Febi kembali mengutak-atik ponsel mahalnya. Berulang kali mencoba menghubungi nomor Viona. Namun panggilan Febi tak juga di angkat. Wanita dengan perut membukit itu berulang kali menarik nafas mencoba menahan rasa sakit yang kadang datang. Ini adalah kehamilan pertama bagi Febi. Dia tak sadar jika rasa sakit yang mendera adalah awal proses kelahiran. Wanita yang memakai daster lengan pendek itu mengira sakit yang ia rasakan karena efek kebanyakan makan sambal tadi malam. Rasa nyeri dan perut keram yang kadang muncul dan hilang adalah salah satu tanda sang bayi ingin segera mengirup udara luar. Ini adalah kehamilan pertama untuk Febi. Tak heran jika ia tak mengetahui rasa nyeri dan kram adalah tanda semakin dekat waktu kelahiran. Sebenarnya kehamilan pertama bukan alasan untuk Febi tak mengetahui tanda-tanda kelahiran. Di jaman yang semakin maju membuat seseorang dengan mudah mendapat informasi perihal apapun termasuk mengenai kehamilan.Rasa benci pada bayi yang ia kandung menjad
"Febi ...," panggilan seorang perempuan menghentikan langkah kedua suster. Dari suaranya aku tahu betul itu milik siapa. "Ri-Rista." Mataku membulat sempurna saat melihat temanku berdiri tepat di samping brankar. Ya Tuhan, kenapa aku harus dipertemukan dengannya di saat seperti ini? Apa yang harus ku katakan dengan kondisiku seperti ini. Mengelak pun tak mungkin lagi. Pasrah, hanya itu yang bisa ku lakukan. "Jadi gosip di luar sana benar ya Feb? Gue gak nyangka lo semurahan itu!"Nyeri di ulu hati kala sahabat sendiri mengatakan diriku wanita murahan hanya karena aku hamil di luar nikah. "Katanya mau balikan sama Romi, tapi kok gak jadi. Ya, pasti dia gak mau nikahin bekas orang,"Apa ini yang namanya sahabat? Tutur katanya sungguh menyayat hati. Rasanya jauh lebih sakit dari kram perut ini. "Sus, saya tidak kuat." Segera dua suster itu mendorong brankar meninggalkan Rista yang masih mematung menatapku. Dua orang suster mendorong brankar melewati koridor dan berbagai ruangan. S
Pov RomiAku duduk sambil menghitung laba restoran hari kemarin. Mungkin setelah dzuhur aku akan pergi ke bank untuk menyetorkan uang ini. Karena tak ada kerjaan sering kali uang ku setor sendiri ke bank. Bibir merekah kala melihat tumpukan lembar merah dan biru di atas meja. Rasanya aku masih belum percaya jika kini tengah mengelola restoran. Angan masih berkelana saat aku masih duduk di meja direktur utama. Memimpin perusahaan ternama. Bolak-balik antar negara itu hal biasa. Ya, itu dulu saat perusahaan masih milik kami.Sempat terpuruk dan putus asa. Bagaimana tidak,ini bisnis yang sangat asing bagiku. Namun papa dan mama selalu mendukung dan mendoakanku hingga aku di titik ini.Ada hikmah dibalik setiap musibah, seperti saat ini.Mungkin Allah ingin aku belajar bisnis lebih banyak lagi. Kini aku bergelut dalam dunia kuliner. Dunia bisnis yang tak pernah terbayangkan di anganku. Bisnis kuliner masakan khas solo bukan hanya untuk meraih untung tapi juga melestarikan kuliner nusant
Rasa penasaran membuatku membuka aplikasi berwarna biru itu. Mataku membulat sempurna kala melihat sebuah video yang muncul di beranda. "Astagfirullah," ucapku lirih. "Kenapa, Rom?" Mama penasaran melihat ekspresi wajahku yang berubah. Segera ku berikan ponselku padanya. "Astagfirullahal'azim ...." Mama mengelus dada saat melihat sebuah video Febi yang menolak dan memaki seorang bayi. Aku yakin itu adalah anaknya. Anak yang di sembunyikan oleh siapapun. Tapi kenapa ada video seperti ini? "Ini adalah konsekuensi dari tindakan Febi. Semua orang akan menuai buah yang mereka tanam. Entah itu baik atau buruk. Seperti yang tengah Febi rasakan. Hanya saja mama tak habis pikir, kenapa Febi tega kepada darah dagingnya." Mama menyerahkan kembali ponselku. "Astagfirullah ...," ucap mama sambil mengelus dadanya. Sebagai seorang ibu dia pasti sedih dengan tindakan Febi. Memaki bayi yang baru saja ia lahirkan. Apa dia tak merasakan susahnya melahirkan. Sebuah proses yang mempertaruhkan nyawa
Intan dusuk di tepi ranjang. Senyum mengembang hingga tergambar jelas lesung pipi di wajahnya. Intan memang memiliki dua lesung pipi, kanan dan kiri. Akan terlihat jelas juka wanita yang memakai setelan baju tidur lengan panjang berwarna biru itu tersenyum. Ucapan Romi dan Lisa kembali terngiang di telinganya. Membuatnya berbinar bahagia. Tak ada rasa yang lebih bahagia dibanding cinta kita tak bertepuk sebelah tangan. Itu yang kini tengah di rasakan Intan. Cinta yang berusaha ia pendam seorang diri. Namun hari ini lelaki yang berhasil mencuri hatinya berusaha membuka hati. Ya, karena hati Romi masih terpatri satu nama, yaitu Anita. Melupakan seseorang yang kita cintai tidaklah mudah. Namun tak ada yang tak mungkin jika Allah sudah berkehendak. Itu diyakini oleh wanita yang biasa memakai hijab menjuntai dengan cadar sebagai penutup wajah. Intan tak berpikir panjang, menghapus nama Anita tak semudah yang ia bayangkan. Rasa bahagia menutup pikiran, menjadikan ia lalai jika cinta
Intan diam, ucapan ibu memang benar. Seseorang yang saling mencintai saja bisa kalah saat badai menerjang. Lalu bagaimana dengan rumah tangganya yang tak memiliki rasa cinta dari seorang imam. Bukankah suami adalah pemimpin rumah tangga? 'Namun bukankah cinta bisa datang dengan berjalannya waktu?' batin Intan memberontak. "Mas Romi akan belajar mencintai Intan, bu. Bukankah orang bilang cinta tumbuh karena terbiasa. Cinta tumbuh karena saling bertemu," ucap Intan pelan. "Ibu tahu nak Romi anak yang sholeh dan berhati baik. Dia begitu menghormati orang tua. Tapi ibu takut, kamu akan terluka karena hidup dengan lelaki yang tidak mencintaimu."Sebagai orang tua alasan Halimah memang benar. Selama ini dia hidup bahagia dengan ayah Intan karena saling mencintai satu sama lain. Halimah takut rumah tangga yang dibangun tanpa cinta akan karam di terjang badai. "Mas Romi lelaki baik bu, Intan yakin dia akan menjadi imam yang bertanggung jawab." Intan menggenggam kedua tangan Halimah. Menco
Pov Intan"Romi, aku suka sama sepupu suami kamu Nit."Bagai halilintar yang menyambar pohong hingga membuatnya roboh dan jatuh. Begitu pula diriku. Pengakuan Mbak Indah mampu meluluh lantahkan hatiku.Aku diam, masih tak percaya jika lelaki yang akan dijodohkan denganku adalah lelaki yang justru dicintai oleh sahabatku sendiri. Dilema, satu kata yang mampu menggambarkan perasaanku saat ini. Bagaimana mungkin kami mencintai lelaki yang sama, dan itu Mas Romi. Sejauh ini Mbak Indah tak pernah menceritakan tentang Mas Romi. Aku pikir kedekatan mereka hanya sebatas teman saja. Ya, karena Mbak Indah jauh lebih dahulu mengenalnya. Tak menyangka jika dia juga menaruh hati pada lelaki yang ku cintai. Aku tak menyalahkan jika Mbak Indah jatuh cinta pada Mas Romi. Karena sejatinya cinta itu tak bisa memilih pada siapa hati ini akan berlabuh. Terlebih Mas Romi sosok pria sholeh dan bertanggung jawab. Tak heran jika banyak wanita yang jatuh hati kepadanya. "Tan, kok diam aja? Beri pelukan ke
Pov IntanLama ku pandangi pesan dari Mbak Anita tanpa ada niat sedikit pun untuk membalasnya. Lebih baik aku segera pulang dan istirahat. Mungkin dengan istirahat bebanku akan sedikit berkurang. Aku melajukan motor dengan hati-hati. Motor berjalan dengan kecepatan 40 km/jam menembus keramaian kota di sore hari. Sepanjang jalan banyak kendaraan yang melaju mendahuluiku. Aku masih melajukan motor dengan kecepatan yang sama. Aku tak ingin berkendara dengan kecepatan tinggi saat pikiran tidak karuan. Aku tak mau merugikan diri sendiri atau pun orang lain. Jarak antara toko dan rumah yang bisa ku tempuh dalam waktu dua puluh menit harus molor menjadi tiga puluh menit karena laju kendaraan yang lambat. Mata membulat sempurna kala melihat sebuah mobil sport terparkir di jalan tepat di depan rumahku. Ku hembuskan nafas kasar. Merutuki diri sendiri, harusnya aku pulang setelah magrib saja. Kalau begini harus bagaimana lagi? Ku matikan mesin motor setelah berada di halaman rumah. Jantung b
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah