Pov RomiAku berdiri tepat di depan bangunan bertingkat. Bangunan yang menjadi saksi kerja keras papa hingga menjadi sebesar ini. Kantor masih lenggang saat aku sampai. Hingga satu persatu karyawan mulai berdatangan. Aku memang sengaja datang lebih awal. Setelah mendengar kabar dari Dila kemarin pikiranku semakin tak karuan. Ingin rasanya meminta Dila datang ke rumah tapi urung ku lakukan mengingat ia tengah hamil. Kasihan jika ia kecapekan. Dan sekarang aku sudah di sini. Aku masih terpaku menatap bangunan di hadapan. Rasanya tak sanggup jika bangunan ini harus tutup karena aku tak sanggup membiayai produksi dan gaji karyawan. Hidup itu seperti roda, kadang di atas kadang di bawah. Mungkin roda kehidupanku sedang berada di bawah. Ya Allah, kenapa cobaan ini bertubi-tubi menimpaku? Apa yang harus ku katakan kepada papa dan mama? Aku tak sanggup melihat wajah kecewa kedua orang tuaku. Bagaimana aku menjelaskan semua ini? "Pak Romi," panggilan seseorang menyentakku dari lamunan.
Kenapa papa dan mama tiba-tiba pulang? Jangan-jangan mereka sudah tahu kabar hancurnya perusahaan? Siapa yang sudah memberitahu papa? Ah, pasti Dila. Dia kan salah satu orang kepercayaan papa. Ya Robb, bagaimana ini? Kendaraan roda empat milikku bergerak dengan cepat. Untung jalan ibu kota tidak terlalu padat jadi aku bisa melajukan mobil dengan kecepatan tinggi. Aku sama sekali tak memiliki hobi menjadi pembalap. Tapi keadaan yang menuntut ku menjadi seorang pembalap. Setidaknya untuk hari ini. Karena aku tak ingin papa dan mama menunggu lama dengan situasi yang tidak kondusif. Kendaraan roda empatku masuk ke bandara. Mata awas mencari tempat parkir yang kosong. Akhirnya mendapatkan tempat parkir setelah mencari beberapa saat. Walau letaknya agar jauh dari bangunan bandara. Hari ini tempat parkir bandara penuh dengan mobil dan sepeda motor. Padahal belum liburan sekolah. Berjalan sedikit terburu mencari sosok yang aku kenal. Mata awas melihat kanan dan kiri. Dua orang yang ku
"Stop! Jangan hina papa saya!"Aku berdiri, menatap nyalang ke arah Om Damar. Beraninya dia menghina keluargaku seperti itu. "Hahaha... Anak kemarin sore sudah mau melawan rupanya. Harusnya kamu terima tawaranku sehingga tak perlu meminta papamu mengemis bantuan padaku." Aku berdiri sambil mengepalkan tangan kanan. Dalam hitungan detik tangan ini siap mendarat di wajah lelaki tak punya adab itu. "Jangan Rom!" Mama menggenggam tangan kiriku. Kepalanya menggeleng mengatakan agar aku tak menghajar Om Damar. "Tapi ma, dia menghina papa." Tak ada lagi kata beliau untuk lelaki yang tak pantas dihormati. "Biar papa yang menyelesaikan masalah ini. Kamu duduk saja Rom!" Dengan berat hati ku jatuhkan bobot di tempat semula. Ingin protes tapi percuma mama pasti memintaku duduk lagi. Entah apa yang orang tuaku rencanakan? Semoga saja mereka tak memintaku menikah dengan Febi. "Apa yang ingin Mas sampaikan padaku?" Om Damar menjatuhkan bobotnya tepat di hadapan papa. Tangannya mulai menyalak
Aku masih tak percaya jika harus berada di situasi seperti ini. Duduk di hadapan para pengusaha ternama di Nusantara. Bukan, bukan untuk menjalin sebuah kerja sama. Namun untuk melelang perusahaan yang pernah jaya saat berada di tangan papa. Bayangan kala perusahaan ini masih berdiri kokoh kembali memenuhi pikiran. Rasanya masih tak rela harus melepaskan perusahaan ini. Dila yang duduk tak jauh dariku menatap kami dengan mata berkaca-kaca. Aku tahu, dia juga merasakan hal yang sama. Karena dia sudah mengabdi cukup lama di perusahaan ini. Acara demi acara telah terselenggarakan dengan baik. Kini acara inti akan segera dimulai. Pelelangan perusahaan yang selama ini menopang kehidupanku dan kehidupan karyawan yang bekerja di sana. Pelelangan mencakup semua isi kantor dan yang lainnya. Wicaksana Grup hanya tinggal sejarah. Satu persatu pimpinan perusahaan yang hadir mulai menawarkan harga terbaik menurut versi mereka. Dan kami akan mengambil harga tertinggi yang mampu mereka tawarka
Lagi, kenapa pelayan ini tentang aku dan papa? Jangan-jangan perempuan ini selingkuhan papa. Astagfirullah, kenapa pikiranku jadi sesat seperti ini. "Apa hubungan mbak dengan papa saya?" Tak sabar ingin ku tanyakan masalah ini. Aku tak mau hubungan papa dan mama berantakan hanya karena orang ketiga. "Saya ini ....""Dia itu karyawan papa Rom, dan restoran ini milik papa. Tentu pelayan ini tahu kesukaan papa dan nama kamu." Aku bernafas lega mendengar penjelasan papa. Untunglah, apa yang ku khawatirkan tak pernah terjadi. Hubungan akan hancur jika ada orang ketiga dan itulah yang terjadi denganku dan Febi dulu. Pantas saja semua pelayan tersenyum ramah saat bertemu kami. Lha pemilik restoran ini adalah papa. "Sejak kapan papa mempunyai restoran ini?" tangaku penuh selidik. Papa tersenyum menampakkan gigi putih yang masih terawat. Inikan alasan yang membuat papa tak terlalu sedih saat kehilangan perusahaan meski rasa kecewa ada. Namun tak sebesar rasa kecewa dan sedih yang berta
Pov IntanAku terkejut saat melihat Mas Romi berada di sampingku. Sejak kapan lelaki berhidung mancung ini ada di sini? "Maaf atas sikapku tempo hari karena tak memberi kabar atau membalas pesanmu. Tepat setelah aku dari rumah sakit, perusahaan bangkrut. Jadi aku sibuk mengurus semuanya dan akhirnya mengurus restoran ini. Hingga aku belum sempat menjenguk Bu Halimah lagi."Mas Romi menjelaskan alasan dia tak menanggapi pesan yang ku kirim satu bulan yang lalu. Benarkah yang disampaikan Mas Romi? Tapi kenapa Mbak Anita tak pernah bercerita jika perusahaan Mas Romi bangkrut? Bukankah suami Mbak Anita sepupu Mas Romi? Ah, kenapa aku menjadi ragu seperti ini? "Tidak apa-apa Mas. Itu hak Mas Romi. Harusnya saya yang berterima kasih. Mas Romi berhak tak memberi kabar, toh saya bukan siapa-siapa Mas."Astaga, kenapa justru aku mengatakan jika bukan siapa-siapa Mas Romi. Aduh, nanti dia GR lagi. Pasti dia mengira jika aku menyukainya. Bodoh! Kenapa aku justru keceplosan! Ya Allah, rasanya
Pov RomiKedatangan Indah membuat suasana yang mulanya hangat menjadi sedikit canggung. Entah hanya perasaanku saja atau memang seperti itu. "Isue perusahaan Mas Romi bangkrut apa benar?" tanya Indah. Ku anggukan kepala. Indah terlihat terkejut tapi tidak dengan Intan. Ya, karena Intan sudah tahu lebih dahulu. "Maaf Mas. Bukan maksud saya mengingatkan. Hanya saja saya penasaran kenapa perusahaan sebesar bisa bangkrut dalam hitungan hari." Indah tampak tak enak hati tapi rasa penasarannya cukup tinggi hingga ia bertanya begitu. Berbeda dengan Intan yang lebih diam, tak banyak bertanya. "Biasa masalah persaingan bisnis. Bukankah bangkrut dalam suatu bisnis hal yang biasa?" Aku hanya menjawab sekenanya. Tak mungkin aku menceritakan detail pada orang asing. Meski mereka teman Anita. "Semangat ya Mas, pasti ada jalan lain kok untuk sukses." Indah berusaha menghiburku. Ku lihat Intan yang hanya diam membisu. Ya, sejak kedatangan Indah, wanita yang memakai penutup wajah itu lebih asyik
"Kenapa dengan Yusuf, Pa?" Ku letakkan sendok di atas piring. Kini fokus menyimak setiap kata yang akan keluar dari mulut lelaki yang membesarkanmu dengan limpahan kasih sayang itu. Entah kenapa aku masih saja penasaran dengan kehidupan Anita dengan Yusuf. Meski sering luka yang ku terima setelah mendengarnya. "Besok malam di rumah tante Ningrum akan diadakan tujuh bulanan Anita. Hanya acara pengajian yang dihadiri saudara dan kerabat."Sesak kembali menyelimuti dada. Memang benar, setiap mendengar berita tentang keluarga Yusuf, dadaku terasa sesak. Sakit hati itu lebih tepatnya. Meski aku sudah mengucapkan kata ikhlas tapi nyatanya aku belum juga bisa melakukannya. Kata ikhlas memang mudah tapi tak mudah mempraktekannya. Tak semudah membalikkan telapak tangan. Hening, tak ada lagi sepatah kata yang keluar dari mulut kami. Papa dan mama seakan tahu jika diriku tengah merasakan pahitnya cinta. ***Mobil ku parkiran di depan rumah Yusuf karena di halaman rumahnya sudah terpasang ten
"Ayo naik, ada yang ingin saya bicarakan." Aldi segera masuk ke mobil. Dengan berat hati Indah pun masuk ke mobil Aldi. "Dasar manusia kutub egois!" umpat Indah dalam hati. Kendaraan roda empat milik Aldi berjalan meninggalkan kantor. Hening, tak ada sepatah kata pun yang keluar dari mulut kedua orang itu. "Kamu sudah sholat?" tanya Aldi memecah keheningan. "Baru tanggal merah, Pak." Aldi tersenyum mendengar jawaban Indah. Bukan, bukan karena tanggal merah. Namun rencananya akan berjalan lancar tanpa kendala. Mobil melaju dengan kecepatan tinggi. Aldi ingin segera sampai tempat tujuan. Karena jarak kantor dan pantai yang ia tujuh hampir dua jam. "Pak, ini bukan jalan menuju rumah saya!" protes Indah karena arah jalan menuju pinggiran kota. Bukan menuju tempat tinggal gadis berambut panjang itu. "Jangan protes!" jawab Aldi dengan mata fokus melihat depat. Tak ia hiraukan wajah Indah yang menjadi masam. "Nanti orang tua saya khawatir, Pak. Putar balik, Pak. Saya ingin pulang!""
Kini usia kandungan Intan sudah memasuki lima bulan. Selama itu pula Romi dan Intan tidur terpisah. Intan tidur di kamar tamu sedang Romi berada di lantai atas. Mereka berdua hanya bertegur sapa menggunakan ponsel. Pernah suatu ketika Romi sangat merindukan Intan. Ingin mencium istri dan bayi kembar yang ada di dalam kandungan. Namun saat bertemu Intan bukan kemesraan ya ia terima. Melainkan istrinya yang lemas karena muntah. Hampir lima bulan Intan dan Romi bagai orang asing. Romi selalu menyingkir saat bertemu Intan, begitu pula sebaliknya. [Sayang, Mas kangen. Pengen peluk.]Satu pesan masuk dari Romi, Intan tersenyum kala membaca pesan sang suami. Namun kemudian ia meneteskan air mata. Intan merasa belum bisa menjadi istri yang baik. Belum bisa melayani suami. Dalam hati wanita berhijab menjuntai itu sangat merindukan pelukan Romi. Namun lagi-lagi terhalang dengan rasa mual yang mendera. Hingga sebuah ide muncul dalam kepala Intan. Ia berharap ide ini berhasil. Dan menepis jar
Bijaklah dalam membaca, yang dibawah umur di skip saja. Pov RomiAku berjalan menuju kamar. Jantung rasanya ingin lepas dari sarangnya, dag ... dig... dug,berdetak lebih kencang. Seperti inikah malam pertama dengan wanita yang ku cinta? Rumah sudah sepi. Mama dan papa sudah tidur di kamar. Ibu Halimah sendiri memilih pulang diantar Pak Yadi. Dan Nadia merengek minta diantar ke rumah sakit. Ku buka pintu perlahan. Intan tak ada di ranjang, pasti sedang di kamar mandi. Ku jatuhkan bobot di atas kasur. Mencoba menetralisir degup jantung ini yang tak menentu. Kreeek... Pintu kamar mandi di buka dari dalam. Mataku melotot melihat seorang wanita yang keluar. Intan memakai setelan celana dan baju lengan panjang. Rambut hitam panjangnya dibiarkan terurai begitu saja. Ia berjalan ke arahku sambil menundukkan kepala. Membuatku semakin gemas melihatnya. Perlahan Intan menjatuhkan bobot di kasur sebelahku. Wajahnya masih menunduk. Apakah ia malu dan deg-degan, seperti yang ku rasakan saat i
Pov Romi"Ngelamun saja Rom!" Satu tepukan dipundak meyentakku dari lamunan. "Gangguin orang sedang berkhayal saja bro!" Yusuf hanya tersenyum melihat ekspresi kesal yang nampak di wajahku. "Sabar, besok juga sudah halal. Aku salut dengan kejujuranmu." Ku naikkan ujung alis ke atas. Tak mengerti dengan ucapan Yusuf barusan. Kejujuran, kejujuran apa maksudnnya?"Maksudnya apaan?""Ya, kejujuran tentang perasaan kamu sama bini aku tempo hari. Gak nyangka ternyata selama ini kamu memendam rasa pada Anita. Tunggu, apa jangan-jangan bunga waktu itu bukan untuk hadiah kehamilan melainkan untuk istriku." Kutelan saliva dengan susah payah. Ya Tuhan, kenapa Romi bisa tahu. Padahal waktu itu dia tak ada di rumah. Apa jangan-jangan Anita cerita pada Yusuf. Tapi kok rasanya tak mungkin. Anita bukan wanita yang suka mengadu atau membuka aib orang lain. "Bingung kan kenapa aku tahu semuanya padahal aku tak di rumah?" Yusuf seperti bisa membaca isi pikiranku. Apa yang harus ku jawab. Hanya satu
Pov Intan"Intan, disaksikan kedua sahabatmu." Mas Romi menghembuskan nafas perlahan "maukah kamu menjadi ibu dari anak-anakku?"Mataku melotot mendengar perkataan Mas Romi. Mas Romi sadar kan? Dia sedang tidak membayangkan Mbak Anita kan?Aku masih diam, mulutku enggan menjawab perkataan Mas Romi. Entah mengapa aku belum percaya yang ia ucapkan. Semudah itukah dia melupakan pesona Mbak Anita? Walau tak bisa ku pungkiri, ada rasa bahagia mendengar setiap kata yang keluar dari mulutnya. "Bagaimana Intan? Maukah kamu menjadi istriku?"Jantungku dipacu lebih cepat. Dag dig dug. Jawaban apa yang harus ku katakan? "Bilang iya, Tan! Tak usah kamu merasa tak enak padaku. Aku sadar perkara hati tak bisa dipaksakan. Aku ikhlas jika kamu bersama Romi. Aku yakin suatu saat Allah akan mengirimkan seorang imam padaku." Senyum tergambar di wajah Mbak Indah. Bulir bening nan hangat mengalir tanpa dikomando. Mendengar ucapan Mbak Indah membuat suasana terasa semakin haru. Bukan hanya aku saja yang
Aku melangkah ke rumah Yusuf dengan perasaan tak menentu. Mobil Indah dan sepeda Intan sudah terparkir rapi di carport. Apakah aku bisa menyelesaikan masalah ini dengan baik? Setelah semua jelas, akankah Intan mau menerima perjodohan kami? Bagaimana jika akhirnya kedua wanita itu justru membenciku? Berbagai prasangaka memenuhi pikiranku. Ya Allah bantu aku. Ting ... Tong .... Suara bel setelah ku tekan. Aku berdiri di depan pintu sambil meremas kedua tangan. Rasa gugup dan takut bercampur menjadi satu. Pintu di buka dari dalam. Jantung di pacu lebih cepat saat menanti siapakah orang yang membuka pintu. Semoga saja bukan Intan atau Indah. Seorang wanita paruh baya tersenyum kala menyambutku. Berjalan berjajar lalu masuk ke rumah bernuansa modern ini. "Apakah ada masalah, Rom?" tanya tante Ningrum. "Sedikit tan, hanya kesalahan pahaman saja. Ini mau diselesaikan."Ternyata masalah ini sudah sampai ke telinga tante Ningrum. Aku menjadi tak enak hati karena ketidak tegasanku yan
Pov Romi"Jangan asal bicara, nanti akan menimbulkan fitnah," ucap papa. "Itu kenyataan, dan Romilah penyebab kematian Febi!"Ya Tuhan, ada apa lagi ini? Bisa-bisanya Om Damar memutar balikkan fakta. Orang tak tahu pasti akan percaya. Terlebih dia memiliki kekuasaan. "Ayo, Rom, ma, kita pulang saja," ucap papa melanjutkan langkah. Tak ia perdulikan tatapan penuh kemenangan di wajah Om Damar. "Dasar pengecut!"Kami tak membalas ucapan lelaki tua itu. Percuma meladeni orang seperti itu. Hanya akan menimbulkan rasa lelah saja. Biarpun kami tak bisa membalas cukup adukan pada Sang Pencipta. Aku yakin Allah akan menegurnya dengan cara-Nya sendiri. Kami melangkah meninggalkan kerumunan para pelayat.Tatapan sinis tergambar dari raut mereka. Sesuatu yang viral tempo hati seakan hilang dalam sekajap. Uang dan kuasa mampu membungkam hal seperti itu. "Mama sudah bilang, papa sih tidak percaya!" omel mama setelah kami masuk ke mobil. "Tidak apa-apa ma, yang penting kita sudah berusaha untuk
Duduk termenung di balkon. Menatap langit yang masih tertutup mendung meski air tak lagi berjatuhan. Namun bintang dan bulan masih enggan nampak.Semilir dinginnya angin malam tak mampu mengusik diriku dari sini. "Intan atau Indah yang kamu cintai?" Perkataan Anita tadi kembali mengusik pikiranku. Benarkah kedua wanita itu menyukaiku? Apakah Indah adalah alasan Intan menolak perjodohan kami? Cinta itu sebuah perjuangan. Tapi kenapa Intan memilih mengalah dibandingkan berjuang. Apa karena aku terlalu dingin dan terkesan mengabaikannya? Entahlah, aku sendiri bingung memikirkan itu. Intan dan Indah adalah dua pribadi yang berbeda. Intan dengan penampilan tertutupnya dan Indah wanita fashionable. Keduanya memang memiliki pribadi yang baik. Namun jika aku harus memilih, tentu Intan lah yang ingin ku jadikan pendamping hidup. Bukan, bukan hanya karena Intan sholehah tapi juga karena mama sudah cocok dengan wanita berhijab menjuntai itu. Bukankah hubungan menantu dan mertua sangat berpen
"Tan," panggilku sedikit keras. "I-iya Mas," jawabnya gugup. Aku yakin dia gugup mau menjawab apa. "Bagaimana jawaban kamu?" Intan menyatukan dua alis. Pandangan tajam ke arahku. Apa aku salah bicara? "Maaf Mas, Intan belum bisa."Hancur sudah harapanku. Harusnya aku tidak bilang saja. Sekarang hanya malu yang ku rasa. "Maaf ya Mas, Intan belum bisa mencicil biaya rumah sakit ibu. Intan belum punya uang." Aku bengong mendengar jawabannya. "Bukan yang itu, Tan. Yang tadi," ucapku berusaha mengingatkan Intan. "Dari tadi Mas Romi bilang tentang uang berobat kan?"Ya Allah, Ya Robb... Susah payah menenangkan hati agar bisa bicara pada Intan. Namun dia justru tak mendengar. Percuma menahan detak jantung. Anak ini memang keterlaluan. Harusnya aku diam saja tadi. "Lupakan saja, Tan. Untuk uang pengobatan tak usah dikembalikan. Aku ikhlas kok.""Tapi, Mas!""Kamu kan sudah jagain mama aku selama tiga hari. Anggap saja kita impas""Tidak bisa gitu dong, Mas. Saya ikhlas kok.""Sudah ah