Share

Bab 69

Penulis: Dyah Ayu Prabandari
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Aku masih tak percaya jika harus berada di situasi seperti ini. Duduk di hadapan para pengusaha ternama di Nusantara. Bukan, bukan untuk menjalin sebuah kerja sama. Namun untuk melelang perusahaan yang pernah jaya saat berada di tangan papa.

Bayangan kala perusahaan ini masih berdiri kokoh kembali memenuhi pikiran. Rasanya masih tak rela harus melepaskan perusahaan ini.

Dila yang duduk tak jauh dariku menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, dia juga merasakan hal yang sama. Karena dia sudah mengabdi cukup lama di perusahaan ini.

Acara demi acara telah terselenggarakan dengan baik. Kini acara inti akan segera dimulai. Pelelangan perusahaan yang selama ini menopang kehidupanku dan kehidupan karyawan yang bekerja di sana.

Pelelangan mencakup semua isi kantor dan yang lainnya. Wicaksana Grup hanya tinggal sejarah.

Satu persatu pimpinan perusahaan yang hadir mulai menawarkan harga terbaik menurut versi mereka. Dan kami akan mengambil harga tertinggi yang mampu mereka tawarka
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab70

    Lagi, kenapa pelayan ini tentang aku dan papa? Jangan-jangan perempuan ini selingkuhan papa. Astagfirullah, kenapa pikiranku jadi sesat seperti ini. "Apa hubungan mbak dengan papa saya?" Tak sabar ingin ku tanyakan masalah ini. Aku tak mau hubungan papa dan mama berantakan hanya karena orang ketiga. "Saya ini ....""Dia itu karyawan papa Rom, dan restoran ini milik papa. Tentu pelayan ini tahu kesukaan papa dan nama kamu." Aku bernafas lega mendengar penjelasan papa. Untunglah, apa yang ku khawatirkan tak pernah terjadi. Hubungan akan hancur jika ada orang ketiga dan itulah yang terjadi denganku dan Febi dulu. Pantas saja semua pelayan tersenyum ramah saat bertemu kami. Lha pemilik restoran ini adalah papa. "Sejak kapan papa mempunyai restoran ini?" tangaku penuh selidik. Papa tersenyum menampakkan gigi putih yang masih terawat. Inikan alasan yang membuat papa tak terlalu sedih saat kehilangan perusahaan meski rasa kecewa ada. Namun tak sebesar rasa kecewa dan sedih yang berta

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 71

    Pov IntanAku terkejut saat melihat Mas Romi berada di sampingku. Sejak kapan lelaki berhidung mancung ini ada di sini? "Maaf atas sikapku tempo hari karena tak memberi kabar atau membalas pesanmu. Tepat setelah aku dari rumah sakit, perusahaan bangkrut. Jadi aku sibuk mengurus semuanya dan akhirnya mengurus restoran ini. Hingga aku belum sempat menjenguk Bu Halimah lagi."Mas Romi menjelaskan alasan dia tak menanggapi pesan yang ku kirim satu bulan yang lalu. Benarkah yang disampaikan Mas Romi? Tapi kenapa Mbak Anita tak pernah bercerita jika perusahaan Mas Romi bangkrut? Bukankah suami Mbak Anita sepupu Mas Romi? Ah, kenapa aku menjadi ragu seperti ini? "Tidak apa-apa Mas. Itu hak Mas Romi. Harusnya saya yang berterima kasih. Mas Romi berhak tak memberi kabar, toh saya bukan siapa-siapa Mas."Astaga, kenapa justru aku mengatakan jika bukan siapa-siapa Mas Romi. Aduh, nanti dia GR lagi. Pasti dia mengira jika aku menyukainya. Bodoh! Kenapa aku justru keceplosan! Ya Allah, rasanya

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 72

    Pov RomiKedatangan Indah membuat suasana yang mulanya hangat menjadi sedikit canggung. Entah hanya perasaanku saja atau memang seperti itu. "Isue perusahaan Mas Romi bangkrut apa benar?" tanya Indah. Ku anggukan kepala. Indah terlihat terkejut tapi tidak dengan Intan. Ya, karena Intan sudah tahu lebih dahulu. "Maaf Mas. Bukan maksud saya mengingatkan. Hanya saja saya penasaran kenapa perusahaan sebesar bisa bangkrut dalam hitungan hari." Indah tampak tak enak hati tapi rasa penasarannya cukup tinggi hingga ia bertanya begitu. Berbeda dengan Intan yang lebih diam, tak banyak bertanya. "Biasa masalah persaingan bisnis. Bukankah bangkrut dalam suatu bisnis hal yang biasa?" Aku hanya menjawab sekenanya. Tak mungkin aku menceritakan detail pada orang asing. Meski mereka teman Anita. "Semangat ya Mas, pasti ada jalan lain kok untuk sukses." Indah berusaha menghiburku. Ku lihat Intan yang hanya diam membisu. Ya, sejak kedatangan Indah, wanita yang memakai penutup wajah itu lebih asyik

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 73

    "Kenapa dengan Yusuf, Pa?" Ku letakkan sendok di atas piring. Kini fokus menyimak setiap kata yang akan keluar dari mulut lelaki yang membesarkanmu dengan limpahan kasih sayang itu. Entah kenapa aku masih saja penasaran dengan kehidupan Anita dengan Yusuf. Meski sering luka yang ku terima setelah mendengarnya. "Besok malam di rumah tante Ningrum akan diadakan tujuh bulanan Anita. Hanya acara pengajian yang dihadiri saudara dan kerabat."Sesak kembali menyelimuti dada. Memang benar, setiap mendengar berita tentang keluarga Yusuf, dadaku terasa sesak. Sakit hati itu lebih tepatnya. Meski aku sudah mengucapkan kata ikhlas tapi nyatanya aku belum juga bisa melakukannya. Kata ikhlas memang mudah tapi tak mudah mempraktekannya. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Hening, tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Papa dan mama seakan tahu jika diriku tengah merasakan pahitnya cinta. ***Mobil ku parkiran di depan rumah Yusuf karena di halaman rumahnya sudah terpasang ten

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 74

    Pov Romi"Kami hanya teman," ucap kami serempak hingga membuat mama tersenyum puas. Entah apa yang kini ada di pikiran mama. "Dari teman jadi imam tidak apa-apa kok nak Intan." Mama menggoda Intan. Intan kembali melirikku. Aku yakin di balik cadarnya dia pasti cemberut karena mama bicara seenaknya sendiri. Aku sendiri bingung harus bagaimana. Mama seperti bahagia dekat dengan Intan. Memang aneh, karena mereka baru saja mengenal. Dan mama langsung suka dengan wanita berhijab menjutai itu. Entah magnet apa yang menempel di tubuh Intan hingga mama begitu lengket dengannya. "Ayo ma, acara sudah mau mulai lho." Ku gandeng tangan mama berusaha memisahkan mama dari Intan. Aku yakin jika Intan risih dengan sikap mama. "Ayo Intan, kita duduk di sana!" Mama menggandeng erat tangan Intan. Aku semakin tak enak hati dengan tingkah mama. Aduh! Mama membuat masalah baru dalam hidupku. "Kita duduk di situ saja, Ma!" Ku tarik pelan tangannya. "Kalian kompak sekali ya." Sontak ku lepaskan pegan

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 75

    Febi kembali mengutak-atik ponsel mahalnya. Berulang kali mencoba menghubungi nomor Viona. Namun panggilan Febi tak juga di angkat. Wanita dengan perut membukit itu berulang kali menarik nafas mencoba menahan rasa sakit yang kadang datang. Ini adalah kehamilan pertama bagi Febi. Dia tak sadar jika rasa sakit yang mendera adalah awal proses kelahiran. Wanita yang memakai daster lengan pendek itu mengira sakit yang ia rasakan karena efek kebanyakan makan sambal tadi malam. Rasa nyeri dan perut keram yang kadang muncul dan hilang adalah salah satu tanda sang bayi ingin segera mengirup udara luar. Ini adalah kehamilan pertama untuk Febi. Tak heran jika ia tak mengetahui rasa nyeri dan kram adalah tanda semakin dekat waktu kelahiran. Sebenarnya kehamilan pertama bukan alasan untuk Febi tak mengetahui tanda-tanda kelahiran. Di jaman yang semakin maju membuat seseorang dengan mudah mendapat informasi perihal apapun termasuk mengenai kehamilan.Rasa benci pada bayi yang ia kandung menjad

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 76

    "Febi ...," panggilan seorang perempuan menghentikan langkah kedua suster. Dari suaranya aku tahu betul itu milik siapa. "Ri-Rista." Mataku membulat sempurna saat melihat temanku berdiri tepat di samping brankar. Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan dengannya di saat seperti ini? Apa yang harus ku katakan dengan kondisiku seperti ini. Mengelak pun tak mungkin lagi. Pasrah, hanya itu yang bisa ku lakukan. "Jadi gosip di luar sana benar ya Feb? Gue gak nyangka lo semurahan itu!"Nyeri di ulu hati kala sahabat sendiri mengatakan diriku wanita murahan hanya karena aku hamil di luar nikah. "Katanya mau balikan sama Romi, tapi kok gak jadi. Ya, pasti dia gak mau nikahin bekas orang,"Apa ini yang namanya sahabat? Tutur katanya sungguh menyayat hati. Rasanya jauh lebih sakit dari kram perut ini. "Sus, saya tidak kuat." Segera dua suster itu mendorong brankar meninggalkan Rista yang masih mematung menatapku. Dua orang suster mendorong brankar melewati koridor dan berbagai ruangan. S

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 77

    Pov RomiAku duduk sambil menghitung laba restoran hari kemarin. Mungkin setelah dzuhur aku akan pergi ke bank untuk menyetorkan uang ini. Karena tak ada kerjaan sering kali uang ku setor sendiri ke bank. Bibir merekah kala melihat tumpukan lembar merah dan biru di atas meja. Rasanya aku masih belum percaya jika kini tengah mengelola restoran. Angan masih berkelana saat aku masih duduk di meja direktur utama. Memimpin perusahaan ternama. Bolak-balik antar negara itu hal biasa. Ya, itu dulu saat perusahaan masih milik kami.Sempat terpuruk dan putus asa. Bagaimana tidak,ini bisnis yang sangat asing bagiku. Namun papa dan mama selalu mendukung dan mendoakanku hingga aku di titik ini.Ada hikmah dibalik setiap musibah, seperti saat ini.Mungkin Allah ingin aku belajar bisnis lebih banyak lagi. Kini aku bergelut dalam dunia kuliner. Dunia bisnis yang tak pernah terbayangkan di anganku. Bisnis kuliner masakan khas solo bukan hanya untuk meraih untung tapi juga melestarikan kuliner nusant

Bab terbaru

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 100

    "Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 99

    Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 98

    Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 97

    Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 96

    Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 95

    Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 94

    Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 93

    Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen

  • Maaf Mas, Aku Tega!    Bab 92

    "Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah

DMCA.com Protection Status