya sudah mengetuk pintu berkali-kali.""Maaf Dil, saya tidak tahu.""Tidak apa-apa, Pak. Hanya saja em...." Dila
Pov Intan. Berlari kecil menuruni anak tangga. Di dalam kepalaku hanya ada ibu. Bagaimana kondisinya? Apa tekanan darahnya naik lagi? Ya Allah selamatkan ibuku, hanya dia yang ku punya saat ini. "Mbak Intan mau kemana?" Ina sedikit bingung dengan tingkahku yang tergesa-gesa. "Mau ke rumah sakit, In. Tolong lanjutkan pekerjaan di lantai atas. Alamat reseller dan konsumen sudah ada di buku. Sudah aku pilah tinggal membungkus saja.""Siapa yang sakit mbak?""Ibuku, In. Bantu doa ya. Aku pergi dulu. Assalamu'alaikum." Ku tinggalkan Ina dengan dua karyawan lainnya. Dalam hati merutuki kebodohanku,harusnya ku angkat telepon Mas Romi lebih awal bukan justru berburuk sangka kepadanya. Maafkan aku Ya Robb telah suudzon pada lelaki yang pernah dekat dengan atasanku itu. Mengambil benda pipih di dalam saku gamis. Jariku menari di layar ponsel untuk memesan taxi online. Sudah lima menit menunggu tapi belum ada driver yang menerima. Ya Allah, bagaimana ini? Sedikit ragu ku pesan ojek online
Pov RomiAku berdiri tepat di depan bangunan bertingkat. Bangunan yang menjadi saksi kerja keras papa hingga menjadi sebesar ini. Kantor masih lenggang saat aku sampai. Hingga satu persatu karyawan mulai berdatangan. Aku memang sengaja datang lebih awal. Setelah mendengar kabar dari Dila kemarin pikiranku semakin tak karuan. Ingin rasanya meminta Dila datang ke rumah tapi urung ku lakukan mengingat ia tengah hamil. Kasihan jika ia kecapekan. Dan sekarang aku sudah di sini. Aku masih terpaku menatap bangunan di hadapan. Rasanya tak sanggup jika bangunan ini harus tutup karena aku tak sanggup membiayai produksi dan gaji karyawan. Hidup itu seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Mungkin roda kehidupanku sedang berada di bawah. Ya Allah, kenapa cobaan ini bertubi-tubi menimpaku? Apa yang harus ku katakan kepada papa dan mama? Aku tak sanggup melihat wajah kecewa kedua orang tuaku. Bagaimana aku menjelaskan semua ini? "Pak Romi," panggilan seseorang menyentakku dari lamunan.
Kenapa papa dan mama tiba-tiba pulang? Jangan-jangan mereka sudah tahu kabar hancurnya perusahaan? Siapa yang sudah memberitahu papa? Ah, pasti Dila. Dia kan salah satu orang kepercayaan papa. Ya Robb, bagaimana ini? Kendaraan roda empat milikku bergerak dengan cepat. Untung jalan ibu kota tidak terlalu padat jadi aku bisa melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku sama sekali tak memiliki hobi menjadi pembalap. Tapi keadaan yang menuntut ku menjadi seorang pembalap. Setidaknya untuk hari ini. Karena aku tak ingin papa dan mama menunggu lama dengan situasi yang tidak kondusif. Kendaraan roda empatku masuk ke bandara. Mata awas mencari tempat parkir yang kosong. Akhirnya mendapatkan tempat parkir setelah mencari beberapa saat. Walau letaknya agar jauh dari bangunan bandara. Hari ini tempat parkir bandara penuh dengan mobil dan sepeda motor. Padahal belum liburan sekolah. Berjalan sedikit terburu mencari sosok yang aku kenal. Mata awas melihat kanan dan kiri. Dua orang yang ku
"Stop! Jangan hina papa saya!"Aku berdiri, menatap nyalang ke arah Om Damar. Beraninya dia menghina keluargaku seperti itu. "Hahaha... Anak kemarin sore sudah mau melawan rupanya. Harusnya kamu terima tawaranku sehingga tak perlu meminta papamu mengemis bantuan padaku." Aku berdiri sambil mengepalkan tangan kanan. Dalam hitungan detik tangan ini siap mendarat di wajah lelaki tak punya adab itu. "Jangan Rom!" Mama menggenggam tangan kiriku. Kepalanya menggeleng mengatakan agar aku tak menghajar Om Damar. "Tapi ma, dia menghina papa." Tak ada lagi kata beliau untuk lelaki yang tak pantas dihormati. "Biar papa yang menyelesaikan masalah ini. Kamu duduk saja Rom!" Dengan berat hati ku jatuhkan bobot di tempat semula. Ingin protes tapi percuma mama pasti memintaku duduk lagi. Entah apa yang orang tuaku rencanakan? Semoga saja mereka tak memintaku menikah dengan Febi. "Apa yang ingin Mas sampaikan padaku?" Om Damar menjatuhkan bobotnya tepat di hadapan papa. Tangannya mulai menyalak
Aku masih tak percaya jika harus berada di situasi seperti ini. Duduk di hadapan para pengusaha ternama di Nusantara. Bukan, bukan untuk menjalin sebuah kerja sama. Namun untuk melelang perusahaan yang pernah jaya saat berada di tangan papa. Bayangan kala perusahaan ini masih berdiri kokoh kembali memenuhi pikiran. Rasanya masih tak rela harus melepaskan perusahaan ini. Dila yang duduk tak jauh dariku menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, dia juga merasakan hal yang sama. Karena dia sudah mengabdi cukup lama di perusahaan ini. Acara demi acara telah terselenggarakan dengan baik. Kini acara inti akan segera dimulai. Pelelangan perusahaan yang selama ini menopang kehidupanku dan kehidupan karyawan yang bekerja di sana. Pelelangan mencakup semua isi kantor dan yang lainnya. Wicaksana Grup hanya tinggal sejarah. Satu persatu pimpinan perusahaan yang hadir mulai menawarkan harga terbaik menurut versi mereka. Dan kami akan mengambil harga tertinggi yang mampu mereka tawarka
Lagi, kenapa pelayan ini tentang aku dan papa? Jangan-jangan perempuan ini selingkuhan papa. Astagfirullah, kenapa pikiranku jadi sesat seperti ini. "Apa hubungan mbak dengan papa saya?" Tak sabar ingin ku tanyakan masalah ini. Aku tak mau hubungan papa dan mama berantakan hanya karena orang ketiga. "Saya ini ....""Dia itu karyawan papa Rom, dan restoran ini milik papa. Tentu pelayan ini tahu kesukaan papa dan nama kamu." Aku bernafas lega mendengar penjelasan papa. Untunglah, apa yang ku khawatirkan tak pernah terjadi. Hubungan akan hancur jika ada orang ketiga dan itulah yang terjadi denganku dan Febi dulu. Pantas saja semua pelayan tersenyum ramah saat bertemu kami. Lha pemilik restoran ini adalah papa. "Sejak kapan papa mempunyai restoran ini?" tangaku penuh selidik. Papa tersenyum menampakkan gigi putih yang masih terawat. Inikan alasan yang membuat papa tak terlalu sedih saat kehilangan perusahaan meski rasa kecewa ada. Namun tak sebesar rasa kecewa dan sedih yang berta